Rabu, 02 November 2022

TEMBANG: Etika, Estetika, dan Filsafat

oleh: Suwarmin

Tulisan yang berjudul “Tembang, Estetika, Etika dan Filsafat” ini akan membahas sekilas tentang tembang serta kandungan nilai etika, estetika serta filsafat di dalamnya. Meskipun tembang merupakan unsur budaya yang dimiliki oleh semua masyarakat di Indonesia (baca: Jawa), namun dalam pembahasan dibawah mengambil contoh-contoh tembang Jawa Tengah (baca:Surakarta). Hal tersebut semata-mata karena terbatasnya referensi yang ada membatasi permasalahan. Pembahasan tentang unsur tersebut merupakan penekanan (stressing), karena tembang sebagai budaya masyarakat sangat kompleks, dapat dipandang dari berbagai aspek dalam kehidupan. Tulisan ini digunakan sebagai bahan ancangan dan pancatan dalam diskusi agar mendapat tanggapan dan pembahasan lebih luas.

Tembang

Istilah “Tembang” juga disebut “sekar” atau “kembang”  yang mengandung artinya ungkapan  atau kata yang dilagukan (Jawa: laguning tembung) (lihat, Warsena, 2006).  Pada dasarnya semua ungkapan lesan, percakapan, membaca, menjajakan dagangan, berdendang riang, berdengang sambil bekerja maupun menangis terdapat (menggunakan) lagu. Namun sacara umum yang disebut tembang adalah lagu swara lisan atau musik vokal. Dari pengertian terakhir maka timbul penggolongan Tembang atau Sekar Dolanan, Sekar Alit atau Sekar Macapat, Sekar Tengahan dan Sekar Ageng.  Merunut kata “laguning tembung” maka tembang dapat dipandang dari dua segi yaitu segi bahasa dan segi lagu atau seni swara (musikal).

a.       Tembang dipandang dari segi bahasa, dalam bahasa Jawa tembang merupakan basa pinathok dalam bahasa Indonesia puisi yaitu bentuk bahasa yang menggunakan aturan-aturan tertentu yang lawankan dengan basa  gancaran  dalam bahasa Indonesia prosa. Misalnya Tembang Dolanan bersifat tunggal atau satu padha, garu gatra, guru lagu dan guru wilangan bebas mengikuti tema atau judul tembang, contoh Ilir-ilir, Jaranan, Jamuran, Cublak-cublak Suweng, E Dayohe Teka dan sebagainya. Tembang Macapat bersifat jamak, satuannya disebut pupuh dengan jumlah padha, garu gatra, guru lagu dan guru wilangan tertentu, seperti Dandang-gula, Pangkur, Mijil, Sinom ; dan Tembang Tengahan dan Tembang Gede (Sekar Ageng) bersifat tunggal dengan lampah dan pedotan tertentu.

Karya sastra Jawa dari para Pujangga dan Raja kebanyakan tidak dalam bentuk gancaran tetapi dalam bentuk tembang seperti Serat Wedatama krya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, Serat Wulang Reh karya Ingkang Sinuwun Kanjeng Sri Pakubuwuna IV, Serat Kidung karya Sunan Kalijaga, Serat Joko Lodang karya R. Ng. Ronggowarsita, Serat Centhini karya Pujangga Yasadipura II dan sebagainya semua dalam bentuk Sekar Macapat.  Maka dari itu dalam pelajaran di sekolah Tembang masuk dalam mata pelajaran Bahasa Daerah.

b.      Tembang sebagai seni swara, masyarakat pada umumnya mengenal tembang sebagai seni swara. Orang nembang berarti menyanyi, ditembangake berarti dinyanyikan. Lagu inilah yang memberi karakter, swasana, daya tarik sebuah kata,sastra maupun percakapan. Karya satra yang berbentuk tembang, membacanya dilagukan sehingga menimbulkan swasana dan daya tarik bagi pendengarnya.

Sebelum dikenal tulisan karya sastra yang berisi petuah atau ajaran orang tua, agar selalu didengar dan diwariskan secara turun temurun diungkapkan lewat lagu. Suatu misal lagu anak atau Tembang Dolanan selain sebagai sarana media bermain anak-anak, bagi orang dewasa yang mendengarkan mendapatkan pelajaran dari isi syair lagu tersebut.

Tembang dan Estetika

Dipandang dari segi kandungan nilai estetik tembang memiliki dua unsur yaitu estetika sastra dari syairnya dan  estetika lagu atau musikal. Kalimat dan kata-kata syair sebuah tembang kadang-kadang sulit dipahami maknanya. Hal tersebut karena struktur dan kata-kata dalam tembang sering menggunakan kata yang mengandung makna simbolik dan perlambangtertentu. Susunan kalimat (reroncening tembung) sering keluar (menyalahi) kaidah yang berlaku, hal demikian karena lebih mengutamakan kindahan sastra. Untuk memperindah sastranya juga menggunakan wangsalan, purwakanthi`dan sebagainya.

Berikut sebagai contoh:

        Sekar Gambuh:

Samengko ingsun turur,

sembah catur supaya lumuntur,

dingin raga cipta jiwa rasa kaki,

 ing kono lamun ketemu,

tanda nugrahaning Manon (Serat Wedatama)

 

Sekar Pucong:          Nora weruh

                                 Rosing rasa kang rinuruh

                                 Lumeket neng angga

Anggere pada marsudi

Kana kene kahanane nora beda (Serat Wedatama)

 

Dari keindahan sastra serta muatan isi yang mengandung ajaran yang baik (pitutur luhur) bersifat religius,  maka dapat dikatakan sebagai karya seni sastra yang adi luhung, juga merupakan   estetika religius.

Keindahan Tembang, selain keindahan sastra, yang lebih utama adalah keindahan musikal yaitu wileting cengkok yang sesuai dengan watak Tembang (jumbuh kaliyan raosing sekar). Pada umumnya orang mendengarkan tembang lebih menikmati keindahan musikalnya dari pada memahami makna sastranya. Nilai estetik tiap tembang sudah banyak dikenal secara konvesnsional sebagai watak, karakter atau swasana tembang seperti Sekar Pucong memiliki watak nggenah-nggenahake cocok untuk bercerita dan tutur-tutur. Sekar Pangkur mempunyai watak marah, Sekar Kinanthi mempunyai watak, Sekar Dandang-gula mempunyai watak ngresepake dan seterusnya. Dalam perkembangannya masing-masing tembang diperkaya watak dan karakternya seperti Dandang-gula Banjet, Dandang-gula Turulare, Dandang-gula Maskentar, Dandang-gula Uran-uran dan sebagainya (lihat: Warsena, 2006:8-9).

Tembang dan Etika

Pengertian “etika” disini diartika sebagai kesadaran (conciousness) dalam mengatur tingkah laku diri serta hubungannya dengan alam sekitarnya. Meskipun tidak ada aturan secara formal namung terdapat norma-norma ada terdapat dalam masyasarakat. Tiap individu akan bersikap dan tingkah laku sesuai dengan ruang dan waktu dimana berada.

Etika juga disebut budi perkerti yang berarti pekerti (perbuatan) yang dilandasan dengan budi (pertimbangan). Tingkat pertimbangan inilah yang membentuk manusia berbudi, berbudaya, beradap seperti yang tercantum dalam butir Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tingkat pertimbangan atau budi menunjukkan apakah manusia itu baik berbudi luhur atai jelek berbudi asor atau rendah.

Bagi masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya dalam menjaga ketentraman hidup selalu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Pandangan terhadap bumi sebagai Ibu Pertiwi merupakan sember kehidupan. Sikap terhadap alam dan bumi, diperlakukan dengan penuh hormat seperti yang terkandung dalam syair atau Sekar Ibu Pertiwi berikut: “Ibu Pertiwi paring boga lan sandang kang murakabi, peparing rejeki manungsa kang bekti …….ayo sungkem mring Ibu Pertiwi” (Ibu Pertiwi memberi pangan dan sandang yang berguna, memberi rejeki kepada manusia berbhakti …ayo hormat kepada Ibu Pertiwi). Sikap hormat dilakukan dalam melakukan upacara adat ritual bersih Desa, manganan Desa, manganan Banyu, petik laut, wiwit pada panen padi dan sebagainya sebagai ungkapan rasa syukur.

Sikap hidup hubungan antar manusia di dalam Serat Wulang Reh karya Pakubuwana IV terkandung ajaran tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Menjauhkan sikap yang jelek adigang-adigung dan adiguna yaitu sikap yang sombong dengan membagakan diri atas kepandaian, kekayaan dan kekuasaannya. Sikap jelek lain yang perlu dijauhi dalam hidup bermasyarakat adalah drengi-srehi, iren-meren-dahwen-panasten-open, serta jahil-methakil yang merupakan sikap jelek. Istilah-istilah yang menunjukan sikap jelek dirangkai menjadi unen-unen sehingga mudah diingat sebagai pengingat (pepeling).

Sikap dan perilaku yang disarankan adalah sikap yang baik dan terpuji (laku utama) bertingkah laku yang sopan dan santun (nglungguhi tatakrama) antara lain duga-prayoga, tepa-slira. Sikap duga-prayoga dalam melakukan sesuatu, berpikir cermat dan hati-hati sebelum melakukan sesuatu, dan melakukan dengan sebaik-baiknya agar menghasilkan yang baik. Dalam pergaulan harus mengetengahkan sikap tepa-slira yaitu dalam melakukan sesuatu kepada orang lain harus berdasarkan pemikiran bila dikenakan diri sendiri, seperti pada ungkapan yen gak gelem dijiwit aja njiwit (kalau tidak mau dicubit jangan mencubit orang). Selain sikap menghormati orang lain, juga menjunjung tinggi keadilan.

Pelajaran tentang “sembah lima” yaitu sembah atau hormat kepada orang tua, mertua, saudara tua, guru, dan Tuhan. Mengapa orang harus melakukan sembah lima, karena lima itulah yang paling penting di dalam kehidupan manusia di dunia. Sembah pertama kepada orang tua (Ayah dan Ibu), karena orang tua sebagai perantara kelahiran manusia di dunia.

Sikap hormat kepada orang tua dengan sebutan sebagai Pangeran katon yaitu yang menciptakan  manusia di dunia. Sembah kedua adalah sembah kepada mertua, karena mertualah yang memberi kenikmatan (istri/suami) dan ketentraman di dunia. Ketiga sembah kepada saudara tua, karen saudara sebagai pengganti orang bila sudah tiada seperti memberi petuah dan pertimbangan. Keempat sembah kepada guru, karena guru memberi ilmu pengetahuan yang berguna dalam kehidupan dan kelima sembah kepada Tuhan, Sang Pencipta dan Maha Kuasa (tak disangkal).

Tembang dan Filasfat

Tembang-tembang karya satra lama yang sekarang masih dikenal dengan baik oleh masyarakat, karena kandungan nilai filosofis yang tinggi. Pemahaman tentang Pribadi manusia, bagaimana berpikir dan bertingkah laku hingga pencapaian kesempurnaan hidup.

Sekar Dolanan:  E Dayohe Teka            

E dayohe teka,  E jerengna klasa, E klane bedah,  E tambalen jadah, E jadahe mambu, E pakakna asu,  E asune mati, E kelekna kali, E kaline banjir, E kelekna pinggir, E pinggire santer, E centhelna pager, E pagere ruboh, E guwaken sing adoh ……

Bila direnungkan Sekar Dolanan E Dayohe Teka di atas merupakan gambaran kerja pikir yang kemana-mana tanpa batas (ngambra-ambra), dan hasilnyapun sering belum tentu (tidak) bermanfaat (guwaken sing adoh). Sudah tidak lagi mengiraukan tamunya (dayohe), sedang  tamu perlu disambut dan dihormati. Maka dari itu pikir harus dikendalikan oleh budi (pertimbangan).

Tujuan hidup untuk mencapai hidup yang sempur yang dalam agama Budha disebut Budisatwa (Budi Luhur).  Ada tiga tingkatan manusia dalam menggunakan budi sebagai pertimbangan bertingkah laku yaitu tamma, raja dan satwa. Budi tamma tingkah laku yang menggunakan nilai duniawi sebagai pertimbangan, Budi raja, lebih dari duniawi mengetahui alasan dibalik alasan dan Budi satwa, mampu melihat penyebab setiap alasan, yang terdapat pada kedalaman yang amat jelas dari seluruh diri itulah alasan Tuhan. Sebagai simbol dan orang yang dapat mencapai kesempurnaan hidup dalam agama Budha adalah Budha Gautama yang berarti pertimbangan paling sempurna yang ada di langit (Inayat Khan, 2002:177-280)

Dalam Sekar Gambuh di atas mampu meniti dalam sembah (Hyang)  dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa hingga tingkat sembah rasa baru akan mendapat Nugrahaning Manon. Untuk dapat melakukan sembah rasa harus tahu rosing rasa terlebih dahulu. Dalam sekar Pucong di atas menunjukkan rosing rasa lumeket ing angganing saben manungsa (pusat rasa melekat pada diri setiap manusia). Asalkan mau mencari dengan sungguh-sungguh akan mendapatkanNYA, dan itu merupakan pertanda sudah mendapat kemuliaan Tuhan.

Penutup

Uraian di atas menunjukkan bahwa Tembang merupakan budaya sastra lisan maupun tulis warisan leluhur yang sekarang masih hidup lestari diminati banyak orang. Hal tersebut karena di dalam Tembang terkandung nilai-nilai Etika, Estetika dan Filosofi yang tinggi yang pantas disebut sebagai seni adi luhung. Kandungan nilai etika, dalam Tembang mengajar manusia hidup tenteram dan damai dengan menjaga keseimbang hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia serta manusia denga Sang Pencipta. Semua diatur dengan norma-norma dalam bentuk tatakrama saling menghormati dan saling mengahargai.

Kandungan nilai estetik dalam tembang terdapat pada keindahan sastranya serta musikalitasnya. Namun demikian pada umumnya sajian Tembang sekarang lebih dinikmati sebagai musik vokal dari pada memahami makna sastranya. Pengkayaan nilai estetik pada Tembang dengan menciptakan gaya-gaya musikal (cengkok) baru. Tembang dimasa-masa yang akan datang tetap menjadi bahan ancangan dalam penciptaan-penciptaan karya baru bagi generasi mendatang

Kandungan nilai filosofi dalam tembang menunjukkan kedalaman budaya bangsa Indonesia (khususnya Jawa). Pandangan hidup yang luhur tentang manusia, alam, tujuan hidup yang sempurna. Tentang bagaimana laku utama menuju kedekatan penyatuan dengan Yang Maha Ada.


Kepustakaan

Endraswara, Suwardi

2003    Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa

Inayat Khan, Hazrat

      2002    Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Penerbit:Pustaka Sufi, Yogyakarta

Pakubuwana IV, Sri

1982    Serat Wul;ang Reh (Garapanipun: Drs. Darusuprapta). Peenerbit: CV Citra Jaya, Surabaya.

Purbocaroko, Prof. Dr. R. M. Ng.

      1957    Kapustaka Jawi, Penerbit: Jambatan, Jakarta.

Purwadi, Dr.

2002    Penghayatan Keagamaan Orang Jawa: Refleksi atas Religiusitas Serat Bima Suci. Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta

Satyopranowo, R. Ng.

1994    Wedaran Serat Wedatama (Anggitanipun K.G.P.A.A. Mankunegoro IV). Kawedalake: K.R.T. Sarjono Darmosarkoro.

Warsena, Ki Tentrem LC

            2006    Tuntunan Sekar Macapat. Penerbit:CV Cenderawasih, Sukoharjo