BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Instruksional
Khusus
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
pentingnya kegiatan penelitian di Perguruan Tinggi.
b.
Menjelaskan
perkembangan penelitian ilmiah.
c.
Menjelaskan
jenis-jenis penelitian ilmiah
A. Konsep
dasar
Metode Penelitian dewasa ini sudah semakin
berkembang dan digunakan dalam banyak bidang ilmu, baik yang bersifat eksakta
maupun non eksakta. Perkembangan dan kemajuan pengetahuan pada masa modern,
sangat tergantung pada kesediaan para ilmuwan untuk mengungkapkannya. Pada awal
abad XXI ini usaha mengungkapkan rahasia alam telah dilakukan secara sistematik
dan ekshaustik, hal ini merupakan prestasi yang tak ternilai harganya. Usaha
ini telah menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan sebagai hasil kerja yang
dilakukan dengan cara obyektif dan teliti. Cara kerja yang seperti itu disebut
cara kerja ilmiah.
Usaha mengungkapkan pengetahuan itu didasari oleh sifat ingin tahu yang dimiliki manusia. Didorong sifat keingintahuan ini, manusia berusaha untuk mencari jawabannya. Dalam usahanya mencari jawaban tersebut, manusia mempergunakan panca indera dan kemampuan berfikirnya. Dalam usaha itu terjadi persentuhan antara panca indera dengan alam sebagai obyeknya. Hasil dari persentuhan tersebut berupa pengetahuan yang disebut pengalaman. Dari berbagai pengalaman yang terkumpul, manusia berusaha membuat keputusan dan mencoba menarik sebuah kesimpulan. Dari kesimpulan tersebut diupayakan dapat berlaku secara universal, tidak bersifat individual. Atau dengan kata lain, pengalaman yang diperoleh manusia secara individual akan dicocokkan dengan pengalaman manusia yang lain (dalam hal ini masih bersifat khusus). Kemudian dari beberapa pengalaman sekelompok manusia tersebut disatukan, yang kemudian dibuatlah sebuah kesimpulan.
Pengetahuan yang terkumpul semakin banyak dan beragam, sesuai dengan pengalaman masing-masing. Pada kenyataannya, bahwa pengetahuan yang memuaskan dorongan ingin tahu manusia adalah pengetahuan yang benar, atau mengandung nilai kebenaran. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pengetahuan yang benar adalah pengakuan hubungan antara dua sesuatu, yang ternyata memiliki persesuaian dengan obyeknya, sehingga pengetahuan yang benar disebut pula pengetahuan obyektif. Obyek pengetahuan meliputi segala sesuatu yang ‘ada’, dan yang ‘mungkin ada’. Sesuatu yang ‘ada’ ialah sesuatu yang dapat disentuh oleh indera, sehingga lebih mudah menunjukkan bukti kebenarannya. Sesuatu yang ‘mungkin ada’ ialah sesuatu yang sekarang belum ada, akan tetapi tidak mustahil akan menjadi ada, setelah melalui proses penelitian dan pembuktian. Beberapa di antaranya mungkin bersifat abstrak, yang sulit untuk disentuh dengan indera manusia, sehingga sering terjadi kesulitan mengungkapkan bukti-bukti kebenarannya. Namun karena pengetahuan yang obyektif menuntut bukti-bukti kebenaran, maka harus diusahakan untuk menunjukkan bukti-bukti kebenaran.
Bukti kebenaran bersumber dari persentuhan indera manusia dengan sesuatu yang bersifat khusus atau individual. Pengetahuan dan pengalaman antara individu yang satu dengan yang lain tidak sama, bahkan pengalaman seseorang yang berulang terhadap suatu obyek pun dapat berbeda. Dengan demikian, sering timbul kesulitan untuk mencapai pengetahuan yang benar, obyektif, dan berlaku universal. Sehubungan dengan bukti kebenaran itu, selanjutnya perlu dibedakan antara tiga pandangan ; yaitu kebenaran agama, filsafat, dan ilmu (Hadari Nawawi.1995 : 1-4)
1. Kebenaran Agama
Dalam mencari kebenaran manusia tidak membatasi dirinya, tetapi manusia terbatas pada kemampuan akalnya. Kebenaran yang dicapai manusia dengan penyelidikannya sendiri, tidak dapat melampaui batas-batas kemampuannya. Dalam kenyataanya, banyak pula kebenaran yang diterima manusia bukan karena dicapai dengan pembuktian, bukan pula diperoleh dari pengalamannya. Kebenaran yang menjadi pengetahuannya itu berada di luar jangkauan dirinya dan di luar pengalamannya. Kebenaran yang semacam itu diterima karena diberitahukan kepada manusia, karena berada di luar kemampuannya. Kebenaran itu diterima karena percaya dan yakin, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang pasti benar. Dasar diterimanya kebenaran tersebut adalah, kepercayaan dan keyakinan bahwa Yang Memberitahukan tidak mungkin berbuat bohong, karena sebagai sumber kebenaran. Dengan kata lain, bahwa sesuatu yang disampaikan itu halnya memang demikian dan harus demikian, tidak mungkin lain. Kebenaran itu merupakan kebenaran mutlak, yang obyektivitasnya dijamin oleh Pemberi kebenaran itu sendiri. Cara penyampaian kebenaran dilakukan dengan cara istimewa, dan kepada orang yang istimewa pula. Kebenaran tersebut disebut wahyu atau firman, alat penyampainya namanya malaikat, dan penerimanya namanya nabi dan atau rasul.
2. Kebenaran Filsafat
Pengalaman manusia sangat terbatas, karena yang ‘ada’ dan yang ‘mungkin ada’ tidak dapat disentuh semuanya. Akan tetapi dengan mempergunakan akalnya, sesuatu yang umum dan abstrak dapat diterima sebagai kebanaran, setelah melalui proses perenungan yang sedalam-dalamnya. Kebenaran tersebut ternyata melampaui atau mengatasi pengalaman manusia. Pengalaman diselidiki atau direnungkan juga sebagai pangkal pengetahuan, akan tetapi tidak berhenti pada batas sesuatu yang dapat diterangkan secara konkret melalui pengalaman itu saja. Kebenaran pengetahuan yang dikehendaki filsafat adalah hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya, serta mencakup seluruh aspek obyeknya, sehingga bersifat dan berlaku seumum-umumnya. Dengan kata lain, kebenaran pengetahuan yang dicari adalah hasil perenungan dan pemikiran terakhir yang bersifat umum. Perenungan itu mencari kesamaan dari segala sesuatu yang banyak ragamnya, baik yang dapat disentuh dengan indera maupun yang tidak dapat disentuh.
Pengetahuan yang mengandalkan kebenaran dengan cara perenungan yang sedalam-dalamnya disebut filsafat. Bukti kebenarannya adalah hasil pemahaman manusia yang diperoleh melalui perenungan dengan mempergunakan kemampuan akalnya. Kebenaran yang diperoleh dari hasil perenungan itu, menempatkan kebenaran filsafat sebagai kebenaran insani atau kodrati. Kebenarran itu dapat bertolak dari pengalaman, tetapi selalu melampaui dan mengatasi pengalaman manusia, dan bukti-buktinya tidak memerlukan sesuatu yang konkret.
3. Kebenaran Ilmu
Kebenaran yang diungkapkan secara mendalam dengan tidak terlalu menghiraukan kegunaannya, menghasilkan pengetahuan yang disebut ilmu. Pengetahuan itu diungkapkan atas dasar keinginan untuk diketahui semata-mata, sampai memperoleh kejelasan tentang mengapa demikian, atau apa sebabnya harus demikian. Pengetahuan di dalam ilmu berusaha mengungkapkan keseluruhan aspek di dalam obyeknya, sehingga tidak sekedar memperhatikan kegunaannya saja. Oleh karena itu walaupun nampaknya tidak berguna, masih diselidiki dan diungkapkan dengan mencari sebab yang terdalam, tentang obyeknya berdasarkan pengalaman. Kebenarannya dicari dan dibuktikan melalui persentuhan indera dengan alam sekitar, untuk menerangkan mengapa obyeknya demikian, atau apa sebabnya obyek tersebut harus demikian.
Selanjutnya dengan bantuan kemampuan berfikir yang dapat melampaui batas ruang, waktu, dan statistika, ilmu dapat sampai pada sesuatu yang abstrak dan bersifat umum. Untuk itu, demi obyektivitas ilmu yang diungkapkan, orang harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat ilmiah di dalam ilmu dapat diwujudkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
3.1. Ilmu harus mempunyai obyek, karena kebenaran yang akan diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara yang diketahui dengan obyeknya. Persesuaian itu mungkin tidak mengenai seluruh aspek obyeknya, tetapi sekurang-kurangnya harus sesuai dengan salah satu atau beberapa aspek dari obyeknya. Untuk itu harus dibedakan antara obyek material dengan obyek formal. Obyek material adalah kenyataan yang diselidiki atau dibahas. Sedangkan obyek formal adalah aspek khusus atau tertentu dari obyek material yang diungkapkan.
3.2. Ilmu harus mempunyai metode, karena untuk mencapai suatu kebenaran obyektif dalam mengungkapkan obyeknya, ilmu tidak dapat bekerja secara serampangan. Untuk itu diperlukan cara tertentu yang tepat yang disebut metode keilmuan.
3.3. Metode keilmuan harus mampu mengungkapkan bukti-bukti atau tanda kebenaran dari pengalaman manusia. Atau dengan kata lain, metode yang digunakan harus merupakan cara kerja yang tepat, terarah, teratur, dan benar.
3.4. Ilmu harus sistematik. Dalam mendeskripsikan pengalaman-pengalaman atau kebenaran-kebenaran tentang obyeknya, harus dipadukan secara harmonis sebagai suatu keseluruhan yang teratur. Dengan kata lain, ilmu harus merupakan kebulatan yang sistematik atau bersistem.
3.5. Ilmu harus bersifat universal atau berlaku umum. Kebenaran yang dideskripsikan ilmu bukanlah mengenai sesuatu yang bersifat khusus atau individual. Kebenaran ilmiah berkenaan dengan suatu macam atau jenis, dan tiap-tiap sesuatu di dalam macam atau jenis tersebut. Di dalam istilah penelitian berarti kebenaran ilmu harus berlaku bagi suatu populasi tertentu, dan tidak sekedar berlaku secara terbatas pada unsur-unsurnya yang disebut sampel (periksa dalam Hadari Naawawi. 1995 : 4 –11).
B. Perkembangan
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian sebagaimana yang kita kenal
sekarang ini, telah memakan waktu yang sangat panjang dan melewati berbagai
tingkatan. Rummel (dalam Sutrisno Hadi, 2000:4) menggolongkan perkembangan
metodologi penelitian menjadi empat tahap/periode, yaitu ; (1) periode trial and error, (2) periode authority and tradition, (3) periode speculation and argumentation, dan (4)
periode hypothesis and experimentation.
1. Periode
Trial and Error
Pada masa ini ilmu pengetahuan masih dalam
landasan embrional, orang belum mempergunakan dalil-dalil deduksi yang logis,
sebagaimana diperlukan untuk menyusun sebuah ilmu pengetahuan. Namun orang
masih senang mencoba dan mencoba terus, hingga dijumpai suatu pemecahan yang
dipandang memuaskan. Kebanyakan problematiknya tidak dibatasi dengan jelas.
Tata kerja dan pemecahannya masih dicari-cari sambil berjalan, serta observasi
yang dilakukan sifatnya sangat sederhana dan kualitatif. Kemajuan setapak demi
setapak sulit dipastikan, karena rencana
untuk maju tersebut belum dipastikan atau ditentukan sebelumnya. Jika ada
rencana yang pasti adalah mencoba dan mencoba lagi.
Pendapat-pendapat dari ‘pemimpin’ atau ‘ahli’
pada masa lampau selalu dikutip kembali. Pendapat-pendapat tersebut selalu
dijadikan doktrin yang harus diikuti dengan tertib tanpa sesuatu kritik. Tidak
jarang pendapat-pendapat tersebut salah dan picik, namun karena dikemukakan
oleh ‘pemimpin’ atau ‘ahli’ dengan penuh keyakinan dan semangat, maka orang
awam harus menganggap pendapat itu sebagai sebuah kebenaran. ‘The Master always Says The Truth’,
begitulah ungkapan yang layak pada masa ini.
Tradisi pada masa ini memegang peranan yang amat
penting, sampai sekarang pun masih ada ‘kenyataan’ yang bersumber dari tradisi
ini. Para petani yang menerangkan bahwa ia menggilir tanamannya secara teratur
dari musim ke musim, karena banyak nenek moyang mereka berbuat demikian. Hal
ini menunjukkan betapa tradisi telah menguasai cara berfikir, dan cara kerja
seseorang sampai berabad-abad lamanya. Namun demikian, mempercayai tradisi
karena tradisi, serta mempercayai tradisi karena kebenaran, adalah sesuatu
tingkat kepercayaan yang berbeda secara kualitatif.
3. Periode
Speculation and Argumentation
Doktri-doktrin yang disodorkan dengan penuh
semangat dan keyakinan oleh tokoh-tokoh penguasa mulai diragukan. Dengan
senjata ketajaman dialektika dan ketangkasan bicara, orang mulai
berkelompok-kelompok mengadakan diskusi dan debat untuk mencari kebenaran.
Spekulasi dilawan dengan spekulasi, serta argumentasi dilawan pula dengan
argumentasi.
Perkembangan pengetahuan pada masa ini sangat
menderita, karena orang terlalu mendewakan akal dan ketangkasan lidahnya.
Seolah-olah satu-satunya kebenaran adalah apa yang dapat dicapai oleh akal
(fikiran), dan ucapan semata-mata. Hal ini sangat berbeda dengan periode berikutnya, dimana orang mulai
memberi tempat sepatutnya kepada empiri, dan memadukan cara-cara berfikir
deduktif dan induktif.
4. Periode
Hypothesis and Experimentation
Berdasarkan pemikiran bahwa semua peristiwa dalam
alam semesta ini dikuasai oleh pola-pola tertentu, orang mulai berusaha
sekeras-kerasnya untuk mencari rangkaian pola-pola itu, untuk menerangkan
sesuatu kejadian. Mula-mula orang mempergunakan ketajaman fikirannya untuk
membuat dugaan-dugaan (hipotesa), kemudian mengumpulkan fakta, dari fakta
tersebut dibuatlah kesimpulan umum yang menguasai fakta-fakta itu. Sudah dapat
dipastikan bahwa kesimpulan itu tidak sesalu cocok dengan dugaan awal, maka
diperlukan analisa yang cermat dan tajam, terhadap fakta yang diperolah dari
eksperimen.
Dalam studinya di
perguruan tinggi, setiap mahasiswa barangkali diminta menyelenggarakan suatu
penelitian, baik dalam bentuk yang sederhana maupun dalam bentuk yang qualified. Di perguruan tinggi dikenal
empat macam penelitian ilmiah, yaitu ; (1) Term Paper, (2) Field Study, (3)
Thesis, dan (4) Disertasi (Sutrisno Hadi. 2000 : 9 – 11).
1. Term
paper
Ada macam-macam nama yang
digunakan untuk menyebut Term Paper,
misalnya ‘report of reading’, ‘naskah
semester’, ‘naskah pembahasan’, dan semacamnya. Adapun ciri-ciri term paper
atau naskahnya sebagai berikut.
a.
Ditulis
untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian suatu mata kuliah tertentu.
b.
Melaporkan
apa yang sudah dan dapat diketahui oleh mahasiswa, tidak diminta
penemuan-penemuan pengetahuan yang belum tersedia.
c.
Harus
diselesaikan dalam waktu yang sangat terbatas, dan ditulis menurut tata tulis
yang telah ditetapkan.
d.
Meskipun
tidak diharapkan suatu pembahasan yang mendalam, namun tidak boleh merupakan
kumpulan dari serangkaian kutipan yang mentah, dari artikel-artikel atau
buku-buku yang ditunjukkan.
Untuk menyelesaikan suatu term paper, biasanya tidak diminta lebih dari suatu library
research. Judul atau pokok permasalahannya mungkin diberikan oleh dosen,
mungkin juga diminta memilih dari suatu daftar topik, dan mungkin pula
mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih sendiri. Semuanya masih dalam
lingkungan wilayah mata kuliah yang bersangkutan. Maksud dari penulisan term paper pada umumnya adalah sebagai
berikut.
a.
Memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk menguasai lebih mendalam mata kuliah yang
bersangkutan.
b.
Memberi
kesempatan untuk memperluas cakrawala mahasiswa tentang mata kuliah yang
bersangkutan.
c.
Memberi
kesempatan kepada dosen untuk menilai kemampuan mahasiswa, dalam mengumpulkan,
mengatur, dan melaporkan bahan-bahan studi dalam sistematika yang logis.
d.
Menjadi
sebagian dari dasar-dasar pemberian nilai dalam mata kuliah yang bersangkutan.
2. Field
Study
Tujuan umum dari field study adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
mempersiapkan diri, dalam menghadapi persoalan-persoalan yang konkret di
lapangan. Persiapan ini lebih dititikberatkan pada segi formal daripada segi material.
Sesuatu yang sangat diperlukan bukan penemuan baru, namun lebih
mementingkan bagaimana mahasiswa meng approuch suatu persoalan yang konkret.
Sudah barang tentu mahasiswa lebih diharapkan untuk mandiri dalam pekerjaannya,
daripada meminta tolong dan nasehat-nasehat dari pembimbing, konsultan atau
sponsornya. Secara metodologis mahasiswa harus mampu mendemonstrasikan
cara-cara yang tepat, baik dalam mengumpulkan data, menganalisis, serta menyimpulkannya. Field study berbeda dengan term
paper dalam tiga hal.
a.
Field study tidak ditulis untuk memenuhi salah satu syarat
dari suatu mata kuliah, melainkan jauh lebih luas mengenai banyak hal
aspek-aspek spesialisasi, dan meliputi beberapa mata kuliah.
b.
Field study tidak didasarkan atas library research, melainkan atas field research, dan dilakukan di kancah terjadinya fenomena.
c.
Field study ditulis dalam bentuk laporan akademik.
3. Thesis
Sama halnya dengan field study, thesis harus diselenggarakan secara tertib dan cermat
dalam segi metodologis. Thesis dan atau Skripsi[1] meminta sumbangan material, yaitu
penemuan-penemuan baru dari segi tata kerja, dalil-dalil, dan atau hukum-hukum
tertentu tentang salah satu aspek atau lebih, dalam suatu lapangan
spesialisasinya.
Sepanjang belum diketemukan kenyataan atau bukti-bukti
yang menyangkal kebenaran suatu thesis, maka kebenaran dalam thesis masih
dianggap benar. Oleh karena itu dalam menyusun thesis harus sangat hati-hati,
bukan saja oleh thesa-thesa yang dikemukakan dipandang sebagai kebenaran, namun
juga thesis merupakan monumen abadi dari segi kemampuan penyusunnya. Dalam
menyusun thesis biasanya dibuat abstrak, yang merupakan rangkaian jalinan dari
hal ihwal permasalahan, hingga hasil akhir dari temuan di lapangan.
4. Disertasi
Thesis dipersiapkan untuk memenuhi sebagian dari
syarat memperoleh gelar sarjana,
master/magister, atau gelar yang sederajat. Disertasi dipersiapkan untuk
promosi mencapai derajat Doktor (DR), atau Philosophical Doctor (Ph.D). Tidak
banyak perbedaan antara thesis dengan disertasi, kecuali dalam intensitas dan
ekstensi pokok persoalan yang dititikberatkan. Disertasi sudah jelas harus
lebih luas, lebih mendalam dan lebih terperas (exhausted). Konklusinya harus
mempunyai kemungkinan generalisasi yang lebih luas daripada thesis. Atas dasar
pengetahuan-pengetahuan spesialisasinya, seorang penyusun disertasi harus mampu
bekerja sendiri sepenuhnya. Bila dalam thesis seorang mahasiswa harus dibimbing
oleh satu atau dua orang pembimbing, maka dalam disertasi dikenal dengan
istilah Promotor (pembimbing disertasi) dan Promovendus (mahasiswa promosi).
Evaluasi
1.
Jelaskan
konsep kebenaran menurut Agama, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan, jelaskan pula
antara ketiganya.
2.
Jelaskan
fase perkembangan metodologi penelitian, berikan pula contoh-contohnya.
3.
Jelaskan
dan bedakan macam-macam penelitian ilmiah yang ada di perguruan tinggi.
Referensi :
1.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid
I. Yogyakarta : Andi Offset.
2.
Hadari
Nawawi. 1983. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3.
Saifuddin
Azwar. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[1] Di Indonesia dibedakan antara Thesis dengan Skripsi, Thesis disusun
untuk memperoleh gelar Magister (S2), sedangkan Skripsi untuk memperoleh gelar
Sarjana (S1). Thesis selain meminta sumbangan pemikiran dan penemuan baru, juga
diarahkan untuk menguji sebuah teori
sesuai dengan bidang spesialisasinya.
BAB II
PERKEMBANGAN PENEMUAN
KEBENARAN
Tujuan Instruksional
Khusus
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan
mampu :
a.
Menjelaskan
paradigma ilmu dalam kegiatan penelitian.
b.
Menjelaskan
berbagai macam kebenaran dari berbagai sudut dan fase perkembangan.
c.
Menjelaskan
dan menerapkan konsep berfikir yang logis dan rasional.
A. Konsep
Kebenaran dan Paradigma Ilmu
Manusia sebagai makhluk berfikir
mempunyai kecenderungan untuk selalu memahami dunianya. Keingintahuan akan diarahkan
pada pertanyaan mendasar yang sama sepanjang masa. Apakah sebenarnya dunia ini
?, bagaimana kita dapat memahaminya ? bagaimana kita dapat mengendalikannya ?,
dan akhirnya bagaimana kebenaran mengenai masalah-masalah tersebut ?
Konsep tentang kebenaran adalah suatu yang sukar untuk
ditangkap (Julienne Ford dalam Lincoln & Guba, 1985). Tales (1975)
menyatakan bahwa istilah kebenaran bisa memiliki empat macam arti yang berbeda,
yaitu ; kebenaran empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, dan kebenaran metafisis.
1. Kebenaran
empiris, adalah kebenaran yang biasa digunakan oleh para ilmuwan, merupakan
suatu pernyataan dalam bentuk hipotesis atau sebutan (penerimaan atau penolakan
sesuatu), jika ia sejalan dengan alam atau preserves
the appearances. Kebenaran model ini sesuai dengan teori korespondensi,
yang merumuskan bahwa ‘suatu pernyataan adalah benar, jika materi yang
dikandung pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain, ‘suatu kalimat observasi
adalah benar, jika ia berhubungan dengan kenyataan atau realitasnya’.
2. Kebenaran
logis, adalah bila kebenaran merupakan pernyataan logis atau matematis, sejalan
dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai kebenaran. Kebenaran ini
sejalan dengan teori koherensi, yang menyatakan bahwa suatu kalimat observasi
adalah benar, jika ia dapat dibuktikan dengan suatu teori tertentu (Lincoln
& Guba, 1985), atau bersifat koheren/konsisten dengan pernyataan yang
sebelumnya sudah dianggap benar (Jujun S. Suriasumantri, 1985).
3. Kebenaran
etis, adalah suatu pernyataan adalah benar, jika seseorang yang menyatakannya
berbuat sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau profesional.
Dengan demikian, ukuran kebenaran model ini sangat tergantung pada ruang dan
waktu. Artinya, ada kemungkinan kebenaran itu dapat diterima pada wilayah
tertentu, namun ditolak di wilayah yang lain. Demikian pula, ada kemungkinan
kebenaran itu zaman dulu ditolak, namun pada zaman sekarang kebenaran itu dapat
diterima.
4. Kebenaran
metafisis, sangat berbeda dengan kebenaran yang lain, dengan pengertian bahwa
suatu pernyataan sebagai kebenaran ia tidak dapat diuji kebenarannya, dengan
dihadapkan pada beberapa norma eksternal, semacam kesesuaian dengan alam,
penarikan kesimpulan logis ataupun ukuran pelaksanaan profesional. Dengan kata
lain, kebenaran ini harus diterima apa adanya, karena kepercayaan dasarnya
tidak dapat dibuktikan dengan ketidakbenaran (yang dianggap benar oleh teori
kebenaran yang lain). Kebenaran ini menghadirkan batas akhir yang berbeda dari
segalanya yang teruji.
Selanjutnya beragam kepercayaan dasar atau metafisis
semacam itu, kadang-kadang dibentuk menjadi suatu sistem gagasan yang lengkap.
Kemudian seperangkat kepercayaan sistematis semacam itu, berikut metode-metode
yang menyertainya disebut Paradigma. Paradigma menggambarkan pembuatan intisari
mengenai apa yang kita fikir, tentang dunia yang tidak dapat kita buktikan.
Kegiatan kita di dunia, termasuk kegiatan kita sebagai ilmuwan atau peneliti,
tak dapat terjadi tanpa acuan pada paradigma tersebut. Sebuah paradigma adalah
sebuah pandangan dunia sebagai perspektif umum, suatu cara mengurai kerumitan
dunia nyata. Berbagai paradigma terpancang secara mendalam pada sosialisasi
para penganut dan pelaksananya. Paradigma menjelaskan kepada mereka ‘apa yang
sah, penting, dan beralasan’. Paradigma juga bersifat normatif, yaitu
menjelaskan kepada pelaksananya apa yang perlu dilakukan, tanpa perlunya
konsiderasi epistemologis atau eksistensial. Hal ini merupakan aspek paradigma
yang membentuk kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatannya adalah di dalam
membuat kegiatan menjadi mungkin. Kelemahannya adalah di dalam alasan yang
mendalam bagi kegiatan tersebut, yang tersembunyi dalam asumsi-asumsi paradigma
yang tidak bisa dipertanyakan lagi.
B. Penemuan Kebenaran dan Silogisme
Penerimaan
pengetahuan sebagai sebuah kebenaran, dipengaruhi pula oleh cara mengungkapkan
atau menemukannya. Untuk dapat sampai pada cara penemuan kebenaran sekarang
ini, telah memakan waktu yang cukup lama dan bertingkat-tingkat. Perkembangan
cara mengungkapkan kebenaran yang
bertahap itu sebagai berikut.
1.
Penemuan Kebenaran secara Kebetulan.
Suatu peristiwa
yang tidak disengaja kadang-kadang
menghasilkan suatu kebenaran, yang menambah perbendaharaan pengetahuan
manusia, karena kebenaran tersebut sebelumnya tidak diketahui. Dalam penemuan
kebenaran ini manusia bersifat pasif dan menunggu. Cara ini tidak mungkin
membawa sebuah perkembangan yang diharapkan, karena suatu kebetulan selalu
berada dalam keadaan yang tidak pasti, datangnya tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya dan tidak terencana. Oleh
karena itu, kebenaran model ini tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam
metode keilmuan untuk menggali kebenaran pengetahuan.
2.
Penemuan Kebenaran dengan cara Trial and
Error.
Trial berarti
mencoba, dan Error adalah gagal,
maksudnya mencoba sesuatu secara berulang-ulang, walaupun selalu menemui
kegagalan, yang pada akhirnya menemukan kebenaran. Cara ini telah menempatkan
seseorang menjadi aktif dalam usaha mencari kebenaran, meskipun sebenarnya
tidak mengetahui secara pasti tentang sesuatu tujuan yang ingin dicapainya.
Meskipun manusia telah menunjukkan suatu aktivitas dalam mencari kebenaran,
namun cara ini masih mengandung unsur untung-untungan. Di samping itu, cara ini
kerap memerlukan waktu yang lama, karena kegiatan mencoba itu tidak dapat
direncanakan, tidak terarah dan tidak diketahui tujuannya. Dengan kata lain,
cara ini terlalu meraba-raba, tidak pasti dan tanpa pengertian yang jelas. Oleh
karena itu, cara ini tidak dapat dijadikan sebagai metode keilmuan, karena
tidak sistematik dan untung-untungan.
3.
Penemuan Kebenaran melalui Otoritas Ilmiah.
Di dalam masyarakat
sering ditemui orang-orang yang karena kedudukan atau pengetahuannya sangat
dihormati atau dipercaya. Orang tersebut memiliki kewibawaan yang besar di
lingkungan masyarakatnya, sehingga pendapatnya banyak diterima sebagai
kebenaran. Kepercayaan pada pendapatnya itu tidak saja dikarenakan
kedudukannya, namun juga karena keahliannya pada bidang tertentu. Pandangan
seperti ini kadang berguna pula, terutama dalam merangsang dan memberi landasan
dalam usaha penemuan-penemuan baru, di kalangan orang yang menyangsikannya.
Akan tetapi cara ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah, karena lebih
banyak diwarnai oleh subyektivitas dari orang yang mengemukakan pendapat
tersebut.
4.
Penemuan Kebenaran secara Spekulatif.
Cara ini mengandung
kesamaan dengan cara Trial and Error,
karena mengandung unsur untung-untungan. Oleh karena itu cara ini dapat digolongkan
sebagai cara Trial and Error yang
teratur dan terarah. Dalam prakteknya seseorang telah menyadari adanya masalah
yang dihadapi, kemudian mencoba meramalkan berbagai kemungkinan atau alternatif
pemecahannya. Kemudian tanpa meyakini betul-betul tentang ketepatan salah satu
alternatif yang dipilihnya, ternyata dicapai suatu hasil yang memuaskan sebagai
suatu kebenaran. Dalam hal ini seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan, dan
harus memilih salah satu untuk dapat memecahkan permasalahan, walaupun tanpa
meyakini bahwa pilihannya itu sebagai cara yang tepat. Dalam hubungan ini
sering orang yang memiliki intuisi
tajam, yang memungkinkan penggunaan cara spekulatif ini membawa pada kebenaran.
Akhirnya cara inipun tidak dapat dijadikan model dalam mengungkapkan kebenaran
ilmiah. Unsur untung-untungan dalam memilih alternatif, menyebabkan penemuan
kebenaran bersifat meraba-raba, sehingga kemungkinan gagal lebih besar daripada
keberhasilan.
5.
Penemuan Kebenaran melalui cara Berfikir
Kritis dan Rasional.
Kemampuan berfikir
yang dimiliki manusia telah banyak menghasilkan kebenaran, baik yang bertolak
dari pengalaman maupun yang melampaui atau mengatasi pengalaman. Kebenaran itu
diungkapkan melalui proses berfikir rasional, kritis dan logis. Dalam proses berfikir
itu seseorang menghadapi masalah, kemudian berusaha menganalisanya dengan
mempergunakan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya, untuk sampai pada
pemecahan yang terbaik.
Pada tahap awal ditempuh dua cara berfikir, yaitu cara
berfikir analitik (deduktif), dan cara berfikir sintetik (induktif). Pada tahap
berikutnya usaha menemukan kebenaran melalui proses berfikir rasional, kritis
dan logis.
5.1.
Cara Berfikir Analitik (Deduktif)
Cara berfikir ini bertolak dari
pengertian bahwa sesuatu yang berlaku bagi keseluruhan peristiwa, kelompok atau
jenis, berlaku pula bagi tiap-tiap unsur di dalam peristiwa, kelompok atau
jenis tersebut. Cara berfikir deduktif semacam ini akan mencapai pengetahuan
yang benar, dengan mempergunakan silogisme sebagai alat. Silogisme adalah suatu
argumentasi yang terdiri dari tiga buah proposisi (pernyataan), yang
membenarkan atau menolak suatu perkara. Dua proposisi yang pertama disebut
premis mayor dan premis minor, sedangkan proposisi yang ke tiga disebut
kesimpulan atau konklusi.
Beberapa
jenis silogisme adalah sebagai berikut.
5.1.1. Silogisme Kategorik
Semua
manusia pasti mati (premis mayor).
Suharto
adalah manusia (premis minor).
Jadi
Suharto pasti mati (konklusi).
Dalam
silogisme ini premis mayor memiliki kebenaran mutlak. Hubungan premis mayor
dengan premis minor sangat terkait, sehingga secara logis proposisi yang ketiga
atau konklusinya akan menjadi benar.
5.1.2. Silogisme Kondisional (Bersyarat)
Jika
kabel listrik yang tidak terbungkus saling bersentuhan pada saat ada aliran,
maka lampu akan mati (premis mayor).
Sekarang
ada aliran listrik, dan lampu di rumah Amin mati (premis minor).
Jadi ada
kabel listrik di rumah Amin yang tidak terbungkus dan bersentuhan (konklusi).
Dalam
silogisme jenis ini premis mayornya tidak mengandung kebenaran yang mutlak.
Akan tetapi ada faktor-faktor tertentu yang tidak dapat dikuasai, sehingga
dalam kondisi-kondisi tertentu tidak menunjukkan ciri-ciri yang pasti. Jadi,
berapa besarnya kebenaran yang dikandung oleh suatu penarikan kesimpulan,
sangat tergantung sekali pada berapa besarnya kebenaran yang dikandung oleh
premis mayornya.
5.1.3. Silogisme Alternatif atau Pilihan
Aminah
harus menikah atau melanjutkan sekolah (mayor).
Aminah
tidak akan melanjutkan sekolah (minor).
Jadi
Aminah harus menikah (konklusi).
5.1.4. Silogisme Disjungtif atau Melerai
Tidak
mungkin mahasiswa yang belajar dengan tekun dengan yang tidak belajar akan
mendapat nilai bagus (mayor).
Seorang
mahasiswa sama sekali tidak belajar (minor).
Jadi
tidak mungkin (kecil kemungkinannya) ia akan mendapat nilai yang bagus
(konklusi).
5.2. Cara Berfikir
Sintetik (Induktif)
Cara berfikir ini
bertolak dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus, atau fakta-fakta
yang bersifat individual, untuk sampai pada kesimpulan yang bersifat umum. Oleh
karena itu, cara berfikir sintetik ini disebut pula berfikir induktif. Ada tiga
jenis berfikir induktif, yaitu ; induksi komplit, induksi sistem Bacon,
dan induksi tidak komplit.
5.2.1. Induksi Komplit
A penduduk
desa X menjadi nelayan.
B
penduduk desa X menjadi nelayan.
C
penduduk desa X menjadi nelayan.
D
penduduk desa X menjadi nelayan.
. penduduk desa X menjadi nelayan.
. penduduk desa X menjadi nelayan.
Z
penduduk desa X menjadi nelayan.
Jadi
semua penduduk desa X menjadi nelayan.
5.2.2. Induksi Sistem Bacon
Francis
Bacon adalah seorang tokoh empirisme, dia menolak cara berfikir deduktif, dan
menganjurkan untuk menentukan ciri-ciri dari setiap gejala yang dihadapinya.
a. Pencatatan
ciri-ciri positif, yaitu gejala-gejala yang pasti timbul, jika terdapat suatu
peristiwa atau kondisi.
b. Pencatatan
ciri-ciri negatif, yaitu gejala-gejala yang tidak timbul, jika terdapat suatu
peristiwa atau kondisi.
c. Pencatatan
variasi gejala, yaitu ada tidaknya perubahan gejala, jika terjadi perubahan
pada suatu peristiwa atau kondisi.
5.2.3. Induksi Tidak Komplit
Induksi
ini tidak mendasarkan kesimpulannya dari hasil
pengamatan terhadap semua obyek. Kesimpulan dirumuskan dengan
mempergunakan sebagian dari hasil pengamatan terhadap obyeknya, akan tetapi
berlaku bagi keseluruhan.
Induksi
tidak komplit ini kemudian mendasari kegiatan penelitian ilmiah, khususnya
dalam penentuan obyek sebagai sumber data. Oleh karena itu, pembahasan secara
lebih mendalam akan dilanjutkan pada bab populasi dan sampel.
6.
Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah
Dewasa ini penemuan
kebenaran yang paling mungkin memberi pengetahuan yang benar, dalam arti yang
sesuai dengan obyeknya (obyektif), dilakukan dengan melalui kegiatan
penelitian. Kegiatan penelitian dilakukan sebagai usaha untuk menjawab
pertanyaan, mengapa sesuatu demikian ?, atau mengapa harus demikian ? Kegiatan
itu pada dasarnya bermaksud membentengi
dalam menarik kesimpulan sebagai suatu kebenaran, dengan mengajukan
bukti-bukti yang meyakinkan, yang dikumpulkan melalui prosedur yang sistematik,
jelas, terkontrol, dan dapat dipertanggungjawabkan. Langkah-langkah penelitian
ilmiah secara umum adalah sebagai berikut.
a. Perumusan
dan pembatasan masalah serta tujuan penelitian.
b. Merangkai
dan menetapkan kerangka teori, sebagai titik tolak pemikiran, melalui kegiatan
penelaahan atau studi kepustakaan.
c. Merumuskan
kerangka konsep, sebagai gambaran umum kemungkinan pemecahan masalah.
d. Merumuskan
hipotesis (bila diperlukan), sebagai dugaan pemecahan masalah yang bersifat
sementara berdasarkan kerangka konsep, yang merupakan pula kesimpulan umum yang
akan dirumuskan apabila ternyata benar. Hipotesa dirumuskan sebagai jawaban
atau kesimpulan sementara dari masalah yang dihadapi, dan masih harus diuji
kebenaran atau ketidakbenarannya.
e. Memilih
dan menetapkan metode atau cara kerja, lengkap dengan teknik dan alat pengumpul
datanya, termasuk pula menentukan sumber data (populasi dan sampel).
f.
Pengumpulan, pengolahan, dan analisis data.
g. Menguji
hipotesa (bila ada) untuk merumuskan kesimpulan, serta implementasi hasil
penelitian yang dapat digunakan pada penelitian masa mendatang.
h. Publikasi
hasil penelitian dalam bentuk tata tulis ilmiah, agar mudah dikomunikasikan
dengan pihak bagi yang memerlukannya, baik mengenai aspek-aspek yang bersifat
teoritis maupun praktis.
1. Jelaskan
tentang kebenaran empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, dan kebenaran
metafisis.
2. Jelaskan
dengan contoh fase perkembangan dalam menemukan kebenaran.
3. Apa yang
dimasud dengan berfikir deduktif dan induktif, bagaimana pula penerapannya
dalam penelitian ilmiah.
4. Jelaskan
langkah-langkah penelitian ilmiah, bagaimana bila langkah tersebut tidak
lengkap atau terbalik, bolehkah hal tersebut dilakukan oleh peneliti, uraikan
alasan anda.
5. Haruskah
suatu hasil penelitian dipublikasikan ?, bagaimana jika tidak, uraikan alasan
anda.
Referensi :
1. Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
2. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
3. Winarno
Surachmad. 1965. Metode Penelitian, Pengantar Penyelidikan Ilmiah, Dasar dan
Metode. Bandung : CV. Jemars.
4. Sutopo.
1996. Metodologi Penelitian Kualitatf. Surakarta : Buku Pegangan Kuliah,
Universitas Sebelas Maret.
5. Yuyun S.
Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar
Harapan.
BAB III
PERUMUSAN MASALAH
Tujuan
Instruksional Khusus
Setelah
mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Mengidentifikasi masalah serta merumuskan
masalah
b.
Menjelaskan dan mengaplikasikan analisis
perumusan masalah
c.
Menjelaskan dan menguasai prinsip-prinsip
perumusan masalah
A. Pembatasan
Masalah
Masalah
bukan sekedar pertanyaan, dan berbeda pula dengan tujuan. Masalah adalah suatu
keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih, yang
menghasilkan situasi yang membingungkan (Guba, 1978:44; Lincoln dan Guba,
1985:218; dan Guba dan Lincoln, 1981:88). Faktor yang berhubungan tersebut
dalam hal ini mungkin berupa konsep, data empiris, pengalaman, atau unsur yang
lainnya. Bila kedua faktor itu didudukkan secara berpasangan, akan menghasilkan
sejumlah kesulitan, yaitu sesuatu yang tidak difahami, atau tidak dapat
diterangkan pada waktu itu. (Periksa Moleong : 62)
Setiap penelitian memerlukan kejelasan
tentang apa yang hendak diungkapkan, yaitu berupa masalah yang realistis dan
patut diselidiki. Sedemikian banyak masalah dalam kehidupan manusia,
mengharuskan seorang peneliti bersikap kritis dan selektif, sebelum memutuskan
salah satu di antara sekian banyak masalah yang dihadapi. Untuk itu, masalah
penelitian harus tampak atau dirasakan sebagai suatu tantangan yang
menggerakkan manusia (khususnya peneliti), untuk mencari pemecahannya. Untuk
membantu dalam proses penyeleksian masalah, yang tidak dapat diperkirakan
jumlahnya, dapat dipergunakan kriteria-kriteria sebagai berikut (Hadari Nawawi.
1995 : 36).
1. Masalah
penelitian harus merupakan sesuatu yang berguna untuk dipecahkan. Prinsip
kegunaan ini dapat ditinjau dari berbagai sudut, setidaknya dari sudut
manfaatnya, baik secara teoretis maupun praktis. Secara sederhana berarti
seorang peneliti harus menyadari bahwa dengan memecahkan masalah yang
dipilihnya, akan diperoleh sesuatu yang berguna, baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
maupun bagi kepentingan kehidupan manusia.
2. Peneliti
harus memiliki kemampuan yang memadai untuk memecahkan masalah yang diselidiki.
Pemecahan masalah penelitian secara menyeluruh dan tuntas, sangat tergantung
pada kemampuan yang dimiliki oleh seorang peneliti. Pemecahan masalah secara
dangkal, karena kurangnya kemampuan peneliti dalam mengungkapkannya, tidak akan
banyak kegunaannya. Oleh karena itu, sebelum memutuskan salah satu dari sekian
banyak masalah, seorang peneliti harus melakukan introspeksi, tentang
kemampuannya dalam memecahkan masalah tersebut. Kemampuan yang harus dimiliki
seorang peneliti menyangkut dua aspek. Pertama, berupa kemampuan yang berkenaan
dengan penguasaan materi pengetahuan. Ke dua, kemampuan melakukan penelitian,
sebagai jaminan ilmiah yang bersifat maksimal, tentang kemungkinan menghasilkan
kebenaran yang obyektif, dalam memecahkan masalah yang akan dipilih.
3. Masalah
harus menarik untuk dipecahkan.
Seorang peneliti
harus memiliki motif yang kuat dalam memilih salah satu dari sekian banyak
masalah. Masalah yang tidak menarik perhatian peneliti, tidak akan diiringi
dengan perasaan bertanggung jawab, dan kesungguhan dalam mencari pemecahannya.
Pada akhirnya tidak akan menimbulkan rasa puas terhadap hasil yang diperoleh, karena
cenderung bersifat dangkal.
Suatu masalah tidak
menarik mungkin terlalu sulit, memerlukan waktu terlalu lama, terlalu luas,
terlalu sederhana, tidak berhubungan dengan keahlian, atau tidak mendapat
dukungan dari masyarakat dan para ahli. Masalah yang tidak menarik bukan saja
akan menimbulkan ketidaksungguhan dalam pemecahannya, tetapi mungkin pula akan
terbengkalai, sehingga dana yang telah dipergunakan akan sia-sia.
4. Masalah
yang diselidiki sedapat mungkin akan menghasilkan sesuatu yang baru.
Masalah yang sudah
pernah diselidiki, atau secara umum dan teoretis diakui kebenarannya, tidak
banyak gunanya untuk diteliti kembali. Apalagi jika hanya akan menghasilkan
sesuatu yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya. Masalah seperti itu hanya
pantas diteliti, jika si peneliti berdasarkan hasil pemikiran rasional yang
mendalam, dan melalui studi kepustakaan yang cukup, memiliki keyakinan akan
menghasilkan kesimpulan lain yang berbeda, atau lebih baik dari hasil
penelitian sebelumnya, atau dari pengetahuan yang diterima kebenarannya secara
umum, bila dilakukan penelitian ulang. Untuk meyakini bahwa pemecahan masalah
akan menghasilkan sesuatu yang baru, diperlukan pengetahuan yang luas dan
menyeluruh dalam bidang masing-masing, khususnya yang berkenaan dengan masalah
yang akan diteliti.
5. Peneliti
harus meyakini bahwa data dapat dihimpun secara cukup dan relevan.
Pemecahan masalah
akan menghasilkan kesimpulan yang dalam dan
obyektif, bila dapat dihimpun data secara lengkap. Untuk itu, dalam
memilih masalah untuk diteliti, perlu dipertimbangkan tersedia tidaknya sumber
data, kemungkinan memperoleh data, tersedia tidaknya alat pengumpul data,
tersedia tidaknya beaya dan tenaga. Dari sisi data yang akan dihimpun, peneliti
tidak boleh bersikap berat sebelah, dalam arti hanya akan menghimpun data yang
akan mendukung teorinya, atau sebaliknya hanya akan bertentangan dengan teori
yang tidak disetujuinya. Data yang cukup harus dihimpun, baik yang mendukung
maupun yang menolak sesuatu yang akan dibuktikan kebenarannya. Dari sisi sumber
data harus diusahakan kecukupannya, terutama bila tidak seluruh sumber data
akan diteliti.
6. Masalah
penelitian tidak boleh terlalu luas, tetapi juga tidak boleh terlalu sederhana.
Masalah penelitian
yang terlalu luas kerapkali sulit untuk diselesaikan, tidak saja karena
banyaknya aspek-aspek yang harus diungkapkan, tetapi juga mungkin akan
dihadapkan pada kesulitan tenaga, beaya,
dan keterbatasan waktu. Sebaliknya masalah yang terlampau sempit atau sederhana,
kerapkali akan kehilangan makna untuk diselidiki dan diungkapkan secara ilmiah.
Dengan demikian, masalah yang terlalu luas tidak jelas batas-batasnya,
sedangkan masalah yang terlalu sempit akan kehilangan bobot ilmiahnya.
B.
Merumuskan
Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
Setiap
penelitian memerlukan kejelasan titik
tolak atau landasan berfikir, dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk
itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok fikiran, yang
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti. Uraian dalam kerangka
teori merupakan hasil berfikir rasional yang dituangkan secara tertulis,
meliputi aspek-aspek yang terdapat di dalam masalah dan atau sub masalah-sub
masalah. Seluruh aspek itu harus diuraikan secara sistematik dengan
memanfaatkan teori-teori, hukum-hukum, dalil-dalil, prinsip-prinsip,
generalisasi-generalisasi, dan bahkan pendapat-pendapat dan gagasan-gagasan
yang telah diterima kebenarannya, di dalam bidang ilmu yang relevan dengan
masalah yang diselidiki. Semua bahan tersebut diperoleh dari buku bacaan dan
bahan literatur lainnya, kemudian dirumuskan sebagai suatu uraian yang
menyeluruh, agar memungkinkan masalah penelitian dapat dianalisa secara luas
dan mendalam. Kerangka teori ini secara bersama-sama dengan kerangka konsep,
sering disebut sebagai Penelaahan Kepustakaan atau Studi Literatur (Nawawi :
39).
Kerangka
Konsep dapat berupa teori-teori baru yang akan diuji, atau pengembangan
teori-teori yang sudah ada, dan bahkan berupa kemungkinan-kemungkinan
implementasi hasil penelitian bagi kehidupan. Perumusan Kerangka Konsep itu
merupakan bahan yang akan menuntun dalam merumuskan hipotesis penelitian.
Dari
uraian di atas, jelas bahwa perumusan Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
memerlukan sebanyak mungkin literatur ilmiah, dalam bidang ilmu yang relevan
dan terbaru. Penggunaan literatur lama masih tetap dimungkinkan, sepanjang di
dalamnya terkandung bahan-bahan yang tidak kehilangan bobot ilmiahnya.
C.
Prinsip-prinsip
Perumusan Masalah
Perlu
dikemukakan di sini, bahwa prinsip-prinsip yang disajikan dimaksudkan sebagai
pegangan bagi para peneliti, maupun bagi para dosen dalam melatih mahasiswa.
Prinsip yang disajikan bersifat luwes, artinya dapat tidaknya dipergunakan
seluruh atau sebagian diserahkan kepada peneliti atau dosen yang bersangkutan.
Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya disajikan sebagai berikut (Moleong : 76)
1. Prinsip
yang Berkaitan dengan Teori Dasar
Peneliti hendaknya
selalu menyadari bahwa perumusan masalah dalam penelitiannya, didasarkan atas
upaya menemukan teori sebagai dasar acuan utama. Dengan hal itu berarti bahwa
masalah sebenarnya terletak dan berada di tengah-tengah kenyataan, atau fakta,
atau fenomena. Jadi perumusan masalah di sini adalah sekedar arahan, bimbingan,
atau acuan pada usaha untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Masalah yang
sesungguhnya baru akan dapat dirumuskan apabila peneliti sudah berada dan
mulai, bahkan sedang mengumpulkan data. Perumusan masalah yang dilakukan itu
merupakan aplikasi dari asumsi, bahwa suatu penelitian tidak mungkin dimulai
dari sesuatu yang kosong.
2. Prinsip
yang Berkaitan dengan Faktor
Fokus atau masalah
merupakan rumusan yang terdiri atas dua atau lebih faktor, yang menghasilkan
kebingungan. Faktor-faktor itu dapat berupa konsep, peristiwa, pengalaman, atau
fenomena. Definisi tersebut mengarahkan pada tiga aturan tertentu, yang perlu
dipertimbangkan oleh peneliti pada waktu merumuskan masalah, yaitu ; (1) adanya
dua faktor atau lebih, (2) faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu hubungan
yang logis atau bermakna, dan (3) hasil pekerjaan menghubungkan tadi berupa
suatu keadaan yang membingungkan, suatu keadaan berupa tanda tanya, yang
memerlukan pemecahan, atau upaya untuk menjawabnya. Upaya itulah yang dilakukan
peneliti untuk menjawab atau memecahkan persoalannya, dan hal itu biasa dinamakan
dengan Tujuan Penelitian.
Hal itu membawa
peneliti agar tegas dalam memisahkan masalah dari tujuan penelitian. Namun yang
utama bagi peneliti ialah agar dalam perumusan masalahnya, ketiga aturan
tersebut diusahakan sedemikian rupa supaya dipenuhi. Jadi walaupun ada faktor,
jika tidak dikaitkan satu dengan lainnya secara bermakna, hal itu berarti belum
memenuhi persyaratan. Hubungan harus memenuhi keadaan berupa tanda tanya, jika
tidak demikian berarti juga belum memenuhi salah satu hal yang dikemukakan.
3. Prinsip
yang Berkaitan dengan Inklusi – Eksklusi
Sekali peneliti
terjun ke lapangan, ia akan kebanjiran data, baik melalui observasi
partisipasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan sebagainya. Perumusan fokus
yang baik yang dilakukan sebelum ke lapangan, dan yang mungkin disempurnakan
pada awal ia terjun ke lapangan, akan membatasi peneliti guna memilih mana data
yang relevan dan yang tidak. Data yang relevan dimasukkan dan dianalisis,
sedangkan yang tidak relevan dikeluarkan.
Dengan demikian,
peneliti dihadapkan pada beberapa hal berikut. Masalah yang dirumuskan secara
jelas dan tegas, akan merupakan alat yang ampuh untuk memilih data yang
relevan. Mungkin ada data yang menarik namun tidak relevan, maka harus
dikeluarkan. Dikeluarkannya yang tidak relevan bukan berarti dibuang, karena
bila peneliti suatu saat tertarik oleh masalah lainnya yang belum tercakup,
data yang dikeluarkan tadi masih dapat dimanfaatkan.
4. Prinsip
yang Berkaitan dengan Posisi Perumusan Masalah
Maksud dari istilah
posisi di sini tidak lain adalah kedudukan unsur rumusan masalah di antara
rumusan yang lainnya. Unsur-unsur penelitian lain yang erat kaitannya dengan
perumusan masalah adalah ‘latar belakang masalah’, ‘tujuan penelitian’, dan
‘metode penelitian’.
Prinsip posisi
menghendaki agar rumusan latar belakang penelitian didahulukan, karena latar
belakanglah yang memberikan ancang-ancang dan alasan diadakannya penelitian.
Prinsip lainnya ialah hendaknya rumusan masalah disusun lebih dahulu, baru
tujuan penelitian. Pada hakekatnya, tujuan penelitian akan berusaha memecahkan
dan menjawab pertanyaan pada masalah penelitian. Prinsip berikutnya menghendaki
agar sebaiknya rumusan masalah dipisahkan dari rumusan tujuan, walaupun hal ini
jangan diartikan bahwa keduanya tidak dapat dilakukan. Prinsip terakhir
menghendaki agar rumusan masalah tersebut dipisahkan dari metode penelitian,
karena perbedaan fungsi keduanya yang cukup menyolok.
5. Prinsip
yang Berkaitan dengan Hasil Kajian Kepustakaan
Peneliti pemula
atau yang belum berpengalaman, tampaknya akan cenderung mengabaikan kajian
kepustakaan dalam perumusan masalah. Pada dasarnya perumusan masalah itu tidak
dapat dipisahkan dari hasil kajian kepustakaan yang berkaitan. Hal tersebut
diperlukan untuk lebih mempertajam rumusan masalah, walaupun masalah yang
sesungguhnya bersumber dari data itu sendiri. Selain itu, kajian kepustakaan
tersebut mengarahkan serta membimbing peneliti, untuk membentuk kategori
substantif, walaupun sumber substantif bersumber dari data itu sendiri.
Sehubungan dengan
itu, prinsip yang perlu dipegang oleh peneliti ialah bahwa peneliti perlu
membiasakan diri agar dalam merumuskan masalah, ia senantiasa menyertakan
kajian kepustakaan yang relevan.
6. Prinsip
yang Berkaitan dengan Penggunaan Bahasa
Perumusan masalah
dilakukan pada waktu mengajukan usulan penelitian (proposal), dan diulangi
kembali pada waktu penulisan laporan penelitian. Rumusan masalah juga disajikan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur lainnya, pada waktu peneliti
mempublikasikan hasil temuannya, di majalah ilmiah ataupun di koran umum. Pada waktu menulis laporan atau
artikel hasil penelitian, hendaknya peneliti mempertimbangkan ragam pembacanya,
sehingga rumusan masalah yang diajukan dapat disesuaikan dengan tingkat
kemampuan pembacanya.
D.
Analisis
Perumusan Masalah
Perumusan
masalah yang baik harus mampu dianalisis atau dikaji. Pengkajian tersebut
didasarkan atas sejumlah kriteria, adapun kriteria-kriteria tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Apakah
rumusan masalah tersebut telah menghubungkan dua faktor atau lebih. Jika ya,
apakah dirumuskan secara proporsional, ataukah dalam bentuk diskusi, atau
gabungan kedua-duanya.
2. Apakah
rumusan masalah itu dipisahkan dari tujuan penelitian ? jika ya, apakah hanya
terdapat rumusan masalah atau dicampuradukkan dengan metode penelitian ? Jika
disatukan dengan tujuan penelitian, apakah masalah dipandang sama dengan tujuan
penelitian, ataukah tujuan penelitian dimaksudkan untuk memecahkan masalah ?
Apakah masalah-masalah yang disatukan dengan tujuan penelitian pada ‘masalah penelitian’,
dibahas juga metode penelitiannya ?
3. Apakah
uraiannya dalam bentuk deskriptif saja,
atau deskriptif disertai pertanyaan penelitian ?, ataukah dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan penelitian saja ?
4. Apakah
uraian masalah dipaparkan secara khusus, sehingga telah dapat memenuhi kriteria
‘inklusi-eksklusi’, ataukah masih demikian umumnya, sehingga kriteria itu tidak
akan terpenuhi ?
5. Apakah
kata ‘hipotesis kerja’ (bila ada) dinyatakan secara eksplisit, dan berkaitan
dengan masalah penelitian ?, ataukah hanya dinyatakan secara implisit ?
6. Apakah
secara tegas pembatasan studi dinyatakan dengan istilah fokus secara eksplisit atau tidak, dan apakah fokus itu merupakan masalah ?
Evaluasi:
1.
Jelaskan tentang langkah-langkah perumusan
masalah !
2.
Bagaimanakah langkah dalam analisis masalah
?
3.
Bagaimanakah prinsip-prinsip perumusan
masalah ?
Referensi:
1. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
2.
Aminuddin (ed). 1990. Pengembangan
Penelitian Kualitatif. Malang : HISKI
dan YA 3.
3.
Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
BAB IV
LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN ILMIAH
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
tahap-tahap penelitian ilmiah.
b.
Menjelaskan
dan mengaplikasikan langkah-langkah persiapan penelitian.
c.
Menjelaskan
dan mengaplikasikan langkah-langkah penelitian lapangan.
d.
Menganalisis
data dari dua macam model.
A. Tahap Pra Lapangan
Ada enam kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti,
dan ditambah satu pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika penelitian
lapangan. Kegiatan dan pertimbangan tersebut diuraikan sebagai berikut. (Moleong. 1996 : 86)
1. Menyusun
Usulan Penelitian
Usulan Penelitian atau biasanya disebut Proposal,
merupakan langkah awal yang harus disusun oleh seorang peneliti. Proposal
tersebut harus mencerminkan beberapa aspek penelitian yang akan dikerjakan.
Usulan tersebut bukan merupakan ‘pemindahan teori dan pengetahuan metode
penelitian’, melainkan berupa uraian secara singkat hal ihwal rencana
penelitian, langkah penelitian, metode dan teknik penelitian, analisis
penelitian, hingga kesimpulan penelitian.
Secara ringkas usulan tersebut harus memuat ; (1) latar
belakang masalah dan alasan pelaksanaan penelitian, (2) Kajian Kepustakaan, (3)
metode penelitian, (4) pemilihan lapangan penelitian, (5) rancangan penelitian,
dan (6) penentuan jadwal penelitian.
2.
Memilih
Lapangan Penelitian
Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan
lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif.
Pergilah dan jajakilah lapangan, untuk melihat apakah terdapat kesesuaian
dengan kenyataan yang berada di lapangan. Keterbatasan geografis dan praktis
seperti waktu, biaya, tenaga, perlu dijadikan pertimbangan dalam penentuan
lokasi penelitian.
3.
Mengurus
Perizinan
Pertama-tama yang harus diketahui peneliti ialah siapa
saja yang berkuasa dan berwenang memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian. Tentu saja
peneliti jangan mengabaikan kedudukan Pembimbing, Ketua Jurusan, Dekan, atau
bahkan Rektor. Instansi yang berwenang memberikan izin adalah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), atau Kepala Pemerintahan, baik pusat atau daerah,
Dirjen, Gubernur, Walikota/Bupati, dan sebagainya, mereka dapat dikatakan
berwenang secara formal administratif. Masih ada jalur informal yang perlu
diketahui oleh peneliti untuk mendapatkan ‘izin’, yaitu mereka yang memegang
kunci komunitas tertentu. Mereka adalah kepala adat, ketua suku, ketua
organisasi/partai, dan sebagainya. Jalur informal ini perlu dan harus ditempuh,
agar pengumpulan data tidak mengalami gangguan.
Selain mengetahui siapa yang berwenang memberi izin,
segi lain yang perlu dipersiapkan peneliti adalah ; surat tugas, identitas
peneliti, perlengkapan penelitian, dan proposal penelitian yang harus diketahui
oleh pihak yang berwenang. Syarat-syarat lain yang harus dimiliki peneliti
adalah syarat pribadi peneliti. Syarat tersebut antara lain ; sikap jujur,
terbuka, bersahabat, simpatik, empatik, obyektif, dan sikap-sikap positif
lainnya.
4.
Menjajaki
dan Menilai Keadaan Lapangan
Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana
dengan baik, bila peneliti sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan, atau
mengetahui melalui ‘orang dalam’ tentang situasi dan kondisi daerah tempat
penelitian dilaksanakan. Sebaiknya sebelum menjajaki lapangan, peneliti sudah
mempunyai gambaran umum tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh,
adat-istiadat, konteks kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, agama, pendidikan, mata
pencaharian, dan sebagainya.
Maksud dan tujuan penjajakan lapangan adalah berusaha
mengenal segala unsur lingkungan sosial, fisik, dan keadaan alam. Jika
penelitia telah mengenalnya, maksud dan tujuan lainnya adalah untuk membuat
peneliti mempersiapkan diri mental maupun fisik, serta mempersiapkan
perlengkapan penelitian yang diperlukan. Pengenalan lapangan dimaksudkan pula
untuk menilai keadaan, situasi, latar dan konteks budayanya, apakah terdapat
kesesuaian dengan masalah, hipotesis, teori substantif, seperti yang
digambarkan dalam proposal.
5.
Memilih
dan Memanfaatkan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasi, tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dengan
demikian, seorang informan harus memiliki banyak pengalaman, dan secara
sukarela bersedia menjadi anggota tim dalam penelitian tersebut. Syarat-syarat
memilih informan harus memiliki kriteria sebagai berikut ; jujur, taat, suka
berbicara, terbuka, berpandangan luas, serta kalau bisa memiliki pengaruh pada
kelompok tertentu.
Usaha untuk memperoleh informan yang baik, dapat
dilakukan dengan cara ; (a) melalui keterangan orang yang berwenang, baik
secara formal maupun informal, (b) melalui wawancara pendahuluan, dengan cara
ini peneliti dapat menilai berdasarkan persyaratan yang dikemukakan sebelumnya.
Dalam hal tertentu, informan perlu direkrut seperlunya, dan diberitahu tentang
maksud dan tujuan penelitian. Agar peneliti memperoleh informan yang
benar-benar memenuhi persyaratan, sebaiknya peneliti menyelidiki motivasinya,
bila perlu mengetes informasi yang diberikannya, apakah benar atau tidak.
6.
Menyiapkan
Perlengkapan Penelitian
Selain perlengkapan fisik, seorang peneliti perlu pula
mempersiapkan perlengkapan penelitian yang lainnya. Hal lain yang perlu
dipersiapkan adalah ; (a) pengaturan perjalanan, terutama jika lapangan
penelitian jauh letaknya, (b) perlengkapan kotak kesehatan, terutama bila
berada dalam wilayah yang kondisi cuacanya tidak menentu, atau kondisi
geografinya tidak seimbang, (3) alat tulis dan alat pengumpul data. Pada
dasarnya hal yang penting adalah agar peneliti sejauh mungkin sudah
mempersiapkan segala alat dan perlengkapan, sebelum ia terjun ke kancah
penelitian.
7.
Etika
Penelitian
Ketika telah berada di lapangan, baik dalam taraf
penjajakan maupun taraf pengumpulan data, peneliti akan banyak berhubungan
dengan anggota masyarakat. Peneliti akan bergaul secara perorangan maupun
kelompok, merasakan dan mengahayati tata pergaulan dalam masyarakat setempat.
Dalam kelompok tersebut biasanya ada suatu norma yang dijunjung tinggi oleh
anggota masyarakatnya. Norma tersebut dapat berupa ; agama, nilai sosial, hak dan
nilai pribadi, adat, kebiasaan ritual, tabu dan semacamnya, dan sebagainya.
Persoalan etika akan muncul bila peneliti tidak
menghormati, mematuhi, dan mengindahkan nilai-nilai dalam masyarakat. Apalagi
bila peneliti masih berpegang pada norma yang melekat pada dirinya tidak segera
dilepaskan. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi benturan nilai, konflik,
frustasi dan semacamnya, dapat diramalkan akan terjadi. Sebagai akibatnya akan
mempengaruhi pada kemurnian pengumpulan data. Oleh karena itu, peneliti
hendaknya menyesuaikan diri, serta segera ‘memakai baju adat setempat’, dan
menerima seluruh nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Beberapa segi praktis yang perlu dilakukan peneliti dalam menghadapi persoalan
etika penelitian adalah sebagai berikut.
7.1. Sewaktu
tiba di lapangan dan berhadapan dengan orang-orang, beritahukan secara jujur
maksud dan tujuan kedatangannya. Hal ini hendaknya diajukan kepada mereka yang
memberi izin, kepada pejabat setempat, dan kepada subyek yang akan diwawancarai.
Cara penyampaiannya tidak perlu mendetail, cukup secara umum, dan dalam hal-hal
tertentu ada bagian yang tidak perlu dikemukakan.
7.2.
Pandang dan hargailah orang-orang yang
diteliti bukan sebagai ‘subyek’, melainkan sebagai orang yang sama derajatnya.
Jika suasananya dapat terbina demikian, akan terbukalah kesempatan bagi
peneliti untuk berkomunikasi secara lancar.
7.3.
Hargai, hormati, dan patuhi semua
peraturan, norma, nilai masyarakat, kepercayaan, kebiasaan, kebudayaan, dan
sebagainya. Jika hal itu dapat dilakukan secara taat asas, masyarakat akan
mudah bekerja sama dan membantu pengumpulan informasi.
7.4.
Peganglah kerahasiaan segala sesuatu yang
berkenaan dengan informasi yang diberikan oleh subyek. Jika informasi yang
diberikan tidak dikehendaki untuk dipublikasikan, hendaknya peneliti
menghormatinya. Nama-nama subyek sebaiknya tidak disebutkan dalam laporan,
kecuali jika subyek tidak keberatan. Bila dikehendaki nama-nama tersebut dapat
diganti dengan nama-nama lain atau dengan cara inisial.
7.5.
Tulislah segala kejadian, peristiwa,
cerita, dan lain sebagainya secara jujur dan benar, jangan ditambah atau
dikurangi. Nyatakan sesuai dengan keadaan aslinya. Memoles atau ‘membedaki’
data, akan merupakan dosa terakhir bagi seorang ilmuwan.
B.
Tahap
Lapangan
Pekerjaan di lapangan merupakan pekerjaan utama
peneliti, maka dari itu persiapan awal sebelum terjun ke lapangan, seorang
peneliti harus memastikan kelengkapan bekal. Dalam tahap ini akan diuraikan
menjadi tiga bagian tahap lapangan, yaitu ; (1) memahami latar penelitian, (2)
memasuki lapangan, dan (3) berperan serta sambil mengumpulkan data.
1.
Memahami
Latar Penelitian
Peneliti hendaknya mengenal
latar terbuka dan latar tertutup, di samping itu peneliti hendaknya tahu
menempatkan diri, apakah sebagai peneliti dikenal atau tak dikenal. Menurut
Lofland dan Lofland (1984:21-24 dalam Moleong), latar terbuka terdapat di
lapangan umum, seperti tempat berpidato, orang berkumpul di taman, toko,
bioskop, dan ruang tunggu rumah sakit. Pada latar demikian peneliti barangkali
hanya akan mengandalkan pengamatan, dan kurang dalam wawancara. Hal itu membawa
peneliti untuk memperhitungkan latar tersebut, sehingga strategi pengumpulan
datanya menjadi efektif. Dalam hal ini hubungan peneliti dengan subyek kurang
erat. Sebaliknya, pada latar tertutup hubungan peneliti perlu akrab, karena
latar demikian orang-orang sebagai subyek yang perlu diamati harus teliti, dan
wawancara secara mendalam. Dengan demikian, strategi berperan sertanya peneliti
dalam latar demikian sangat diperlukan.
2.
Memasuki
Lapangan
Keakraban pergaulan dengan subyek perlu dipelihara
selama pengumpulan data, bahkan sesudah pengumpulan data. Jangan sampai
terjadi, seorang subyek dalam hubungan keakraban merasa dirugikan, misalnya
seorang peneliti tampak terlalu dekat dengan ‘lawannya’. Subyek demikian harus
diberi perhatian agar jangan merugikan kepentingan peneliti nantinya. Dalam
hubungan pergaulan ketika pengumpulan data, mungkin saja terjadi seorang
pemimpin kelompok atau masyarakat yang diwawancarai tidak bersedia atau kurang
waktu, kemudian ia menunjuk orang lain sebagai penggantinya. Sejauh pengganti
itu tidak diberi perintah untuk menyajikan informasi khusus, tentu bisa saja
dengan catatan bahwa informasi demikian harus disaring.
Jika peneliti berasal dari latar yang lain, baik
baginya bila mempelajari bahasa atau dialeknya. Selain itu, juga disarankan
untuk mempelajari simbol-simbol non verbal, yang digunakan oleh orang-orang
yang menjadi subyek. Peneliti seyogyanya mengerti, dan jangan hanya menduga bahwa
ia mengerti. Peneliti tidak hanya harus mengerti tentang bahasa dan simbol yang
digunakan, tetapi harus mengerti dalam situasi bagaimana orang menggunakannya,
apakah digunakan oleh semua orang ataukah hanya sekelompok orang.
Sering terjadi bahwa peran serta peneliti baru dapat
terwujud seutuhnya, apabila ia membaur secara fisik dengan kelompok komunitas
yang ditelitinya. Kadang-kadang dengan jalan memberikan bantuan tertentu,
barulah ia diterima peran sertanya. Apapun dan bagaimanapun peranan yang dimainkan
oleh peneliti, hendaknya disadari dan diperhatikan bahwa tugas utamanya adalah
mengumpulkan informasi.
Kadang-kadang peneliti menghadapi situasi yang sulit,
walaupun peneliti secara berulang-ulang telah menjelaskan maksud dan tujuan,
namun subyek peneltian tetap tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Di pihak
lain barangkali subyek mengerti, tetapi tidak mau bekerja sama, tidak mau
memberikan informasi, atau tidak mau melakukan sesuatu yang diharapkan
peneliti. Menghadapi situasi yang demikian peneliti harus punya sikap sabar.
Peneliti hendaknya mendekati subyek dengan jalan memakai salah satu anggotanya
sebagai perantara. Perangai peneliti, penyesuaian dirinya, penampilan fisik
atau psikis dan mental, akan mempermudah bagi peneliti dalam menghadapi situasi
serumit apapun.
3.
Berperanserta
sambil Mengumpulkan Data
Alat penelitian penting yang biasanya digunakan ialah
catatan lapangan (field notes).
Catatan lapangan merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti sewaktu mengadakan
pengamatan, wawancara, atau menyaksikan kejadian tertentu. Biasanya catatan
lapangan itu dibuat dalam bentuk kata-kata kunci, singkatan, pokok-pokok yang
utama, kemudian dilengkapi dan disempurnakan bila telah pergi ke tempat
tinggal.
Pencatat data di lapangan hendaknya selalu memperhatikan
kondisi yang terjadi, apa yang perlu dan tidak perlu dicatat, mana yang perlu
dan tidak perlu direkam, dan sebagainya. Di samping itu, uraian tentang latar
dan orang-orang yang perlu diamati atau diwawancarai, bagaimana menghadapi
perubahan latar penelitian, dan bagaimana cara memberikan pendapat, adalah
sesuatu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang peneliti.
Jika peneliti berhadapan dengan suatu konteks
penelitian, dan di dalamnya menemukan kelompok-kelompok yang sedang
bertentangan, tentu saja situasi yang
demikian cukup sulit dan rumit untuk dihadapi. Dalam hal ini peneliti hendaknya
berusaha sekuat tenaga agar dia tetap netral, tidak memihak dan sejauh mungkin
menengahi persoalan yang terjadi. Jika peneliti dalam keadaan tertentu terpaksa
berperan sebagai penengah, maka hendaknya ia senantiasa menyadari dan
mempertimbangkan etika penelitian.
C.
Tahap
Analisis Data
Pada bagian ini akan dibahas beberapa prinsip pokok
dalam analisis data. Prinsip-prinsip tersebut antara lain ; (1) Konsep dasar
analisis, (2) Model analisis.
1.
Konsep
Dasar Analisis
Analisis data menurut Patton (1980:268), adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan makna
yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari
hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Menurut Bogdan dan Taylor (1975:79)
analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal, untuk menemukan
thema dan merumuskan hipotesis atau ide, dan sebagai usaha untuk memberikan
bantuan pada thema dan hipotesis itu. Dengan demikian, kedua definisi tersebut
dapat disintesiskan menjadi ; analisis data adalah proses pengorganisasian dan
pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga
dapat ditemukan thema, dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data.
Rumusan tersebut di atas dapat ditarik pengertian,
bahwa analisis data bermaksud mengorganisasikan data. Data yang terkumpul
banyak sekali, yang terdiri dari catatan lapangan, catatan wawancara, gambar,
foto, dokumen dan sebagainya. pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah
mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengategorikannya.
Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan untuk menemukan thema
dan hipotesis, yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.
2.
Model
Analisis
Kegiatan analisis pada penelitian kualitatif pada
dasarnya dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data. Hal itu
sangat berbeda dengan proses analisis dalam penelitian kuantitatif, yang
memisahkan secara tegas antara proses pengumpulan data dengan proses
analisisnya. Pada umumnya proses analisisnya dilakukan setelah proses
pengumpulan data selesai.
Dalam analisis penelitian kualitatif dikenal adanya
tiga komponen analisis, yaitu ; sajian data, reduksi data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi. Tiga komponen analisis tersebut saling berkaitan dan
berinteraksi, tak dapat dipisahkan. Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa proses
analisis dilakukan di lapangan, sebelum peneliti meninggalkan lapangan
studinya. Secara sederhana sering dinyatakan terdapat dua model pokok dalam
melaksanakan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu (1) model analisis
jalinan atau mengalir, dan (2) model analisis interaktif (Miles & Huberman,
1974).
2.1.
Model
Analisis Jalinan
Proses analisis dengan tiga komponen analisisnya saling
menjalin, dan dilakukan secara terus menerus di dalam proses pelaksanaan
pengumpulan data. Reduksi data sebagai komponen pertama sudah dilakukan sejak
awal, sebelum kegiatan pengumpulan data dilakukan, yaitu sejak penyusunan
proposal penelitian. Dengan membatasi permasalahan penelitian, dan juga
membatasi pada pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian, sebenarnya
peneliti telah melaksanakan kegiatan reduksi. Kemudian proses tersebut
dilanjutkan pada waktu proses pengumpulan data, dan secara erat saling menjalin
dengan dua komponen analisis yang lainnya, yaitu sajian data dan penarikan
kesimpulan. Tiga komponen tersebut masih aktif bertautan dalam jalinan, dan
dilakukan pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, serta dilanjutkan sampai
pada proses penulisan laporan penelitian berakhir. Secara sederhana analisis
jalinan dapat digambarkan sebagai berikut.
2.2.
Model
Analisis Interaktif
Dalam model ini peneliti tetap bergerak di antara tiga
komponen analisis, dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan
data masih berlangsung. Setelah proses pengumpulan data berakhir, peneliti
bergerak di antara tiga komponen analisisnya. Proses analisis ini disebut sebagai
model analisis interaktif. Untuk lebih mempermudah pemahaman, secara sederhana
dapat diperhatikan gambar berikut.
Gb. IV 2. Model
Analisis Interaktif
Dengan memperhatikan gambar tersebut, maka prosesnya
dapat dilihat pada waktu pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data
dan sajian data. Maksudnya, data yang berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi dan
refleksinya, adalah data yang telah tergali dan dicatat. Dari dua bagian data
tersebut peneliti menyusun rumusan pengertiannya secara singkat, berupa
pokok-pokok temuan penting, dalam arti pemahaman segala peristiwanya yang
disebut reduksi data. Kemudian diikuti dengan penyusunan sajian data yang
berupa ceritera sistematis dengan suntingan penelitinya, supaya makna
peristiwanya menjadi lebih jelas difahami, dengan dilengkapi perabot sajian
yang berupa matrik, gambar dan sebagainya, yang sangat mendukung sajian data.
Bila pengumpulan data telah selesai, langkah selanjutnya menarik kesimpulan
berdasarkan hal-hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Bila
kesimpulannya dirasakan kurang mantap, karena kurangnya rumusan dalam reduksi
data maupun sajian data, akan dilakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah
terfokus, untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada.
Model analisis yang digunakan, baik analisis jalinan
maupun interaktif, semuanya dilaksanakan bersamaan dengan proses pengumpulan data.
Dalam model tersebut, ketiga komponen analisis berjalan bersama pada waktu
kegiatan pengumpulan data. Begitu peneliti menyusun catatan lapangan secara
lengkap, reduksi data segera dibuat, dan diteruskan dengan pengembangan bentuk
susunan sajian data yang bersifat sementara. Dari membaca sajian data yang
berupa cerita dengan kelengkapan beragam pendukungnya (matriks, tabel, gambar,
dsb.), peneliti dapat mengusahakan pikiran kesimpulan. Kesimpulan ini tentu
saja bersifat sementara, karena proses pengumpulan data tetap berlangsung.
Begitu peneliti mendapatkan data baru, kemungkinan besar kesimpulan sementara
tersebut perlu diubah secara tepat. Bila data baru memperkuat kesimpulan, maka
kesimpulan sementara yang telah dibuat akan menjadi semakin mantap (Sutopo.1996
: 85 –89).
Evaluasi :
1.
Diskusikan
dengan teman anda tentang tahap-tahap penelitian pra lapangan
3.
Bagaimana
langkah-langkah analisis data lapangan, diskusikan dengan teman-teman.
4.
Bagaimanakah
cara menyusun data di lapangan dengan sistematis
Referensi :
1. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research
Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
3. Agus Salim.
2001. Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.
4. Lexy.
JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
5. Matthew.
1986. Qualitative Data Analysis : A
Source Book of New Methods. Beverly Hills : Sage Publication.
6. Yin,
Robert K. 1981. Case Study Research :
Design and Methods. London : Sage Publication.
BAB V
METODE-METODE PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
berbagai metode dan ancangan dalam penelitian.
b.
Menerapkan
berbagai metode dan ancangan dalam penelitian.
c.
Menerapkan
jenis-jenis studi dalam penelitian sosial budaya.
A. Metode Filosofis
Metode Filosofis adalah prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki secara rasional, melalui pemikiran atau perenungan yang terarah,
mendasar dan mendalam, tentang hakekat segala sesuatu yang ada, atau yang
mungkin ada. Dalam pelaksanaannya dapat mempergunakan pola fikir aliran
filsafat tertentu, ataupun dalam bentuk analisa sistematik berdasarkan pola
berfikir deduktif, induktif, atau fenomenologis, dengan memperhatikan
hukum-hukum berfikir.
Metode ini bekerja dengan
mempergunakan data kualitatif, sehingga dalam pemecahan masalahnya pada umumnya
bersifat apriori. Pengggunaan data atau fakta cenderung dilakukan untuk
memberikan dasar berfikir, dan bukan untuk pembuktian hipotesa. Oleh sebab itu,
metode ini jarang dimasukkan dalam jangkauan penelitian yang bersifat empiris,
dan dikelompokkan dalam science
(pengetahuan yang ilmiah). Namun demikian, bukan berarti bahwa penelitian yang
mempergunakan metode filsafat, bukan merupakan metode pemecahan yang bersifat
ilmiah. Tidak sedikit permasalahan yang hanya dapat dilakukan dengan metode
filsafat, dan sama sekali tidak dapat dilakukan dengan metode yang lainnya.
Meskipun metode ini tidak
akan diuraikan secara menyeluruh, akan tetapi sangat perlu ditekankan, bahwa
cara bekerjanya selalu berhadapan dengan data kualitatif. Data itu dikemukakan
dalam bentuk uraian-uraian atau berupa simbol-simbol verbal, yang penafsirannya
sangat tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat. Kecermatan pemakaian simbol
verbal ini sangat penting artinya dalam metode ini, karena sering terjadi satu
istilah dipergunakan untuk menjelaskan hal yang berbeda. Sebaliknya tidak
mustahil pula, istilah yang berbeda dipergunakan untuk menjelaskan hal sama.
Dalam kenyataan
sehari-hari, data kualitatif ini tidak saja memonopoli penelitian dalam bidang
filsafat, tetapi juga banyak pula dipergunakan dalam ilmu sosial, yang
menghadapi masalah-masalah yang memang tidak dapat dipecahkan secara
kuantitatif. Namun untuk mencapai tingkat obyektivitas, validitas dan
reliabilitas yang tinggi, dewasa ini pada umumnya ilmu sosial pun berusaha
bekerja dengan data kuantitatif.
B. Metode Dekriptif
Metode deskriptif dapat dikatakan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek
penelitian, berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Tahap awal metode ini adalah usaha mendeskripsikan
fakta-fakta, dalam usaha mengemukakan gejala secara lengkap di dalam aspek yang
diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya. Pada tahap berikutnya metode
ini harus diberi bobot yang lebih tinggi, karena sulit untuk dibantah bahwa
hasil penelitian yang sekedar mendeskripsikan fakta tidak banyak artinya. Untuk
itu, pemikiran di dalam metode ini perlu dikembangkan, dengan memberikan
penafsiran yang adequat terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Oleh karena itu,
penelitian ini dapat diwujudkan juga sebagai usaha memecahkan masalah dengan
membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan, mengukur dimensi
suatu gejala, mengadakan klasifikasi gejala, menilai gejala, menetapkan
standart, menetapkan hubungan antar gejala-gejala yang ditemukan, dan lain
lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
pokok metode deskriptif adalah :
a.
Memusatkan
perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian sedang dilakukan,
atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b.
Menggambarkan
fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan
interpretasi rasional yang adequat.
Metode ini dapat diterapkan pada tiga bentuk studi,
yaitu ; (1) survei, (2) studi hubungan, dan (3) studi perkembangan.
1. Survei
Survei pada dasarnya tidak berbeda dengan penelitian.
Pemakaian kedua istilah ini sering hanya dimaksudkan untuk memberikan penekanan
mengenai ruang lingkup. Penelitian memusatkan diri pada salah satu atau
beberapa aspek dari obyeknya. Survei bersifat menyeluruh, yang kemudian akan
dilanjutkan secara mengkhusus pada aspek tertentu, bila diperlukan studi yang
lebih mendalam. Oleh karena itu, hasil dari suatu survei sering dipergunakan
untuk menyusun suatu perencanaan, atau menyempurnakan perencanaan yang sudah
ada. Penggunaannya sebagai data perencanaan dimungkinkan, karena melalui survei
suatu obyek penelitian diungkapkan secara menyeluruh. Di samping itu, survei
pada dasarnya tidak sekedar bertujuan memaparkan data tentang obyeknya, akan
tetapi juga bermaksud menginterpretasikannya, dan membandingkannya dengan
ukuran standar tertentu yang sudah ditetapkan.
Jenis-jenis studi yang dapat dikelompokkan sebagai
bagian penelitian survei antara lain :
1.1. Survei
Kelembagaan (Institutional Survey)
Survei ini dilakukan dengan mengambil obyek berupa
lembaga tertentu yang terdapat di masyarakat. Melalui survei ini diusahakan
menemukan data yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meningkatkan
kegiatan operasional lembaga yang diteliti, misalnya dasar untuk menyusun
rencana dan memperbaiki rencana, dasar untuk mengatur mekanisme kegiatan, dan
lain lain.
1.2. Analisis
Jabatan/Pekerjaan (Job Analysis)
Analisis ini pada dasarnya bermaksud untuk menemukan
gejala-gejala yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan secara berdaya guna
dan berhasil guna. Untuk itu, informasi yang dikumpulkan meliputi tugas-tugas
secara menyeluruh dalam suatu jenis jabatan/pekerjaan. Melalui penelitian
tersebut, selanjutnya dapat disusun deskripsi pekerjaan yang dapat dipergunakan
untuk menempatkan dan menyeleksi calon pekerja/pejabat. Di samping itu, dapat
pula dipergunakan untuk merancangkan program pendidikan dan latihan, termasuk
juga penataran-penataran, pendidikan spesialisasi, latihan kerja, dan
lain-lain.
1.3. Analisis
Dokumenter (Documentary Analysis)
Analisis dokumenter sering pula disebut analisis
kegiatan (activity analysis), atau
analisis informasi (Information analysis).
Dari dokumen yang tersedia, penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan
informasi-informasi yang berguna di bidangnya masing-masing. Banyak dokumen
resmi dan laporan-laporan yang oleh sebagian orang dianggap atau dipandang
sebagai arsip yang tidak berguna, namun bagi seorang peneliti dokumen, hal ini
sangat berharga untuk memahami aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok
populasi tertentu, yang faktanya tersimpan dalam berbagai dokumen.
Cara melakukan penelitian ini sering dihubungkan dengan
metode historis, walaupun sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang
prinsipiil. Di dalam analisis dokumen, data yang diungkapkan menyangkut
bahan-bahan yang belum terlalu lama, sehingga belum dikelompokkan sebagai
peninggalan sejarah. Di dalam metode historis, bahan-bahan yang dijadikan
sumber data pada umumnya terdiri dari peninggalan sejarah, yang dari segi waktu
telah cukup lama.
1.4. Analisis
Isi (Content Analysis)
Analisis isi dalam penelitian dilakukan untuk
mengungkapkan isi sebuah buku, yang menggambarkan isi situasi penulis dan
masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Dalam analisa ini seorang peneliti
dapat menghitung frekwensi munculnya suatu konsep tertentu, penyusunan kalimat
menurut pola yang sama, kelemahan-kelemahan pola berfikir yang sama, cara
menyajikan bahan ilustrasi, dan lain-lain. Di samping itu, dengan cara ini
dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang
sama. Perbandingan tersebut dapat didasarkan pada perbedaan waktu penulisannya,
maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut dalam mencapai sasarannya, sebagai
bahan yang disajikan kepada masyarakat, atau sekelompok masyarakat tertentu.
Informasi ini akan sangat berguna bagi pengembangan penulisan buku yang sejenis
di masa-masa yang akan datang, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang
memerlukannya.
1.5. Survei
Pendapat Umum (Public Opinion Survey)
Penelitian tentang pendapat umum biasanya mempergunakan
interview sebagai alat pengumpul
data, dari sejumlah subyek yang dipilih secara teliti agar mewakili kelompok
atau masyarakat luas secara representatif. Penentuan tempat, waktu, dan subyek,
sangat penting dalam penelitian ini.
Luas dan kedalaman penelitian ini sangat tergantung pada banyak sedikitnya
aspek yang akan diungkapkan dalam permasalahan yang dihadapi. Di samping itu,
harus diakui pula bahwa luas dan kedalamannya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya ; keterbatasan waktu, biaya, kemampuan, tenaga pelaksana, tenaga ahli,
serta kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dan membantu memberikan data yang
relevan.
2. Studi
Hubungan (Interrelationship Studies)
Beberapa penelitian di bidang sosial sering tidak cukup
mendalam bila hanya dilakukan untuk mengumpulkan fakta-fakta sebagaimana
adanya. Banyak fakta-fakta yang ternyata harus dihubungkan satu dengan yang
lain, agar suatu kondisi atau peristiwa dapat dipahami secara baik. Untuk itu,
dalam metode deskriptif telah dikembangkan beberapa cara penelitian sebagai
berikut.
2.1. Studi
Kasus (Case Studies)
Penelitian ini memusatkan diri secara intensif terhadap
satu obyek tertentu, dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Seorang
peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya, dan selengkap-lengkapnya
dari sebuah kasus, untuk mengetahui sebab-sebab yang sesungguhnya. Data yang
terkumpul disusun dan dipelajari menurut urutannya (sequences), dan dihubungkan satu dengan yang lain secara menyeluruh
(komprehensif) dan integral, agar memperoleh gambaran umum dari kasus yang
diselidiki. Setiap fakta dipelajari peranan dan fungsinya, di dalam kasus
tersebut. Pada tahap akhir, studi kasus harus dapat menemukan cara-cara yang
dapat ditempuh untuk melakukan perbaikan, terhadap aspek-aspek yang menunjukkan
kelainan kasus yang diselidiki.
2.2. Studi
Sebab Akibat dan Perbandingan (Causal –
Comparative Studies)
Dalam studi ini dilakukan usaha untuk memahami mengapa
suatu gejala terjadi, atau apa sebabnya suatu peristiwa, keadaan atau situasi
berlangsung. Penelitian ini pada tahap pertama adalah menggambarkan fakta-fakta
seadanya, untuk memperjelas bagaimana keadaan dari obyek yang diteliti.
Selanjutnya diusahakan mempelajari sebab-sebab mengapa gejala, peristiwa atau
keadaan itu demikian. Untuk itu, dilakukan usaha membanding-bandingkan gejala,
guna mencari kesamaan dan perbedaannya. Di samping itu, dianalisa pula gejala
itu secara berurutan, untuk menemukan gejala yang bersifat tetap dan yang
berubah-ubah, yang mungkin merupakan sebab yang ingin diketahui.
2.3. Studi
Korelasi (Correlation Studies)
Penelitian dengan cara ini bermaksud mengungkapkan
bentuk hubungan timbal balik antar variabel yang diselidiki. Intensitas
hubungan itu diukur dengan mempergunakan prosedur matematika, dengan menyatakan
koefisien korelasi, yang dapat bergerak dari
- 1,00 sampai dengan + 1,00.
Hubungan korelasi ini dinyatakan dalam tiga bentuk sebagai berikut.
a.
Korelasi
positif, yang menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang tinggi dalam salah
satu variabel, ternyata cenderung menempati kedudukan yang tinggi pula,
demikian pula sebaliknya.
b.
Korelasi
negatif, yang menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang tinggi dalam variabel
pertama, ternyata cenderung menempati kedudukan yang rendah dalam variabel yang
ke dua, demikian pula sebaliknya.
c.
Korelasi
nihil atau korelasi rendah atau tidak berkorelasi, yang menunjukkan bahwa
kedudukan orang-orang di dalam dua variabel tidak tetap atau tidak menentu.
Seseorang mungkin tinggi kedudukannya dalam variabel pertama, tetapi pada
variabel yang ke dua kedudukannya mungkin rata-rata.
Hubungan dua variabel dalam korelasi seperti di atas
pada dasarnya bukan merupakan hubungan sebab akibat. Korelasi dapat dikatakan
sebagai sebab akibat, apabila sebelumnya sudah diketahui, bahwa antara dua
gejala yang dicari hubungannya terdapat saling ketergantungan.
3. Studi
Perkembangan (Developmental Studies)
Studi perkembangan tidak sekedar mengenai fakta-fakta
pada masa sekarang. Pengelompokannya sebagai bagian dari metode deskriptif,
karena studi ini bermaksud menggambarkan hubungan antara gejala-gejala
sebagaimana adanya pada masa sekarang, dengan fakta-fakta lain berdasarkan
fungsi waktu yang bersifat kontinyu. Ada dua macam cara yang dapat dipergunakan
untuk melaksanakan studi perkembangan, yaitu sebagi berikut.
3.1. Studi
Pertumbuhan (Growth Studies)
Studi ini bermaksud menggambarkan pertumbuhan atau
perkembangan yang dialami oleh suatu obyek tertentu, baik secara keseluruhan
maupun mengenai aspek-aspek tertentu, dalam batas waktu yang tertentu pula.
Studi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan (a) teknik longitudinal,
dan (b) teknik memotong.
a.
Teknik
Longitudinal, di dalam teknik ini penelitian dilakukan terhadap satu obyek
dengan mengurutkan gejala pertumbuhan dari waktu ke waktu tertentu. Bila studi
ini dilakukan terhadap beberapa obyek yang sama, maka dapat ditarik kesimpulan
tentang aspek-aspek yang berlaku umum bagi obyek yang sejenis. Teknik ini
memikili keterbatasan, terutama karena memerlukan waktu yang cukup lama, dan
bila terdapat kesalahan dalam prosedur, maka penelitian ini tidak dapat diulang
pada obyek yang sama, sehingga sulit untuk melakukan perbaikan. Di samping itu,
sangat diperlukan dukungan fasilitas yang memadai.
b.
Teknik
Memotong, di dalam teknik ini kegiatan penelitian dilakukan lebih cepat dengan
menggunakan sejumlah obyek dari berbagai periode (misalnya sejumlah anak-anak
dari bermacam-macam tingkat umur). Setiap variabel dalam setiap periode
diungkapkan dari sejumlah obyek, yang kemudian dirangkaikan untuk mengambarkan
perkembangan secara keseluruhan. Dalam studi ini hasilnya lebih cepat diperoleh,
karena peneliti tidak perlu mengikuti pertumbuhan suatu obyek selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kelemahan dari cara ini terutama dalam
menetapkan jumlah sampel yang cukup untuk setiap periode dari obyek yang
diteliti. Di samping itu, sulit pula untuk menentukan tingkat validitas dan
reliabilitas, dalam mengurutkan gejala-gejala yang menggambarkan keseluruhan
perkembangan, karena obyeknya berbeda-beda.
3.2. Studi
Kecenderungan (Trend Studies)
Penelitian dilakukan dengan mengklasifikasikan data menurut
interval waktu, yang dibagi-bagi menurut periode dengan jarak yang sama. Data
dari setiap periode itu diperoleh dari sumber dokumenter, kemudian dipelajari
arah dan laju perubahan atau perkembangannya, hingga sampai pada gambaran
keadaannya pada masa sekarang, dan selanjutnya dipergunakan untuk meramalkan
keadaannya di masa mendatang.
C. Metode
Historis
Metode historis adalah prosedur pemecahan masalah
dengan menggunakan data masa lalu, atau peninggalan-peninggalan, baik untuk
memahami kejadian-kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu,
terlepas dari keadaan masa sekarang, maupun untuk memahami kejadian atau
keadaan masa sekarang, dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa
lalu. Dengan kata lain, metode historis dapat dilakukan dalam dua cara sebagai
berikut.
a.
Untuk
menggambarkan gejala-gejala yang terjadi pada masa lalu, sebagai suatu
rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri, terbatas pada kurun waktu tertentu di
masa lalu.
b.
Menggambarkan
gejala-gejala masa lalu sebagai sebab suatu keadaan atau kejadian pada masa
sekarang sebagai akibat. Data masa lalu tersebut dipergunakan sebagai informasi
untuk memperjelas kejadian atau keadaan masa sekarang, sebagai rangkaian yang
tidak terputus atau saling berhubungan satu dengan yang lain.
Dari uraian di atas perlu ditekankan bahwa metode
historis tidak mengutamakan data masa sekarang, tetapi lebih memusatkan
perhatiannya pada data masa lalu berupa ; peninggalan-peninggalan,
dokumen-dokumen, arsip-arsip, benda-benda bersejarah, monumen-monumen,
benda-benda pusaka, dan sebagainya. Data itu tidak sekedar diungkapkan dari
sudut kepentingan sejarahnya, akan tetapi untuk memahami berbagai aspek
kehidupan masa lalu, seperti ; adat-istiadat, kebudayaan, hukum yang berlaku,
sturktur masyarakat, kehidupan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Penggunaan dokumen-dokumen dan arsip-arsip harus
dibedakan dengan studi dokumenter sebagai bagian dari metode deskriptif. Di
dalam studi dokumenter penelitian tertuju pada data yang belum terlalu lama,
sehingga masih dapat dikelompokkan sebagai usaha mengungkapkan fakta-fakta masa
sekarang. Sedangkan dalam metode historis, dokumen atau arsip-arsip
dipergunakan dari segi waktu, pada dasarnya merupakan bahan-bahan peninggalan
yang relatif sudah cukup lama. Pada dasarnya penelitian historis dapat
dibedakan menjadi empat, yaitu (1) penelitian historis-komparatif, (2)
penelitian legal atau yuridis, (3) penelitian bibliografis atau kepustakaan,
dan (4) penelitian kronologis.
1. Penelitian
Historis-Komparatif
Penelitian ini dilakukan dengan membanding-bandingkan
gejala yang sejenis, baik berdasarkan perbedaan waktu terjadinya maupun
perbedaan tempat terjadinya di dalam waktu yang sama.
2. Penelitian
Legal atau Yuridis
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan
kegiatan-kegiatan pemerintahan suatu bangsa, kerajaan, lembaga, dalam
menetapkan kebijaksanaan, sehingga berpengaruh bagi kehidupan pada masa-masa
tertentu dalam prospek sejarah.
3. Penelitian
Bibliografis atau Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan berbagai
teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain yang dapat ditemui di
dalam berbagai peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku yang dihasilkan
pada zaman tertentu dalam prospek sejarah.
4. Penelitian
Kronologis
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan kejadian-kejadian
atau keadaan-keadaan, dan peristiwa-peristiwa menurut urutan waktunya, dari
masa yang paling tua sampai mendekati masa-masa sekarang.
D. Metode
Eksperimen
Metode Eksperimen adalah prosedur penelitian yang
dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dua variabel atau lebih,
dengan mengendalikan pengaruh variabel yang lain. Metode ini dilaksanakan
dengan memberikan variabel bebas secara sengaja kepada obyek penelitian, untuk
diketahui akibatnya di dalam variabel terikat. Dengan demikian, metode ini
dilakukan dengan percobaan secara cermat, untuk mengetahui hubungan sebab
akibat antara gejala yang timbul dengan variabel yang sengaja diadakan.
Variabel yang sengaja diadakan tersebut disebut sebagai variabel eksperimen
atau perlakuan, yang berfungsi sebagai variabel bebas. Perlakuan yang diberikan
pada obyek penelitian mungkin lebih dari satu bentuk, sehingga dalam suatu
eksperimen mungkin pula dibandingkan pengaruh antara beberapa bentuk perlakuan
itu melalui akibat yang ditimbulkannya di dalam variabel terikat (Hadari
Nawawi.1995 : 61 - 82).
E. Beberapa
Ancangan Sosial Budaya
Ada beberapa ancangan yang dapat diterapkan dalam
penelitian sosial budaya, antara lain ; (1) Hermeneutik, (2) Semiotik, dan (3)
Analisis Wacana.
1. Hermeneutik
Hermeneutik merupakan teori yang menjadi dasar sangat
penting dalam penelitian sosial budaya. Hermeneutik mengarah pada penafsiran
ekspresi yang penuh makna, dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Malakukan
interpretasi terhadap interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi, atau
sekelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Smith. 1984). Setiap
peristiwa atau karya memiliki makna dari interpretasi para pelaku atau
pembuatnya. Karya yang merupakan interpretasi atas sesuatu tersebut selanjutnya
menghadapi pembaca atau pengamatnya, dan ditangkap dengan interpretasi pula.
Gadamer (1976) menjelaskan, bahwa setiap karya akan selalu diciptakan kembali
oleh pengamatnya, yaitu mendapatkan makna baru yang dicipta oleh pengamatnya
(penghayatnya) tersebut.
Makna ekspresi manusia selalu terikat dan tak mungkin
dapat dipisahkan dari konteksnya. Untuk memahami suatu ekspresi, orang harus
memahami konteksnya, dan untuk memahami konteksnya, orang harus memahami
ekspresi-ekspresi individual. Hermeneutik memprasayaratkan suatu aktivitas
konstan dari interpretasi antara bagian dan keseluruhannya, yang merupakan
suatu proses tanpa awal dan juga tanpa akhir.
2. Semiotik
Semiotik, yang lazim dimengerti sebagai kajian tentang
sistem tanda, merupakan sebuah ladang luas yang objek kajiannya mencakup
berbagai disiplin pemikiran. Semiotik yang diterapkan dalam menganalisis
gejala-gejala budaya bersumber pada model Saussure, Peirce, dan Morris.
Pengaruh dari Saussure terutama berlangsung melalui pengaruh dari linguistik
struktural, yang dikembangkan terutama oleh Levi’s Strauss. Pierce dan Morris
terjadi langsung pada antropologi. Meskipun demikian, kedua jalur pengaruh itu
tidaklah bersifat eksklusif. Di dalam perkembangan deskripsi etnografis maupun
analisis aspek-aspek budaya tertentu, terjadi konvergensi dari kedua jalur
pengaruh itu. Salah satu sebab utama dari kecenderungan ini adalah, bahwa
penerapan model semiotik itu terdorong oleh penggunaan satuan-satuan leksikal
(leksem) sebagai unit analisis.
Sebenarnya penerapan model semiotik dalam kajian
budaya, tidak sepenuhnya meliputi semua aspek kebudayaan itu. Analisis dari
ritual, mitos, religi, kesenian, menggunakan pengertian simbol berbeda, dari
yang dimaksud oleh Pierce. Simbol dalam pengertian itu bersifat konotatif dan
asosiatif.
3. Analisis Wacana
Analisis
Wacana (Discourse Analysis) merupakan
satu cabang dari Linguistik, merupakan cabang ilmu yang antara lain ;
menggunakan cara-cara tersebut untuk dapat memahami suatu maksud
pembicaraan/komunikasi. Dalam bidang kesenian, terutama yang mempergunakan
dialog, akan sangat bermanfaat bila mempergunakan analisis wacana, sebagai
salah satu alternatif dalam ancangan penelitian. Hal terpenting dalam analisis
wacana adalah piranti (device). Salah
satu piranti analisis wacana yang dapat dipergunakan dalam bidang kesenian
adalah Knowledge of The World (Clark
and Clark, 1977), atau menurut Rumelhart (1977) disebut Schemata. Schemata ini
banyak dipergunakan untuk menyusun suatu pemahaman atau interpretasi sesuatu
yang baru, yang baru saja kita amati, yang baru saja kita kenal, kita baca,
kita dengar, kita lihat, kita rasakan, dan sebagainya. Dalam prosesnya, benak
kita kemudian mencari-cari khasanah berbagai pengetahuan tentang dunia, yang
sudah kita miliki yang cocok atau mirip dengan yang baru saja kita amati atau
pelajari itu. Kemudian kita hubung-hubungkan dengan menggunakan logika serta
analogi, hingga menjadi suatu pengertian yang baru. Pada waktu itulah benak
kita menyatakan bahwa kita sudah dapat memahami sesuatu yang baru tersebut.
Schemata pertama kali diperkenalkan oleh
Bartlett (1932, dalam Kartomihardjo, 2000 : 129), dalam teorinya tentang
mengingat. Teori tentang schemata
kemudian dianggap oleh para ahli psikologi, dapat membantu manusia dalam
memahami suatu teks.[1] Dalam perkembangannya, teori ini
disebut Frame, Scenarios,
dan Encyclopaedic entry (Minsky dalam
Kartomihardjo, 2000 : 129). Proses pemerolehannya pun berbeda, bila diperoleh
dari hal-hal kecil, kemudian terkumpul menjadi sesuatu yang besar, maka proses ini
disebut Bottom-up, dan sebaliknya Top-down.
Evaluasi :
1.
Jelaskan
perbedaan berbagai macam metode dalam penelitian ilmiah.
2.
Bagaimanakah
prinsip penggunaan metode-metode tersebut secara aplikatif.
3.
Jelaskan
pengertian berbagai ancangan dalam penelitian budaya !
4.
Bagaimanakah
aplikasinya dari berbagai macam ancangan tersebut, jelaskan !
Referensi :
1. Sutopo.
1996. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Surakarta : UNS Press.
2. Aminuddin
(ed). 1990. Pengembangan Penelitian
Kualitatif. Malang : .HISKI dan YA3.
3. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta. : Gadjah Mada University Press,
4. Kuntowijoyo.
1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta
:Tiara Wacana.
5. Sartono
K. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia.
6. Pudentia MPSS (ed). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan.
Jakarta : Yayasan Obor Ind. dan Asosiasi Tradisi
Lisan.
7. Levinson,
Stephen C. 1983. Pragmatics. Ner
York : Cambridge University Press.
9. E. K. M.
Masinambow dan Rahayu. S Hidayat (penyunting) .2001. Semiotik : Mengkaji Tanda
dalam Artifak. Jakarta : Balai Pustaka.
10. Soeseno
Kartomihardjo. 2000. “Analisis Wacana
dalam Pengajaran Bahasa“ dalam Jurnal Ilmiah Linguistik Indonesia, Februari
2000, Tahun 18 Nomor 1.
BAB
VI
TEKNIK DAN
ALAT PENGUMPUL DATA
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
tentang sumber data, serta data kuantitatif dan kualitatif.
b.
Menjelaskan
jenis-jenis data.
c.
Menjelaskan
dan melakukan teknik pengumpulan data, dan analisis data.
d.
Menjelaskan
dan melakukan teknik observasi, teknik komunikasi, teknik pengukuran, dan
teknik dokumenter.
e.
Melaksanakan
wawancara dan membuat desain angket.
A. Sumber Data
Pemahaman mengenai macam
sumber data merupakan bagian yang amat penting bagi peneliti, karena ketepatan
memilih dan menentukan jenis sumber data, akan menentukan ketepatan dan
kekayaan data yang diperoleh. Data tidak akan dapat diperolah tanpa adanya
sumber data. Betapapun menariknya sebuah permasalahan atau topik penelitian,
bila sumber datanya tidak tersedia, maka ia tidak akan memiliki makna karena
tidak akan dapat diteliti. Ketersediaan data menjadi prasyarat mutlak dalam
sebuah penelitian. Dengan kata lain, jangan melakukan sebuah penelitian bila
tidak tersedia data yang cukup. Beragam sumber data dapat dikelompokkan
jenisnya, mulai dari yang paling konkret, sampai yang paling abstrak.
Konskwensinya data yang diperoleh dari beragam jenis data tersebut validitasnya
juga bisa sangat beragam. Jenis sumber data secara menyeluruh dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
1. Nara
Sumber (informan)
Dalam penelitian kuantitatif istilah ini dinamakan
responden, dengan pengertian bahwa posisinya sekedar memberikan respons
(tanggapan), pada apa yang diminta atau ditentukan oleh penelitinya. Dalam
penelitian kualitatif disebut informan, posisinya sebagai nara sumber sangat penting, sebagai individu
yang memiliki informasi. Peneliti dan nara sumber memiliki posisi yang sama,
dan nara sumber tidak sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti,
tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia
miliki.
2.
Peristiwa
atau Aktivitas
Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari
mengamati peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan sasaran penelitiannya.
Dari peristiwa atau aktivitas, peneliti dapat mengetahui proses bagaimana
sesuatu terjadi secara lebih pasti, karena mengamati sendiri secara langsung.
Berbagai permasalahan memang memerlukan pemahaman lewat kajian, terhadap
perilaku atau sikap dari para pelaku dalam aktivitas yang sebenarnya. Bukan
hanya lewat informasi yang diberikan seseorang, atau dari catatan-catatan yang
ada mengenai aktivitas tertentu. Perlu difahami bahwa tidak semua peristiwa
dapat diamati secara langsung, kecuali ia merupakan aktivitas yang masih
berlangsung pada saat penelitian dilakukan. Banyak peristiwa yang hanya terjadi
satu kali, atau hanya berjalan dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terulang
kembali. Dalam hal semacam ini kajian lewat peristiwanya secara langsung tidak
bisa dilakukan.
3.
Tempat
atau Lokasi
Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau
permasalahan penelitian, juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa
dimanfaatkan oleh peneliti. Informasi mengenai kondisi dari lokasi peristiwa
atau aktivitas, bisa digali lewat lokasinya, baik yang merupakan tempat maupun
lingkungannya. Dari pemahaman lokasi dan lingkungannya, peneliti bisa secara
cermat mencoba mengkaji, dan secara kritis menarik kesimpulan yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
4.
Dokumen
atau Arsip
Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang
bergayut dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa berupa
rekaman, gambar, dan ilustrasi yang lainnya, yang berkaitan dengan suatu
aktivitas atau peristiwa tertentu. Banyak peristiwa yang telah lama terjadi
bisa diteliti dan difahami, atas dasar kajian dari dokumen atau arsip-arsip,
baik yang secara langsung atau tidak sangat berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti. Oleh karena itu, dokumen dan arsip bukan hanya menjadi sumber data
yang penting bagi penelitian kesejarahan, tetapi juga dalam penelitian
kualitatif pada umumnya. (Sutopo. 1996 : 48 – 50)
B.
Jenis-jenis
Data
Pada dasarnya data penelitian dapat dikelompokkan
menjadi data kuantitatif dan data kualitatif. Data kualitatif banyak
dipergunakan dalam penelitian filosofis, dan sebagian juga terdapat dalam
penelitian deskriptif dan historis. Data ini dinyatakan dalam bentuk uraian
kalimat. Beberapa dari data tersebut menunjukkan perbedaan dalam bentuk jenjang
atau tingkatan, walaupun tidak jelas batas-batasnya. Misalnya data yang
dinyatakan dalam bentuk sangat baik, baik, sedang, buruk, sangat buruk, atau
dalam bentuk sangat setuju, setuju, tidak tahu, tidak setuju, sangat tidak
setuju. Data yang berjenjang seperti itu sering ditransformasikan ke dalam data
kuantitatif, dengan memberikan simbol angka secara berjenjang pula, atau dengan
menghitung frekwensi/jumlahnya secara terpisah satu dengan yang lain. Dengan
transformasi seperti itu, analisa data dapat dilakukan dengan mempergunakan
perhitungan statistik tertentu.
Data dalam penelitian kuantitatif biasanya dinyatakan
dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif, maupun
yang sejak semula sudah bersifat kuantitatif. Data tersebut diperinci menjadi
data nominal dan data kontinum. Data nominal berasal dari gejala yang nominal
pula. Gejala nominal adalah gejala yang hanya dapat digolong-golongkan secara
terpisah atau secara dekrit atau secara kategorik. Penggolongan itu antara lain
dilakukan dalam bentuk jenis atau keadaan yang dapat bervariasi menurut jumlah
atau frekwensinya. Data kontinum berasal dari gejala yang bersifat kontinum
pula, yaitu gejala yang bervariasi menurut tingkatan atau penjenjangan. Data
tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Gejala itu antara lain
tampak dalam gejala kualitatif, seperti ; sangat baik, baik, sedang, tidak
baik, dan sangat tidak baik, yang antara satu dengan yang lain tidak jelas
batas-batasnya, tetapi sifatnya berjenjang atau bertingkat.
C.
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam setiap penelitian di samping penggunaan metode
yang tepat, diperlukan pula kemampuan memilih dan menyusun teknik dan alat
pengumpul data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan
alat pengumpul data ini sangat berpengaruh pada obyektivitas hasil penelitian.
Dengan kata lain, teknik dan alat pengumpul data yang tepat dalam suatu
penelitian, akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada akhirnya
memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif. Sehubungan dengan hal
ini, dapat dibedakan empat jenis teknik penelitian sebagai cara yang dapat
ditempuh untuk mengumpulkan data.
1.
Teknik
Observasi
Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan secara sistematik, terhadap gejala yang tampak pada obyek
penelitian. Teknik ini dibedakan menjadi dua, yaitu (1) teknik observasi
langsung, dan (2) teknik observasi tidak langsung.
1.1.Teknik
Observasi Langsung
Teknik
observasi langsung adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui
pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian, yang
pelaksanaannya langsung pada tempat di mana suatu peristiwa, keadaan, atau
situasi sedang terjadi. Peristiwa, keadaan, atau situasi tersebut dapat dibuat,
dan dapat pula yang sesungguhnya. Pengamatan dapat dilakukan dengan atau tanpa
alat bantu.
1.2. Teknik Observasi Tidak
Langsung
Pelaksanaan teknik ini adalah
mengumpulkan data melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak
pada obyek penelitian tidak langsung di tempat, atau pada saat peristiwa,
keadaan atau situasi itu terjadi. Peristiwa atau keadaan tersebut dapat
disengaja dibuat, atau dapat pula yang sesungguhnya. Pengamatannya dapat
mempergunakan alat bantu atau tanpa alat bantu.
Selanjutnya pelaksanaan teknik
observasi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu observasi partisipan dan
observasi non partisipan. Observasi partisipan adalah suatu proses pengamatan
yang dilakukan oleh pengamat (observer),
dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan atau kegiatan dari orang yang akan
diobservasi. Sebaliknya, observasi non partisipan, observer tidak ikut ambil
bagian dari kegiatan atau kehidupan dari orang yang diamati.
2. Teknik Komunikasi
Teknik komunikasi adalah cara
mengumpulkan data melalui kontak atau hubungan pribadi, antara pengumpul data
dengan sumber data (responden/informan). Dalam pelaksanaannya dikenal dua
teknik yang sekaligus juga dikenal dua alat pengumpul data, yaitu sebagai
berikut.
2.1. Teknik Komunikasi Langsung
Teknik ini dilakukan dengan cara
kontak langsung secara lisan dengan informan (face to face), baik dalam situasi yang sebenarnya, maupun dalam
situasi yang dibuat untuk keperluan tersebut. Alat yang dipergunakan dalam
teknik ini adalah wawancara (interview
diindonesiakan menjadi interviu). Interviu adalah usaha mengumpulkan
informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan
secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula oleh informan. Interviu
dipergunakan untuk menghimpun data sosial, terutama untuk mengetahui tanggapan,
pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, dan cita-cita seseorang. Oleh karena
itu, interviu sebagai alat pengumpul data dapat dipergunakan dalam tiga fungsi
sebagai berikut.
a.
Interviu sebagai alat primer, yaitu
interviu dipergunakan sebagai alat pengumpul data utama, apabila data yang akan
diungkapkan tidak mungkin diperoleh dengan alat lain yang lebih baik.
b. Interviu
sebagai alat pelengkap, yaitu apabila informasi-informasi pokok sebagai data
penelitian telah diungkapkan, tetapi beberapa di antaranya masih perlu
disempurnakan. Dengan kata lain, interviu akan menjadi alat pelengkap, apabila
dipergunakan untuk mengumpulkan data yang tidak dapat diperoleh dari alat
pengumpul data utama.
c.
Interviu sebagai alat pengukur atau
pembanding (kriterium), yaitu interviu dapat dipergunakan untuk mengecek atau
menguji kebenaran, ketelitian, dan ketepatan data yang diperoleh dengan
mempergunakan alat lain. Dengan demikian, data yang diperoleh dari interviu
dipergunakan sebagi pengukur atau pembanding, bagi data yang telah dihimpun
melalui alat pengumpul data lain sebagai alat utama dalam memecahkan masalah.
Perbedaan penggunaan ketiga fungsi tersebut tidak
berarti bahwa yang satu lebih tinggi nilainya dari yang lain. Ketiga fungsi
tersebut akan menghimpun data yang sama pentingnya bagi pemecahan masalah
penelitian.
2.2.
Teknik Komunikasi Tidak Langsung
Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan hubungan
tidak langsung, atau dengan perantaraan alat, baik yang berupa alat yang
tersedia, maupun alat khusus yang dibuat untuk keperluan itu. Alat yang
digunakan dalam teknik ini adalah angket (questionaire).
Angket adalah usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah
pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh informan.
Pengisian angket mungkin dilakukan oleh informan yang harus memberikan
informasi tentang dirinya sendiri (angket/kuesioner langsung). Di samping itu,
mungkin pula seorang informan harus memberikan informasi tentang orang lain (misalnya ; ayah tentang
anaknya, guru tentang muridnya, dokter tentang pasiennya, dan sebagainya),
biasanya disebut sebagai kuesioner tidak langsung.
Kuesioner dapat dibedakan menurut bentuk pertanyaannya,
yaitu ; kuesioner dengan pertanyaan bebas, kuesioner dengan pertanyaan terikat,
dan kuesioner dengan jawaban singkat. Kuesioner bebas disebut pula dengan
kuesioner tidak terstruktur. Jawaban informan terhadap setiap pertanyaan bentuk
ini dapat diberikan secara bebas atau menurut pendapat sendiri. Bentuk jawaban
biasanya berupa uraian panjang, dan mungkin tidak seluruhnya berkenaan dengan
maksud pertanyaan. Kuesioner terikat disebut pula dengan kuesioner terstruktur.
Setiap pertanyaan terikat pada sejumlah alternatif yang disediakan. Kuesioner
jenis ini mengenal dua bentuk pertanyaan, yaitu ; pertanyaan tertutup dan
terbuka. Pertanyaan tertutup, bila hanya disediakan beberapa alternatif, dan
informan harus menjawab salah satu yang paling benar/baik. Pertanyaan terbuka,
apabila selain alternatif jawaban juga disediakan sedikit ruangan untuk jawaban
informan. Kuesioner dengan jawaban singkat adalah jenis kuesioner yang mirip
dengan kuesioner dengan pertanyaan bebas. Akan tetapi karena sifat jawaban
singkat dan tertentu, maka bentuknya tidak banyak berbeda dengan kuesioner
dengan pertanyaan terikat.
D.
Teknik
Pengukuran
Pengukuran berarti usaha untuk mengetahui suatu keadaan
berupa kecerdasan, kecakapan, panjang, berat, dan sebagainya, kemudian
dibandingkan dengan norma tertentu. Kegiatan membandingkan keadaan dengan norma
tertentu sebagai ukuran, dan diringi
dengan interpretasi kualitatif disebut evaluasi. Dalam kegiatan penelitian
biasanya evaluasi tidak dilakukan langsung terhadap data kuantitatif hasil
pengukuran, namun dirangkaikan di dalam pengujian hipotesa. Beberapa alat yang
dipergunakan untuk melakukan pengukuran adalah ; meteran, kilogram, test
standar, test sosiometri, dan sebagainya. Dalam bidang sosial alat yang banyak
digunakan adalah test. Dua jenis test yang sering digunakan sebagai alat ukur
adalah sebagai berikut.
1. Tes
lisan, adalah berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara lisan tentang
aspek-aspek yang akan diungkapkan, atau tentang salah satu aspek psikologis.
Pada dasarnya tes ini tidak banyak berbeda dengan interviu. Akan tetapi karena
yang diungkapkan adalah aspek psikologis tertentu, sulit untuk menetapkan
validitas dan reliabilitasnya sebagai alat pengukur kuantitatif.
2. Tes
tertulis, adalah berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara tertulis
tentang salah satu aspek psikologis, yang dapat diketahui keadaannya dari
jawaban yang diberikan. Tes tertulis dibedakan menjadi tes essay dan tes
obyektif. Tes obyektif dapat berupa tes betul-salah, tes pilihan berganda, tes
menjodohkan, tes melengkapi, dan tes jawaban singkat.
E.
Teknik
Dokumenter
Dalam melakukan penelitian termasuk juga pada saat
menyusun kerangka teori dan kerangka konsep, akan tidak efisien bila seluruh
buku/data yang diperlukan ditumpuk di tempat bekerja. Untuk itu, diperlukan
suatu sistem pencatatan sebagai alat pengumpul data yang berupa kartu, yaitu ;
(1) kartu ikhtisar, (2) kartu kutipan, dan (3) kartu ulasan.[2]
1.
Kartu
Ikhtisar
Pada saat membaca sebuah buku tentang masalah yang
diteliti, kemungkinan seluruh isi buku tersebut, atau beberapa bab di antaranya
sangat berharga untuk dipergunakan. Akan tetapi karena panjangnya bahan
tersebut, maka tidak seluruhnya dapat dikutip. Untuk itu, seorang peneliti
dapat membuat ikhtisarnya dalam selembar kartu atau lebih. Ikhtisar semacam itu
dapat dipergunakan sebagai bahan kutipan tidak langsung.
2.
Kartu
Kutipan
Di dalam kartu ini biasanya kutipan dari sebuah buku
ditulis sebagaimana adanya secara lengkap. Oleh karena itu materi yang dikutip
tidak terlalu panjang, misalnya sebuah definisi, dalil, dan lain-lain. Bahan
yang dikutip itu dipilih sedemikian rupa, terutama yang mungkin dipergunakan
sebagai kutipan langsung.
3.
Kartu
Ulasan
Dalam membaca sebuah buku atau bahan referensi lain
yang berhubungan dengan masalah penelitian, bukan tidak mungkin timbul
pemikiran tentang suatu teori, dalil, hukum, pendapat, dan sebagainya.
Pemikiran sebagai reaksi mental dari si pembaca itu mungkin bersifat kritik,
penafsiran, atau penjabaran dari materi yang dibacanya. Agar tidak terlupakan
maka sering diperlukan membuat kartu ulasan, setelah mengutip secara singkat
dari materi buku yang dibaca. Bahan ulasan seperti itu akan sangat berguna
dalam menyusun kerangka teori, kerangka konsep, dan dalam menarik kesimpulan
(Hadari Nawawi. 1995 : 100 – 133)
Evaluasi :
1.
Jelaskan
tentang perbedaan teknik observasi langsung dan tidak langsung !
2.
Jelaskan
pula perbedaan teknik komunikasi langsung dengan tidak langsung !
3.
Jelaskan
langkah-langkah teknik pengukuran !
4.
Jelaskan
langkah-langkah teknik dokumentasi !
5.
Buatlah
sebuah angket yang berisi tentang sikap pemuda terhadap seni tradisional.
6.
Buatlah
sebuah desain wawancara, dan rekamlah wawancara tersebut.
Referensi :
1. Sutopo.
1996. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Surakarta : UNS Press.
2. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3. Lexy.
JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research
Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
5. Milles,
B Matthew. 1986. Qualitative Data
Analysis : A Source Book of New Methods.
Beverly Hills : Sage Publication.
6. Saifuddin
Azwar. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
7. Sanapiah
Faisal. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun
Angket. Surabaya : Usaha Nasional.
8. Contoh
wawancara dan angket.
BAB
VII
VALIDITAS DAN
RELIABILITAS
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
dan membedakan validitas dan reliabilitas.
b.
Menjelaskan
validitas alat pengumpul data.
c.
Menjelaskan
reliabilitas alat pengumpul data.
d.
Melakukan
tes terhadap validitas dan reliabilitas alat pengumpul data.
Validitas Alat Pengumpul Data
Perlu diingat, bahwa hanya alat pengumpul data yang
baik, yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data yang obyektif, dan mampu
menguji hipotesis penelitian. Ada dua syarat pokok untuk dapat dinyatakan
sebagai alat pengumpul data yang baik dan obyektif, yaitu ; validitas dan
reliabilitas.
Untuk mengumpulkan data kuantitatif, dapat
mempergunakan test sebagai alat pengukur, validitasnya dapat diukur dengan
penghitungan statistik berupa teknik korelasi. Cara seperti ini dimungkinkan,
karena setiap item test hanya memiliki satu jawaban yang paling benar.
Persoalan validitas muncul bagi alat pengumpul data lainnya, seperti observasi,
interviu, dan angket. Dalam mempergunakan alat tersebut jawaban informan atau
gejala yang diamati dapat berbeda-beda, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Perbedaan itu tidak berarti jawaban yang satu salah dan yang lain benar, namun
perlu adanya validitas alat pengumpul data. Untuk itu, validitas alat tersebut
dapat diketahui dengan beberapa cara sebagai berikut.
1.
Validitas
Permukaan (Face Validity)
Validitas alat pengumpul data ini dinyatakan dengan ;
bagaimana kelihatannya suatu alat pengumpul data itu, dalam mengungkapkan data
yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, apakah alat itu
kelihatannya benar-benar dapat mengungkapkan gejala-gejala yang hendak
diteliti. Oleh karena itu, validitas ini disebut pula validitas lahiriah atau
validitas tampang. Dengan demikian dapat pula disimpulkan, bahwa jika alat
pengumpul data itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aspek-aspek di
dalam masalah yang diteliti, berarti bukan alat pengumpul data yang valid.
Penentuan validitas ini sangat tergantung pada kemampuan berfikir, atau
penggunaan akal sehat dari si pembuat alat pengumpul data.
2.
Validitas
yang Bersifat Logis (Logical Validity)
Validitas ini disebut pula validitas konstruk (construct validity). Dalam validitas
ini, setiap aspek yang akan diungkapkan ditetapkan terlebih dahulu definisinya,
sebagai pengukur apakah materi setiap item benar-benar tercakup di dalamnya.
Definisi itu dipandang sebagai konstruksi teoritis tentang suatu gejala. Oleh
karena itu, apabila item alat pengumpul data dipandang telah menampung semua
gejala, yang termasuk dalam definisi itu, berarti alat pengumpul data tersebut
telah valid. Sebaliknya, bila item yang disusun tidak mencakup seluruh gejala
dari definisi-definisi yang telah dibuat, berarti alat tersebut tidak valid.
3.
Validitas
Berdasarkan Faktor (Factorial Validity)
Validitas
ini disebut pula validitas statistik, yang diperoleh melalui penghitungan
korelasi dengan kriterium sebagai berikut.
a.
Total skor sebagai kriterium
Dalam
validitas ini diukur nilai sekelompok individu dalam setiap item satu per satu,
untuk mengecek kecocokannya dengan nilai keseluruhan item, dalam mengerjakan
suatu alat pengumpul data. Dengan demikian, validitas ini bermaksud untuk
mengetahui sampai di mana suatu faktor yang diungkapkan oleh suatu item,
mempunyai keserasian terhadap keseluruhan faktor yang hendak diungkapkan oleh
suatu alat pengumpul data.
b. Kriterium
eksternal
Validitas
ini diperoleh dengan membandingkan nilai yang diperoleh sekelompok individu,
dalam mengerjakan suatu alat pengumpul data, yang hendak diukur validitasnya,
dengan nilai yang diperoleh kelompok individu yang sama, dalam mengerjakan alat
pengumpul data lain, yang telah diketahui validitasnya tinggi.
4.
Validitas
Isi (Content Validity)
Validitas ini disebut pula Curricular Validity, yang diperoleh dengan memeriksa kecocokan
setiap item, dengan bahan yang telah diberikan pada sekelompok individu. Suatu
item yang valid tidak boleh keluar dari ruang lingkup bahan tertentu, yang
seharusnya sudah diketahui oleh kelompok individu itu. Validitas ini banyak
dipergunakan untuk mengetahui validitas achievement
test tertentu, yang setiap itemnya dan keseluruhan itemnya, dapat
dibandingkan dengan bahan yang harus diketahui menurut kurikulum bidang studi,
yang hendak diukur dengan alat test tersebut.
5.
Validitas
Empiris (Empirical Validity)
Validitas ini diperoleh dengan membandingkan alat
pengumpul data yang hendak diukur validitasnya, dengan keadaan nyata sebagai
kriterium yang harus menunjukkan kecocokan secara sempurna. Pengukuran
validitas ini memerlukan waktu yang lama, karena setelah dilakukan pengumpulan data dengan alat tertentu pada
sekelompok individu, harus ditunggu dan dicek keadaan nyata dari
individu-individu itu, untuk mengetahui kesesuaian antara data yang telah
diperoleh dengan keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam kenyataan. Untuk
mengatasi waktu yang cukup lama itu, dapat ditempuh cara tidak langsung. Cara
itu dilakukan dengan membandingkan hasil yang diperoleh dari alat pengumpul
data yang hendak diukur validitasnya, dengan hasil alat pengumpul data lain,
yang secara empirical telah diketahui
merupakan alat pengumpul data yang valid
(Periksa dalam Hadari Nawawi. 1995 : 136 –139).
Reliabilitas Alat Pengumpul Data
Reliabilitas alat pengumpul data pada dasarnya
menunjukkan tingkat ketetapan/keajegan alat tersebut, dalam mengungkapkan
gejala tertentu dari sekelompok individu, walaupun dilakukan dalam waktu-waktu
yang berbeda. Dengan demikian, berarti reliabilitas mengandung pengertian
sebagai berikut.
a.
Gejala yang tampak dalam pengumpulan data
pertama tetap bertahan atau tidak berubah pada pengukuran kedua dan seterusnya,
bila dipergunakan alat yang sama.
b. Pengukuran
atau pengumpulan data berikutnya adalah ekuivalen, dengan pengukuran atau
pengumpulan data sebelumnya, dengan mempergunakan alat pengukur/pengumpul data
yang sama.
Pengukuran tingkat reliabilitas alat pengumpul data
hanya dapat dilakukan dengan penghitungan statistik korelasi. Data untuk
penghitungan itu dapat diperoleh dari hasil uji coba pada sejumlah individu di
luar sampel, tetapi berasal dari populasi yang sama. Cara yang dapat
dipergunakan untuk menghitung koefisien korelasi reliabilitas adalah ; (1)
korelasi belah dua, (2) korelasi test retest, dan (3) korelasi bentuk sejajar.
1.
Korelasi Belah Dua
Indeks reliabilitas
ini diperoleh dengan penghitungan korelasi, antara nilai-nilai yang diperoleh
dari item bernomor genap dengan nilai-nilai bernomor ganjil, dari test yang
sama yang dikerjakan oleh sekelompok individu.
2.
Korelasi Test Retest
Indeks reliabilitas
ini diperoleh dengan penghitungan korelasi, antara nilai-nilai yang diperoleh
dari suatu test yang dilakukan dua kali. Oleh sekelompok individu yang sama
pada waktu berlainan.
3.
Korelasi Bentuk Sejajar
Teknik ini disebut
pula teknik bentuk seimbang atau teknik bentuk alternatif atau teknik
keseimbangan rasional. Indeks reliabilitas ini diperoleh dengan mengkorelasikan
nilai-nilai dari dua test yang sama (materi dan bentuknya), tetapi tidak sama
rumusan itemnya yang dikerjakan oleh sekelompok individu yang sama, pada waktu
yang tidak terlalu jauh berbeda (Hadari Nawawi.1995 : 129).
Evaluasi :
1.
Bagaimanakah
cara mengukur validitas alat pengukur data ?
2.
Bagaimanakah
cara mengukur reliabilitas alat pengukur data ?
3.
Bagaimanakah
hubungan validitas dengan reliabilitas, jelaskan dengan contoh !
Referensi :
1. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research
Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
3. Lexy.
JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
4. Kirk,
Jerome and Marc. L. Miller. 1986. Reliability
and Validity in Qualitative Research, Vol. I. Beverly Hills : Sage
Publication.
5. Saifuddin
Azwar. 1999, Metode Penelitian.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
BABA
VIII
POPULASI DAN
SAMPEL
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
dan membedakan populasi dan sampel.
b.
Menjelaskan
sifat-sifat populasi dan sampel.
c.
Menjelaskan
dan menentukan ukuran sampel penelitian.
d.
Menjelaskan
dan melakukan pengambilan sampel secara probability
maupun secara non probability.
A. Pengertian Populasi dan Sampel
Setiap penelitian ilmiah selalu
berhadapan dengan masalah sumber data yang disebut populasi dan sampel.
Pemilihan dan penentuan sumber data itu tergantung pada permasalahan yang akan
diteliti. Sumber data yang tidak tepat akan berakibat pada biasnya sebuah
kesimpulan. Penelitian yang mempergunakan populasi dan atau sampel yang keliru,
tidak banyak artinya bagi pemecahan masalah yang dihadapi, bahkan akan
menimbulkan permasalahan baru. Di samping itu, diperlukan pula kecermatan dan
ketelitian dalam usaha menetapkan sumber data, agar diperoleh data atau
informasi yang memadai. Dengan demikian, permasalahan populasi dan sampel bukan
merupakan permasalahan yang sederhana, bila menginginkan suatu hasil penelitian
yang valid dan reliabel.
Secara
sederhana dan singkat, menurut pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa populasi
dan sampel merupakan sumber data. Namun kedua istilah tersebut harus dibedakan
secara jelas. Menurut Sudjana (dalam Nawawi, 1995:141) “Populasi adalah
totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung maupun pengukuran, kuantitatif
maupun kualitatif, daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek
yang lengkap dan jelas”. Dari pengertian itu, populasi cenderung pada penentuan
jumlah sumber data yang memiliki karakteristik tertentu, yang dibedakan antara
populasi terbatas dan populasi tak terbatas.
1.
Populasi
terbatas, yaitu sumber data yang jelas batas-batasnya secara kuantitatif,
karena memiliki karakteristik yang terbatas. Misalnya 3 000 000 orang
rarapidana di Indonesia pada awal tahun 1981, dengan karakteristik menghuni
lembaga pemasyarakatan sejak 1 Januari 1981, dijatuhi hukuman minimal 1 bulan.
2.
Populasi
tak terbatas, yaitu sumber data yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya,
sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif.
Misalnya nara pidana di Indonesia, yang berarti jumlahnya harus dihitung sejak
narapidana pertama sampai terakhir pada masa sekarang, bahkan termasuk pula
narapidana yang akan datang. Dalam keadaan seperti itu jumlahnya tidak dapat
dihitung, sehingga hanya menggambarkan suatu kelompok obyek secara kualitas
dengan karakteristik yang bersifat umum, yakni orang-orang yang pernah, sedang,
dan akan menjadi narapidana.
Dalam kenyataannya seringkali terjadi bahwa populasi
yang sesungguhnya terbatas, akan tetapi karena jumlahnya sangat besar dipandang
sebagai populasi tak terbatas. Misalnya dari contoh di atas 3 000 000 orang
narapidana sebenarnya merupakan jumlah yang terbatas, akan tetapi karena
mustahil suatu penelitian dilakukan terhadap jumlah yang besar, maka populasi
dipandang tidak terbatas bagi penelitian itu.
Selanjutnya dalam persoalan sifat populasi dibedakan
menjadi populasi homogen dan populasi heterogen.
1. Populasi
homogen, yaitu sumber data yang unsur-unsurnya memiliki sifat-sifat yang sama,
sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif. Populasi
seperti itu banyak dijumpai dalam ilmu pengetahuan alam. Misalnya, sebuah
sungai yang terkontaminasi dengan limbah yang sangat pekat, di mana seluruh
airnya sudah berwarna hitam semua, maka populasi tersebut disebut dengan
populasi homogen. Pengambilan sampel tersebut tidak harus sebanyak satu tong,
tetapi cukup satu liter karena sifatnya sama.
2. Populasi
heterogen, yaitu sumber data yang unsur-unsurnya memiliki sifat atau keadaan
yang tidak sama atau bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya.
Semua penelitian di bidang sosial yang obyeknya manusia, atau gejala-gejala
dalam kehidupan manusia, menghadapi populasi heterogen. Manusia sebagai obyek
adalah makhluk yang unik dan kompleks, terdiri dari individu-individu yang
bervariasi, dalam arti berbeda dari satu dengan yang lainnya. Dalam menghadapi
populasi yang heterogen inilah akan timbul permasalahan sampel.
Sampel secara sederhana diartikan sebagai bagian dari
populasi, yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian. Sejalan
pengertian itu, Sutrisno Hadi mengatakan “ sebagian individu yang diselidiki
itu disebut sampel, sampel atau contoh (monster)”. Sudjana menyebutkan “sampel
adalah sebagian yang diambil dari populasi, dengan menggunakan cara-cara
tertentu”.
Dari uraian sebelumnya telah dikatakan, bahwa persoalan
sampel akan timbul bila populasi bersifat heterogen dan jumlahnya cukup besar.
Populasi yang secara kuantitatif jumlahnya cukup besar, sering tidak mungkin
untuk dijangkau seluruhnya, tidak saja karena biayanya yang sangat besar dan
waktunya lama, tetapi juga hasilnya belum tentu lebih obyektif.
Terkadang dijumpai suatu penelitian yang obyeknya atau
populasinya kecil, sehingga harus dilakukan pada seluruh populasi. Penggunaan
seluruh populasi sebagai sumber data ini disebut penelitian populasi, atau
penelitian dengan sampel total. Bila jumlah populasi sangat besar, dan
penelitian dilakukan terhadap seluruh populasi, maka penelitian itu disebut
pula sebagai sensus.
Telah dikatakan sebelumnya, bahwa sampel harus mewakili
populasi, dalam arti sampel harus bersifat representatif. Sampel bersifat
representatif apabila terdiri dari unsur-unsur yang memiliki seluruh
sifat-sifat populasi, walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit. Dergan demikian,
hasil penelitian terhadap sampel yang representatif, tidak akan berbeda dengan
hasil penelitian seandainya dilakukan terhadap seluruh populasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa masalah
sampel ini timbul dalam suatu penelitian adalah karena :
a.
Peneliti bermaksud mereduksi obyek
penelitiannya sebagai akibat dari besarnya populasi, sehingga harus meneliti
sebagian saja dari populasi tersebut.
b. Peneliti
bermaksud menetapkan ruang lingkup berlakunya generalisasi hasil penelitian,
baik dalam batas jumlah maupun wilayah populasi, berdasarkan karakteristik
tertentu yang bersifat kualitatif.
B.
Jenis dan Ukuran Sampel
Setelah jenis populasi
ditetapkan, perlu dibatasi pula luasnya dengan menegaskan karakteristik.
Menetapkan karakteristik berarti melakukan identifikasi dan inventarisasi
terhadap sifat-sifat populasi, sebagai batas ruang lingkup berlakunya
generalisasi yang akan dirumuskan. Kekaburan tentang batas-batas luas populasi
karena tidak jelasnya karakteristik, akan menimbulkan kebingungan dan
kekeliruan dalam menentukan sampel, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
hasil penelitian yang tidak valid dan reliabel.
Populasi
tak terhingga (tak terbatas) berupa parameter yang jumlahnya tidak diketahui
dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual. Demikian pula dalam populasi
terbatas (terhingga) yang jumlahnya juga sangat besar, tidak praktis
mengumpulkan data sebanyak itu, dan akan timbul kesulitan dalam menganalisa
data yang terkumpul.
Selanjutnya untuk
memperoleh sampel minimal yang harus diteliti, dipergunakan rumus sebagai
berikut.
n ³ p
q ( z ½ a ) 2
b
Keterangan :
n : jumlah sampel minimum
³
:
sama dengan atau lebih besar
p : proporsi populasi prosentase kelompok pertama
q :
proporsi sisa di dalam populasi
z ½ :
derajat koefisien konfidensi pada 99 % atau 95 %
b : prosentasi perkiraan kemungkinan membuat
kekeliruan dalam menentukan ukuran
sampel
Contoh
:
Jika diketahui jumlah populasi 400 000 orang berupa
warga keturunan arab di Solo, sedangkan 50 000 orang tinggal di luar Solo.
Berapa sampel yang harus dipenuhi ?
p : 50 000 X 100
% atau
12,5 % atau p = 0,125
400 000
q :
1,00 – 0,125 = 0,875
z ½ :
1,96 (pada derajat koefisien 95 % atau 0,05)
b : 5
% atau 0,05
dimasukkan dalam rumus sebagai berikut.
n ³ 0,125
X 0,875 ( 1,96 ) 2
0,05
n ³ 168,05
oleh karena sampel berupa manusia, maka harus
dibulatkan ke atas, yang berarti ukuran sampel sekurang-kurangnya 169 orang.
C.
Teknik Sampling (pengambilan sampel)
Sampel yang tidak representatif
atau tidak mewakili semua sifat populasi adalah sampel yang keliru, sehingga
mengakibatkan generalisasi yang keliru.
Keadaan seperti itu dapat terjadi,
karena dari sampel yang seperti itu sulit diperoleh data yang obyektif.
Oleh karena itu, di samping penentuan ukuran sampel, masih perlu tentang teknik
sampling, dalam rangka meningkatkan ketepatan penarikan sampel penelitian.
Dalam persoalan teknik sampling,
dapat dijumpai beberapa cara pembagian yang berbeda-beda, walaupun pada
dasarnya bertolak dari asumsi yang sama. Asumsi pokoknya adalah, bahwa teknik
sampling harus secara maksimal memungkinkan diperolehnya sampel yang
representatif, yang tidak didasari oleh keinginan si peneliti. Bertolak dari
asumsi itu, di bawah ini dikemukakan dua teknik sampling sebagai berikut.
1.
Probability
Sampling
Teknik sampling probabilitas ini termasuk teknik random
sebagai cara penentuan sampel yang obyektif, karena memperhitungkan besarnya
variasi populasi, yang dapat menjadi sumber kekeliruan dalam penarikan sampel.
Random dalam teknik ini dapat dipergunakan dalam cara undian, cara ordinal, dan
randomisasi dari tabel bilangan random. Probability sampling ini terdiri dari :
(1) Simple random sampling, (2) Stratified random sampling, dan (3) Cluster
random sampling.
1.1.
Simple
Random Sampling
Dalam
teknik ini, random untuk mendapatkan sampel, langsung dilakukan pada unit
sampling. Dengan demikian, setiap unit sampling sebagai unsur populasi yang
terkecil, memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel atau mewakili
populasi. Teknik ini dapat dipergunakan bila jumlah unit sampling di dalam
suatu populasi tidak terlalu besar.
1.2.
Stratified
Random Sampling
Dalam
teknik ini pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat atau berjenjang,
tidak langsung pada unit sampling yang menjadi unsur populasi tersebut.
Tingkatan atau jenjang itu tergantung pada kondisi populasi. Misalnya
penelitian denganmempergunakan Kepala Keluarga sebagai unit sampling, dengan
ukuran sampel sebanyak 150 orang dalam sebuah propinsi. Tahap pertama dilakukan
penarikan terhadap kabupaten/kotamadya. Tahap ke dua dilakukan penarikan
terhadap kecamatan, dan tahap ke tiga dilakukan penarikan tahap desa/kelurahan.
Tahap terakhir dilakukan dengan menghitung jumlah Kepala Keluarga di
desa/lkelurahan tersebut. Jika jumlahnya telah mencukupi 150 orang, maka
semuanya dijadikan sampel. Jika terjadi kelebihan atau kekurangan, penambahan
atau pengurangan harus dilakukan secara random, baik secara bertingkat maupun
langsung pada unit sampling yang tersedia.
1.3.
Cluster
Random Sampling
Dalam
tenik ini pengambilan sampel terdapat beberapa kesamaan dengan dua cara
sebelumnya. Kesamaan dengan teknik yang pertama, bahwa pengambilan sampel
dengan teknik ini tidak dilakukan secara bertingkat, namun berbeda karena tidak
langsung pada unit sampling. Kesamaannya dengan teknik yang ke dua adalah,
karena teknik ini tidak dilakukan secara langsung pada unit sampling, namun
berbeda karena tidak dilakukan secara bertingkat. Misalnya, sampling berupa
individu-individu, dimasukkan ke dalam satuan-satuan tertentu, sehingga menjadi
kelompok individu atau cluster.
Random dilakukan terhadap sejumlah kelompok atau cluster, yang pada tahap pertama tanpa memperhatikan jumlah unit
sampling di dalam setiap kelompok. Dari sejumlah kelompok yang terpilih,
dihitung jumlah unit sampling yang diperoleh. Kemungkinan kelebihan unit
sampling berupa individu sering tidak dipermasalahkan. Akan tetapi, bila kelebihannya
mencapai jumlah satu kelompok, dapat dilakukan pengurangan satu kelompok dengan
melakukan random. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan sampel dari ukuran yang
telah ditetapkan, maka harus ditambah dengan mengambil lagi secara random satu
atau dua kelompok, walaupun jumlah unit sampling akan melebihi ukuran yang
ditetapkan.
2.
Non
Probability Sampling
Teknik ini termasuk non random sampling, karena tidak
memperhitungkan variasi antara setiap unit sampling, dan kemungkinan kekeliruan
sampel. Dengan kata lain, penentuan sampel tidak dilakukan secara eksak, akan
tetapi secara hipotesis dengan menetapkan jumlah atau ukuran sampel secara
perkiraan. Jumlah populasi sering tidak diketahui dengan pasti, sehingga
pengambilan jumlah atau ukuran sampel hanya dilakukan dengan perkiraan, atau
estimasi telah mencukupi untuk mewakili populasi. Dalam teknik ini ukuran
sampel tidak dipersoalkan, karena hanya diperkirakan secara hipotetis, bahwa
jumlah dianggap cukup sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. teknik ini
terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) Accidental Sampling, (2) Quota Sampling,
dan (3) Purposive Sampling.
2.1.
Accidental
Sampling
Dalam
teknik ini pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu, peneliti langsung
mengumpulkan data dari unit sampling yang ditemuinya. Setelah jumlahnya
diperkirakan mencukupi, pengumpulan data dihentikan. Misalnya mengenai pendapat
umum tentang Pemilu di Indonesia. Peneliti dengan mempergunakan interviu,
langsung mengumpulkan data dari setiap orang dewasa yang dijumpainya. Setelah
jumlah yang diwawancarai dianggap cukup, pengumpulan data dihentikan dan data
diolah/dianalisa.
2.2.
Quota
Sampling
Dalam
teknik ini jumlah populasi tidak diperhitungkan, akan tetapi diklasifikasikan
dalam beberapa kelompok. Sampel diambil dengan memberikan jatah atau quota
tertentu pada setiap kelompok, yang seolah-olah berkedudukan masing-masing
sebagai sub populasi. Pengumpulan data dilakukan langsung pada unit sampling
seperti cara pertama. Setelah jatahnya untuk sub populasi atau kelompok
terpenuhi, pengumpulan data dihentikan. Misalnya penelitian dilakukan dengan
mempergunakan petani sebagai unit sampling, untuk mengetahui pendapatnya
tentang harga pupuk, sesuai dengan
penghasilan para petani. Untuk itu, keluarga petani akan dikelompokkan menjadi
; petani asli, petani buruh, dan petani yang juga pegawai negeri. Setiap
populasi itu diberi jatah tertentu, walaupun jumlahnya masing-masing populasi
tidak diketahui. Kemudian setiap petani dari sub populasi dihubungi sebagai
sumber data, sampai jumlahnya sesuai dengan jatahnya masing-masing.
2.3.
Purposive
Sampling
Dalam
teknik ini pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. ukuran
sampel tidak dipersoalkan sebagaimana di dalam accdidental sampling.
Perbedaannya terletak pada pembatasan sampel, dengan hanya mengambil unit
sampling yang sesuai dengan tujuan penelitian. dengan kata lain, unit sampel
yang dihubungi, disesuaikan dengan kreiteria-kriteria tertentu, yang ditetapkan
berdasarkan tujuan penelitian. Misalnya tentang penelitian tata tertib lalu lintas
di sebuah kota. Sampel yang dipergunakan hanya diambil di antara orang-orang
yang memiliki kendaraan bermotor, yang tercatat di kepolisian atau pada pemilik
SIM. Pengumpulan data dilakukan pada unit sampling tersebut, tidak pengendara
yang mungkin bukan pemilik kendaraan bermotor atau mungkin tidak memiliki SIM.
Setelah jumlahnya cukup, pengumpulan data dihentikan, dan dilakukan pengolahan
data.
D.
Sifat Populasi dan Sampel
Dalam penentuan sampel, selain
melakukan teknik yang tepat, juga perlu diperhatikan sifat dan penyebaran
populasi. Berkenaan dengan hal itu, dikenal pula beberapa kemungkinan dalam
menetapkan sampel. Kemungkinan itu antara lain menyangkut jumlah, atau tempat
tertentu (Hadari Nawawi.1995 : 140 –160)
1.
Proportional Sample (Sampel Proporsional)
Apabila populasi terdiri dari beberapa sub populasi
yang tidak sama jumlahnya, dalam penarikan sampel perbandingan antar sub
populasi perlu diperhitungkan, maka dihasilkanlah sampel proporsional. Dengan
kata lain, unit sampling di dalam setiap sub sampel, sebanding jumlah atau
ukurannya dengan unit sampling di dalam setiap sub populasi. Sedang jumlah
keseluruhan sampel adalah sebanyak jumlah atau ukuran sampel yang telah
ditetapkan. Misalnya penelitian dengan mempergunakan murid SD sebagai unit
sampling, yang terdiri dari 3000 murid SD negeri dan 1500 SD swasta/bersubsidi.
Dengan demikian perbandingan sub populasi adalah 2 : 1. Dari populasi itu akan diambil
sebanyak 150 murid sebagai sampel, maka harus diambil sebanyak 100 murid SD negeri,
dan 50 murid SD swasta/bersubsidi.
2.
Area Sample (Sampel Wilayah)
Area sample ini memiliki kesamaan dengan sampel
proporsional. Perbedaannya hanya terletak pada sub populasi, yang ditetapkan
berdasarkan daerah penyebaran populasi yang hendak diteliti. Perbandingan
besarnya sub populasi menurut daerah penelitian, dijadikan dasar dalam
menentukan ukuran setiap sub sampel. Misalnya penelitian yang mempergunakan
buruh tani sebagi unit sampling, yang tersebar di 5 Kabupaten/Kodya. Kelima
Kabupaten tersebut memiliki perbedaan jumlah buruh tani, dengan
perbandingan 5 : 4 : 3 : 2 : 1. Jumlah
yang akan diambil sebagai sampel 150 buruh. Dengan demikian, setiap Kabupaten
harus diambil sampel dengan jumlah yang sebanding, yaitu 50 buruh, 40 buruh, 30
buruh, 20 buruh, dan 10 buruh.
3.
Double Sample (Sampel Ganda)
Sampel ganda atau
sampel kembar dilakukan dengan maksud memungkinkan data dari sampel
masuk seluruhnya. Untuk itu, jumlah atau ukuran sampel ditetapkan dua kali
lebih banyak, dari sampel minimum yang telah ditetapkan. Penentuan sampel
sebanyak dua kali lipat itu dilakukan, terutama apabila alat pengumpul data
yang dipergunakan adalah kuesioner atau angket yang dikirim. Dengan mengirim
dua set kuesioner pada unit sampling yang memiliki persamaan, maka dapat diharapkan
salah satu di antaranya akan dikembalikan, sehingga jumlah atau ukuran sampel
yang telah ditentukan dapat dipenuhi.
4.
Multiple Sample (Sampel Majemuk)
Sampel majemuk ini merupakan perluasan dari sampel
ganda. Pengambilan sampel dilakukan lebih dari dua kali lipat jumlah atau
ukuran sampel yang telah ditetapkan, dengan ketentuan unit sampling untuk
setiap kelipatan, memiliki kesamaan dengan unit sampling yang pertama. Dengan multiple sample ini, kemungkinan
masuknya data sebanyak jumlah atau ukuran sampel yang telah ditetapkan, tidak
perlu diragu-ragukan lagi. Sampel ini hanya dapat dilakukan apabila jumlah atau
ukuran populasi cukup besar.
5.
Sistematic Sample (Sampel Sistematik)
Sampel ini diambil dari populasi dengan jarak atau
interval tertentu, antara lain berupa interval waktu munculnya gejala, atau
interval ruang berupa jarak tempat munculnya gejala, dan lain-lain. Batas jarak
atau interval waktu atau jarak munculnya gejala itu harus tetap dan uniform, untuk semua gejala yang
dijadikan sampel. Untuk itu, sampel pertama harus diambil secara random,
kemudian sampel selanjutnya ditetapkan menurut interval yang dipergunakan,
sampai terpenuhi jumlah atau ukuran sampel yang telah ditetapkan (sampel
minimum).
Evaluasi :
1.
Bagaimanakah
cara memilih atau menentukan populasi yang baik ?
2.
Jelaskan
dengan contoh berbagai cara pengambilan sampel !
3.
Referensi :
1. Sutopo.
1996. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Surakarta : UNS Press.
2. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research
Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
4.
Saifuddin
Azwar. 1999. Metode Penelitian.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
BAB
IX
VARIABEL PENELITIAN
DAN HIPOTESA
Tujuan Instruksional
Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
dan menentukan jenis variabel dalam penelitian.
b.
Menjelaskan
secara mendalam tentang hubungan antar variabel penelitian.
c.
Menjelaskan
dan menentukan jenis variabel dalam penelitian.
d.
Menjelaskan
dan membedakan berbagai jenis hipotesa.
A. Variabel
Di dalam penelitian biasanya terdapat beberapa variabel
yang harus ditetapkan dengan jelas oleh seorang peneliti, sebelum memulai
pengumpulan data. Kelima jenis variabel yang akan dijelaskan di sini, tidak
semuanya harus ada dalam sebuah penelitian, tidak mustahil hanya terdapat
empat, tiga, atau bahkan dua variabel saja. Di dalam suatu variabel harus jelas
pula aspek-aspek atau faktor-faktornya, yang dapat dikemukakan secara terperinci
dan operasional dalam penjelasan istilah. Penentuan aspek-aspek atau
faktor-faktor di dalam setiap variabel itu, berarti semakin mudah menetapkan
data yang akan dikumpulkan. Adapun kelima variabel tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Variabel
Bebas (Independence Variable)
Variabel bebas adalah sejumlah gejala atau faktor atau
unsur, yang menentukan atau mempengaruhi ada atau munculnya gejala atau faktor
atau unsur yang lain, yang pada gilirannya gejala atau faktor atau unsur yang
ke dua itu disebut sebagai variabel terikat. Tanpa variabel ini maka variabel
terikat tidak akan muncul. Dengan demikian, tidak adanya variabel ini, maka
tidak ada atau tidak muncul variabel terikat. Selanjutnya bila variabel ini
berubah, maka muncul variabel terikat yang berbeda atau yang lain, atau bahkan
sama sekali tidak ada atau tidak muncul. Untuk mempermudah pemahaman variabel
ini, akan dicontohkan setelah menjelaskan variabel terikat, karena antara
keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
2.
Variabel
Terikat (Dependence Variable)
Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor
atau unsur, yang ada atau munculnya dipengaruhi atau ditentukan oleh variabel
bebas. Ada atau munculnya variabel ini adalah karena adanya variabel bebas
tertentu, dan bukan karena variabel lain.
Contoh :
Metode Kerja
berpengaruh atau menentukan Prestasi Kerja atau Produktivitas
Kerja, di samping ada kemungkinan pengaruh faktor lain. Dari kedua
veriabel tersebut jelas bahwa Metode Kerja dengan segala aspeknya
adalah variabel bebas, sedangkan Prestasi atau Produktivitas Kerja
dengan segala aspek atau gejalanya adalah variabel terikat.
3.
Variabel
Kontrol (Control Variable)
Variabel kontrol adalah sejumlah gejala atau faktor
atau unsur yang dengan sengaja dikendalikan, agar tidak mempengaruhi variabel
bebas dan variabel terikat. Dengan mengendalikan pengaruhnya, berarti variabel
ini tidak ikut menentukan ada tidaknya atau muncul tidaknya variabel terikat.
Dengan kata lain, ada tidaknya atau muncul tidaknya variabel terikat murni,
karena pengaruh variabel bebas tertentu.
Salah satu upaya dalam mengendalikan pengaruh variabel
ini, adalah dengan mengatur agar memiliki kesamaan pengaruh terhadap semua
unsur sampel sebagai sumber data. Untuk itu, kondisi variabel ini di lingkungan
sampel penelitian harus disamakan, agar ada tidaknya atau muncul tidaknya
variabel terikat, benar-benar hanya karena variabel bebas. Di samping itu,
usaha menghilangkan pengaruh variabel ini, yang terbaik adalah apabila dapat
dieliminir atau dihapuskan semuanya, di lingkungan unsur sampel. Akan tetapi,
karena sering terdapat variabel yang tak dapat diubah atau dieliminir
sepenuhnya, maka perlu untuk diperhitungkan pengaruhnya. Usaha mengendalikan
suatu variabel dengan memperhitungkan pengaruhnya, menempatkan variabel tersebut
sebagai variabel antara, dan bukan sebagai variabel kontrol. Dengan kata lain,
variabel antara dapat disebut sebagai variabel kontrol yang diperhitungkan
pengaruhnya.
4.
Variabel
Antara (Intervining Variable)
Variabel antara adalah sejumlah gejala yang tidak dapat
dikontrol, tetapi dapat diperhitungkan pengaruhnya terhadap variabel bebas.
Oleh karena berpengaruh terhadap variabel bebas, maka mengakibatkan variabel
terikat yang muncul tidak murni, sehingga perlu diketahui seberapa besar
pengaruh variabel ini. Salah satu usaha untuk memperhitungkan pengaruhnya,
adalah dengan melakukan pemisahan atau blok terhadap sampel. Misalnya dengan
memperhitungkan pengaruh perbedaan jenis kelamin, yang dipisahkan antara sampel
pria dengan wanita, atau perbedaan intelegensi, dengan memisahkan antara sampel
yang cerdas dengan sampel yang kurang (bodoh), dan sebagainya.
5.
Variabel
Ekatrane (Extranious Variable)
Variabel ini terdiri dari sejumlah gejala yang tidak
dapat dikontrol, dan tidak dapat pula diperhitungkan atau dieliminir
pengaruhnya terhadap variabel bebas. Variabel ini muhgkin bersumber dari
kondisi sampel, dan mungkin pula berada di luar sampel. Dalam suatu penelitian,
bila ternyata terdapat variabel ekstrane yang diketahui, dan benar-benar tidak
dapat dikontrol atau diperhitungkan atau dihapuskan, maka peneliti berkewajiban
di samping menyebutkan, juga mengemukakan alasan yang logis dan rasional,
tentang pengaruhnya yang merata terhadap sampel penelitian. Pengaruh yang
merata itu memungkinkan berakibat sama pada variabel bebas, namun tidak dapat
dihitung seberapa besarnya (Hadari Nawawi.1995 : 56 – 60).
B.
Hipotesa
Dugaan sementara tentang pemecahan masalah yang masih
harus diuji kebenarannya disebut hipotesa. Untuk menguji sebuah hipotesa
diperlukan sejumlah data, baik yang mendukung atau bertentangan dengan
hipotesa. Data tersebut akan diolah dengan teknik atau perhitungan statistik,
guna memperoleh kesimpulan-kesimpulan dalam menerima atau menolak hipotesa. Di
dalam penelitian kualitatif, hipotesa tidak mutlak diperlukan. Sebagai
gantinya, perumusan masalah yang akan diteliti harus jelas, dan dibuatkan
uraian secukupnya serta dirumuskan dalam suatu rumusan penelitian. Di dalam
penelitian kuantitatif, keberadaan hipotesa merupakan suatu keharusan.
Pada dasarnya perumusan hipotesa dalam suatu penelitian
berfungsi sebagai berikut.
a.
Hipotesa adalah dalil atau prinsip yang
logis, dan dapat diterima secara rasional, tanpa mempercayainya sebagai
kebenaran, sebelum diuji atau disesuaikan dengan fakta-fakta, atau
kenyataan-kenyataan yang mendukung atau menolak kebenaran.
b. Hipotesa
adalah generalisasi atau rumusan kesimpulan yang bersifat tentatif (sementara),
yang hanya akan berlaku bila telah diuji dan terbukti kebenarannya.
c.
Hipotesa adalah dugaan logis sebagai
kemungkinan pemecahan masalah, yang hanya dapat diterima sebagai kebenaran,
bila setelah diuji ternyata fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan sesuai dengan
dugaan tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
hipotesa dalam suatu penelitian harus diuji. Oleh karena itu, perumusan
hipotesa yang baik adalah hipotesa yang dapat diuji kebenaran atau
ketidakbenarannya. Hipotesa seperti itu memerlukan ketajaman dalam
perumusannya, atau jelas variabel-variabelnya. Hipotesa seperti itu bukan
sekedar hasil perenungan, tanpa dasar teoritis yang cukup kuat dan memadai.
Dengan kata lain, hipotesa bukan hasil dari perumusan yang bersifat spekulatif,
karena kegiatan penelitian bukanlah pekerjaan atau kegiatan trial and error.
Hipotesa dapat dibedakan menjadi hipotesa mayor dan
hipotesa minor. Hipotesa mayor, sebagaimana istilahnya sendiri sudah
menunjukkan adalah hipotesa induk, dan menjadi sumber dari anak-anak hipotesa.
Hipotesa yang akhir ini disebut hipotesa minor. Hipotesa minor, disebabkan
karena hakekatnya dijabarkan dari hipotesa mayor. Untuk memahami kedua hipotesa
tersebut, dapat dicontohkan dengan membuat sebuah hipotesa. Contoh hipotesa
“kemiskinan adalah penyebab terjadinya kejahatan”. Kita harus tahu jelas
jenis-jenis kejahatan, misalnya ; pencurian, perampokan, penipuan, perkosaan,
perjudian, pemalsuan, dan sebagainya. Jika jenis kejahatan ada bermacam-macam,
maka dapat disusun banyak sekali anak-anak hipotesa, yang masing-masing khusus
membuat dugaan, tentang adanya hubungan antara kemiskinan dengan jenis kejahatan
yang bersangkutan. Misalnya “ada hubungan yang positif antara derajat
kemiskinan dengan besar kecilnya kejahatan pencurian”, atau “antara kemiskinan
dan kejahatan perampokan ada hubungan yang searah”. Dalam perumusan hipotesa
harus dinyatakan dengan bentuk statement,
tidak boleh dalam bentuk pertanyaan.
Suatu mental
construct harus disusun untuk memberi petunjuk jalan kepada pengetesan
hipotesa, baik yang mayor maupun minor. Sebagai contoh ada hipotesa “kemiskinan
menjadi penyebab kejahatan” , maka mental
construct dapat disusun sebagai berikut.
a.
Di mana ada kejahatan, maka di situ harus
ada kemiskinan.
b. Di mana
ada kejahatan, maka di situ tidak boleh ada kemiskinan.
c.
Kejahatan hanya dilakukan oleh orang
miskin.
d. Kejahatan
tidak dilakukan oleh orang kaya.
e. Makin
besar kemiskinan, makin besar pula kejahatan.
f.
Makin kecil kemiskinan, makin kecil pula
kejahatan.
g.
Di tempat-tempat yang banyak kemiskinan, di
situ harus makin banyak kejahatan.
h. Di
tempat-tempat yang sedikit kemiskinan, di situ harus semakin sedikit kejahatan.
Dan sebagainya.
Hipotesa dalam perumusannya dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu Hipotesa Nihil (Null
Hypotesis) atau biasa disingkat dengan Ho, dan Hipotesa Alternatif (Alternative Hypotesis) atau biasa
disingkat dengan Ha. Misalnya ada sebuah hipotesa yang berbunyi “tidak ada
perbedaan kecerdasan antara pria dengan wanita”, pernyataan ini merupakan
hipotesa nihil. Sebaliknya “pria lebih cerdas daripada wanita” atau “wanita
lebih cerdas daripada pria”, merupakan pernyataan hipotesa alternatif. Adanya
dua bentuk hipotesa itu, Ho dan Ha, menimbulkan implikasi yang berbeda-beda
dalam pengetesannya.
C.
Pengujian
Hipotesa
Pengujian hipotesa secara kuantitatif dapat dilakukan
melalui analisa data secara statistik. Untuk itu, hipotesa harus dirumuskan
dalam bentuk hipotesa nihil dan hipotesa alternatif. Dalam analisa data, hasil
penghitungan statistik yang signifikan mengharuskan hipotesa alternatif
diterima, dan sebaliknya hipotesa nihil ditolak. Dengan demikian, berarti hasil
penghitungan statistik yang non signifikan, mengharuskan hipotesa alternatif
ditolak, dan sebaliknya hipotesa nihil diterima.
Perumusan hipotesa alternatif harus mengandung dugaan
yang intelegen, karena dikembangkan dari hipotesa nihil, yang pada
dasarnya dirumuskan sekedar menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan antara satu variabel yang lain di dalam suatu
masalah. Di dalam perumusan belum tampak usaha menerangkan apa sebabnya sesuatu
itu demikian, atau mengapa harus demikian sebagai pembuktian dari kebenarannya.
Misalnya dalam perumusan hipotesa nihil dinyatakan “tidak terdapat perbedaan
pengaruh antara variabel V1 dengan pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K”.
Bila hipotesa itu diterima, berarti harus diakui bahwa tidak ada tidak terdapat
perbedaan pengaruh, antara variabel V1 dengan pengaruh variabel V2 terhadap
kondisi K. Sebaliknya bila hipotesa itu ditolak, berarti harus diakui bahwa
kedua variabel itu berbeda pengaruhnya satu dengan yang lain, terhadap kondisi
K. Dari pengujian hipotesa itu belum dinyatakan apa sebabnya, atau mengapa
pengaruh kedua variabel itu berbeda atau tidak berbeda antara satu dengan yang
lain.
Dari uraian di atas dapat diasumsikan, bahwa pengujian
hipotesa nihil hanya akan menghasilkan sesuatu, bila hipotesa itu ditolak.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hipotesa nihil pada dasarnya diuji untuk
ditolak. Untuk itu diperlukan hipotesa alternatif, yang harus mengandung dugaan
intelegen, tentang variabel yang mana di antara dua atau lebih variabel, yang
mungkin berpengaruh paling efektif, terhadap suatu obyek penelitian, dan bahkan
mungkin dengan sebab-sebabnya mengapa demikian.
Dari contoh di atas, perumusan hipotesa alternatif
dapat dilakukan dalam tiga bentuk sebagai berikut.
a.
Terdapat perbedaan pengaruh antara variabel
V1 dengan variabel V2 terhadap kondisi K (V1 # V2). Namun harus diakui, bahwa perumusan ini masih
belum mengandung dugaan yang intelegen. Hasilnya masih berupa penolakan atau
penerimaan hipotesa, belum menunjukkan variabel mana di antara dua atau lebih
variabel yang paling efektif pengaruhnya.
b. Pengaruh
variabel V1 lebih efektif daripada pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K (V1 > V2). Perumusan ini
bila diterima akan menghasilkan sesuatu berupa keharusan mengakui, bahwa
pengaruh V1 lebih efektif dari pengaruh V2. Sebaliknya bila ditolak, masih
harus dipersoalkan apakah pengaruh kedua variabel itu sama, atau mungkin pula
pengaruh V2 lebih efektif. Oleh karena itu, dapat pula dirumuskan hipotesa
alternatif yang ke tiga seperti di bawah ini.
c.
Pengaruh variabel V1 kurang efektif
daripada pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K (V1 < V2). Penerimaan hipotesa ini mengharuskan pengakuan, bahwa
pengaruh variabel V1 pengaruhnya kurang efektif, dibandingkan dengan pengaruh
variabel V2. Sebaliknya penolakan terhadap hipotesa ini berarti mengharuskan
pengakuan, bahwa variabel V1 dan V2 mungkin sama, atau mungkin pula pengaruh
variabel V2 lebih efektif daripada pengaruh variabel V1.
Dalam perumusan hipotesa alternatif, bentuk ke dua dan
ke tiga akan lebih tinggi mutunya, bila disertai dugaan apa sebabnya pengaruh
variabel yang satu lebih efektif dibanding dengan variabel yang lain. Di
samping itu, perumusannya tidak saja mengenai pengaruh variabel, tetapi mungkin
saja mengenai perbedaan, atau tidak terdapatnya perbedaan dalam hal-hal lain,
sesuai dengan masalah penelitian (Hadari Nawawi. 1995 : 162).
Evaluasi :
1.
Deskripsikan
berbagai jenis variabel penelitian !
2.
Buatlah
variabel penelitian dalam sebuah contoh kerangka penelitian !
3.
Jelaskan
tentang hubungan antar variabel dalam sebuah contoh kerangka penelitian !
4.
Jelaskan
berbagai macam hipotesis dalam penelitian !
5.
Haruskah
setiap penelitian memakai hipotesis, jelaskan dengan contoh !
6.
Bagaimanakah
cara menguji hipotesis, dan langkah apa yang harus dilakukan oleh peneliti bila
hipotesis tidak terbukti ?
Referensi :
1. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research
Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
3. Lexy.
JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.
Qadir,
SA. 1985. Ilmu Pengetahuan dan
Metodenya. Jakarta : Yayasan Obor.
5. Saifuddin
Azwar. 1999, Metode Penelitian.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
BAB
X
PENYUSUNAN LAPORAN
DAN BEBERAPA KETENTUAN
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari bab ini,
mahasiswa diharapkan mampu :
a.
Menjelaskan
tata tulis dalam menyusun laporan penelitian.
b.
Membuat
kerangka usulan penelitian (proposal) penyusunan skripsi.
c.
Menerapkan
beberapa ketentuan penulisan dan penelitian dalam penyusunan skripsi.
Hasil penelitian yang disusun secara tertulis adalah
karya ilmiah, yang secara langsung atau tidak langsung mutunya dipengaruhi oleh
cara menyajikannya pada yang berkepentingan. Untuk itu, perlu mendapatkan
perhatian yang cukup dari seorang penyusun laporan penelitian, terutama
mengenai kerangka dan tata tulis yang dipergunakan. Kedua hal tersebut akan
memberikan dukungan yang positif terhadap isi laporan, bila dilakukan secara
tepat dan konsisten.
A. Kerangka Usulan Penelitian (Proposal)
Kerangka usulan penelitian atau lebih lazim disebut
proposal, biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu ; (1) Bagian awal, (2)
Bagian Utama, dan (3) Bagian akhir. Dalam hal ini tiap bagian tersebut saling
berkaitan, dengan ketentuan jumlah halaman tidak lebih dari 30 halaman untuk
masing-masing bagian.
1.
Bagian
Awal
Bagian awal ini mencakup empat hal, yaitu ; (1) halaman
judul luar, (2) halaman judul dalam, (3) halaman pengesahan, dan (4) halaman
daftar isi.
1.1.
Halaman Judul Luar
Halaman judul luar memuat enam hal, yaitu ; (a) judul,
(b) maksud usulan penelitian, (c) lambang perguruan tinggi, (d) nama dan nomor
mahasiswa, (e) nama instansi yang dituju, dan (f) tahun pengajuan. Halaman ini
ditulis di atas kertas buffalo, warna disesuaikan dengan ketentuan program
studi/jurusan masing-masing. Selanjutnya lihat lampiran 1.
a.
Judul, hendaknya ringkas, lugas, dan
mengisyaratkan permasalahan serta bidang ilmu yang bersangkutan. Ditulis dengan
huruf kapital semua, bila ada kajian khusus hendaknya diletakkan di dalam
kurung, dan hanya setiap awal kata saja yang diberi huruf kapital.
b. Maksud
usulan penelitian, ditulis di bawah judul, yaitu berbunyi ; Untuk Memenuhi
Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana/Magister/Doktor Program Studi………,
Minat Utama (bila ada). Penulisan huruf kapital hanya pada setiap awal kata,
kecuali kata sambung yang ditulis tetap dengan huruf kecil.
c.
Lambang Perguruan Tinggi, sesuai dengan
bentuknya bulat (bukan segi), dengan diameter kira-kira 5,5 cm.
d. Nama dan
Nomor mahasiswa, ditulis lengkap, tidak boleh menggunakan singkatan, tanpa
gelar atau gelar kehormatan lainnya, di bawahnya ditulis nomor induk mahasiswa.
e. Nama
instansi yang dituju, adalah instansi tempat mahasiswa menuntut ilmu, di
bawahnya ditulis kota (kodya/kabupaten) instansi tersebut berada, ditulis
dengan huruf kapital semua.
f.
Tahun pengajuan, sesuai dengan tahun pada
saat pengajuan proposal.
1.2.
Halaman Judul Dalam
Halaman judul dalam berisi tulisan yang sama dengan
halaman judul luar, tetapi diketik di atas kertas putih HVS ukuran kwarto (A4)
dengan berat 80 gram.
1.3.
Halaman Pengesahan
Pada halaman pengesahan berisi tulisan ; (a) judul
usulan penelitian, (b) penyusun dan nomor mahasiswa, (c) dewan pembimbing, (d)
tanggal penyusunan, (e) mengetahui ketua program studi/jurusan. Selanjutnya
contoh dapat dilihat pada lampiran 2.
1.4.
Halaman Daftar Isi
Di dalam halaman daftar isi tertera tulisan daftar isi,
yang kemudian diikuti urutan judul bab dan sub judul bab, disertai dengan nomor
halamannya.
2.
Bagian Utama
Bagian utama ini mencakup sebelas bagian, yaitu ; (1)
latar belakang masalah, (2) perumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4)
manfaat penelitian, (5) landasan teori, (6) penelitian yang relevan, (7)
kerangka berfikir, (8) hipotesis, (9) metode penelitian, (10) batasan
operasional variabel penelitian, dan (11) jadwal penelitian.
2.1.
Latar Belakang Masalah
Diuraikan secukupmya faktor-faktor yang
melatarbelakangi mengapa masalah itu diteliti, ditinjau dari segi kepentingan
(urgensi) dan motivasi penelitian yang diusulkan. Dalam bagian ini dipaparkan
pula rasionalitas (argumentasi) mengapa penelitian tersebut perlu dilakukan.
Perlu dikemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan penelitian, namun
masih secara umum (belum direduksi).
2.2.
Perumusan Masalah
Berisi uraian masalah utama yang menjadi fokus
penelitian. Di samping itu, perlu ditegaskan lingkup permasalahan, dan
dilakukan pembahasan masalah. Perumusan masalah harus dapat menunjukkan inti
permasalahan, dan variabel-variabel yang hendak diteliti. Masalah harus
singkat, spesifik, jelas, dan pada umumnya dirumuskan dalam bentuk kalimat
pertanyaan.
2.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan tujuan umum dan khusus,
yang merupakan jawaban terhadap permasalahan penelitian.
2.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian
merupakan pernyataan bahwa penelitian
yang diusulkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
2.5.
Landasan Teori
Menampilkan hasil studi kepustakaan yang mengungkapkan
studi secara teoretis (Theoritical Approuch), yang akan dipakai serta
mengungkapkan secara garis besar landasan teori yang akan dikembangkan dalam
penelitian.
2.6.
Penelitian yang Relevan
Tinjauan penelitian yang relevan berisi tinjauan
kritis, terhadap hasil penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan.
Dijelaskan secara garis besar hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan.
Kemudian ditinjau aspek-aspek khusus yang membedakannya dengan penelitian yang
akan dilakukan.
2.7.
Kerangka Berfikir
Uraian kerangka berfikir dimasudkan untuk menggambarkan
teori-teori sebagai dasar penyusunan hipotesis. Kerangka berfikir merupakan
suatu kerangka pemikiran yang bertujuan untuk memperoleh kejelasan, dari
variabel yang berpengaruh, dan variabel yang dipengaruhi, baik hubungan maupun
derajat ketergantungannya. Untuk mempermudah penjelasan, dapat dibuat bagan
atau diagram alir.
2.8.
Hipotesa
Apabila berupa penelitian kualitatif, hipotesis tidak
merupakan suatu keharusan. Sebagai gantinya, perumusan masalah yang akan
diteliti harus jelas, dan dibuatkan uraian secukupnya, serta dirumuskan dalam
suatu rumusan penelitian. Di dalam
penelitian kuantitatif, adanya hipotesis merupakan suatu keharusan, yang
merupakan tampilan variabel-variabel secara jelas.
2.9.
Metode Penelitian
Secara garis besar dibedakan antara metode penelitian
kualitatif dengan kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, rumusan mengenai
metode penelitian berfungsi sebagai penuntun pelaksanaan yang bersifat
sementara. Di dalam proses penelitian, proses perumusan tersebut dapat
dilakukan perubahan atau penyempurnaan. Secara umum metode penelitian
(kualitatif) memuat komponen-komponen sebagai berikut.
a.
Tempat atau lokasi penelitian (apabila
dianggap perlu).
b. Data dan
sumber data.
c.
Teknik pemerolehan data.
d. Model
dan teknik analisis.
Pada penelitian kuantitatif komponen-komponen
penelitiannya agak berbeda, namun komponen inipun biasa digunakan dalam
penelitian kualitatif. Komponen-komponen tersebut sebagai berikut.
a.
Populasi dan sampel.
b. Penarikan
samapel.
c.
Data yang diperlukan.
d. Instrumen
penelitian.
e. Teknik
pengumpulan data.
f.
Teknik analisis.
Keenam komponen ini pun biasa dipergunakan dalam
penelitian kualitatif, namun dalam penerapannya agak lentur dan terbuka.
2.10.
Batasan Operasional Variabel Penelitian
Batasan operasional yang dimaksud adalah definisi
identifikasi atas konsep-konsep, mengenai segala sesuatu yang erat hubungannya
dengan judul penelitian dan variabel yang telah ditentukan.
2.11.
Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian memuat tahap-tahap penelitian,
rincian kegiatan setiap tahap, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan
setiap tahapnya. Jadwal penelitian dapat disajikan dalam bentuk uraian maupun
matriks.
3.
Bagian Akhir
Pada bagian akhir meliputi daftar pustaka dan lampiran,
namun bila peneliti ingin menampilkan suplemen/tambahan, dapat juga ditambahkan
di dalam halaman tersendiri setelah lampiran.
3.1.
Daftar Pustaka
Daftar pustaka memuat pustaka yang diacu dalam usulan
penelitian, dan disusun secara alphabetis (menurut abjad awal). Selanjutnya
dapat dilihat pada sub bab mengenai teknik penulisan daftar pustaka.
3.2.
Lampiran
Dalam lampiran (apabila ada) memuat keterangan atau
informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, misalnya ; angket,
wawancara, penghitungan statistik, tabel, dan lain sebagainya. lampiran
tersebut sifatnya melengkapi usulan penelitian.
B.
Kerangka
Penulisan Penelitian
Sebuah penelitian ilmiah (Skripsi, Thesis, dan
Disertasi), memiliki beberapa spesifikasi format yang (secara umum) dibakukan
dan bersifat sekuensial logis. Melalui bentuk yang sekuensial logis ini, dengan
mudah penulis dapat menyusun pikirannya yang sistematis secara kohesif dan
koherensif. Format tersebut biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu ; (1)
bagian awal / preliminary, (2) bagian
inti / content, dan (3) bagian akhir
/ reference.
1.
Bagian Awal / Preliminary
Bagian awal merupakan suatu bagian dari suatu tulisan
ilmiah sebelum masuk pada pokok pembicaraan utama, bagian ini antara lain
sebagai berikut.
1.1.
Halaman
Judul
Dalam halaman judul terdiri dari beberapa komponen,
antara lain ; (a) judul, (b) tujuan penulisan, (c) lambang institusi, (d) nama
dan nomor penyusun, (e) nama instansi berisi nama jurusan/fakultas dan
perguruan tinggi, dan (f) tahun penyelesaian.
a.
Judul merupakan nama karangan yang
memberikan gambaran singkat tentang inti penelitian. Kata-kata dalam judul
harus dalam diksi yang jelas, sederhana, tidak bombastis, tidak puitis, dan
tidak provokatif. Judul harus mencerminkan hubungan antar variabel. Dirumuskan
dalam satu kalimat yang ringkas, komunikatif, dan alternatif. Ditulis dalam
huruf kapital semua, kecuali ada keterangan studi spesifik, yang harus ditulis
dengan huruf kapital hanya pada awal katanya. Apabila judul agak panjang, dan
tidak memungkinkan ditulis dalam satu baris, maka penyusunan baris berikutnya
harus berbentuk piramid terbalik. Dalam judul tidak dibenarkan ada pemenggalan kata.
Lay out halaman judul harus
menggunakan centered (terpusat di
tengah)
b. Tujuan
penulisan memuat kalimat (umumnya) sebagai berikut “ Disusun untuk Memenuhi
Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana/Magister/Doktor pada Bidang Ilmu
Seni Tari. Perlu diperhatikan, bahwa penulisan huruf kapital hanya pada awal
kata, kecuali kata sambung tidak ditulis dengan huruf kapital.
c.
Lambang Perguruan Tinggi, sesuai dengan
bentuknya bulat (bukan segi), dengan diameter kira-kira 5,5 cm. Bila lambang
perguruan tinggi berwarna, maka harus disesuaikan.
d. Nama dan
Nomor mahasiswa, ditulis lengkap, tidak boleh menggunakan singkatan, tanpa
gelar atau gelar kehormatan lainnya, di bawahnya ditulis nomor induk mahasiswa.
e. Nama
instansi yang dituju, adalah instansi tempat mahasiswa menuntut ilmu, yaitu
nama jurusan, fakultas, dan perguruan tinggi. Pada bagian bawahnya ditulis kota
(kodya/kabupaten) instansi tersebut berada, ditulis dengan huruf kapital semua.
f.
Tahun penyelesaian sesuai dengan saat
menyelesaikan laporan penelitian.
Selanjutnya
dapat dilihat contoh halaman judul pada lampiran 3
1.2.
Halaman
Pengesahan/Persetujuan
Terdapat dua macam halaman pengesahan, yaitu pengesahan
pembimbing, dan pengesahan laporan. Halaman pengesahan dihitung sebagai halaman
pertama dan ke dua dari bagian awal. Penulisan halaman ini menggunakan angka
romawi kecil, diletakkan pada bagian tengah bawah. Halaman ini memuat
keterangan antara lain :
a.
Persetujuan dari (para) pembimbing untuk
diajukan dalam sidang/ujian.
b. Nama
(para) pembimbing, yang dibawah namanya dicantumkan Nomor Induk Pegawai atau
nomor registrasi.
c.
Pernyataan diketahui oleh ketua
jurusan/program studi yang bersangkutan.
d. Lay out dibuat centered (terpusat di tengah).
Selanjutnya
contoh halaman pengesahan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.
1.3.
Halaman
Pernyataan
Halaman ini berisi pernyataan penulis, bahwa hasil
penelitian ini merupakan penelitian asli dan bukan mencontoh (plagiasi) dari
penulisan orang lain. Contoh halaman ini dapat dilihat pada lampiran 6.
1.4.
Halaman
Khusus
Halaman ini memuat pesan khusus dari penulis, yang
dapat berupa motto atau persembahan. Bila memuat persembahan, maka harus jelas
bahwa tulisan tersebut dipersembahkan kepada instansi tertentu, atau kepada
seseorang yang sangat istimewa dalam hidupnya.
1.5.
Halaman
Kata Pengantar
Pernyataan KATA PENGANTAR diketik dengan huruf kapital
semua, tanpa garis bawah dan tanpa titik. Pada umumnya kata pengantar berisi
antara lain ; (a) puji syukur kepada Tuhan, (b) maksud singkat dilaksanakannya
penelitian, (c) uraian singkat mengenai latar belakang, (d) ruang lingkup dan
tujuan penelitian, (e) sifat penelitian, (f) harapan yang berpijak dari hasil
penelitian, dan (g) ucapan terima kasih kepada beberapa fihak (rektor, dekan,
ketua jurusan, pembimbing, dan barangkali teman sekelas).
1.6.
Halaman Daftar
Tabel/Singkatan dan Lambang, dan Daftar Lampiran .
Apabila daftar tabel, daftar singkatan, dan daftar
lampiran sangat banyak, maka masing-masing dapat dibuat halaman sendiri.
Penulisan tabel dan singkatan harus mengacu pada keumuman.
1.7.
Halaman
Daftar Isi
Di dalam halaman daftar isi tertera tulisan DAFTAR ISI,
yang kemudian diikuti urutan judul bab dan sub judul bab, disertai dengan nomor
halamannya.
1.8.
Halaman
Abstrak
Halaman abstrak merupakan uraian singkat, namun lengkap
mengenai hal ihwal penelitian, mencakup ; masalah penelitian, metode
penelitian, dan hasil penelitian. Bagian ini diketik dengan jarak satu spasi
dalam bahasa Indonesia dan mungkin juga dalam bahasa Inggris.
2.
Bagian
Inti / Content
Bagian ini berisi uraian yang disajikan dalam bentuk
bab, yang mencakup ; (1) pendahuluan, (2) landasan teori, (3) metode
penelitian, (4) hasil analisis dan pembahasan, dan (5) penutup.
2.1.
Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi uraian mengenai (a) latar
belakang masalah, (b) perumusan masalah, (c) tujuan penelitian, dan (d) manfaat
penelitian.
a.
Latar belakang masalah, isinya hampir sama
dengan latar belakang masalah dalam usulan penelitian (proposal), hanya lebih
dipertajam.
b. Perumusan
masalah, isinya sama dengan perumusan masalah dalam usulan penelitian.
c.
Tujuan penelitian, isinya sama persis
dengan tujuan penelitian dalam usulan penelitian.
d. Manfaat
penelitian, isinya juga sama dengan manfaat penelitian dalam usulan penelitian.
2.2.
Landasan
Teori
Bagian ini juga berisi tentang landasan teori yang sama
dengan yang termuat dalam usulan penelitian, namun lebih diperluas dan
diperdalam. Uraian landasan teori yang diperluas dan diperdalam, harus pula
lebih diperinci, dengan maksud memberi landasan teoritik terhadap masalah yang
diteliti. Setelah uraian landasan teori, kemudian dilanjutkan dengan uraian
singkat mengenai penelitian yang relevan, kerangka berfikir, dan hipotesis
(bila ada).
2.3.
Metode
Penelitian
Uraian mengenai metode penelitian juga sama dengan
uraian dalam usulan penelitian. Perlu ditekankan, bahwa uraian metode
penelitian merupakan uraian metode dan teknik dalam penelitian, bukan memindah
beberapa definisi metode dan teknik ke dalam sebuah penelitian. Jadi,
uraian ini merupakan gambaran langkah peneliti dalam mengumpulkan data,
analisis data, serta penyimpulan data.
2.4.
Hasil
Analisis dan Pembahasan
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian, analisis
data, dan pembahasannya. Hasil analisis dan pembahasan dapat dipecah menjadi
sub judul, yang setiap sub judulnya mencerminkan masalah yang telah disajikan.
Apabila dianggap perlu, dapat pula dibahas beberapa keterbatasan atau kelemahan
hasil penelitian, untuk penyempurnaan dan pengembangan penelitian yang akan
datang.
2.5.
Penutup
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran, yang
dinyatakan secara terpisah, dan masing-masing
menjadi sub bab.
a.
Kesimpulan, merupakan pernyataan singkat
dan tepat, yang berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, sehubungan dengan
masalah penelitian. Pada penelitian yang mempergunakan hipotesis, merupakan
pernyataan singkat dan tepat, yang mengarah pada pembuktian hipotesis yang
diajukan.
b. Saran,
dibuat berdasarkan pengalaman dan pertimbangan penulis, yang ditujukan kepada
para peneliti bidang sejenis, untuk melanjutkan atau mengembangkan hasil
penelitian. Di samping itu, dapat pula diuraikan saran terhadap pemanfaatan
hasil penelitian, baik secara teoretis maupun praktis (implikasi bagi
kepentingan ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia).
3.
Bagian
Akhir / reference
Pada bagian ini berisi dua komponen, yaitu ; (1) daftar
pustaka, dan (2) lampiran. Namun bila peneliti ingin menampilkan
suplemen/tambahan, dapat juga ditambahkan di dalam halaman tersendiri setelah
lampiran.
3.1.
Daftar
Pustaka
Daftar pustaka memuat pustaka yang diacu dalam usulan
penelitian maupun dalam pelaksanaan penelitian. Disusun secara alphabetis
(menurut urutan abjad awal). Selanjutnya dapat dilihat pada sub bab mengenai
teknik penulisan daftar pustaka.
3.2.
Lampiran
Lampiran digunakan untuk menempatkan data atau
keterangan lain, yang berfungsi untuk melengkapi penjelasan yang telah disajikan
dalam bagian isi.
C.
Teknik
Penulisan
Pada dasarnya dikenal beberapa teknik penulisan, namun
yang berbeda hanya pada teknik penulisan pustaka yang terdapat dalam teks,
penulisan footnote, dan penulisan
daftar pustaka. Pada teknik penulisan ini harus dipegang teguh mengenai
keajegan (dalam arti konsistensi). Selanjutnya bagian ini akan dibicarakan
beberapa ketentuan dalam penulisan laporan penelitian, yang antara lain
meliputi ; (1) bahan dan ukuran kertas, (2) pengetikan, (3) penomoran, (4)
kutipan, (5) footnote atau endnote, dan (6) daftar pustaka.
1.
Bahan
dan Ukuran Kertas
Naskah dibuat di atas kertas HVS berukuran kwarto (28 X
21,8 cm), berbobot minimal 80 gram (dikenal dengan kertas HVS kwarto 80 gr.),
dan tidak dibuat bolak-balik. Sampul luar dibuat di atas kertas buffalo atau
sejenis, yang dilapisi dengan plastik dan berwarna sesuai dengan jurusan
masing-masing, dengan tinta hitam (atau sesuai dengan ketentuan jurusan
masing-masing).
2.
Pengetikan
Laporan penelitian diketik dengan huruf pika (dalam
komputer dikenal dengan Times New Roman font 12), dengan jarak dua spasi.
Bagian abstrak, kutipan langsung, footnote/endnote,
dan daftar pustaka diketik dengan jarak satu spasi. Abstrak diketik satu spasi,
paling banyak dua lembar. Daftar pustaka diketik satu spasi, dengan jarak
antara daftar pustaka yang lain dua spasi.
3.
Penomoran
Penomoran halaman bagian awal (halaman pengesahan
sampai abstrak) menggunakan angka romawi kecil, dan diletakkan pada bagian
tengah bawah. Penomoran bab mempergunakan angka romawi besar, dan diletakkan
sejajar dengan bab pada bagian tengah, sedangkan penomoran halaman yang memuat
bab, mempergunakan angka arab kecil (1,2,3 dsb.), diletakkan pada bagian tengah
bawah. Penomoran bagian inti dan akhir, selain yang memuat bab mempergunakan
angka arab kecil, diletakkan pada bagian kanan atas naskah. Jarak antara nomor
dengan naskah kurang lebih dua spasi.
4.
Kutipan
Kutipan langsung yang lebih dari tiga baris diketik
dengan jarak satu spasi, dimulai dengan
ketikan setelah empat ketukan, dan
diapit dengan tanda petik ganda ( “ ). Kutipan langsung yang kurang dari tiga
baris diketik dua spasi, dimasukkan ke dalam teks kalimat, dan diapit dengan
tanda petik ganda ( “ ). Setiap kutipan harus ditunjukkan sumber pustakanya,
dengan ketentuan ; kurung buka, nama pengarang, koma, spasi, tahun penerbitan,
spasi, titik dua, spasi, halaman, kurung tutup, contoh : (De Witt Parker, 2004
: 17). Kutipan tidak langsung (berupa buah pikiran orang lain, kemudian
ditambah ulasan atau pembanding pikiran penulis) harus disebutkan sumber
pustakanya. Semua bentuk kutipan yang berbahasa asing harus diberi terjemahan,
dengan diapit tanda petik tunggal ( ‘ ).
Setiap alenia baru diketik menjorok ke dalam,
dimulai setelah hitungan ketujuh, di
dalam program komputer biasanya memakai tombol tab. Margin kiri dan margin atas
berjarak 4 cm, margin kanan dan margin bawah berjarak 3 cm. Pada halaman yang
mempergunakan footnote, harus
berakhir pada batas margin bawah 3 cm.
5.
Footnote
atau Endnote
Footnote/endnote
dipergunakan sebagai tambahan penjelasan (bukan untuk acuan referensi), diketik
dengan jarak satu spasi, dan jarak antara dua footnote dua spasi. Harus dibedakan dengan model footnote
yang dipergunakan sebagai acuan sumber pustaka. Penulisan teks footnote harus dibawah teks terakhir
pada suatu halaman, kemudian diberi garis lurus sebanyak tujuh ketukan. Di
bawah garis diberi nomor footnote,
kemudian penulisan teks footnote. Sesuatu yang akan dijelaskan
di dalam footnote atau endnote, harus diberi nomor yang
menjorok ke atas setengah spasi. Perbedaan footnote
dan endnote hanya terletak pada
penempatannya. Footnote ditempatkan
langsung pada bagian bawah teks, kalau endnote
ditempatkan pada bagian akhir suatu bab.
6.
Daftar
Pustaka
Beberapa ketentuan dalam penulisan daftar pustaka,
tabel dan diagram, antara lain sebagai
berikut.
a.
Daftar pustaka disusun secara alphabetis
(sesuai urutan abjad).
b. Urutan
penulisan daftar pustaka sebagai berikut ; nama penulis, titik, tahun
penerbitan, titik, judul buku, titik, kota penerbit, spasi, titik dua, nama
penerbit, titik. Bila melebihi satu baris, maka baris ke dua harus dimulai
dengan tujuh ketukan.
c.
Kalau terdapat beberapa buku oleh pengarang
yang sama, maka dibawahnya cukup diganti dengan garis lurus.
d. Bila
terdapat beberapa buku oleh pengarang yang sama, dan tahun yang sama, maka
selain ketentuan (6 c) juga harus diberi urutan dengan mempergunakan abjad
kecil (a, b, c, dsb.).
e. Bila
buku yang disebut dalam daftar pustaka merupakan edisi terjemahan, setelah
judul buku disebutkan (edisi terjemahan oleh ……di dalam kurung). Di dalam edisi
terjemahan, tahun terbit yang dipakai adalah tahun terbit terjemahan.
f.
Bila buku yang disebut dalam daftar pustaka
berupa artikel dalam sebuah kumpulan, maka judul artikel diapit dengan tanda
petik tunggal.
g.
Daftar pustaka yang boleh dicantumkan hanya
sumber referensi yang dikutip langsung atau tidak langsung.
h. Nama
buku yang dijadikan daftar pustaka dicetak tebal atau miring, kecuali artikel
yang hanya diapit dengan tanda petik tunggal.
i.
Bila terdapat sumber pustaka yang belum
diterbitkan (makalah, skripsi, thesis, dsb.), maka judulnya diapit dengan tanda
petik ganda.
j.
Gelar akademik dan gelar kebangsawanan
tidak disertakan.
k.
Semua nama penulis asing dibalik.
l.
Penulis dari kalangan Indonesia tidak
dibalik, kecuali nama yang didahului dengan nama babtis atau nama diri yang
disingkat harus dibalik, contoh :
F.
Paimin ditulis Paimin, F.
D. Edi
Subroto ditulis Edi Subroto, D.
m. Nama
penulis yang terdidi dari tiga orang semua ditampilkan, untuk penulis asing
yang dibalik hanya penulis yang pertama.
n. Nama
penulis yang lebih dari empat orang, yang ditulis hanya penulis yang pertama,
kemudian koma dan di belakangnya diberi tambahan et. al. (Selanjutnya periksa dalam lampiran
7).
1. Buatlah
sebuah proposal penelitian, bila memungkinkan telah mengarah ke penulisan
skripsi.
2.
Buatlah
berbagai macam kutipan langsung dan tidak langsung dari berbagai macam
leteratur.
3.
Buatlah
beberapa footnote dan atau endnot dari berbagai literatur.
4.
Buatlah
beberapa daftar kepustakaan dari berbagai literatur.
Referensi :
1. Hadari
Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.
Sutrisno
Hadi. 2000. Metodologi Research
Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
3. Lexy.
JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.
Otong,
S.J. 2001. Pedoman Penulisan Skripsi,
Thesis, Disertasi. Bandung : Yrama
Widya.
5.
Nasution,
S. 1982. Metode Research. Bandung :
Jemmars.
6.
Nasution,
S, M. Thomas. 1985. Buku Penuntun
Membuat Thesis, Skripsi, Disertasi, Makalah. Bandung : Jemmars.
7.
Suryadi.
1980. Penuntun Penyusunan
Paper-Skripsi-Thesis. Surabaya : Usaha Nasional.
8.
Westra,
IGK Paridjata. 1990. Pedoman Penulisan
Skripsi Berdasarkan Penelitian Empiris di Perguruan Tinggi. Surabaya :
Airlangga University Press.
9. Contoh
Proposal.
10. Contoh
Skripsi.
[1]
Istilah Teks dalam hal ini tidak hanya menyangkut sesuatu wacana yang tertulis
(written discourse), dan tidak
tertulis (spoken discourse) saja,
namun juga meluas menjadi wacana yang dapat dilihat (visuable discourse), dan wacana yang dapat didengar (audible discourse). Seni sastra termasuk
ke dalam wacana tertulis, seni berpidato masuk ke dalam wacana lisan, seni
patung, tari, seni rupa dan sejenisnya, masuk ke dalam wacana yang dapat
dilihat, dan seni musik, seni suara masuk
ke dalam wacana yang dapat didengar.
[2]
Kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu ulasan dapat dibuat oleh peneliti
sendiri, menurut modelnya masing-masing, misalnya ; kartu ikhtisar dibuat
dengan kertas berlubang satu, kartu kutipan dengan kertas berlubang dua, dan
kartu ulasan dengan kartu berlubang tiga.
[1] Di
Indonesia dibedakan antara Thesis dengan Skripsi, Thesis disusun untuk
memperoleh gelar Magister (S2), sedangkan Skripsi untuk memperoleh gelar
Sarjana (S1). Thesis selain meminta sumbangan pemikiran dan penemuan baru, juga
diarahkan untuk menguji sebuah teori
sesuai dengan bidang spesialisasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar