Sabtu, 21 Juli 2012

Artikel 2

By: Nandi Saefurrohman

*
Lompatan budaya bermusik yang semakain lebar dan progresif, merupakan salah satu faktor penyebab “mencairnya” persoalan dikotomis tentang bentuk dan kedudukan musik tradisi/etnik. Bentuk beberapa jenis musik etnik saat ini telah banyak yang mengalami pergeseran dari suatu tempat statis-pasif ke arah yang lebih dinamis-fleksibel, terbuka dan multi wacana, seiring perkembangan industri musik global. Selebihnya adalah musik etnik yang benar-benar sudah melompati pagar pembatas ke-baku-an dan pakem ke-tradisiannya.

Banyak orang berargumen bahwa musik tradisi adalah suatu warisan leluhur yang harus ditempatkan di puncak-puncak kebakuan dan pakem dengan tidak mengganggu-gugat kedudukannya sebagai produk budaya ‘adiluhung’ yang harus dirawat orisinalitasnya. Sementara itu juga tak sedikit orang beranggapan bahwa musik tradisi adalah ‘masa lalu’ yang harus diperbaharui menjadi ‘masa kini’. Mereka menganggap bahwa ke-baku-an dan pakem hanyalah sebatas rambu-rambu agar orang yang menguasai musik tradisi itu tidak berpikir terlalu jauh dalam menyusun strategi pembaharuanya. Yang terpenting bagaimana, nilai/makna (bobot, isi), dan nuansa ke-tradisi-an itu masih tetap melekat meskipun karakteristik bentuk dan struktur musikalnya mengalami perubahan.

Apabila kita mengamati, ruang-ruang pentas musik (baca: non tradisi) di berbagai tempat kerap menghadirkan alat musik etnik (tradisional) yang digunakan atau dimainkan dalam berbagai aliran. Penggunaan instrumen tradisional dalam pentas-pentas musik popular, dangdut, jazz, baik dalam program acara-acara di media elektronik maupun di panggung-panggung pertunjukan sebagai ajang hiburan massa, saat ini bukanlah suatu yang asing lagi untuk kita jumpai. Bahkan sekarang ini cenderung memperlihatkan adanya market tersendiri dalam memenuhi tuntutan perkembangan budaya musik. Suatu alat musik tradisi yang dipandang kolot bahkan kuna sekalipun begitu sangat digemari jika dimainkan dominan dalam suatu bentuk atau aliran musik apapun, gaya apapun, dan dari budaya musik manapun. Sebagai contoh, sebagaimana alat musik tradisional (semisal kendang, gong, saron, suling, terompe/selompret, rebana, kul-kotekan, rebab, angklung/calung, dan sebagainya) akan menjadi daya tarik dan mampu memberikan pesona tersendiri yang menjadikan pertunjukan lebih komunikatif dan meriah. Dalam pentas dangdut misalkan, hentakan irama ndang-ndut yang menjadi ciri dan karakter musik tersebut seakan lebih dinamis jika iramanya diusung oleh bunyi gendang dan ketipung khas Sunda atau gendang khas daerah Banyuwangi. Gendangnya pun ditabuh/dimainkan secara atraktif seiring dengan sosok-sosok para biduanita yang bernyanyi dan bergaya tanpa “beban” kualitas memadai, namun mampu menimbulkan histeria dan antusias para penontonnya.
* *
Perkembangan teknologi alat musik memungkinkan terciptanya parameter system teknik permainan yang lebih efisien. Sehingga merangsang setiap orang melakukan berbagai terobosan kreatif baik dalam cara-cara bermusik maupun dalam penampilannya. Perkembangan musik Campursari adalah contoh kongkrit dari yang paling situasional saat ini. Ketika genre musik ini mulai muncul kepermukaan, kata sari atau nyari bermakna untuk menunjuk bahwa jenis musik ini mampu menunjukan keselarasan/ keserasian musikal yang lahir dari percampuran permainan alat musik tradisi (seperangkat gamelan) dan non tradisi (semisal organ/keyboard). Karakter nada-nada pentatonik berasimilasi dan bersinergi dengan karakter nada-nada diatonik dalam batas-batas kompositorik tertentu.. Terdengar sangat indah paduan dua karakter itu. Sementara  unsur musikal yang terbentuk di arahkan untuk memenuhi ruang estetika lokal yang sesuai dengan  ‘roso Jawa’ dan gaya (style) musik gamelan itu sendiri.

Sungguh pada masa perkembangan “industri musik” popular saat ini, agak sulit atau jarang menemukan kriteria musik campursari yang masih memiliki ciri-ciri gaya bermusik lebih mengedepankan nuansa etnik, di mana nuansa musik gamelan Jawa seharusnya lebih terasa dominan dibandingkan dengan nuansa lainnya. Musik campursari dalam eksistensinya saat ini cenderung hanya sebuah terminologi yang menunjuk pada jenis, warna, dan gaya musik semisal pop, dangdut, ndangdut-koplo dengan menggunakan bahasa nyanyian atau syair-syair lagu berbahasa daerah (Jawa). Alhasil, warna musik apapun asalkan dalam lagu-lagu yang dinyanyikannya menggunakan bahasa Jawa, orang dengan mudah menyebutnya sebagai musik campursari

Bahkan dalam beberapa kasus lagu-lagu campursari yang pernah dan sedang melejit sekalipun bukan pada garap musikalnya yang menjaidi perhatian orang, namun lebih pada aspek penggunaan sastra lagu dimana kadang-kadang ada yang bertemakan agak “miring. Kita tentu ingat bait-bait syair yang cenderung mengekspos tema-tema seksual  atau berbau porno semisal dalam lagu cucak rawa yang terkenal itu, dan masih banyak judul lagu-lagu “miring” lainnya yang di buat. Akibatnya timbul persepsi di masyarakat penikmat musik ini bahwa campursari identik dengan musik “campursaru”. Selebihnya goyang ngebor ‘ala Inul’ pun seolah-olah telah menjadi “pakem” pertunjukan yang wajib untuk tidak dilewatkan. 


Semaraknya acara campursari di beberapa stasiun televisi swasta pada beberapa tahun ke belakang, memunculkan image di masyarakat bahwa pertunjukan musik campursari sangat kental dengan nuansa acara pentas musik ndang-ndut-koplo, dan kebanyakan tanpa sedikitpun melibatkan penggunaan alat-alat musik tradisonal. Meskpun ada, hanya dihadirkan sebatas pelengkap mungkin juga hanya akal-akalan desain pentas semata karena peranannya tidak terlalu tampak, terkalahkan oleh warna musik dangdut yang dominan. Bukankah dalam pentas campursari seharusnya karakteristik etnik menjadi dominan menyangkut segenap aspek pertunjukannya, baik dalam tata panggung, tata rias dan penampilan penyanyi, maupun berbagai parameter yang mengarahkan pembentukan ruang estetik pertunjukan musik etnik/tradisional. Sedangkan warna musikal (ndang-ndut, pop, dan sebagainya) hanyalah bagian terkecil yang masuk dalam ruang interpretasi garap musikal.

Terjadinya penyurutan bahkan perubahan karakteristik dan esensi estetik campursari, salah-satu penyebabnya adalah terletak pada penyempitan orkestrasi yang menggejala menjadi lebih efisien dan ekonomis. Selain itu teknik permainan dan bunyi instrumen gamelan digantikan dengan teknik pemainan nada-nada keyboard, juga kerap menggunakan teknologi DPM (Digital Music Program), yang memungkinkan para penikmatnya secara tidak langsung terjebak oleh nuansa musikal yang sebenarnya bukan lagi berada di wilayah campursari itu sendiri. Bagaimana bisa dikatakan campursari seandainya nuansa musikal yang hadir bukan lagi bersumber dari karakteristik etnik dalam takaran roso Jowo. Penyajian musiknya tidak lagi berpijak pada kriteria-kriteria keindahan dan cita-rasa musik (gamelan satu misal) sesuai dengan konsep estetik rompog, rumit, banyumili, dan semeleh, bahkan mloho pun menurut kriteria gayeng nya orang Jawa. 

Memang di satu sisi campursari stagnan dalam wacana etnik karena pengaruh dari aspek bentuk tampilan (performance), dan lirik lagu yang dibuat mentradisi”. Mulai tata pentas/panggung yang Jawa, busana yang Jawa, dan aspek penggunaan bahasa nyanyian yang masih banyak Jawa-nya juga. Namun di sisi lain, bentuk, struktur, dan unsur-unsur musikalnya cenderung lebih banyak mengimitasi  aliran musik  ‘kekini-kinian’ yang lagi naik daun. Apakah dari aliran dangdut, pop, rock-dut, ndangdut-koplo, dan lain-lain. Sinden-nya pun kadangkala nekad melantunkan lagu-lagu yang tidak lagi bersinggungan dengan wilayah ‘rasa’ musik etnik. Ketrampilannya tidak terlihat dalam cengkok-cengkok seperti langgam Gending Tawang Ana Lintang-nya Anjarani yang merana dan romantis. Sebaliknya justru yang muncul lagu Widuri-nya Bob Tutupoly yang misteri, Jatuh Bangun-nya Kristina yang heroik, atau Stasiun Balapan-nya Didi Kempot yang sedang mengenang kekasihnya tak kunjung datang. Alhasil campursari bukan sekedar menawarkan gaya baru, namun sedang –atau mungkin sudah– membentuk “jati diri baru”  untuk diakui sebagai  jenis musik yang ingin keluar dari kemapanan sarangnya estetika lokal-tradisional menjadi estetika-global yang meng-Indonesia. Suatu situasi keliru setidak-tidaknya menurut pengamatan saya.

Melihat masalah-masalah tersebut, apakah sosok musik campursari saat ini telah berada pada titik nadir paradigma perkembangan salah satu musik etnik Jawa ?. Kiranya perlu adanya keterlibatan para praktisi, pengamat, dan kritikus musik, untuk menjelaskan kembali kriteria-kriteria yang sebenarnya tentang campursari. Kalau perlu membuat konsepsi mengenai apa itu campursari, pop Jawa, ndang-dut Jawa, ngrok Jawa, atau sebutan apa saja yang sekiranya dapat memperkaya khasanah budaya musik etnik. Karena campursari bukanlah musik Pop Indonesia, bukan musik Dangdut-Melayu Indonesia, dan bukan apa saja yang berlabel “musik Indonesia”. Indonesia tidaklah ditempatkan sebagai etnik-nya Jawa meskipun diperbolehkan untuk memiliki urgenitas sebagai musik yang meng-Indonesia.  Wassalam.
 





1 komentar: