Selasa, 09 April 2013

Editorial.



BAB   I
PENDAHULUAN

Tujuan  Instruksional  Khusus 
 
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.       Menjelaskan pentingnya kegiatan penelitian di Perguruan Tinggi.
b.      Menjelaskan perkembangan penelitian ilmiah.
c.       Menjelaskan jenis-jenis penelitian ilmiah

A.      Konsep dasar

Metode Penelitian dewasa ini sudah semakin berkembang dan digunakan dalam banyak bidang ilmu, baik yang bersifat eksakta maupun non eksakta. Perkembangan dan kemajuan pengetahuan pada masa modern, sangat tergantung pada kesediaan para ilmuwan untuk mengungkapkannya. Pada awal abad XXI ini usaha mengungkapkan rahasia alam telah dilakukan secara sistematik dan ekshaustik, hal ini merupakan prestasi yang tak ternilai harganya. Usaha ini telah menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan sebagai hasil kerja yang dilakukan dengan cara obyektif dan teliti. Cara kerja yang seperti itu disebut cara kerja ilmiah.

Usaha mengungkapkan pengetahuan itu didasari oleh sifat ingin tahu yang dimiliki manusia. Didorong sifat keingintahuan ini, manusia berusaha untuk mencari jawabannya. Dalam usahanya mencari jawaban tersebut, manusia mempergunakan panca indera dan kemampuan berfikirnya. Dalam usaha itu terjadi persentuhan antara panca indera dengan alam sebagai obyeknya. Hasil dari persentuhan tersebut berupa pengetahuan yang disebut pengalaman. Dari berbagai pengalaman yang terkumpul, manusia berusaha membuat keputusan dan mencoba menarik sebuah kesimpulan. Dari kesimpulan tersebut diupayakan dapat berlaku secara universal, tidak bersifat individual. Atau dengan kata lain, pengalaman yang diperoleh manusia secara individual akan dicocokkan dengan pengalaman manusia yang lain (dalam hal ini masih bersifat khusus). Kemudian dari beberapa pengalaman sekelompok manusia tersebut disatukan, yang kemudian dibuatlah sebuah kesimpulan.

Pengetahuan yang terkumpul semakin banyak dan beragam, sesuai dengan pengalaman masing-masing. Pada kenyataannya, bahwa pengetahuan yang memuaskan dorongan ingin tahu manusia adalah pengetahuan yang benar, atau mengandung nilai kebenaran. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pengetahuan yang benar adalah pengakuan hubungan antara dua sesuatu, yang ternyata memiliki persesuaian dengan obyeknya, sehingga pengetahuan yang benar disebut pula pengetahuan obyektif. Obyek pengetahuan meliputi segala sesuatu yang ‘ada’, dan yang ‘mungkin ada’. Sesuatu yang ‘ada’ ialah sesuatu yang dapat disentuh oleh indera, sehingga lebih mudah menunjukkan bukti kebenarannya. Sesuatu yang ‘mungkin ada’ ialah sesuatu yang sekarang belum ada, akan tetapi tidak mustahil akan menjadi ada, setelah melalui proses penelitian dan pembuktian. Beberapa di antaranya mungkin bersifat abstrak, yang sulit untuk disentuh dengan indera manusia, sehingga sering terjadi kesulitan mengungkapkan bukti-bukti kebenarannya. Namun karena pengetahuan yang obyektif menuntut bukti-bukti kebenaran, maka harus diusahakan untuk menunjukkan bukti-bukti kebenaran.

Bukti kebenaran bersumber dari persentuhan indera manusia dengan sesuatu yang bersifat khusus atau individual. Pengetahuan dan pengalaman antara individu yang satu dengan yang lain tidak sama, bahkan pengalaman seseorang yang berulang terhadap suatu obyek pun dapat berbeda. Dengan demikian, sering timbul kesulitan untuk mencapai pengetahuan yang benar, obyektif, dan berlaku universal. Sehubungan dengan bukti kebenaran itu, selanjutnya perlu dibedakan antara tiga pandangan ; yaitu kebenaran agama, filsafat, dan ilmu (Hadari Nawawi.1995 : 1-4)

1.       Kebenaran Agama

Dalam mencari kebenaran manusia tidak membatasi dirinya, tetapi manusia terbatas pada kemampuan akalnya. Kebenaran yang dicapai manusia dengan penyelidikannya sendiri, tidak dapat melampaui batas-batas kemampuannya. Dalam kenyataanya, banyak pula kebenaran yang diterima manusia bukan karena dicapai dengan pembuktian, bukan pula diperoleh dari pengalamannya. Kebenaran yang menjadi pengetahuannya itu berada di luar jangkauan dirinya dan di luar pengalamannya. Kebenaran yang semacam itu diterima karena diberitahukan kepada manusia, karena berada di luar kemampuannya. Kebenaran itu diterima karena percaya dan yakin, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang pasti benar. Dasar diterimanya kebenaran tersebut adalah, kepercayaan dan keyakinan bahwa Yang Memberitahukan tidak mungkin berbuat bohong, karena sebagai sumber kebenaran. Dengan kata lain, bahwa sesuatu yang disampaikan itu halnya memang demikian dan harus demikian, tidak mungkin lain. Kebenaran itu merupakan kebenaran mutlak, yang obyektivitasnya dijamin oleh Pemberi kebenaran itu sendiri. Cara penyampaian kebenaran dilakukan dengan cara istimewa, dan kepada orang yang istimewa pula. Kebenaran tersebut disebut wahyu atau firman, alat penyampainya namanya malaikat, dan penerimanya namanya nabi dan atau rasul.

2.       Kebenaran Filsafat

Pengalaman manusia sangat terbatas, karena yang ‘ada’ dan yang ‘mungkin ada’ tidak dapat disentuh semuanya. Akan tetapi dengan mempergunakan akalnya, sesuatu yang umum dan abstrak dapat diterima sebagai kebanaran, setelah melalui proses perenungan yang sedalam-dalamnya. Kebenaran tersebut ternyata melampaui atau mengatasi pengalaman manusia. Pengalaman diselidiki atau direnungkan juga sebagai pangkal pengetahuan, akan tetapi tidak berhenti pada batas sesuatu yang dapat diterangkan secara konkret melalui pengalaman itu saja. Kebenaran pengetahuan yang dikehendaki filsafat adalah hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya, serta mencakup seluruh aspek obyeknya, sehingga bersifat dan berlaku seumum-umumnya. Dengan kata lain, kebenaran pengetahuan yang dicari adalah hasil perenungan dan pemikiran terakhir yang bersifat umum. Perenungan itu mencari kesamaan dari segala sesuatu yang banyak ragamnya, baik yang dapat disentuh dengan indera maupun yang tidak dapat disentuh.

Pengetahuan yang mengandalkan kebenaran dengan cara perenungan yang sedalam-dalamnya disebut filsafat. Bukti kebenarannya adalah hasil pemahaman manusia yang diperoleh melalui perenungan dengan mempergunakan kemampuan akalnya. Kebenaran yang diperoleh dari hasil perenungan itu, menempatkan kebenaran filsafat sebagai kebenaran insani atau kodrati. Kebenarran itu dapat bertolak dari pengalaman, tetapi selalu melampaui dan mengatasi pengalaman manusia, dan bukti-buktinya tidak memerlukan sesuatu yang konkret.

3.       Kebenaran Ilmu

             Kebenaran yang diungkapkan secara mendalam dengan tidak terlalu menghiraukan kegunaannya, menghasilkan pengetahuan yang disebut ilmu. Pengetahuan itu diungkapkan atas dasar keinginan untuk diketahui semata-mata, sampai memperoleh kejelasan tentang mengapa demikian, atau apa sebabnya harus demikian. Pengetahuan di dalam ilmu berusaha mengungkapkan keseluruhan aspek di dalam obyeknya, sehingga tidak sekedar memperhatikan kegunaannya saja. Oleh karena itu walaupun nampaknya tidak berguna, masih diselidiki dan diungkapkan dengan mencari sebab yang terdalam, tentang obyeknya berdasarkan pengalaman. Kebenarannya dicari dan dibuktikan melalui persentuhan indera dengan alam sekitar, untuk menerangkan mengapa obyeknya demikian, atau apa sebabnya obyek tersebut harus demikian.

                  Selanjutnya dengan bantuan kemampuan berfikir yang dapat melampaui batas ruang, waktu, dan statistika, ilmu dapat sampai pada sesuatu yang abstrak dan bersifat umum. Untuk itu, demi obyektivitas ilmu yang diungkapkan, orang harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat ilmiah di dalam ilmu dapat diwujudkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

3.1.   Ilmu harus mempunyai obyek, karena kebenaran yang akan diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara yang diketahui dengan obyeknya. Persesuaian itu mungkin tidak mengenai seluruh aspek obyeknya, tetapi sekurang-kurangnya harus sesuai dengan salah satu atau beberapa aspek dari obyeknya. Untuk itu harus dibedakan antara obyek material dengan obyek formal. Obyek material adalah kenyataan yang diselidiki atau dibahas. Sedangkan obyek formal adalah aspek khusus atau tertentu dari obyek material yang diungkapkan.

3.2.   Ilmu harus mempunyai metode, karena untuk mencapai suatu kebenaran obyektif dalam mengungkapkan obyeknya, ilmu tidak dapat bekerja secara serampangan. Untuk itu diperlukan cara tertentu yang tepat yang disebut metode keilmuan.

3.3.   Metode keilmuan harus mampu mengungkapkan bukti-bukti atau tanda kebenaran dari pengalaman manusia. Atau dengan kata lain, metode yang digunakan harus merupakan cara kerja yang tepat, terarah, teratur, dan benar.

3.4.   Ilmu harus sistematik. Dalam mendeskripsikan pengalaman-pengalaman atau kebenaran-kebenaran tentang obyeknya, harus dipadukan secara harmonis sebagai suatu keseluruhan yang teratur. Dengan kata lain, ilmu harus merupakan kebulatan yang sistematik atau bersistem.

3.5.   Ilmu harus bersifat universal atau berlaku umum. Kebenaran yang dideskripsikan ilmu bukanlah mengenai sesuatu yang bersifat khusus atau individual. Kebenaran ilmiah berkenaan dengan suatu macam atau jenis, dan tiap-tiap sesuatu di dalam macam atau jenis tersebut. Di dalam istilah penelitian berarti  kebenaran ilmu harus berlaku bagi suatu populasi tertentu, dan tidak sekedar berlaku secara terbatas pada unsur-unsurnya yang disebut sampel (periksa dalam Hadari Naawawi. 1995 : 4 –11). 


B.      Perkembangan Metodologi Penelitian

             Metodologi penelitian sebagaimana yang kita kenal sekarang ini, telah memakan waktu yang sangat panjang dan melewati berbagai tingkatan. Rummel (dalam Sutrisno Hadi, 2000:4) menggolongkan perkembangan metodologi penelitian menjadi empat tahap/periode, yaitu ; (1) periode trial and error, (2) periode authority and tradition, (3) periode speculation and argumentation, dan (4) periode hypothesis and experimentation.
1.       Periode Trial and Error
                      Pada masa ini ilmu pengetahuan masih dalam landasan embrional, orang belum mempergunakan dalil-dalil deduksi yang logis, sebagaimana diperlukan untuk menyusun sebuah ilmu pengetahuan. Namun orang masih senang mencoba dan mencoba terus, hingga dijumpai suatu pemecahan yang dipandang memuaskan. Kebanyakan problematiknya tidak dibatasi dengan jelas. Tata kerja dan pemecahannya masih dicari-cari sambil berjalan, serta observasi yang dilakukan sifatnya sangat sederhana dan kualitatif. Kemajuan setapak demi setapak  sulit dipastikan, karena rencana untuk maju tersebut belum dipastikan atau ditentukan sebelumnya. Jika ada rencana yang pasti adalah mencoba dan mencoba lagi.

2.       Periode Authority and Tradition
                   Pendapat-pendapat dari ‘pemimpin’ atau ‘ahli’ pada masa lampau selalu dikutip kembali. Pendapat-pendapat tersebut selalu dijadikan doktrin yang harus diikuti dengan tertib tanpa sesuatu kritik. Tidak jarang pendapat-pendapat tersebut salah dan picik, namun karena dikemukakan oleh ‘pemimpin’ atau ‘ahli’ dengan penuh keyakinan dan semangat, maka orang awam harus menganggap pendapat itu sebagai sebuah kebenaran. ‘The Master always Says The Truth’, begitulah ungkapan yang layak pada masa ini.
Tradisi pada masa ini memegang peranan yang amat penting, sampai sekarang pun masih ada ‘kenyataan’ yang bersumber dari tradisi ini. Para petani yang menerangkan bahwa ia menggilir tanamannya secara teratur dari musim ke musim, karena banyak nenek moyang mereka berbuat demikian. Hal ini menunjukkan betapa tradisi telah menguasai cara berfikir, dan cara kerja seseorang sampai berabad-abad lamanya. Namun demikian, mempercayai tradisi karena tradisi, serta mempercayai tradisi karena kebenaran, adalah sesuatu tingkat kepercayaan yang berbeda secara kualitatif.
3.       Periode Speculation and Argumentation
                           Doktri-doktrin yang disodorkan dengan penuh semangat dan keyakinan oleh tokoh-tokoh penguasa mulai diragukan. Dengan senjata ketajaman dialektika dan ketangkasan bicara, orang mulai berkelompok-kelompok mengadakan diskusi dan debat untuk mencari kebenaran. Spekulasi dilawan dengan spekulasi, serta argumentasi dilawan pula dengan argumentasi.
Perkembangan pengetahuan pada masa ini sangat menderita, karena orang terlalu mendewakan akal dan ketangkasan lidahnya. Seolah-olah satu-satunya kebenaran adalah apa yang dapat dicapai oleh akal (fikiran), dan ucapan semata-mata. Hal ini sangat berbeda  dengan periode berikutnya, dimana orang mulai memberi tempat sepatutnya kepada empiri, dan memadukan cara-cara berfikir deduktif dan induktif.
4.       Periode Hypothesis and Experimentation
                Berdasarkan pemikiran bahwa semua peristiwa dalam alam semesta ini dikuasai oleh pola-pola tertentu, orang mulai berusaha sekeras-kerasnya untuk mencari rangkaian pola-pola itu, untuk menerangkan sesuatu kejadian. Mula-mula orang mempergunakan ketajaman fikirannya untuk membuat dugaan-dugaan (hipotesa), kemudian mengumpulkan fakta, dari fakta tersebut dibuatlah kesimpulan umum yang menguasai fakta-fakta itu. Sudah dapat dipastikan bahwa kesimpulan itu tidak sesalu cocok dengan dugaan awal, maka diperlukan analisa yang cermat dan tajam, terhadap fakta yang diperolah dari eksperimen.

C.      Jenis-jenis Penelitian Ilmiah di Perguruan Tinggi 
 
Dalam studinya di perguruan tinggi, setiap mahasiswa barangkali diminta menyelenggarakan suatu penelitian, baik dalam bentuk yang sederhana maupun dalam bentuk yang qualified. Di perguruan tinggi dikenal empat macam penelitian ilmiah, yaitu ; (1) Term Paper, (2) Field Study, (3) Thesis, dan (4) Disertasi (Sutrisno Hadi. 2000 : 9 – 11).
1.       Term paper
Ada macam-macam nama yang digunakan untuk menyebut Term Paper, misalnya ‘report of reading’, ‘naskah semester’, ‘naskah pembahasan’, dan semacamnya. Adapun ciri-ciri term paper atau naskahnya sebagai berikut.
a.       Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian suatu mata kuliah tertentu.
b.      Melaporkan apa yang sudah dan dapat diketahui oleh mahasiswa, tidak diminta penemuan-penemuan pengetahuan yang belum tersedia.
c.       Harus diselesaikan dalam waktu yang sangat terbatas, dan ditulis menurut tata tulis yang telah ditetapkan.
d.      Meskipun tidak diharapkan suatu pembahasan yang mendalam, namun tidak boleh merupakan kumpulan dari serangkaian kutipan yang mentah, dari artikel-artikel atau buku-buku yang ditunjukkan.
               Untuk menyelesaikan suatu term paper, biasanya tidak diminta lebih dari suatu library research. Judul atau pokok permasalahannya mungkin diberikan oleh dosen, mungkin juga diminta memilih dari suatu daftar topik, dan mungkin pula mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih sendiri. Semuanya masih dalam lingkungan wilayah mata kuliah yang bersangkutan. Maksud dari penulisan term paper pada umumnya adalah sebagai berikut.
a.       Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menguasai lebih mendalam mata kuliah yang bersangkutan.
b.      Memberi kesempatan untuk memperluas cakrawala mahasiswa tentang mata kuliah yang bersangkutan.
c.       Memberi kesempatan kepada dosen untuk menilai kemampuan mahasiswa, dalam mengumpulkan, mengatur, dan melaporkan bahan-bahan studi dalam sistematika yang logis.
d.      Menjadi sebagian dari dasar-dasar pemberian nilai dalam mata kuliah yang bersangkutan.


2.       Field Study
                Tujuan umum dari field study adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mempersiapkan diri, dalam menghadapi persoalan-persoalan yang konkret di lapangan. Persiapan ini lebih dititikberatkan pada segi formal daripada segi material. Sesuatu yang sangat diperlukan bukan penemuan baru, namun lebih mementingkan  bagaimana mahasiswa meng approuch suatu persoalan yang konkret. Sudah barang tentu mahasiswa lebih diharapkan untuk mandiri dalam pekerjaannya, daripada meminta tolong dan nasehat-nasehat dari pembimbing, konsultan atau sponsornya. Secara metodologis mahasiswa harus mampu mendemonstrasikan cara-cara yang tepat, baik dalam mengumpulkan data, menganalisis,  serta menyimpulkannya. Field study berbeda dengan term paper dalam tiga hal.
a.       Field study tidak ditulis untuk memenuhi salah satu syarat dari suatu mata kuliah, melainkan jauh lebih luas mengenai banyak hal aspek-aspek spesialisasi, dan meliputi beberapa mata kuliah.
b.      Field study tidak didasarkan atas library research, melainkan atas field research, dan dilakukan di kancah terjadinya fenomena.
c.       Field study ditulis dalam bentuk laporan akademik.
3.       Thesis
                 Sama halnya dengan field study, thesis harus diselenggarakan secara tertib dan cermat dalam segi metodologis. Thesis dan atau Skripsi[1]  meminta sumbangan material, yaitu penemuan-penemuan baru dari segi tata kerja, dalil-dalil, dan atau hukum-hukum tertentu tentang salah satu aspek atau lebih, dalam suatu lapangan spesialisasinya.
Sepanjang belum diketemukan kenyataan atau bukti-bukti yang menyangkal kebenaran suatu thesis, maka kebenaran dalam thesis masih dianggap benar. Oleh karena itu dalam menyusun thesis harus sangat hati-hati, bukan saja oleh thesa-thesa yang dikemukakan dipandang sebagai kebenaran, namun juga thesis merupakan monumen abadi dari segi kemampuan penyusunnya. Dalam menyusun thesis biasanya dibuat abstrak, yang merupakan rangkaian jalinan dari hal ihwal permasalahan, hingga hasil akhir dari temuan di lapangan.
4.       Disertasi
                  Thesis dipersiapkan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana,  master/magister, atau gelar yang sederajat. Disertasi dipersiapkan untuk promosi mencapai derajat Doktor (DR), atau Philosophical Doctor (Ph.D). Tidak banyak perbedaan antara thesis dengan disertasi, kecuali dalam intensitas dan ekstensi pokok persoalan yang dititikberatkan. Disertasi sudah jelas harus lebih luas, lebih mendalam dan lebih terperas (exhausted). Konklusinya harus mempunyai kemungkinan generalisasi yang lebih luas daripada thesis. Atas dasar pengetahuan-pengetahuan spesialisasinya, seorang penyusun disertasi harus mampu bekerja sendiri sepenuhnya. Bila dalam thesis seorang mahasiswa harus dibimbing oleh satu atau dua orang pembimbing, maka dalam disertasi dikenal dengan istilah Promotor (pembimbing disertasi) dan Promovendus (mahasiswa promosi).

Evaluasi
1.       Jelaskan konsep kebenaran menurut Agama, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan, jelaskan pula antara ketiganya.
2.       Jelaskan fase perkembangan metodologi penelitian, berikan pula contoh-contohnya.
3.       Jelaskan dan bedakan macam-macam penelitian ilmiah yang ada di perguruan tinggi.

Referensi :
1.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
2.       Hadari Nawawi. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3.       Saifuddin Azwar. 1999. Metode Penelitian.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 
 

[1] Di Indonesia dibedakan antara Thesis dengan Skripsi, Thesis disusun untuk memperoleh gelar Magister (S2), sedangkan Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana (S1). Thesis selain meminta sumbangan pemikiran dan penemuan baru, juga diarahkan  untuk menguji sebuah teori sesuai dengan bidang spesialisasinya. 




BAB   II 
PERKEMBANGAN  PENEMUAN  KEBENARAN 
 
Tujuan  Instruksional  Khusus
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan paradigma ilmu dalam kegiatan penelitian.
b.       Menjelaskan berbagai macam kebenaran dari berbagai sudut dan fase perkembangan.
c.        Menjelaskan dan menerapkan konsep berfikir yang logis dan rasional.

A.      Konsep Kebenaran dan Paradigma Ilmu 
Manusia sebagai makhluk berfikir mempunyai kecenderungan untuk selalu memahami dunianya. Keingintahuan akan diarahkan pada pertanyaan mendasar yang sama sepanjang masa. Apakah sebenarnya dunia ini ?, bagaimana kita dapat memahaminya ? bagaimana kita dapat mengendalikannya ?, dan akhirnya bagaimana kebenaran mengenai masalah-masalah tersebut ?
Konsep tentang kebenaran adalah suatu yang sukar untuk ditangkap (Julienne Ford dalam Lincoln & Guba, 1985). Tales (1975) menyatakan bahwa istilah kebenaran bisa memiliki empat macam arti yang berbeda, yaitu ; kebenaran empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, dan kebenaran metafisis.
1.       Kebenaran empiris, adalah kebenaran yang biasa digunakan oleh para ilmuwan, merupakan suatu pernyataan dalam bentuk hipotesis atau sebutan (penerimaan atau penolakan sesuatu), jika ia sejalan dengan alam atau preserves the appearances. Kebenaran model ini sesuai dengan teori korespondensi, yang merumuskan bahwa ‘suatu pernyataan adalah benar, jika materi yang dikandung pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain, ‘suatu kalimat observasi adalah benar, jika ia berhubungan dengan kenyataan atau realitasnya’.
2.       Kebenaran logis, adalah bila kebenaran merupakan pernyataan logis atau matematis, sejalan dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai kebenaran. Kebenaran ini sejalan dengan teori koherensi, yang menyatakan bahwa suatu kalimat observasi adalah benar, jika ia dapat dibuktikan dengan suatu teori tertentu (Lincoln & Guba, 1985), atau bersifat koheren/konsisten dengan pernyataan yang sebelumnya sudah dianggap benar (Jujun S. Suriasumantri, 1985).
3.       Kebenaran etis, adalah suatu pernyataan adalah benar, jika seseorang yang menyatakannya berbuat sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau profesional. Dengan demikian, ukuran kebenaran model ini sangat tergantung pada ruang dan waktu. Artinya, ada kemungkinan kebenaran itu dapat diterima pada wilayah tertentu, namun ditolak di wilayah yang lain. Demikian pula, ada kemungkinan kebenaran itu zaman dulu ditolak, namun pada zaman sekarang kebenaran itu dapat diterima.
4.       Kebenaran metafisis, sangat berbeda dengan kebenaran yang lain, dengan pengertian bahwa suatu pernyataan sebagai kebenaran ia tidak dapat diuji kebenarannya, dengan dihadapkan pada beberapa norma eksternal, semacam kesesuaian dengan alam, penarikan kesimpulan logis ataupun ukuran pelaksanaan profesional. Dengan kata lain, kebenaran ini harus diterima apa adanya, karena kepercayaan dasarnya tidak dapat dibuktikan dengan ketidakbenaran (yang dianggap benar oleh teori kebenaran yang lain). Kebenaran ini menghadirkan batas akhir yang berbeda dari segalanya yang teruji.
Selanjutnya beragam kepercayaan dasar atau metafisis semacam itu, kadang-kadang dibentuk menjadi suatu sistem gagasan yang lengkap. Kemudian seperangkat kepercayaan sistematis semacam itu, berikut metode-metode yang menyertainya disebut Paradigma. Paradigma menggambarkan pembuatan intisari mengenai apa yang kita fikir, tentang dunia yang tidak dapat kita buktikan. Kegiatan kita di dunia, termasuk kegiatan kita sebagai ilmuwan atau peneliti, tak dapat terjadi tanpa acuan pada paradigma tersebut. Sebuah paradigma adalah sebuah pandangan dunia sebagai perspektif umum, suatu cara mengurai kerumitan dunia nyata. Berbagai paradigma terpancang secara mendalam pada sosialisasi para penganut dan pelaksananya. Paradigma menjelaskan kepada mereka ‘apa yang sah, penting, dan beralasan’. Paradigma juga bersifat normatif, yaitu menjelaskan kepada pelaksananya apa yang perlu dilakukan, tanpa perlunya konsiderasi epistemologis atau eksistensial. Hal ini merupakan aspek paradigma yang membentuk kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatannya adalah di dalam membuat kegiatan menjadi mungkin. Kelemahannya adalah di dalam alasan yang mendalam bagi kegiatan tersebut, yang tersembunyi dalam asumsi-asumsi paradigma yang tidak bisa dipertanyakan lagi.
B.      Penemuan Kebenaran dan Silogisme
Penerimaan pengetahuan sebagai sebuah kebenaran, dipengaruhi pula oleh cara mengungkapkan atau menemukannya. Untuk dapat sampai pada cara penemuan kebenaran sekarang ini, telah memakan waktu yang cukup lama dan bertingkat-tingkat. Perkembangan cara mengungkapkan kebenaran  yang bertahap itu sebagai berikut.
1.       Penemuan Kebenaran secara Kebetulan.
Suatu peristiwa yang tidak disengaja kadang-kadang  menghasilkan suatu kebenaran, yang menambah perbendaharaan pengetahuan manusia, karena kebenaran tersebut sebelumnya tidak diketahui. Dalam penemuan kebenaran ini manusia bersifat pasif dan menunggu. Cara ini tidak mungkin membawa sebuah perkembangan yang diharapkan, karena suatu kebetulan selalu berada dalam keadaan yang tidak pasti, datangnya tidak dapat diperhitungkan sebelumnya dan tidak  terencana. Oleh karena itu, kebenaran model ini tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam metode keilmuan untuk menggali kebenaran pengetahuan.
2.       Penemuan Kebenaran dengan cara Trial and Error.
Trial berarti mencoba, dan Error adalah gagal, maksudnya mencoba sesuatu secara berulang-ulang, walaupun selalu menemui kegagalan, yang pada akhirnya menemukan kebenaran. Cara ini telah menempatkan seseorang menjadi aktif dalam usaha mencari kebenaran, meskipun sebenarnya tidak mengetahui secara pasti tentang sesuatu tujuan yang ingin dicapainya. Meskipun manusia telah menunjukkan suatu aktivitas dalam mencari kebenaran, namun cara ini masih mengandung unsur untung-untungan. Di samping itu, cara ini kerap memerlukan waktu yang lama, karena kegiatan mencoba itu tidak dapat direncanakan, tidak terarah dan tidak diketahui tujuannya. Dengan kata lain, cara ini terlalu meraba-raba, tidak pasti dan tanpa pengertian yang jelas. Oleh karena itu, cara ini tidak dapat dijadikan sebagai metode keilmuan, karena tidak sistematik dan untung-untungan.
3.       Penemuan Kebenaran melalui Otoritas Ilmiah.
Di dalam masyarakat sering ditemui orang-orang yang karena kedudukan atau pengetahuannya sangat dihormati atau dipercaya. Orang tersebut memiliki kewibawaan yang besar di lingkungan masyarakatnya, sehingga pendapatnya banyak diterima sebagai kebenaran. Kepercayaan pada pendapatnya itu tidak saja dikarenakan kedudukannya, namun juga karena keahliannya pada bidang tertentu. Pandangan seperti ini kadang berguna pula, terutama dalam merangsang dan memberi landasan dalam usaha penemuan-penemuan baru, di kalangan orang yang menyangsikannya. Akan tetapi cara ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah, karena lebih banyak diwarnai oleh subyektivitas dari orang yang mengemukakan pendapat tersebut.
4.       Penemuan Kebenaran secara Spekulatif.
Cara ini mengandung kesamaan dengan cara Trial and Error, karena mengandung unsur untung-untungan. Oleh karena itu cara ini dapat digolongkan sebagai cara Trial and Error yang teratur dan terarah. Dalam prakteknya seseorang telah menyadari adanya masalah yang dihadapi, kemudian mencoba meramalkan berbagai kemungkinan atau alternatif pemecahannya. Kemudian tanpa meyakini betul-betul tentang ketepatan salah satu alternatif yang dipilihnya, ternyata dicapai suatu hasil yang memuaskan sebagai suatu kebenaran. Dalam hal ini seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan, dan harus memilih salah satu untuk dapat memecahkan permasalahan, walaupun tanpa meyakini bahwa pilihannya itu sebagai cara yang tepat. Dalam hubungan ini sering  orang yang memiliki intuisi tajam, yang memungkinkan penggunaan cara spekulatif ini membawa pada kebenaran. Akhirnya cara inipun tidak dapat dijadikan model dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah. Unsur untung-untungan dalam memilih alternatif, menyebabkan penemuan kebenaran bersifat meraba-raba, sehingga kemungkinan gagal lebih besar daripada keberhasilan.
5.       Penemuan Kebenaran melalui cara Berfikir Kritis dan Rasional.
Kemampuan berfikir yang dimiliki manusia telah banyak menghasilkan kebenaran, baik yang bertolak dari pengalaman maupun yang melampaui atau mengatasi pengalaman. Kebenaran itu diungkapkan melalui proses berfikir rasional, kritis dan logis. Dalam proses berfikir itu seseorang menghadapi masalah, kemudian berusaha menganalisanya dengan mempergunakan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya, untuk sampai pada pemecahan yang terbaik.
Pada tahap awal ditempuh dua cara berfikir, yaitu cara berfikir analitik (deduktif), dan cara berfikir sintetik (induktif). Pada tahap berikutnya usaha menemukan kebenaran melalui proses berfikir rasional, kritis dan logis.
5.1. Cara Berfikir Analitik (Deduktif)
       Cara berfikir ini bertolak dari pengertian bahwa sesuatu yang berlaku bagi keseluruhan peristiwa, kelompok atau jenis, berlaku pula bagi tiap-tiap unsur di dalam peristiwa, kelompok atau jenis tersebut. Cara berfikir deduktif semacam ini akan mencapai pengetahuan yang benar, dengan mempergunakan silogisme sebagai alat. Silogisme adalah suatu argumentasi yang terdiri dari tiga buah proposisi (pernyataan), yang membenarkan atau menolak suatu perkara. Dua proposisi yang pertama disebut premis mayor dan premis minor, sedangkan proposisi yang ke tiga disebut kesimpulan atau konklusi.
Beberapa jenis silogisme adalah sebagai berikut.
5.1.1.   Silogisme Kategorik
Semua manusia pasti mati (premis mayor).
Suharto adalah manusia (premis minor).
Jadi Suharto pasti mati (konklusi).
Dalam silogisme ini premis mayor memiliki kebenaran mutlak. Hubungan premis mayor dengan premis minor sangat terkait, sehingga secara logis proposisi yang ketiga atau konklusinya akan menjadi benar.
       5.1.2.   Silogisme Kondisional (Bersyarat)
Jika kabel listrik yang tidak terbungkus saling bersentuhan pada saat ada aliran, maka lampu akan mati (premis mayor).
Sekarang ada aliran listrik, dan lampu di rumah Amin mati (premis minor).
Jadi ada kabel listrik di rumah Amin yang tidak terbungkus dan bersentuhan (konklusi).
Dalam silogisme jenis ini premis mayornya tidak mengandung kebenaran yang mutlak. Akan tetapi ada faktor-faktor tertentu yang tidak dapat dikuasai, sehingga dalam kondisi-kondisi tertentu tidak menunjukkan ciri-ciri yang pasti. Jadi, berapa besarnya kebenaran yang dikandung oleh suatu penarikan kesimpulan, sangat tergantung sekali pada berapa besarnya kebenaran yang dikandung oleh premis mayornya.
5.1.3.   Silogisme Alternatif atau Pilihan
Aminah harus menikah atau melanjutkan sekolah (mayor).
Aminah tidak akan melanjutkan sekolah (minor).
Jadi Aminah harus menikah (konklusi).
5.1.4.   Silogisme Disjungtif atau Melerai
Tidak mungkin mahasiswa yang belajar dengan tekun dengan yang tidak belajar akan mendapat nilai bagus (mayor).
Seorang mahasiswa sama sekali tidak belajar (minor).
Jadi tidak mungkin (kecil kemungkinannya) ia akan mendapat nilai yang bagus (konklusi).
5.2.   Cara Berfikir Sintetik (Induktif)
Cara berfikir ini bertolak dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus, atau fakta-fakta yang bersifat individual, untuk sampai pada kesimpulan yang bersifat umum. Oleh karena itu, cara berfikir sintetik ini disebut pula berfikir induktif. Ada tiga jenis berfikir induktif, yaitu ; induksi komplit, induksi sistem Bacon, dan  induksi tidak komplit.
5.2.1.   Induksi Komplit
A penduduk desa X menjadi nelayan.
B penduduk desa X menjadi nelayan.
C penduduk desa X menjadi nelayan.
D penduduk desa X menjadi nelayan.
.   penduduk desa X menjadi nelayan.
.   penduduk desa X menjadi nelayan.
Z penduduk desa X menjadi nelayan.
Jadi semua penduduk desa X menjadi nelayan.
5.2.2.   Induksi Sistem Bacon
Francis Bacon adalah seorang tokoh empirisme, dia menolak cara berfikir deduktif, dan menganjurkan untuk menentukan ciri-ciri dari setiap gejala yang dihadapinya.
a.       Pencatatan ciri-ciri positif, yaitu gejala-gejala yang pasti timbul, jika terdapat suatu peristiwa atau kondisi.
b.      Pencatatan ciri-ciri negatif, yaitu gejala-gejala yang tidak timbul, jika terdapat suatu peristiwa atau kondisi.
c.       Pencatatan variasi gejala, yaitu ada tidaknya perubahan gejala, jika terjadi perubahan pada suatu peristiwa atau kondisi. 
5.2.3.   Induksi Tidak Komplit
Induksi ini tidak mendasarkan kesimpulannya dari hasil  pengamatan terhadap semua obyek. Kesimpulan dirumuskan dengan mempergunakan sebagian dari hasil pengamatan terhadap obyeknya, akan tetapi berlaku bagi keseluruhan.
Induksi tidak komplit ini kemudian mendasari kegiatan penelitian ilmiah, khususnya dalam penentuan obyek sebagai sumber data. Oleh karena itu, pembahasan secara lebih mendalam akan dilanjutkan pada bab populasi dan sampel.
6. Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah
Dewasa ini penemuan kebenaran yang paling mungkin memberi pengetahuan yang benar, dalam arti yang sesuai dengan obyeknya (obyektif), dilakukan dengan melalui kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian dilakukan sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan, mengapa sesuatu demikian ?, atau mengapa harus demikian ? Kegiatan itu pada dasarnya bermaksud membentengi  dalam menarik kesimpulan sebagai suatu kebenaran, dengan mengajukan bukti-bukti yang meyakinkan, yang dikumpulkan melalui prosedur yang sistematik, jelas, terkontrol, dan dapat dipertanggungjawabkan. Langkah-langkah penelitian ilmiah secara umum adalah sebagai berikut.
a.       Perumusan dan pembatasan masalah serta tujuan penelitian.
b.      Merangkai dan menetapkan kerangka teori, sebagai titik tolak pemikiran, melalui kegiatan penelaahan atau studi kepustakaan.
c.       Merumuskan kerangka konsep, sebagai gambaran umum kemungkinan pemecahan masalah.
d.      Merumuskan hipotesis (bila diperlukan), sebagai dugaan pemecahan masalah yang bersifat sementara berdasarkan kerangka konsep, yang merupakan pula kesimpulan umum yang akan dirumuskan apabila ternyata benar. Hipotesa dirumuskan sebagai jawaban atau kesimpulan sementara dari masalah yang dihadapi, dan masih harus diuji kebenaran atau ketidakbenarannya.
e.      Memilih dan menetapkan metode atau cara kerja, lengkap dengan teknik dan alat pengumpul datanya, termasuk pula menentukan sumber data (populasi dan sampel).
f.        Pengumpulan, pengolahan, dan analisis data.
g.       Menguji hipotesa (bila ada) untuk merumuskan kesimpulan, serta implementasi hasil penelitian yang dapat digunakan pada penelitian masa mendatang.
h.      Publikasi hasil penelitian dalam bentuk tata tulis ilmiah, agar mudah dikomunikasikan dengan pihak bagi yang memerlukannya, baik mengenai aspek-aspek yang bersifat teoritis maupun praktis.

Evaluasi
1.       Jelaskan tentang kebenaran empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, dan kebenaran metafisis.
2.       Jelaskan dengan contoh fase perkembangan dalam menemukan kebenaran.
3.       Apa yang dimasud dengan berfikir deduktif dan induktif, bagaimana pula penerapannya dalam penelitian ilmiah.
4.       Jelaskan langkah-langkah penelitian ilmiah, bagaimana bila langkah tersebut tidak lengkap atau terbalik, bolehkah hal tersebut dilakukan oleh peneliti, uraikan alasan anda.
5.       Haruskah suatu hasil penelitian dipublikasikan ?, bagaimana jika tidak, uraikan alasan anda.   

Referensi :
1.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
2.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3.       Winarno Surachmad. 1965. Metode Penelitian, Pengantar Penyelidikan Ilmiah, Dasar dan Metode. Bandung : CV. Jemars.
4.       Sutopo. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatf. Surakarta : Buku Pegangan Kuliah, Universitas Sebelas Maret.
5.       Yuyun S. Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.  


 BAB   III   
PERUMUSAN   MASALAH

Tujuan  Instruksional  Khusus
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.       Mengidentifikasi masalah serta merumuskan masalah
b.      Menjelaskan dan mengaplikasikan analisis perumusan masalah
c.       Menjelaskan dan menguasai prinsip-prinsip perumusan masalah
A.      Pembatasan Masalah
Masalah bukan sekedar pertanyaan, dan berbeda pula dengan tujuan. Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih, yang menghasilkan situasi yang membingungkan (Guba, 1978:44; Lincoln dan Guba, 1985:218; dan Guba dan Lincoln, 1981:88). Faktor yang berhubungan tersebut dalam hal ini mungkin berupa konsep, data empiris, pengalaman, atau unsur yang lainnya. Bila kedua faktor itu didudukkan secara berpasangan, akan menghasilkan sejumlah kesulitan, yaitu sesuatu yang tidak difahami, atau tidak dapat diterangkan pada waktu itu. (Periksa Moleong : 62)
Setiap penelitian memerlukan kejelasan tentang apa yang hendak diungkapkan, yaitu berupa masalah yang realistis dan patut diselidiki. Sedemikian banyak masalah dalam kehidupan manusia, mengharuskan seorang peneliti bersikap kritis dan selektif, sebelum memutuskan salah satu di antara sekian banyak masalah yang dihadapi. Untuk itu, masalah penelitian harus tampak atau dirasakan sebagai suatu tantangan yang menggerakkan manusia (khususnya peneliti), untuk mencari pemecahannya. Untuk membantu dalam proses penyeleksian masalah, yang tidak dapat diperkirakan jumlahnya, dapat dipergunakan kriteria-kriteria sebagai berikut (Hadari Nawawi. 1995 : 36).
1.       Masalah penelitian harus merupakan sesuatu yang berguna untuk dipecahkan. Prinsip kegunaan ini dapat ditinjau dari berbagai sudut, setidaknya dari sudut manfaatnya, baik secara teoretis maupun praktis. Secara sederhana berarti seorang peneliti harus menyadari bahwa dengan memecahkan masalah yang dipilihnya, akan diperoleh sesuatu yang berguna, baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan, maupun bagi kepentingan kehidupan manusia.
2.       Peneliti harus memiliki kemampuan yang memadai untuk memecahkan masalah yang diselidiki. Pemecahan masalah penelitian secara menyeluruh dan tuntas, sangat tergantung pada kemampuan yang dimiliki oleh seorang peneliti. Pemecahan masalah secara dangkal, karena kurangnya kemampuan peneliti dalam mengungkapkannya, tidak akan banyak kegunaannya. Oleh karena itu, sebelum memutuskan salah satu dari sekian banyak masalah, seorang peneliti harus melakukan introspeksi, tentang kemampuannya dalam memecahkan masalah tersebut. Kemampuan yang harus dimiliki seorang peneliti menyangkut dua aspek. Pertama, berupa kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pengetahuan. Ke dua, kemampuan melakukan penelitian, sebagai jaminan ilmiah yang bersifat maksimal, tentang kemungkinan menghasilkan kebenaran yang obyektif, dalam memecahkan masalah yang akan dipilih.
3.       Masalah harus menarik untuk dipecahkan.
Seorang peneliti harus memiliki motif yang kuat dalam memilih salah satu dari sekian banyak masalah. Masalah yang tidak menarik perhatian peneliti, tidak akan diiringi dengan perasaan bertanggung jawab, dan kesungguhan dalam mencari pemecahannya. Pada akhirnya tidak akan menimbulkan rasa puas terhadap hasil yang diperoleh, karena cenderung bersifat dangkal.
Suatu masalah tidak menarik mungkin terlalu sulit, memerlukan waktu terlalu lama, terlalu luas, terlalu sederhana, tidak berhubungan dengan keahlian, atau tidak mendapat dukungan dari masyarakat dan para ahli. Masalah yang tidak menarik bukan saja akan menimbulkan ketidaksungguhan dalam pemecahannya, tetapi mungkin pula akan terbengkalai, sehingga dana yang telah dipergunakan akan sia-sia.
4.       Masalah yang diselidiki sedapat mungkin akan menghasilkan sesuatu yang baru.
Masalah yang sudah pernah diselidiki, atau secara umum dan teoretis diakui kebenarannya, tidak banyak gunanya untuk diteliti kembali. Apalagi jika hanya akan menghasilkan sesuatu yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya. Masalah seperti itu hanya pantas diteliti, jika si peneliti berdasarkan hasil pemikiran rasional yang mendalam, dan melalui studi kepustakaan yang cukup, memiliki keyakinan akan menghasilkan kesimpulan lain yang berbeda, atau lebih baik dari hasil penelitian sebelumnya, atau dari pengetahuan yang diterima kebenarannya secara umum, bila dilakukan penelitian ulang. Untuk meyakini bahwa pemecahan masalah akan menghasilkan sesuatu yang baru, diperlukan pengetahuan yang luas dan menyeluruh dalam bidang masing-masing, khususnya yang berkenaan dengan masalah yang akan diteliti.
5.       Peneliti harus meyakini bahwa data dapat dihimpun secara cukup dan relevan.
Pemecahan masalah akan menghasilkan kesimpulan yang dalam dan  obyektif, bila dapat dihimpun data secara lengkap. Untuk itu, dalam memilih masalah untuk diteliti, perlu dipertimbangkan tersedia tidaknya sumber data, kemungkinan memperoleh data, tersedia tidaknya alat pengumpul data, tersedia tidaknya beaya dan tenaga. Dari sisi data yang akan dihimpun, peneliti tidak boleh bersikap berat sebelah, dalam arti hanya akan menghimpun data yang akan mendukung teorinya, atau sebaliknya hanya akan bertentangan dengan teori yang tidak disetujuinya. Data yang cukup harus dihimpun, baik yang mendukung maupun yang menolak sesuatu yang akan dibuktikan kebenarannya. Dari sisi sumber data harus diusahakan kecukupannya, terutama bila tidak seluruh sumber data akan diteliti.
6.       Masalah penelitian tidak boleh terlalu luas, tetapi juga tidak boleh terlalu sederhana.
Masalah penelitian yang terlalu luas kerapkali sulit untuk diselesaikan, tidak saja karena banyaknya aspek-aspek yang harus diungkapkan, tetapi juga mungkin akan dihadapkan pada  kesulitan tenaga, beaya, dan keterbatasan waktu. Sebaliknya masalah yang terlampau sempit atau sederhana, kerapkali akan kehilangan makna untuk diselidiki dan diungkapkan secara ilmiah. Dengan demikian, masalah yang terlalu luas tidak jelas batas-batasnya, sedangkan masalah yang terlalu sempit akan kehilangan bobot ilmiahnya. 
B.      Merumuskan Kerangka Teori dan Kerangka Konsep  
Setiap penelitian memerlukan kejelasan  titik tolak atau landasan berfikir, dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok fikiran, yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti. Uraian dalam kerangka teori merupakan hasil berfikir rasional yang dituangkan secara tertulis, meliputi aspek-aspek yang terdapat di dalam masalah dan atau sub masalah-sub masalah. Seluruh aspek itu harus diuraikan secara sistematik dengan memanfaatkan teori-teori, hukum-hukum, dalil-dalil, prinsip-prinsip, generalisasi-generalisasi, dan bahkan pendapat-pendapat dan gagasan-gagasan yang telah diterima kebenarannya, di dalam bidang ilmu yang relevan dengan masalah yang diselidiki. Semua bahan tersebut diperoleh dari buku bacaan dan bahan literatur lainnya, kemudian dirumuskan sebagai suatu uraian yang menyeluruh, agar memungkinkan masalah penelitian dapat dianalisa secara luas dan mendalam. Kerangka teori ini secara bersama-sama dengan kerangka konsep, sering disebut sebagai Penelaahan Kepustakaan atau Studi Literatur (Nawawi : 39).
Kerangka Konsep dapat berupa teori-teori baru yang akan diuji, atau pengembangan teori-teori yang sudah ada, dan bahkan berupa kemungkinan-kemungkinan implementasi hasil penelitian bagi kehidupan. Perumusan Kerangka Konsep itu merupakan bahan yang akan menuntun dalam merumuskan hipotesis penelitian.
Dari uraian di atas, jelas bahwa perumusan Kerangka Teori dan Kerangka Konsep memerlukan sebanyak mungkin literatur ilmiah, dalam bidang ilmu yang relevan dan terbaru. Penggunaan literatur lama masih tetap dimungkinkan, sepanjang di dalamnya terkandung bahan-bahan yang tidak kehilangan bobot ilmiahnya.
C.      Prinsip-prinsip Perumusan Masalah  
Perlu dikemukakan di sini, bahwa prinsip-prinsip yang disajikan dimaksudkan sebagai pegangan bagi para peneliti, maupun bagi para dosen dalam melatih mahasiswa. Prinsip yang disajikan bersifat luwes, artinya dapat tidaknya dipergunakan seluruh atau sebagian diserahkan kepada peneliti atau dosen yang bersangkutan. Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya disajikan sebagai berikut (Moleong : 76)
1.       Prinsip yang Berkaitan dengan Teori Dasar
Peneliti hendaknya selalu menyadari bahwa perumusan masalah dalam penelitiannya, didasarkan atas upaya menemukan teori sebagai dasar acuan utama. Dengan hal itu berarti bahwa masalah sebenarnya terletak dan berada di tengah-tengah kenyataan, atau fakta, atau fenomena. Jadi perumusan masalah di sini adalah sekedar arahan, bimbingan, atau acuan pada usaha untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Masalah yang sesungguhnya baru akan dapat dirumuskan apabila peneliti sudah berada dan mulai, bahkan sedang mengumpulkan data. Perumusan masalah yang dilakukan itu merupakan aplikasi dari asumsi, bahwa suatu penelitian tidak mungkin dimulai dari sesuatu yang kosong.
2.       Prinsip yang Berkaitan dengan Faktor
Fokus atau masalah merupakan rumusan yang terdiri atas dua atau lebih faktor, yang menghasilkan kebingungan. Faktor-faktor itu dapat berupa konsep, peristiwa, pengalaman, atau fenomena. Definisi tersebut mengarahkan pada tiga aturan tertentu, yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti pada waktu merumuskan masalah, yaitu ; (1) adanya dua faktor atau lebih, (2) faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu hubungan yang logis atau bermakna, dan (3) hasil pekerjaan menghubungkan tadi berupa suatu keadaan yang membingungkan, suatu keadaan berupa tanda tanya, yang memerlukan pemecahan, atau upaya untuk menjawabnya. Upaya itulah yang dilakukan peneliti untuk menjawab atau memecahkan persoalannya, dan hal itu biasa dinamakan dengan Tujuan Penelitian.
Hal itu membawa peneliti agar tegas dalam memisahkan masalah dari tujuan penelitian. Namun yang utama bagi peneliti ialah agar dalam perumusan masalahnya, ketiga aturan tersebut diusahakan sedemikian rupa supaya dipenuhi. Jadi walaupun ada faktor, jika tidak dikaitkan satu dengan lainnya secara bermakna, hal itu berarti belum memenuhi persyaratan. Hubungan harus memenuhi keadaan berupa tanda tanya, jika tidak demikian berarti juga belum memenuhi salah satu hal yang dikemukakan.
3.       Prinsip yang Berkaitan dengan Inklusi – Eksklusi
Sekali peneliti terjun ke lapangan, ia akan kebanjiran data, baik melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dokumentasi, dan sebagainya. Perumusan fokus yang baik yang dilakukan sebelum ke lapangan, dan yang mungkin disempurnakan pada awal ia terjun ke lapangan, akan membatasi peneliti guna memilih mana data yang relevan dan yang tidak. Data yang relevan dimasukkan dan dianalisis, sedangkan yang tidak relevan dikeluarkan.
Dengan demikian, peneliti dihadapkan pada beberapa hal berikut. Masalah yang dirumuskan secara jelas dan tegas, akan merupakan alat yang ampuh untuk memilih data yang relevan. Mungkin ada data yang menarik namun tidak relevan, maka harus dikeluarkan. Dikeluarkannya yang tidak relevan bukan berarti dibuang, karena bila peneliti suatu saat tertarik oleh masalah lainnya yang belum tercakup, data yang dikeluarkan tadi masih dapat dimanfaatkan.
4.       Prinsip yang Berkaitan dengan Posisi Perumusan Masalah
Maksud dari istilah posisi di sini tidak lain adalah kedudukan unsur rumusan masalah di antara rumusan yang lainnya. Unsur-unsur penelitian lain yang erat kaitannya dengan perumusan masalah adalah ‘latar belakang masalah’, ‘tujuan penelitian’, dan ‘metode penelitian’.
Prinsip posisi menghendaki agar rumusan latar belakang penelitian didahulukan, karena latar belakanglah yang memberikan ancang-ancang dan alasan diadakannya penelitian. Prinsip lainnya ialah hendaknya rumusan masalah disusun lebih dahulu, baru tujuan penelitian. Pada hakekatnya, tujuan penelitian akan berusaha memecahkan dan menjawab pertanyaan pada masalah penelitian. Prinsip berikutnya menghendaki agar sebaiknya rumusan masalah dipisahkan dari rumusan tujuan, walaupun hal ini jangan diartikan bahwa keduanya tidak dapat dilakukan. Prinsip terakhir menghendaki agar rumusan masalah tersebut dipisahkan dari metode penelitian, karena perbedaan fungsi keduanya yang cukup menyolok.
5.       Prinsip yang Berkaitan dengan Hasil Kajian Kepustakaan
Peneliti pemula atau yang belum berpengalaman, tampaknya akan cenderung mengabaikan kajian kepustakaan dalam perumusan masalah. Pada dasarnya perumusan masalah itu tidak dapat dipisahkan dari hasil kajian kepustakaan yang berkaitan. Hal tersebut diperlukan untuk lebih mempertajam rumusan masalah, walaupun masalah yang sesungguhnya bersumber dari data itu sendiri. Selain itu, kajian kepustakaan tersebut mengarahkan serta membimbing peneliti, untuk membentuk kategori substantif, walaupun sumber substantif bersumber dari data itu sendiri.
Sehubungan dengan itu, prinsip yang perlu dipegang oleh peneliti ialah bahwa peneliti perlu membiasakan diri agar dalam merumuskan masalah, ia senantiasa menyertakan kajian kepustakaan yang relevan.
6.       Prinsip yang Berkaitan dengan Penggunaan Bahasa
Perumusan masalah dilakukan pada waktu mengajukan usulan penelitian (proposal), dan diulangi kembali pada waktu penulisan laporan penelitian. Rumusan masalah juga disajikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur lainnya, pada waktu peneliti mempublikasikan hasil temuannya, di majalah ilmiah ataupun di  koran umum. Pada waktu menulis laporan atau artikel hasil penelitian, hendaknya peneliti mempertimbangkan ragam pembacanya, sehingga rumusan masalah yang diajukan dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan pembacanya.
D.      Analisis Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang baik harus mampu dianalisis atau dikaji. Pengkajian tersebut didasarkan atas sejumlah kriteria, adapun kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut.
1.       Apakah rumusan masalah tersebut telah menghubungkan dua faktor atau lebih. Jika ya, apakah dirumuskan secara proporsional, ataukah dalam bentuk diskusi, atau gabungan kedua-duanya.
2.       Apakah rumusan masalah itu dipisahkan dari tujuan penelitian ? jika ya, apakah hanya terdapat rumusan masalah atau dicampuradukkan dengan metode penelitian ? Jika disatukan dengan tujuan penelitian, apakah masalah dipandang sama dengan tujuan penelitian, ataukah tujuan penelitian dimaksudkan untuk memecahkan masalah ? Apakah masalah-masalah yang disatukan dengan tujuan penelitian pada ‘masalah penelitian’, dibahas juga metode penelitiannya ?
3.       Apakah uraiannya dalam bentuk deskriptif  saja, atau deskriptif disertai pertanyaan penelitian ?, ataukah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian saja ?
4.       Apakah uraian masalah dipaparkan secara khusus, sehingga telah dapat memenuhi kriteria ‘inklusi-eksklusi’, ataukah masih demikian umumnya, sehingga kriteria itu tidak akan terpenuhi ?
5.       Apakah kata ‘hipotesis kerja’ (bila ada) dinyatakan secara eksplisit, dan berkaitan dengan masalah penelitian ?, ataukah hanya dinyatakan secara implisit ?
6.       Apakah secara tegas pembatasan studi dinyatakan dengan istilah fokus secara eksplisit atau tidak, dan apakah fokus itu merupakan masalah ?           

 Evaluasi:
1.       Jelaskan tentang langkah-langkah perumusan masalah !
2.       Bagaimanakah langkah dalam analisis masalah ?
3.       Bagaimanakah prinsip-prinsip perumusan masalah ?

Referensi:
1.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.       Aminuddin (ed). 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif.  Malang : HISKI dan YA 3.
3.       Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung :  Remaja Rosdakarya.





BAB  IV

LANGKAH-LANGKAH  PENELITIAN  ILMIAH



Tujuan  Instruksional  Khusus

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan tahap-tahap penelitian ilmiah.
b.       Menjelaskan dan mengaplikasikan langkah-langkah persiapan penelitian.
c.        Menjelaskan dan mengaplikasikan langkah-langkah penelitian lapangan.
d.       Menganalisis data dari dua macam model.

A.      Tahap Pra Lapangan

Ada enam kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti, dan ditambah satu pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika penelitian lapangan. Kegiatan dan pertimbangan tersebut diuraikan sebagai berikut. (Moleong. 1996 : 86)
1.       Menyusun Usulan Penelitian
Usulan Penelitian atau biasanya disebut Proposal, merupakan langkah awal yang harus disusun oleh seorang peneliti. Proposal tersebut harus mencerminkan beberapa aspek penelitian yang akan dikerjakan. Usulan tersebut bukan merupakan ‘pemindahan teori dan pengetahuan metode penelitian’, melainkan berupa uraian secara singkat hal ihwal rencana penelitian, langkah penelitian, metode dan teknik penelitian, analisis penelitian, hingga kesimpulan penelitian.
Secara ringkas usulan tersebut harus memuat ; (1) latar belakang masalah dan alasan pelaksanaan penelitian, (2) Kajian Kepustakaan, (3) metode penelitian, (4) pemilihan lapangan penelitian, (5) rancangan penelitian, dan (6) penentuan jadwal penelitian.
2.       Memilih Lapangan Penelitian
Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif. Pergilah dan jajakilah lapangan, untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.
3.       Mengurus Perizinan
Pertama-tama yang harus diketahui peneliti ialah siapa saja yang berkuasa dan berwenang memberikan izin  bagi pelaksanaan penelitian. Tentu saja peneliti jangan mengabaikan kedudukan Pembimbing, Ketua Jurusan, Dekan, atau bahkan Rektor. Instansi yang berwenang memberikan izin adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), atau Kepala Pemerintahan, baik pusat atau daerah, Dirjen, Gubernur, Walikota/Bupati, dan sebagainya, mereka dapat dikatakan berwenang secara formal administratif. Masih ada jalur informal yang perlu diketahui oleh peneliti untuk mendapatkan ‘izin’, yaitu mereka yang memegang kunci komunitas tertentu. Mereka adalah kepala adat, ketua suku, ketua organisasi/partai, dan sebagainya. Jalur informal ini perlu dan harus ditempuh, agar pengumpulan data tidak mengalami gangguan.
Selain mengetahui siapa yang berwenang memberi izin, segi lain yang perlu dipersiapkan peneliti adalah ; surat tugas, identitas peneliti, perlengkapan penelitian, dan proposal penelitian yang harus diketahui oleh pihak yang berwenang. Syarat-syarat lain yang harus dimiliki peneliti adalah syarat pribadi peneliti. Syarat tersebut antara lain ; sikap jujur, terbuka, bersahabat, simpatik, empatik, obyektif, dan sikap-sikap positif lainnya.
4.       Menjajaki dan Menilai Keadaan Lapangan
Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik, bila peneliti sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan, atau mengetahui melalui ‘orang dalam’ tentang situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilaksanakan. Sebaiknya sebelum menjajaki lapangan, peneliti sudah mempunyai gambaran umum tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh, adat-istiadat, konteks kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, agama, pendidikan, mata pencaharian, dan sebagainya.
Maksud dan tujuan penjajakan lapangan adalah berusaha mengenal segala unsur lingkungan sosial, fisik, dan keadaan alam. Jika penelitia telah mengenalnya, maksud dan tujuan lainnya adalah untuk membuat peneliti mempersiapkan diri mental maupun fisik, serta mempersiapkan perlengkapan penelitian yang diperlukan. Pengenalan lapangan dimaksudkan pula untuk menilai keadaan, situasi, latar dan konteks budayanya, apakah terdapat kesesuaian dengan masalah, hipotesis, teori substantif, seperti yang digambarkan dalam proposal.
5.       Memilih dan Memanfaatkan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi, tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dengan demikian, seorang informan harus memiliki banyak pengalaman, dan secara sukarela bersedia menjadi anggota tim dalam penelitian tersebut. Syarat-syarat memilih informan harus memiliki kriteria sebagai berikut ; jujur, taat, suka berbicara, terbuka, berpandangan luas, serta kalau bisa memiliki pengaruh pada kelompok tertentu.
Usaha untuk memperoleh informan yang baik, dapat dilakukan dengan cara ; (a) melalui keterangan orang yang berwenang, baik secara formal maupun informal, (b) melalui wawancara pendahuluan, dengan cara ini peneliti dapat menilai berdasarkan persyaratan yang dikemukakan sebelumnya. Dalam hal tertentu, informan perlu direkrut seperlunya, dan diberitahu tentang maksud dan tujuan penelitian. Agar peneliti memperoleh informan yang benar-benar memenuhi persyaratan, sebaiknya peneliti menyelidiki motivasinya, bila perlu mengetes informasi yang diberikannya, apakah benar atau tidak.
6.       Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Selain perlengkapan fisik, seorang peneliti perlu pula mempersiapkan perlengkapan penelitian yang lainnya. Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah ; (a) pengaturan perjalanan, terutama jika lapangan penelitian jauh letaknya, (b) perlengkapan kotak kesehatan, terutama bila berada dalam wilayah yang kondisi cuacanya tidak menentu, atau kondisi geografinya tidak seimbang, (3) alat tulis dan alat pengumpul data. Pada dasarnya hal yang penting adalah agar peneliti sejauh mungkin sudah mempersiapkan segala alat dan perlengkapan, sebelum ia terjun ke kancah penelitian.
7.       Etika Penelitian
Ketika telah berada di lapangan, baik dalam taraf penjajakan maupun taraf pengumpulan data, peneliti akan banyak berhubungan dengan anggota masyarakat. Peneliti akan bergaul secara perorangan maupun kelompok, merasakan dan mengahayati tata pergaulan dalam masyarakat setempat. Dalam kelompok tersebut biasanya ada suatu norma yang dijunjung tinggi oleh anggota masyarakatnya. Norma tersebut dapat berupa ; agama, nilai sosial, hak dan nilai pribadi, adat, kebiasaan ritual, tabu dan semacamnya, dan sebagainya.
Persoalan etika akan muncul bila peneliti tidak menghormati, mematuhi, dan mengindahkan nilai-nilai dalam masyarakat. Apalagi bila peneliti masih berpegang pada norma yang melekat pada dirinya tidak segera dilepaskan. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi benturan nilai, konflik, frustasi dan semacamnya, dapat diramalkan akan terjadi. Sebagai akibatnya akan mempengaruhi pada kemurnian pengumpulan data. Oleh karena itu, peneliti hendaknya menyesuaikan diri, serta segera ‘memakai baju adat setempat’, dan menerima seluruh nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat setempat. Beberapa segi praktis yang perlu dilakukan peneliti dalam menghadapi persoalan etika penelitian adalah sebagai berikut.
7.1.     Sewaktu tiba di lapangan dan berhadapan dengan orang-orang, beritahukan secara jujur maksud dan tujuan kedatangannya. Hal ini hendaknya diajukan kepada mereka yang memberi izin, kepada pejabat setempat, dan kepada subyek yang akan diwawancarai. Cara penyampaiannya tidak perlu mendetail, cukup secara umum, dan dalam hal-hal tertentu ada bagian yang tidak perlu dikemukakan.
7.2.    Pandang dan hargailah orang-orang yang diteliti bukan sebagai ‘subyek’, melainkan sebagai orang yang sama derajatnya. Jika suasananya dapat terbina demikian, akan terbukalah kesempatan bagi peneliti untuk berkomunikasi secara lancar.
7.3.    Hargai, hormati, dan patuhi semua peraturan, norma, nilai masyarakat, kepercayaan, kebiasaan, kebudayaan, dan sebagainya. Jika hal itu dapat dilakukan secara taat asas, masyarakat akan mudah bekerja sama dan membantu pengumpulan informasi.
7.4.    Peganglah kerahasiaan segala sesuatu yang berkenaan dengan informasi yang diberikan oleh subyek. Jika informasi yang diberikan tidak dikehendaki untuk dipublikasikan, hendaknya peneliti menghormatinya. Nama-nama subyek sebaiknya tidak disebutkan dalam laporan, kecuali jika subyek tidak keberatan. Bila dikehendaki nama-nama tersebut dapat diganti dengan nama-nama lain atau dengan cara inisial.
7.5.    Tulislah segala kejadian, peristiwa, cerita, dan lain sebagainya secara jujur dan benar, jangan ditambah atau dikurangi. Nyatakan sesuai dengan keadaan aslinya. Memoles atau ‘membedaki’ data, akan merupakan dosa terakhir bagi seorang ilmuwan.
B.       Tahap Lapangan        
Pekerjaan di lapangan merupakan pekerjaan utama peneliti, maka dari itu persiapan awal sebelum terjun ke lapangan, seorang peneliti harus memastikan kelengkapan bekal. Dalam tahap ini akan diuraikan menjadi tiga bagian tahap lapangan, yaitu ; (1) memahami latar penelitian, (2) memasuki lapangan, dan (3) berperan serta sambil mengumpulkan data.
1.       Memahami Latar Penelitian
                Peneliti hendaknya mengenal latar terbuka dan latar tertutup, di samping itu peneliti hendaknya tahu menempatkan diri, apakah sebagai peneliti dikenal atau tak dikenal. Menurut Lofland dan Lofland (1984:21-24 dalam Moleong), latar terbuka terdapat di lapangan umum, seperti tempat berpidato, orang berkumpul di taman, toko, bioskop, dan ruang tunggu rumah sakit. Pada latar demikian peneliti barangkali hanya akan mengandalkan pengamatan, dan kurang dalam wawancara. Hal itu membawa peneliti untuk memperhitungkan latar tersebut, sehingga strategi pengumpulan datanya menjadi efektif. Dalam hal ini hubungan peneliti dengan subyek kurang erat. Sebaliknya, pada latar tertutup hubungan peneliti perlu akrab, karena latar demikian orang-orang sebagai subyek yang perlu diamati harus teliti, dan wawancara secara mendalam. Dengan demikian, strategi berperan sertanya peneliti dalam latar demikian sangat diperlukan.
2.       Memasuki Lapangan
Keakraban pergaulan dengan subyek perlu dipelihara selama pengumpulan data, bahkan sesudah pengumpulan data. Jangan sampai terjadi, seorang subyek dalam hubungan keakraban merasa dirugikan, misalnya seorang peneliti tampak terlalu dekat dengan ‘lawannya’. Subyek demikian harus diberi perhatian agar jangan merugikan kepentingan peneliti nantinya. Dalam hubungan pergaulan ketika pengumpulan data, mungkin saja terjadi seorang pemimpin kelompok atau masyarakat yang diwawancarai tidak bersedia atau kurang waktu, kemudian ia menunjuk orang lain sebagai penggantinya. Sejauh pengganti itu tidak diberi perintah untuk menyajikan informasi khusus, tentu bisa saja dengan catatan bahwa informasi demikian harus disaring.
Jika peneliti berasal dari latar yang lain, baik baginya bila mempelajari bahasa atau dialeknya. Selain itu, juga disarankan untuk mempelajari simbol-simbol non verbal, yang digunakan oleh orang-orang yang menjadi subyek. Peneliti seyogyanya mengerti, dan jangan hanya menduga bahwa ia mengerti. Peneliti tidak hanya harus mengerti tentang bahasa dan simbol yang digunakan, tetapi harus mengerti dalam situasi bagaimana orang menggunakannya, apakah digunakan oleh semua orang ataukah hanya sekelompok orang.
Sering terjadi bahwa peran serta peneliti baru dapat terwujud seutuhnya, apabila ia membaur secara fisik dengan kelompok komunitas yang ditelitinya. Kadang-kadang dengan jalan memberikan bantuan tertentu, barulah ia diterima peran sertanya. Apapun dan bagaimanapun peranan yang dimainkan oleh peneliti, hendaknya disadari dan diperhatikan bahwa tugas utamanya adalah mengumpulkan informasi.
Kadang-kadang peneliti menghadapi situasi yang sulit, walaupun peneliti secara berulang-ulang telah menjelaskan maksud dan tujuan, namun subyek peneltian tetap tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Di pihak lain barangkali subyek mengerti, tetapi tidak mau bekerja sama, tidak mau memberikan informasi, atau tidak mau melakukan sesuatu yang diharapkan peneliti. Menghadapi situasi yang demikian peneliti harus punya sikap sabar. Peneliti hendaknya mendekati subyek dengan jalan memakai salah satu anggotanya sebagai perantara. Perangai peneliti, penyesuaian dirinya, penampilan fisik atau psikis dan mental, akan mempermudah bagi peneliti dalam menghadapi situasi serumit apapun.
3.       Berperanserta sambil Mengumpulkan Data
Alat penelitian penting yang biasanya digunakan ialah catatan lapangan (field notes). Catatan lapangan merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti sewaktu mengadakan pengamatan, wawancara, atau menyaksikan kejadian tertentu. Biasanya catatan lapangan itu dibuat dalam bentuk kata-kata kunci, singkatan, pokok-pokok yang utama, kemudian dilengkapi dan disempurnakan bila telah pergi ke tempat tinggal.
Pencatat data di lapangan hendaknya selalu memperhatikan kondisi yang terjadi, apa yang perlu dan tidak perlu dicatat, mana yang perlu dan tidak perlu direkam, dan sebagainya. Di samping itu, uraian tentang latar dan orang-orang yang perlu diamati atau diwawancarai, bagaimana menghadapi perubahan latar penelitian, dan bagaimana cara memberikan pendapat, adalah sesuatu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang peneliti.
Jika peneliti berhadapan dengan suatu konteks penelitian, dan di dalamnya menemukan kelompok-kelompok yang sedang bertentangan, tentu saja  situasi yang demikian cukup sulit dan rumit untuk dihadapi. Dalam hal ini peneliti hendaknya berusaha sekuat tenaga agar dia tetap netral, tidak memihak dan sejauh mungkin menengahi persoalan yang terjadi. Jika peneliti dalam keadaan tertentu terpaksa berperan sebagai penengah, maka hendaknya ia senantiasa menyadari dan mempertimbangkan etika penelitian. 
C.       Tahap Analisis Data
Pada bagian ini akan dibahas beberapa prinsip pokok dalam analisis data. Prinsip-prinsip tersebut antara lain ; (1) Konsep dasar analisis, (2) Model analisis.
1.       Konsep Dasar Analisis
Analisis data menurut Patton (1980:268), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan makna yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Menurut Bogdan dan Taylor (1975:79) analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal, untuk menemukan thema dan merumuskan hipotesis atau ide, dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada thema dan hipotesis itu. Dengan demikian, kedua definisi tersebut dapat disintesiskan menjadi ; analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan thema, dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Rumusan tersebut di atas dapat ditarik pengertian, bahwa analisis data bermaksud mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali, yang terdiri dari catatan lapangan, catatan wawancara, gambar, foto, dokumen dan sebagainya. pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengategorikannya. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan untuk menemukan thema dan hipotesis, yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.
2.       Model Analisis
Kegiatan analisis pada penelitian kualitatif pada dasarnya dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data. Hal itu sangat berbeda dengan proses analisis dalam penelitian kuantitatif, yang memisahkan secara tegas antara proses pengumpulan data dengan proses analisisnya. Pada umumnya proses analisisnya dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai.
Dalam analisis penelitian kualitatif dikenal adanya tiga komponen analisis, yaitu ; sajian data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Tiga komponen analisis tersebut saling berkaitan dan berinteraksi, tak dapat dipisahkan. Oleh karena itu sering dinyatakan bahwa proses analisis dilakukan di lapangan, sebelum peneliti meninggalkan lapangan studinya. Secara sederhana sering dinyatakan terdapat dua model pokok dalam melaksanakan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu (1) model analisis jalinan atau mengalir, dan (2) model analisis interaktif (Miles & Huberman, 1974).
2.1.   Model Analisis Jalinan
Proses analisis dengan tiga komponen analisisnya saling menjalin, dan dilakukan secara terus menerus di dalam proses pelaksanaan pengumpulan data. Reduksi data sebagai komponen pertama sudah dilakukan sejak awal, sebelum kegiatan pengumpulan data dilakukan, yaitu sejak penyusunan proposal penelitian. Dengan membatasi permasalahan penelitian, dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian, sebenarnya peneliti telah melaksanakan kegiatan reduksi. Kemudian proses tersebut dilanjutkan pada waktu proses pengumpulan data, dan secara erat saling menjalin dengan dua komponen analisis yang lainnya, yaitu sajian data dan penarikan kesimpulan. Tiga komponen tersebut masih aktif bertautan dalam jalinan, dan dilakukan pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, serta dilanjutkan sampai pada proses penulisan laporan penelitian berakhir. Secara sederhana analisis jalinan dapat digambarkan sebagai berikut.

2.2.   Model Analisis Interaktif
Dalam model ini peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen analisis, dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data masih berlangsung. Setelah proses pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak di antara tiga komponen analisisnya. Proses analisis ini disebut sebagai model analisis interaktif. Untuk lebih mempermudah pemahaman, secara sederhana dapat diperhatikan gambar berikut.








 


    
                                                           
      











 
                                               

                                                                               

Gb. IV  2. Model Analisis Interaktif

Dengan memperhatikan gambar tersebut, maka prosesnya dapat dilihat pada waktu pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Maksudnya, data yang berupa catatan lapangan  yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya, adalah data yang telah tergali dan dicatat. Dari dua bagian data tersebut peneliti menyusun rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan penting, dalam arti pemahaman segala peristiwanya yang disebut reduksi data. Kemudian diikuti dengan penyusunan sajian data yang berupa ceritera sistematis dengan suntingan penelitinya, supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas difahami, dengan dilengkapi perabot sajian yang berupa matrik, gambar dan sebagainya, yang sangat mendukung sajian data. Bila pengumpulan data telah selesai, langkah selanjutnya menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Bila kesimpulannya dirasakan kurang mantap, karena kurangnya rumusan dalam reduksi data maupun sajian data, akan dilakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus, untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada.                                   
Model analisis yang digunakan, baik analisis jalinan maupun interaktif, semuanya dilaksanakan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dalam model tersebut, ketiga komponen analisis berjalan bersama pada waktu kegiatan pengumpulan data. Begitu peneliti menyusun catatan lapangan secara lengkap, reduksi data segera dibuat, dan diteruskan dengan pengembangan bentuk susunan sajian data yang bersifat sementara. Dari membaca sajian data yang berupa cerita dengan kelengkapan beragam pendukungnya (matriks, tabel, gambar, dsb.), peneliti dapat mengusahakan pikiran kesimpulan. Kesimpulan ini tentu saja bersifat sementara, karena proses pengumpulan data tetap berlangsung. Begitu peneliti mendapatkan data baru, kemungkinan besar kesimpulan sementara tersebut perlu diubah secara tepat. Bila data baru memperkuat kesimpulan, maka kesimpulan sementara yang telah dibuat akan menjadi semakin mantap (Sutopo.1996 : 85 –89).

Evaluasi  :
1.       Diskusikan dengan teman anda tentang tahap-tahap penelitian pra lapangan
2.       Diskusikan dengan teman anda tentang tahap-tahap penelitian lapangan
3.       Bagaimana langkah-langkah analisis data lapangan, diskusikan dengan teman-teman.
4.       Bagaimanakah cara menyusun data di lapangan dengan sistematis

Referensi               :
1.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
3.       Agus Salim. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.
4.       Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
5.       Matthew. 1986. Qualitative Data Analysis : A Source Book of New Methods. Beverly Hills : Sage Publication.
6.       Yin, Robert K. 1981. Case Study Research : Design and Methods. London : Sage Publication.

BAB  V

METODE-METODE PENDEKATAN SOSIAL BUDAYA



Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan berbagai metode dan ancangan dalam penelitian.
b.       Menerapkan berbagai metode dan ancangan dalam penelitian.
c.        Menerapkan jenis-jenis studi dalam penelitian sosial budaya.

A.       Metode  Filosofis

Metode Filosofis adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki secara rasional, melalui pemikiran atau perenungan yang terarah, mendasar dan mendalam, tentang hakekat segala sesuatu yang ada, atau yang mungkin ada. Dalam pelaksanaannya dapat mempergunakan pola fikir aliran filsafat tertentu, ataupun dalam bentuk analisa sistematik berdasarkan pola berfikir deduktif, induktif, atau fenomenologis, dengan memperhatikan hukum-hukum berfikir.
Metode ini bekerja dengan mempergunakan data kualitatif, sehingga dalam pemecahan masalahnya pada umumnya bersifat apriori. Pengggunaan data atau fakta cenderung dilakukan untuk memberikan dasar berfikir, dan bukan untuk pembuktian hipotesa. Oleh sebab itu, metode ini jarang dimasukkan dalam jangkauan penelitian yang bersifat empiris, dan dikelompokkan dalam science (pengetahuan yang ilmiah). Namun demikian, bukan berarti bahwa penelitian yang mempergunakan metode filsafat, bukan merupakan metode pemecahan yang bersifat ilmiah. Tidak sedikit permasalahan yang hanya dapat dilakukan dengan metode filsafat, dan sama sekali tidak dapat dilakukan dengan metode yang lainnya.
Meskipun metode ini tidak akan diuraikan secara menyeluruh, akan tetapi sangat perlu ditekankan, bahwa cara bekerjanya selalu berhadapan dengan data kualitatif. Data itu dikemukakan dalam bentuk uraian-uraian atau berupa simbol-simbol verbal, yang penafsirannya sangat tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat. Kecermatan pemakaian simbol verbal ini sangat penting artinya dalam metode ini, karena sering terjadi satu istilah dipergunakan untuk menjelaskan hal yang berbeda. Sebaliknya tidak mustahil pula, istilah yang berbeda dipergunakan untuk menjelaskan hal sama.
Dalam kenyataan sehari-hari, data kualitatif ini tidak saja memonopoli penelitian dalam bidang filsafat, tetapi juga banyak pula dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menghadapi masalah-masalah yang memang tidak dapat dipecahkan secara kuantitatif. Namun untuk mencapai tingkat obyektivitas, validitas dan reliabilitas yang tinggi, dewasa ini pada umumnya ilmu sosial pun berusaha bekerja dengan data kuantitatif.

B.       Metode Dekriptif

Metode deskriptif dapat dikatakan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian, berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Tahap awal metode ini adalah usaha mendeskripsikan fakta-fakta, dalam usaha mengemukakan gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya. Pada tahap berikutnya metode ini harus diberi bobot yang lebih tinggi, karena sulit untuk dibantah bahwa hasil penelitian yang sekedar mendeskripsikan fakta tidak banyak artinya. Untuk itu, pemikiran di dalam metode ini perlu dikembangkan, dengan memberikan penafsiran yang adequat terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat diwujudkan juga sebagai usaha memecahkan masalah dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan, mengukur dimensi suatu gejala, mengadakan klasifikasi gejala, menilai gejala, menetapkan standart, menetapkan hubungan antar gejala-gejala yang ditemukan, dan lain lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pokok metode deskriptif adalah :
a.        Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian sedang dilakukan, atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b.       Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang adequat.
Metode ini dapat diterapkan pada tiga bentuk studi, yaitu ; (1) survei, (2) studi hubungan, dan (3) studi perkembangan.
1.       Survei
Survei pada dasarnya tidak berbeda dengan penelitian. Pemakaian kedua istilah ini sering hanya dimaksudkan untuk memberikan penekanan mengenai ruang lingkup. Penelitian memusatkan diri pada salah satu atau beberapa aspek dari obyeknya. Survei bersifat menyeluruh, yang kemudian akan dilanjutkan secara mengkhusus pada aspek tertentu, bila diperlukan studi yang lebih mendalam. Oleh karena itu, hasil dari suatu survei sering dipergunakan untuk menyusun suatu perencanaan, atau menyempurnakan perencanaan yang sudah ada. Penggunaannya sebagai data perencanaan dimungkinkan, karena melalui survei suatu obyek penelitian diungkapkan secara menyeluruh. Di samping itu, survei pada dasarnya tidak sekedar bertujuan memaparkan data tentang obyeknya, akan tetapi juga bermaksud menginterpretasikannya, dan membandingkannya dengan ukuran standar tertentu yang sudah ditetapkan.
Jenis-jenis studi yang dapat dikelompokkan sebagai bagian penelitian survei antara lain :
1.1.   Survei Kelembagaan (Institutional Survey)
Survei ini dilakukan dengan mengambil obyek berupa lembaga tertentu yang terdapat di masyarakat. Melalui survei ini diusahakan menemukan data yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kegiatan operasional lembaga yang diteliti, misalnya dasar untuk menyusun rencana dan memperbaiki rencana, dasar untuk mengatur mekanisme kegiatan, dan lain lain.
1.2.   Analisis Jabatan/Pekerjaan (Job Analysis)
Analisis ini pada dasarnya bermaksud untuk menemukan gejala-gejala yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, informasi yang dikumpulkan meliputi tugas-tugas secara menyeluruh dalam suatu jenis jabatan/pekerjaan. Melalui penelitian tersebut, selanjutnya dapat disusun deskripsi pekerjaan yang dapat dipergunakan untuk menempatkan dan menyeleksi calon pekerja/pejabat. Di samping itu, dapat pula dipergunakan untuk merancangkan program pendidikan dan latihan, termasuk juga penataran-penataran, pendidikan spesialisasi, latihan kerja, dan lain-lain.
1.3.   Analisis Dokumenter (Documentary Analysis)
Analisis dokumenter sering pula disebut analisis kegiatan (activity analysis), atau analisis informasi (Information analysis). Dari dokumen yang tersedia, penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan informasi-informasi yang berguna di bidangnya masing-masing. Banyak dokumen resmi dan laporan-laporan yang oleh sebagian orang dianggap atau dipandang sebagai arsip yang tidak berguna, namun bagi seorang peneliti dokumen, hal ini sangat berharga untuk memahami aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok populasi tertentu, yang faktanya tersimpan dalam berbagai dokumen.
Cara melakukan penelitian ini sering dihubungkan dengan metode historis, walaupun sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsipiil. Di dalam analisis dokumen, data yang diungkapkan menyangkut bahan-bahan yang belum terlalu lama, sehingga belum dikelompokkan sebagai peninggalan sejarah. Di dalam metode historis, bahan-bahan yang dijadikan sumber data pada umumnya terdiri dari peninggalan sejarah, yang dari segi waktu telah cukup lama.
1.4.   Analisis Isi (Content Analysis)
Analisis isi dalam penelitian dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah buku, yang menggambarkan isi situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Dalam analisa ini seorang peneliti dapat menghitung frekwensi munculnya suatu konsep tertentu, penyusunan kalimat menurut pola yang sama, kelemahan-kelemahan pola berfikir yang sama, cara menyajikan bahan ilustrasi, dan lain-lain. Di samping itu, dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang sama. Perbandingan tersebut dapat didasarkan pada perbedaan waktu penulisannya, maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut dalam mencapai sasarannya, sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat, atau sekelompok masyarakat tertentu. Informasi ini akan sangat berguna bagi pengembangan penulisan buku yang sejenis di masa-masa yang akan datang, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang memerlukannya.
1.5.   Survei Pendapat Umum (Public Opinion Survey)
Penelitian tentang pendapat umum biasanya mempergunakan interview sebagai alat pengumpul data, dari sejumlah subyek yang dipilih secara teliti agar mewakili kelompok atau masyarakat luas secara representatif. Penentuan tempat, waktu, dan subyek, sangat penting dalam  penelitian ini. Luas dan kedalaman penelitian ini sangat tergantung pada banyak sedikitnya aspek yang akan diungkapkan dalam permasalahan yang dihadapi. Di samping itu, harus diakui pula bahwa luas dan kedalamannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya ; keterbatasan waktu, biaya, kemampuan, tenaga pelaksana, tenaga ahli, serta kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dan membantu memberikan data yang relevan.
2.       Studi Hubungan (Interrelationship Studies)
Beberapa penelitian di bidang sosial sering tidak cukup mendalam bila hanya dilakukan untuk mengumpulkan fakta-fakta sebagaimana adanya. Banyak fakta-fakta yang ternyata harus dihubungkan satu dengan yang lain, agar suatu kondisi atau peristiwa dapat dipahami secara baik. Untuk itu, dalam metode deskriptif telah dikembangkan beberapa cara penelitian sebagai berikut.
2.1.   Studi Kasus (Case Studies)
Penelitian ini memusatkan diri secara intensif terhadap satu obyek tertentu, dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Seorang peneliti harus mengumpulkan data setepat-tepatnya, dan selengkap-lengkapnya dari sebuah kasus, untuk mengetahui sebab-sebab yang sesungguhnya. Data yang terkumpul disusun dan dipelajari menurut urutannya (sequences), dan dihubungkan satu dengan yang lain secara menyeluruh (komprehensif) dan integral, agar memperoleh gambaran umum dari kasus yang diselidiki. Setiap fakta dipelajari peranan dan fungsinya, di dalam kasus tersebut. Pada tahap akhir, studi kasus harus dapat menemukan cara-cara yang dapat ditempuh untuk melakukan perbaikan, terhadap aspek-aspek yang menunjukkan kelainan kasus yang diselidiki.
2.2.   Studi Sebab Akibat dan Perbandingan (Causal – Comparative Studies)
Dalam studi ini dilakukan usaha untuk memahami mengapa suatu gejala terjadi, atau apa sebabnya suatu peristiwa, keadaan atau situasi berlangsung. Penelitian ini pada tahap pertama adalah menggambarkan fakta-fakta seadanya, untuk memperjelas bagaimana keadaan dari obyek yang diteliti. Selanjutnya diusahakan mempelajari sebab-sebab mengapa gejala, peristiwa atau keadaan itu demikian. Untuk itu, dilakukan usaha membanding-bandingkan gejala, guna mencari kesamaan dan perbedaannya. Di samping itu, dianalisa pula gejala itu secara berurutan, untuk menemukan gejala yang bersifat tetap dan yang berubah-ubah, yang mungkin merupakan sebab yang ingin diketahui.
2.3.   Studi Korelasi (Correlation Studies)
Penelitian dengan cara ini bermaksud mengungkapkan bentuk hubungan timbal balik antar variabel yang diselidiki. Intensitas hubungan itu diukur dengan mempergunakan prosedur matematika, dengan menyatakan koefisien korelasi, yang dapat bergerak dari  - 1,00 sampai dengan  + 1,00. Hubungan korelasi ini dinyatakan dalam tiga bentuk sebagai berikut.
a.        Korelasi positif, yang menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang tinggi dalam salah satu variabel, ternyata cenderung menempati kedudukan yang tinggi pula, demikian pula sebaliknya.
b.       Korelasi negatif, yang menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang tinggi dalam variabel pertama, ternyata cenderung menempati kedudukan yang rendah dalam variabel yang ke dua, demikian pula sebaliknya.
c.        Korelasi nihil atau korelasi rendah atau tidak berkorelasi, yang menunjukkan bahwa kedudukan orang-orang di dalam dua variabel tidak tetap atau tidak menentu. Seseorang mungkin tinggi kedudukannya dalam variabel pertama, tetapi pada variabel yang ke dua kedudukannya mungkin rata-rata.
Hubungan dua variabel dalam korelasi seperti di atas pada dasarnya bukan merupakan hubungan sebab akibat. Korelasi dapat dikatakan sebagai sebab akibat, apabila sebelumnya sudah diketahui, bahwa antara dua gejala yang dicari hubungannya terdapat saling ketergantungan.
3.       Studi Perkembangan (Developmental Studies)
Studi perkembangan tidak sekedar mengenai fakta-fakta pada masa sekarang. Pengelompokannya sebagai bagian dari metode deskriptif, karena studi ini bermaksud menggambarkan hubungan antara gejala-gejala sebagaimana adanya pada masa sekarang, dengan fakta-fakta lain berdasarkan fungsi waktu yang bersifat kontinyu. Ada dua macam cara yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan studi perkembangan, yaitu sebagi berikut.
3.1.   Studi Pertumbuhan (Growth Studies)
Studi ini bermaksud menggambarkan pertumbuhan atau perkembangan yang dialami oleh suatu obyek tertentu, baik secara keseluruhan maupun mengenai aspek-aspek tertentu, dalam batas waktu yang tertentu pula. Studi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan (a) teknik longitudinal, dan (b) teknik memotong.
a.        Teknik Longitudinal, di dalam teknik ini penelitian dilakukan terhadap satu obyek dengan mengurutkan gejala pertumbuhan dari waktu ke waktu tertentu. Bila studi ini dilakukan terhadap beberapa obyek yang sama, maka dapat ditarik kesimpulan tentang aspek-aspek yang berlaku umum bagi obyek yang sejenis. Teknik ini memikili keterbatasan, terutama karena memerlukan waktu yang cukup lama, dan bila terdapat kesalahan dalam prosedur, maka penelitian ini tidak dapat diulang pada obyek yang sama, sehingga sulit untuk melakukan perbaikan. Di samping itu, sangat diperlukan dukungan fasilitas yang memadai.
b.       Teknik Memotong, di dalam teknik ini kegiatan penelitian dilakukan lebih cepat dengan menggunakan sejumlah obyek dari berbagai periode (misalnya sejumlah anak-anak dari bermacam-macam tingkat umur). Setiap variabel dalam setiap periode diungkapkan dari sejumlah obyek, yang kemudian dirangkaikan untuk mengambarkan perkembangan secara keseluruhan. Dalam studi ini hasilnya lebih cepat diperoleh, karena peneliti tidak perlu mengikuti pertumbuhan suatu obyek selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kelemahan dari cara ini terutama dalam menetapkan jumlah sampel yang cukup untuk setiap periode dari obyek yang diteliti. Di samping itu, sulit pula untuk menentukan tingkat validitas dan reliabilitas, dalam mengurutkan gejala-gejala yang menggambarkan keseluruhan perkembangan, karena obyeknya berbeda-beda.
3.2.   Studi Kecenderungan (Trend Studies)
Penelitian dilakukan dengan mengklasifikasikan data menurut interval waktu, yang dibagi-bagi menurut periode dengan jarak yang sama. Data dari setiap periode itu diperoleh dari sumber dokumenter, kemudian dipelajari arah dan laju perubahan atau perkembangannya, hingga sampai pada gambaran keadaannya pada masa sekarang, dan selanjutnya dipergunakan untuk meramalkan keadaannya di masa mendatang.
C.       Metode Historis
Metode historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu, atau peninggalan-peninggalan, baik untuk memahami kejadian-kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu, terlepas dari keadaan masa sekarang, maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang, dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu. Dengan kata lain, metode historis dapat dilakukan dalam dua cara sebagai berikut.
a.        Untuk menggambarkan gejala-gejala yang terjadi pada masa lalu, sebagai suatu rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri, terbatas pada kurun waktu tertentu di masa lalu.
b.       Menggambarkan gejala-gejala masa lalu sebagai sebab suatu keadaan atau kejadian pada masa sekarang sebagai akibat. Data masa lalu tersebut dipergunakan sebagai informasi untuk memperjelas kejadian atau keadaan masa sekarang, sebagai rangkaian yang tidak terputus atau saling berhubungan satu dengan yang lain.
Dari uraian di atas perlu ditekankan bahwa metode historis tidak mengutamakan data masa sekarang, tetapi lebih memusatkan perhatiannya pada data masa lalu berupa ; peninggalan-peninggalan, dokumen-dokumen, arsip-arsip, benda-benda bersejarah, monumen-monumen, benda-benda pusaka, dan sebagainya. Data itu tidak sekedar diungkapkan dari sudut kepentingan sejarahnya, akan tetapi untuk memahami berbagai aspek kehidupan masa lalu, seperti ; adat-istiadat, kebudayaan, hukum yang berlaku, sturktur masyarakat, kehidupan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Penggunaan dokumen-dokumen dan arsip-arsip harus dibedakan dengan studi dokumenter sebagai bagian dari metode deskriptif. Di dalam studi dokumenter penelitian tertuju pada data yang belum terlalu lama, sehingga masih dapat dikelompokkan sebagai usaha mengungkapkan fakta-fakta masa sekarang. Sedangkan dalam metode historis, dokumen atau arsip-arsip dipergunakan dari segi waktu, pada dasarnya merupakan bahan-bahan peninggalan yang relatif sudah cukup lama. Pada dasarnya penelitian historis dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1) penelitian historis-komparatif, (2) penelitian legal atau yuridis, (3) penelitian bibliografis atau kepustakaan, dan (4) penelitian kronologis.
1.       Penelitian Historis-Komparatif
Penelitian ini dilakukan dengan membanding-bandingkan gejala yang sejenis, baik berdasarkan perbedaan waktu terjadinya maupun perbedaan tempat terjadinya di dalam waktu yang sama.
2.       Penelitian Legal atau Yuridis
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan kegiatan-kegiatan pemerintahan suatu bangsa, kerajaan, lembaga, dalam menetapkan kebijaksanaan, sehingga berpengaruh bagi kehidupan pada masa-masa tertentu dalam prospek sejarah. 
3.       Penelitian Bibliografis atau Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain yang dapat ditemui di dalam berbagai peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku yang dihasilkan pada zaman tertentu dalam prospek sejarah.
4.       Penelitian Kronologis
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan, dan peristiwa-peristiwa menurut urutan waktunya, dari masa yang paling tua sampai mendekati masa-masa sekarang.
D.      Metode Eksperimen
Metode Eksperimen adalah prosedur penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dua variabel atau lebih, dengan mengendalikan pengaruh variabel yang lain. Metode ini dilaksanakan dengan memberikan variabel bebas secara sengaja kepada obyek penelitian, untuk diketahui akibatnya di dalam variabel terikat. Dengan demikian, metode ini dilakukan dengan percobaan secara cermat, untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara gejala yang timbul dengan variabel yang sengaja diadakan. Variabel yang sengaja diadakan tersebut disebut sebagai variabel eksperimen atau perlakuan, yang berfungsi sebagai variabel bebas. Perlakuan yang diberikan pada obyek penelitian mungkin lebih dari satu bentuk, sehingga dalam suatu eksperimen mungkin pula dibandingkan pengaruh antara beberapa bentuk perlakuan itu melalui akibat yang ditimbulkannya di dalam variabel terikat (Hadari Nawawi.1995 : 61 - 82).
E.       Beberapa Ancangan Sosial Budaya
Ada beberapa ancangan yang dapat diterapkan dalam penelitian sosial budaya, antara lain ; (1) Hermeneutik, (2) Semiotik, dan (3) Analisis Wacana.
1. Hermeneutik
Hermeneutik merupakan teori yang menjadi dasar sangat penting dalam penelitian sosial budaya. Hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna, dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Malakukan interpretasi terhadap interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi, atau sekelompok manusia terhadap situasi mereka sendiri (Smith. 1984). Setiap peristiwa atau karya memiliki makna dari interpretasi para pelaku atau pembuatnya. Karya yang merupakan interpretasi atas sesuatu tersebut selanjutnya menghadapi pembaca atau pengamatnya, dan ditangkap dengan interpretasi pula. Gadamer (1976) menjelaskan, bahwa setiap karya akan selalu diciptakan kembali oleh pengamatnya, yaitu mendapatkan makna baru yang dicipta oleh pengamatnya (penghayatnya) tersebut.
Makna ekspresi manusia selalu terikat dan tak mungkin dapat dipisahkan dari konteksnya. Untuk memahami suatu ekspresi, orang harus memahami konteksnya, dan untuk memahami konteksnya, orang harus memahami ekspresi-ekspresi individual. Hermeneutik memprasayaratkan suatu aktivitas konstan dari interpretasi antara bagian dan keseluruhannya, yang merupakan suatu proses tanpa awal dan juga tanpa akhir.
2. Semiotik
Semiotik, yang lazim dimengerti sebagai kajian tentang sistem tanda, merupakan sebuah ladang luas yang objek kajiannya mencakup berbagai disiplin pemikiran. Semiotik yang diterapkan dalam menganalisis gejala-gejala budaya bersumber pada model Saussure, Peirce, dan Morris. Pengaruh dari Saussure terutama berlangsung melalui pengaruh dari linguistik struktural, yang dikembangkan terutama oleh Levi’s Strauss. Pierce dan Morris terjadi langsung pada antropologi. Meskipun demikian, kedua jalur pengaruh itu tidaklah bersifat eksklusif. Di dalam perkembangan deskripsi etnografis maupun analisis aspek-aspek budaya tertentu, terjadi konvergensi dari kedua jalur pengaruh itu. Salah satu sebab utama dari kecenderungan ini adalah, bahwa penerapan model semiotik itu terdorong oleh penggunaan satuan-satuan leksikal (leksem) sebagai unit analisis.
Sebenarnya penerapan model semiotik dalam kajian budaya, tidak sepenuhnya meliputi semua aspek kebudayaan itu. Analisis dari ritual, mitos, religi, kesenian, menggunakan pengertian simbol berbeda, dari yang dimaksud oleh Pierce. Simbol dalam pengertian itu bersifat konotatif dan asosiatif.
          3. Analisis Wacana
          Analisis Wacana (Discourse Analysis) merupakan satu cabang dari Linguistik, merupakan cabang ilmu yang antara lain ; menggunakan cara-cara tersebut untuk dapat memahami suatu maksud pembicaraan/komunikasi. Dalam bidang kesenian, terutama yang mempergunakan dialog, akan sangat bermanfaat bila mempergunakan analisis wacana, sebagai salah satu alternatif dalam ancangan penelitian. Hal terpenting dalam analisis wacana adalah piranti (device). Salah satu piranti analisis wacana yang dapat dipergunakan dalam bidang kesenian adalah Knowledge of The World (Clark and Clark, 1977), atau menurut Rumelhart (1977) disebut Schemata. Schemata ini banyak dipergunakan untuk menyusun suatu pemahaman atau interpretasi sesuatu yang baru, yang baru saja kita amati, yang baru saja kita kenal, kita baca, kita dengar, kita lihat, kita rasakan, dan sebagainya. Dalam prosesnya, benak kita kemudian mencari-cari khasanah berbagai pengetahuan tentang dunia, yang sudah kita miliki yang cocok atau mirip dengan yang baru saja kita amati atau pelajari itu. Kemudian kita hubung-hubungkan dengan menggunakan logika serta analogi, hingga menjadi suatu pengertian yang baru. Pada waktu itulah benak kita menyatakan bahwa kita sudah dapat memahami sesuatu yang baru tersebut.
          Schemata pertama kali diperkenalkan oleh Bartlett (1932, dalam Kartomihardjo, 2000 : 129), dalam teorinya tentang mengingat. Teori tentang schemata kemudian dianggap oleh para ahli psikologi, dapat membantu manusia dalam memahami suatu teks.[1] Dalam perkembangannya, teori ini disebut Frame,  Scenarios, dan Encyclopaedic entry (Minsky dalam Kartomihardjo, 2000 : 129). Proses pemerolehannya pun berbeda, bila diperoleh dari hal-hal kecil, kemudian terkumpul menjadi sesuatu yang besar, maka proses ini disebut Bottom-up, dan sebaliknya Top-down.

Evaluasi  :
1.       Jelaskan perbedaan berbagai macam metode dalam penelitian ilmiah.
2.       Bagaimanakah prinsip penggunaan metode-metode tersebut secara aplikatif.
3.       Jelaskan pengertian berbagai ancangan dalam penelitian budaya !
4.       Bagaimanakah aplikasinya dari berbagai macam ancangan tersebut, jelaskan !

Referensi               :
1.       Sutopo. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
2.       Aminuddin (ed). 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif. Malang : .HISKI dan YA3.
3.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. : Gadjah Mada University Press,
4.       Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta :Tiara Wacana.
5.       Sartono K. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta  :  Gramedia.
6.       Pudentia  MPSS (ed). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan.   Jakarta  : Yayasan Obor Ind. dan Asosiasi Tradisi Lisan.
7.       Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Ner York : Cambridge University Press.
8.       Fawcett, Robin P et. al.1984. The Semiotics of Culture and language. London : Frances Printer.
9.       E. K. M. Masinambow dan Rahayu. S Hidayat (penyunting) .2001. Semiotik : Mengkaji Tanda dalam Artifak. Jakarta : Balai Pustaka.
10.    Soeseno Kartomihardjo. 2000. “Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa“ dalam Jurnal Ilmiah Linguistik Indonesia, Februari 2000, Tahun 18 Nomor 1.



BAB VI
TEKNIK  DAN  ALAT  PENGUMPUL  DATA


Tujuan  Instruksional Khusus

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan tentang sumber data, serta data kuantitatif dan kualitatif.
b.       Menjelaskan jenis-jenis data.
c.        Menjelaskan dan melakukan teknik pengumpulan data, dan analisis data.
d.       Menjelaskan dan melakukan teknik observasi, teknik komunikasi, teknik pengukuran, dan teknik dokumenter.
e.       Melaksanakan wawancara dan membuat desain angket.

A.       Sumber Data

Pemahaman mengenai macam sumber data merupakan bagian yang amat penting bagi peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data, akan menentukan ketepatan dan kekayaan data yang diperoleh. Data tidak akan dapat diperolah tanpa adanya sumber data. Betapapun menariknya sebuah permasalahan atau topik penelitian, bila sumber datanya tidak tersedia, maka ia tidak akan memiliki makna karena tidak akan dapat diteliti. Ketersediaan data menjadi prasyarat mutlak dalam sebuah penelitian. Dengan kata lain, jangan melakukan sebuah penelitian bila tidak tersedia data yang cukup. Beragam sumber data dapat dikelompokkan jenisnya, mulai dari yang paling konkret, sampai yang paling abstrak. Konskwensinya data yang diperoleh dari beragam jenis data tersebut validitasnya juga bisa sangat beragam. Jenis sumber data secara menyeluruh dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
1.       Nara Sumber (informan)
Dalam penelitian kuantitatif istilah ini dinamakan responden, dengan pengertian bahwa posisinya sekedar memberikan respons (tanggapan), pada apa yang diminta atau ditentukan oleh penelitinya. Dalam penelitian kualitatif disebut informan, posisinya sebagai  nara sumber sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi. Peneliti dan nara sumber memiliki posisi yang sama, dan nara sumber tidak sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki.
2.       Peristiwa atau Aktivitas
Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari mengamati peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan sasaran penelitiannya. Dari peristiwa atau aktivitas, peneliti dapat mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti, karena mengamati sendiri secara langsung. Berbagai permasalahan memang memerlukan pemahaman lewat kajian, terhadap perilaku atau sikap dari para pelaku dalam aktivitas yang sebenarnya. Bukan hanya lewat informasi yang diberikan seseorang, atau dari catatan-catatan yang ada mengenai aktivitas tertentu. Perlu difahami bahwa tidak semua peristiwa dapat diamati secara langsung, kecuali ia merupakan aktivitas yang masih berlangsung pada saat penelitian dilakukan. Banyak peristiwa yang hanya terjadi satu kali, atau hanya berjalan dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terulang kembali. Dalam hal semacam ini kajian lewat peristiwanya secara langsung tidak bisa dilakukan.
3.       Tempat atau Lokasi
Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian, juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan oleh peneliti. Informasi mengenai kondisi dari lokasi peristiwa atau aktivitas, bisa digali lewat lokasinya, baik yang merupakan tempat maupun lingkungannya. Dari pemahaman lokasi dan lingkungannya, peneliti bisa secara cermat mencoba mengkaji, dan secara kritis menarik kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
4.       Dokumen atau Arsip
Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang bergayut dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa berupa rekaman, gambar, dan ilustrasi yang lainnya, yang berkaitan dengan suatu aktivitas atau peristiwa tertentu. Banyak peristiwa yang telah lama terjadi bisa diteliti dan difahami, atas dasar kajian dari dokumen atau arsip-arsip, baik yang secara langsung atau tidak sangat berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu, dokumen dan arsip bukan hanya menjadi sumber data yang penting bagi penelitian kesejarahan, tetapi juga dalam penelitian kualitatif pada umumnya. (Sutopo. 1996 : 48 – 50)
B.       Jenis-jenis Data
Pada dasarnya data penelitian dapat dikelompokkan menjadi data kuantitatif dan data kualitatif. Data kualitatif banyak dipergunakan dalam penelitian filosofis, dan sebagian juga terdapat dalam penelitian deskriptif dan historis. Data ini dinyatakan dalam bentuk uraian kalimat. Beberapa dari data tersebut menunjukkan perbedaan dalam bentuk jenjang atau tingkatan, walaupun tidak jelas batas-batasnya. Misalnya data yang dinyatakan dalam bentuk sangat baik, baik, sedang, buruk, sangat buruk, atau dalam bentuk sangat setuju, setuju, tidak tahu, tidak setuju, sangat tidak setuju. Data yang berjenjang seperti itu sering ditransformasikan ke dalam data kuantitatif, dengan memberikan simbol angka secara berjenjang pula, atau dengan menghitung frekwensi/jumlahnya secara terpisah satu dengan yang lain. Dengan transformasi seperti itu, analisa data dapat dilakukan dengan mempergunakan perhitungan statistik tertentu.
Data dalam penelitian kuantitatif biasanya dinyatakan dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif, maupun yang sejak semula sudah bersifat kuantitatif. Data tersebut diperinci menjadi data nominal dan data kontinum. Data nominal berasal dari gejala yang nominal pula. Gejala nominal adalah gejala yang hanya dapat digolong-golongkan secara terpisah atau secara dekrit atau secara kategorik. Penggolongan itu antara lain dilakukan dalam bentuk jenis atau keadaan yang dapat bervariasi menurut jumlah atau frekwensinya. Data kontinum berasal dari gejala yang bersifat kontinum pula, yaitu gejala yang bervariasi menurut tingkatan atau penjenjangan. Data tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Gejala itu antara lain tampak dalam gejala kualitatif, seperti ; sangat baik, baik, sedang, tidak baik, dan sangat tidak baik, yang antara satu dengan yang lain tidak jelas batas-batasnya, tetapi sifatnya berjenjang atau bertingkat.  
C.       Teknik Pengumpulan Data
Dalam setiap penelitian di samping penggunaan metode yang tepat, diperlukan pula kemampuan memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun teknik dan alat pengumpul data ini sangat berpengaruh pada obyektivitas hasil penelitian. Dengan kata lain, teknik dan alat pengumpul data yang tepat dalam suatu penelitian, akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah  secara valid dan reliabel, yang pada akhirnya memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif. Sehubungan dengan hal ini, dapat dibedakan empat jenis teknik penelitian sebagai cara yang dapat ditempuh untuk mengumpulkan data.
1.       Teknik Observasi
Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik, terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Teknik ini dibedakan menjadi dua, yaitu (1) teknik observasi langsung, dan (2) teknik observasi tidak langsung.
1.1.Teknik Observasi Langsung
                Teknik observasi langsung adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian, yang pelaksanaannya langsung pada tempat di mana suatu peristiwa, keadaan, atau situasi sedang terjadi. Peristiwa, keadaan, atau situasi tersebut dapat dibuat, dan dapat pula yang sesungguhnya. Pengamatan dapat dilakukan dengan atau tanpa alat bantu.
                1.2. Teknik Observasi Tidak Langsung
                Pelaksanaan teknik ini adalah mengumpulkan data melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian tidak langsung di tempat, atau pada saat peristiwa, keadaan atau situasi itu terjadi. Peristiwa atau keadaan tersebut dapat disengaja dibuat, atau dapat pula yang sesungguhnya. Pengamatannya dapat mempergunakan alat bantu atau tanpa alat bantu.
                Selanjutnya pelaksanaan teknik observasi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu observasi partisipan dan observasi non partisipan. Observasi partisipan adalah suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh pengamat (observer), dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan atau kegiatan dari orang yang akan diobservasi. Sebaliknya, observasi non partisipan, observer tidak ikut ambil bagian dari kegiatan atau kehidupan dari orang yang diamati.
                2. Teknik Komunikasi
                Teknik komunikasi adalah cara mengumpulkan data melalui kontak atau hubungan pribadi, antara pengumpul data dengan sumber data (responden/informan). Dalam pelaksanaannya dikenal dua teknik yang sekaligus juga dikenal dua alat pengumpul data, yaitu sebagai berikut.
                2.1. Teknik Komunikasi Langsung
                Teknik ini dilakukan dengan cara kontak langsung secara lisan dengan informan (face to face), baik dalam situasi yang sebenarnya, maupun dalam situasi yang dibuat untuk keperluan tersebut. Alat yang dipergunakan dalam teknik ini adalah wawancara (interview diindonesiakan menjadi interviu). Interviu adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan  secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula oleh informan. Interviu dipergunakan untuk menghimpun data sosial, terutama untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, dan cita-cita seseorang. Oleh karena itu, interviu sebagai alat pengumpul data dapat dipergunakan dalam tiga fungsi sebagai berikut.
a.        Interviu sebagai alat primer, yaitu interviu dipergunakan sebagai alat pengumpul data utama, apabila data yang akan diungkapkan tidak mungkin diperoleh dengan alat lain yang lebih baik.
b.       Interviu sebagai alat pelengkap, yaitu apabila informasi-informasi pokok sebagai data penelitian telah diungkapkan, tetapi beberapa di antaranya masih perlu disempurnakan. Dengan kata lain, interviu akan menjadi alat pelengkap, apabila dipergunakan untuk mengumpulkan data yang tidak dapat diperoleh dari alat pengumpul data utama.                   
c.        Interviu sebagai alat pengukur atau pembanding (kriterium), yaitu interviu dapat dipergunakan untuk mengecek atau menguji kebenaran, ketelitian, dan ketepatan data yang diperoleh dengan mempergunakan alat lain. Dengan demikian, data yang diperoleh dari interviu dipergunakan sebagi pengukur atau pembanding, bagi data yang telah dihimpun melalui alat pengumpul data lain sebagai alat utama dalam memecahkan masalah.
Perbedaan penggunaan ketiga fungsi tersebut tidak berarti bahwa yang satu lebih tinggi nilainya dari yang lain. Ketiga fungsi tersebut akan menghimpun data yang sama pentingnya bagi pemecahan masalah penelitian.
2.2. Teknik Komunikasi Tidak Langsung
Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan hubungan tidak langsung, atau dengan perantaraan alat, baik yang berupa alat yang tersedia, maupun alat khusus yang dibuat untuk keperluan itu. Alat yang digunakan dalam teknik ini adalah angket (questionaire). Angket adalah usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh informan. Pengisian angket mungkin dilakukan oleh informan yang harus memberikan informasi tentang dirinya sendiri (angket/kuesioner langsung). Di samping itu, mungkin pula seorang informan harus memberikan informasi  tentang orang lain (misalnya ; ayah tentang anaknya, guru tentang muridnya, dokter tentang pasiennya, dan sebagainya), biasanya disebut sebagai kuesioner tidak langsung.
Kuesioner dapat dibedakan menurut bentuk pertanyaannya, yaitu ; kuesioner dengan pertanyaan bebas, kuesioner dengan pertanyaan terikat, dan kuesioner dengan jawaban singkat. Kuesioner bebas disebut pula dengan kuesioner tidak terstruktur. Jawaban informan terhadap setiap pertanyaan bentuk ini dapat diberikan secara bebas atau menurut pendapat sendiri. Bentuk jawaban biasanya berupa uraian panjang, dan mungkin tidak seluruhnya berkenaan dengan maksud pertanyaan. Kuesioner terikat disebut pula dengan kuesioner terstruktur. Setiap pertanyaan terikat pada sejumlah alternatif yang disediakan. Kuesioner jenis ini mengenal dua bentuk pertanyaan, yaitu ; pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertutup, bila hanya disediakan beberapa alternatif, dan informan harus menjawab salah satu yang paling benar/baik. Pertanyaan terbuka, apabila selain alternatif jawaban juga disediakan sedikit ruangan untuk jawaban informan. Kuesioner dengan jawaban singkat adalah jenis kuesioner yang mirip dengan kuesioner dengan pertanyaan bebas. Akan tetapi karena sifat jawaban singkat dan tertentu, maka bentuknya tidak banyak berbeda dengan kuesioner dengan pertanyaan terikat.
D.      Teknik Pengukuran
Pengukuran berarti usaha untuk mengetahui suatu keadaan berupa kecerdasan, kecakapan, panjang, berat, dan sebagainya, kemudian dibandingkan dengan norma tertentu. Kegiatan membandingkan keadaan dengan norma tertentu sebagai ukuran, dan  diringi dengan interpretasi kualitatif disebut evaluasi. Dalam kegiatan penelitian biasanya evaluasi tidak dilakukan langsung terhadap data kuantitatif hasil pengukuran, namun dirangkaikan di dalam pengujian hipotesa. Beberapa alat yang dipergunakan untuk melakukan pengukuran adalah ; meteran, kilogram, test standar, test sosiometri, dan sebagainya. Dalam bidang sosial alat yang banyak digunakan adalah test. Dua jenis test yang sering digunakan sebagai alat ukur adalah sebagai berikut.
1.       Tes lisan, adalah berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara lisan tentang aspek-aspek yang akan diungkapkan, atau tentang salah satu aspek psikologis. Pada dasarnya tes ini tidak banyak berbeda dengan interviu. Akan tetapi karena yang diungkapkan adalah aspek psikologis tertentu, sulit untuk menetapkan validitas dan reliabilitasnya sebagai alat pengukur kuantitatif.
2.       Tes tertulis, adalah berupa sejumlah pertanyaan yang diajukan secara tertulis tentang salah satu aspek psikologis, yang dapat diketahui keadaannya dari jawaban yang diberikan. Tes tertulis dibedakan menjadi tes essay dan tes obyektif. Tes obyektif dapat berupa tes betul-salah, tes pilihan berganda, tes menjodohkan, tes melengkapi, dan tes jawaban singkat.

E.       Teknik Dokumenter
Dalam melakukan penelitian termasuk juga pada saat menyusun kerangka teori dan kerangka konsep, akan tidak efisien bila seluruh buku/data yang diperlukan ditumpuk di tempat bekerja. Untuk itu, diperlukan suatu sistem pencatatan sebagai alat pengumpul data yang berupa kartu, yaitu ; (1) kartu ikhtisar, (2) kartu kutipan, dan (3) kartu ulasan.[2]
1.       Kartu Ikhtisar
Pada saat membaca sebuah buku tentang masalah yang diteliti, kemungkinan seluruh isi buku tersebut, atau beberapa bab di antaranya sangat berharga untuk dipergunakan. Akan tetapi karena panjangnya bahan tersebut, maka tidak seluruhnya dapat dikutip. Untuk itu, seorang peneliti dapat membuat ikhtisarnya dalam selembar kartu atau lebih. Ikhtisar semacam itu dapat dipergunakan sebagai bahan kutipan tidak langsung.
2.       Kartu Kutipan
Di dalam kartu ini biasanya kutipan dari sebuah buku ditulis sebagaimana adanya secara lengkap. Oleh karena itu materi yang dikutip tidak terlalu panjang, misalnya sebuah definisi, dalil, dan lain-lain. Bahan yang dikutip itu dipilih sedemikian rupa, terutama yang mungkin dipergunakan sebagai kutipan langsung.
3.       Kartu Ulasan
Dalam membaca sebuah buku atau bahan referensi lain yang berhubungan dengan masalah penelitian, bukan tidak mungkin timbul pemikiran tentang suatu teori, dalil, hukum, pendapat, dan sebagainya. Pemikiran sebagai reaksi mental dari si pembaca itu mungkin bersifat kritik, penafsiran, atau penjabaran dari materi yang dibacanya. Agar tidak terlupakan maka sering diperlukan membuat kartu ulasan, setelah mengutip secara singkat dari materi buku yang dibaca. Bahan ulasan seperti itu akan sangat berguna dalam menyusun kerangka teori, kerangka konsep, dan dalam menarik kesimpulan (Hadari Nawawi. 1995 : 100 – 133)

Evaluasi  :
1.       Jelaskan tentang perbedaan teknik observasi langsung dan tidak langsung !
2.       Jelaskan pula perbedaan teknik komunikasi langsung dengan tidak langsung !
3.       Jelaskan langkah-langkah teknik pengukuran !
4.       Jelaskan langkah-langkah teknik dokumentasi !
5.       Buatlah sebuah angket yang berisi tentang sikap pemuda terhadap seni tradisional.
6.       Buatlah sebuah desain wawancara, dan rekamlah wawancara tersebut.

Referensi               :
1.       Sutopo. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
2.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3.       Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif.  Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
5.       Milles, B Matthew. 1986. Qualitative Data Analysis : A Source Book of New Methods.  Beverly Hills : Sage Publication.
6.       Saifuddin Azwar. 1999. Metode Penelitian.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
7.       Sanapiah Faisal. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional.
8.       Contoh wawancara dan angket.



BAB VII
VALIDITAS  DAN  RELIABILITAS


Tujuan  Instruksional  Khusus

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan dan membedakan validitas dan reliabilitas.
b.       Menjelaskan validitas alat pengumpul data.
c.        Menjelaskan reliabilitas alat pengumpul data.
d.       Melakukan tes terhadap validitas dan reliabilitas alat pengumpul data.

Validitas Alat Pengumpul Data

Perlu diingat, bahwa hanya alat pengumpul data yang baik, yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data yang obyektif, dan mampu menguji hipotesis penelitian. Ada dua syarat pokok untuk dapat dinyatakan sebagai alat pengumpul data yang baik dan obyektif, yaitu ; validitas dan reliabilitas.
Untuk mengumpulkan data kuantitatif, dapat mempergunakan test sebagai alat pengukur, validitasnya dapat diukur dengan penghitungan statistik berupa teknik korelasi. Cara seperti ini dimungkinkan, karena setiap item test hanya memiliki satu jawaban yang paling benar. Persoalan validitas muncul bagi alat pengumpul data lainnya, seperti observasi, interviu, dan angket. Dalam mempergunakan alat tersebut jawaban informan atau gejala yang diamati dapat berbeda-beda, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Perbedaan itu tidak berarti jawaban yang satu salah dan yang lain benar, namun perlu adanya validitas alat pengumpul data. Untuk itu, validitas alat tersebut dapat diketahui dengan beberapa cara sebagai berikut.
1.       Validitas Permukaan (Face Validity)
Validitas alat pengumpul data ini dinyatakan dengan ; bagaimana kelihatannya suatu alat pengumpul data itu, dalam mengungkapkan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, apakah alat itu kelihatannya benar-benar dapat mengungkapkan gejala-gejala yang hendak diteliti. Oleh karena itu, validitas ini disebut pula validitas lahiriah atau validitas tampang. Dengan demikian dapat pula disimpulkan, bahwa jika alat pengumpul data itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aspek-aspek di dalam masalah yang diteliti, berarti bukan alat pengumpul data yang valid. Penentuan validitas ini sangat tergantung pada kemampuan berfikir, atau penggunaan akal sehat dari si pembuat alat pengumpul data.

2.       Validitas yang Bersifat Logis (Logical Validity)
Validitas ini disebut pula validitas konstruk (construct validity). Dalam validitas ini, setiap aspek yang akan diungkapkan ditetapkan terlebih dahulu definisinya, sebagai pengukur apakah materi setiap item benar-benar tercakup di dalamnya. Definisi itu dipandang sebagai konstruksi teoritis tentang suatu gejala. Oleh karena itu, apabila item alat pengumpul data dipandang telah menampung semua gejala, yang termasuk dalam definisi itu, berarti alat pengumpul data tersebut telah valid. Sebaliknya, bila item yang disusun tidak mencakup seluruh gejala dari definisi-definisi yang telah dibuat, berarti alat tersebut tidak valid.
3.       Validitas Berdasarkan Faktor (Factorial Validity)
                Validitas ini disebut pula validitas statistik, yang diperoleh melalui penghitungan korelasi dengan kriterium sebagai berikut.
a.        Total skor sebagai kriterium
Dalam validitas ini diukur nilai sekelompok individu dalam setiap item satu per satu, untuk mengecek kecocokannya dengan nilai keseluruhan item, dalam mengerjakan suatu alat pengumpul data. Dengan demikian, validitas ini bermaksud untuk mengetahui sampai di mana suatu faktor yang diungkapkan oleh suatu item, mempunyai keserasian terhadap keseluruhan faktor yang hendak diungkapkan oleh suatu alat pengumpul data.
b.       Kriterium eksternal
Validitas ini diperoleh dengan membandingkan nilai yang diperoleh sekelompok individu, dalam mengerjakan suatu alat pengumpul data, yang hendak diukur validitasnya, dengan nilai yang diperoleh kelompok individu yang sama, dalam mengerjakan alat pengumpul data lain, yang telah diketahui validitasnya tinggi.
4.       Validitas Isi (Content Validity)
Validitas ini disebut pula Curricular Validity, yang diperoleh dengan memeriksa kecocokan setiap item, dengan bahan yang telah diberikan pada sekelompok individu. Suatu item yang valid tidak boleh keluar dari ruang lingkup bahan tertentu, yang seharusnya sudah diketahui oleh kelompok individu itu. Validitas ini banyak dipergunakan untuk mengetahui validitas achievement test tertentu, yang setiap itemnya dan keseluruhan itemnya, dapat dibandingkan dengan bahan yang harus diketahui menurut kurikulum bidang studi, yang hendak diukur dengan alat test tersebut.
5.       Validitas Empiris (Empirical Validity)
Validitas ini diperoleh dengan membandingkan alat pengumpul data yang hendak diukur validitasnya, dengan keadaan nyata sebagai kriterium yang harus menunjukkan kecocokan secara sempurna. Pengukuran validitas ini memerlukan waktu yang lama, karena setelah dilakukan  pengumpulan data dengan alat tertentu pada sekelompok individu, harus ditunggu dan dicek keadaan nyata dari individu-individu itu, untuk mengetahui kesesuaian antara data yang telah diperoleh dengan keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam kenyataan. Untuk mengatasi waktu yang cukup lama itu, dapat ditempuh cara tidak langsung. Cara itu dilakukan dengan membandingkan hasil yang diperoleh dari alat pengumpul data yang hendak diukur validitasnya, dengan hasil alat pengumpul data lain, yang secara empirical telah diketahui merupakan alat  pengumpul data yang valid (Periksa dalam Hadari Nawawi. 1995 : 136 –139).

Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Reliabilitas alat pengumpul data pada dasarnya menunjukkan tingkat ketetapan/keajegan alat tersebut, dalam mengungkapkan gejala tertentu dari sekelompok individu, walaupun dilakukan dalam waktu-waktu yang berbeda. Dengan demikian, berarti reliabilitas mengandung pengertian sebagai berikut.
a.        Gejala yang tampak dalam pengumpulan data pertama tetap bertahan atau tidak berubah pada pengukuran kedua dan seterusnya, bila dipergunakan alat yang sama.
b.       Pengukuran atau pengumpulan data berikutnya adalah ekuivalen, dengan pengukuran atau pengumpulan data sebelumnya, dengan mempergunakan alat pengukur/pengumpul data yang sama.
Pengukuran tingkat reliabilitas alat pengumpul data hanya dapat dilakukan dengan penghitungan statistik korelasi. Data untuk penghitungan itu dapat diperoleh dari hasil uji coba pada sejumlah individu di luar sampel, tetapi berasal dari populasi yang sama. Cara yang dapat dipergunakan untuk menghitung koefisien korelasi reliabilitas adalah ; (1) korelasi belah dua, (2) korelasi test retest, dan (3) korelasi bentuk sejajar.
1. Korelasi Belah Dua
Indeks reliabilitas ini diperoleh dengan penghitungan korelasi, antara nilai-nilai yang diperoleh dari item bernomor genap dengan nilai-nilai bernomor ganjil, dari test yang sama yang dikerjakan oleh sekelompok individu.
2. Korelasi Test Retest
Indeks reliabilitas ini diperoleh dengan penghitungan korelasi, antara nilai-nilai yang diperoleh dari suatu test yang dilakukan dua kali. Oleh sekelompok individu yang sama pada waktu berlainan.
3. Korelasi Bentuk Sejajar
Teknik ini disebut pula teknik bentuk seimbang atau teknik bentuk alternatif atau teknik keseimbangan rasional. Indeks reliabilitas ini diperoleh dengan mengkorelasikan nilai-nilai dari dua test yang sama (materi dan bentuknya), tetapi tidak sama rumusan itemnya yang dikerjakan oleh sekelompok individu yang sama, pada waktu yang tidak terlalu jauh berbeda (Hadari Nawawi.1995 : 129). 

Evaluasi  :
1.       Bagaimanakah cara mengukur validitas alat pengukur data ?
2.       Bagaimanakah cara mengukur reliabilitas alat pengukur data ?
3.       Bagaimanakah hubungan validitas dengan reliabilitas, jelaskan dengan contoh ! 

Referensi               :
1.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta :  Gadjah Mada University Press.
2.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta :  Andi Offset.
3.       Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif.  Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.       Kirk, Jerome and Marc. L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research, Vol. I. Beverly Hills : Sage Publication.
5.       Saifuddin Azwar. 1999, Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.








BABA VIII
POPULASI  DAN  SAMPEL


Tujuan  Instruksional  Khusus

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan dan membedakan populasi dan sampel.
b.       Menjelaskan sifat-sifat populasi dan sampel.
c.        Menjelaskan dan menentukan ukuran sampel penelitian.
d.       Menjelaskan dan melakukan pengambilan sampel secara probability maupun secara non probability. 

A. Pengertian Populasi dan Sampel

                Setiap penelitian ilmiah selalu berhadapan dengan masalah sumber data yang disebut populasi dan sampel. Pemilihan dan penentuan sumber data itu tergantung pada permasalahan yang akan diteliti. Sumber data yang tidak tepat akan berakibat pada biasnya sebuah kesimpulan. Penelitian yang mempergunakan populasi dan atau sampel yang keliru, tidak banyak artinya bagi pemecahan masalah yang dihadapi, bahkan akan menimbulkan permasalahan baru. Di samping itu, diperlukan pula kecermatan dan ketelitian dalam usaha menetapkan sumber data, agar diperoleh data atau informasi yang memadai. Dengan demikian, permasalahan populasi dan sampel bukan merupakan permasalahan yang sederhana, bila menginginkan suatu hasil penelitian yang valid dan reliabel.
                Secara sederhana dan singkat, menurut pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa populasi dan sampel merupakan sumber data. Namun kedua istilah tersebut harus dibedakan secara jelas. Menurut Sudjana (dalam Nawawi, 1995:141) “Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif, daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek yang lengkap dan jelas”. Dari pengertian itu, populasi cenderung pada penentuan jumlah sumber data yang memiliki karakteristik tertentu, yang dibedakan antara populasi terbatas dan populasi tak terbatas.
1.       Populasi terbatas, yaitu sumber data yang jelas batas-batasnya secara kuantitatif, karena memiliki karakteristik yang terbatas. Misalnya 3 000 000 orang rarapidana di Indonesia pada awal tahun 1981, dengan karakteristik menghuni lembaga pemasyarakatan sejak 1 Januari 1981, dijatuhi hukuman minimal 1 bulan.
2.       Populasi tak terbatas, yaitu sumber data yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif. Misalnya nara pidana di Indonesia, yang berarti jumlahnya harus dihitung sejak narapidana pertama sampai terakhir pada masa sekarang, bahkan termasuk pula narapidana yang akan datang. Dalam keadaan seperti itu jumlahnya tidak dapat dihitung, sehingga hanya menggambarkan suatu kelompok obyek secara kualitas dengan karakteristik yang bersifat umum, yakni orang-orang yang pernah, sedang, dan akan menjadi narapidana.
Dalam kenyataannya seringkali terjadi bahwa populasi yang sesungguhnya terbatas, akan tetapi karena jumlahnya sangat besar dipandang sebagai populasi tak terbatas. Misalnya dari contoh di atas 3 000 000 orang narapidana sebenarnya merupakan jumlah yang terbatas, akan tetapi karena mustahil suatu penelitian dilakukan terhadap jumlah yang besar, maka populasi dipandang tidak terbatas bagi penelitian itu.
Selanjutnya dalam persoalan sifat populasi dibedakan menjadi populasi homogen dan populasi heterogen.
1.       Populasi homogen, yaitu sumber data yang unsur-unsurnya memiliki sifat-sifat yang sama, sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif. Populasi seperti itu banyak dijumpai dalam ilmu pengetahuan alam. Misalnya, sebuah sungai yang terkontaminasi dengan limbah yang sangat pekat, di mana seluruh airnya sudah berwarna hitam semua, maka populasi tersebut disebut dengan populasi homogen. Pengambilan sampel tersebut tidak harus sebanyak satu tong, tetapi cukup satu liter karena sifatnya sama.
2.       Populasi heterogen, yaitu sumber data yang unsur-unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang tidak sama atau bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya. Semua penelitian di bidang sosial yang obyeknya manusia, atau gejala-gejala dalam kehidupan manusia, menghadapi populasi heterogen. Manusia sebagai obyek adalah makhluk yang unik dan kompleks, terdiri dari individu-individu yang bervariasi, dalam arti berbeda dari satu dengan yang lainnya. Dalam menghadapi populasi yang heterogen inilah akan timbul permasalahan sampel.
Sampel secara sederhana diartikan sebagai bagian dari populasi, yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian. Sejalan pengertian itu, Sutrisno Hadi mengatakan “ sebagian individu yang diselidiki itu disebut sampel, sampel atau contoh (monster)”. Sudjana menyebutkan “sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi, dengan menggunakan cara-cara tertentu”.
Dari uraian sebelumnya telah dikatakan, bahwa persoalan sampel akan timbul bila populasi bersifat heterogen dan jumlahnya cukup besar. Populasi yang secara kuantitatif jumlahnya cukup besar, sering tidak mungkin untuk dijangkau seluruhnya, tidak saja karena biayanya yang sangat besar dan waktunya lama, tetapi juga hasilnya belum tentu lebih obyektif.
Terkadang dijumpai suatu penelitian yang obyeknya atau populasinya kecil, sehingga harus dilakukan pada seluruh populasi. Penggunaan seluruh populasi sebagai sumber data ini disebut penelitian populasi, atau penelitian dengan sampel total. Bila jumlah populasi sangat besar, dan penelitian dilakukan terhadap seluruh populasi, maka penelitian itu disebut pula sebagai sensus.
Telah dikatakan sebelumnya, bahwa sampel harus mewakili populasi, dalam arti sampel harus bersifat representatif. Sampel bersifat representatif apabila terdiri dari unsur-unsur yang memiliki seluruh sifat-sifat populasi, walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit. Dergan demikian, hasil penelitian terhadap sampel yang representatif, tidak akan berbeda dengan hasil penelitian seandainya dilakukan terhadap seluruh populasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa masalah sampel ini timbul dalam suatu penelitian adalah karena :
a.        Peneliti bermaksud mereduksi obyek penelitiannya sebagai akibat dari besarnya populasi, sehingga harus meneliti sebagian saja dari populasi tersebut.
b.       Peneliti bermaksud menetapkan ruang lingkup berlakunya generalisasi hasil penelitian, baik dalam batas jumlah maupun wilayah populasi, berdasarkan karakteristik tertentu yang bersifat kualitatif.
B. Jenis dan Ukuran  Sampel
                Setelah jenis populasi ditetapkan, perlu dibatasi pula luasnya dengan menegaskan karakteristik. Menetapkan karakteristik berarti melakukan identifikasi dan inventarisasi terhadap sifat-sifat populasi, sebagai batas ruang lingkup berlakunya generalisasi yang akan dirumuskan. Kekaburan tentang batas-batas luas populasi karena tidak jelasnya karakteristik, akan menimbulkan kebingungan dan kekeliruan dalam menentukan sampel, yang pada gilirannya akan mengakibatkan hasil penelitian yang tidak valid dan reliabel.         
                Populasi tak terhingga (tak terbatas) berupa parameter yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual. Demikian pula dalam populasi terbatas (terhingga) yang jumlahnya juga sangat besar, tidak praktis mengumpulkan data sebanyak itu, dan akan timbul kesulitan dalam menganalisa data yang terkumpul.

Selanjutnya untuk memperoleh sampel minimal yang harus diteliti, dipergunakan rumus sebagai berikut.
n   ³   p  q  ( z ½ a ) 2           
                         b
Keterangan :
n              : jumlah sampel minimum
³                     : sama dengan atau lebih besar
p              : proporsi populasi prosentase kelompok pertama
q              : proporsi sisa di dalam populasi
z ½         : derajat koefisien konfidensi pada 99 % atau 95 %
         b              : prosentasi perkiraan kemungkinan membuat kekeliruan dalam   menentukan ukuran sampel

Contoh :
Jika diketahui jumlah populasi 400 000 orang berupa warga keturunan arab di Solo, sedangkan 50 000 orang tinggal di luar Solo. Berapa sampel yang harus dipenuhi ?
p              :     50 000   X  100 %  atau  12,5 % atau p = 0,125
                     400 000
q              : 1,00 – 0,125  = 0,875
z ½         : 1,96 (pada derajat koefisien 95 % atau 0,05)
b              : 5 % atau 0,05
dimasukkan dalam rumus sebagai berikut.

n   ³  0,125   X   0,875   ( 1,96 ) 2
                                          0,05
n   ³   168,05

oleh karena sampel berupa manusia, maka harus dibulatkan ke atas, yang berarti ukuran sampel sekurang-kurangnya 169 orang.
C. Teknik Sampling (pengambilan sampel)
                Sampel yang tidak representatif atau tidak mewakili semua sifat populasi adalah sampel yang keliru, sehingga mengakibatkan generalisasi yang keliru.  Keadaan seperti itu dapat terjadi,  karena dari sampel yang seperti itu sulit diperoleh data yang obyektif. Oleh karena itu, di samping penentuan ukuran sampel, masih perlu tentang teknik sampling, dalam rangka meningkatkan ketepatan penarikan sampel penelitian.
                Dalam persoalan teknik sampling, dapat dijumpai beberapa cara pembagian yang berbeda-beda, walaupun pada dasarnya bertolak dari asumsi yang sama. Asumsi pokoknya adalah, bahwa teknik sampling harus secara maksimal memungkinkan diperolehnya sampel yang representatif, yang tidak didasari oleh keinginan si peneliti. Bertolak dari asumsi itu, di bawah ini dikemukakan dua teknik sampling sebagai berikut.
1.       Probability Sampling
Teknik sampling probabilitas ini termasuk teknik random sebagai cara penentuan sampel yang obyektif, karena memperhitungkan besarnya variasi populasi, yang dapat menjadi sumber kekeliruan dalam penarikan sampel. Random dalam teknik ini dapat dipergunakan dalam cara undian, cara ordinal, dan randomisasi dari tabel bilangan random. Probability sampling ini terdiri dari : (1) Simple random sampling, (2) Stratified random sampling, dan (3) Cluster random sampling.
1.1.   Simple Random Sampling
Dalam teknik ini, random untuk mendapatkan sampel, langsung dilakukan pada unit sampling. Dengan demikian, setiap unit sampling sebagai unsur populasi yang terkecil, memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel atau mewakili populasi. Teknik ini dapat dipergunakan bila jumlah unit sampling di dalam suatu populasi tidak terlalu besar.
1.2.   Stratified Random Sampling
Dalam teknik ini pengambilan sampel dilakukan secara bertingkat atau berjenjang, tidak langsung pada unit sampling yang menjadi unsur populasi tersebut. Tingkatan atau jenjang itu tergantung pada kondisi populasi. Misalnya penelitian denganmempergunakan Kepala Keluarga sebagai unit sampling, dengan ukuran sampel sebanyak 150 orang dalam sebuah propinsi. Tahap pertama dilakukan penarikan terhadap kabupaten/kotamadya. Tahap ke dua dilakukan penarikan terhadap kecamatan, dan tahap ke tiga dilakukan penarikan tahap desa/kelurahan. Tahap terakhir dilakukan dengan menghitung jumlah Kepala Keluarga di desa/lkelurahan tersebut. Jika jumlahnya telah mencukupi 150 orang, maka semuanya dijadikan sampel. Jika terjadi kelebihan atau kekurangan, penambahan atau pengurangan harus dilakukan secara random, baik secara bertingkat maupun langsung pada unit sampling yang tersedia.
1.3.   Cluster Random Sampling
Dalam tenik ini pengambilan sampel terdapat beberapa kesamaan dengan dua cara sebelumnya. Kesamaan dengan teknik yang pertama, bahwa pengambilan sampel dengan teknik ini tidak dilakukan secara bertingkat, namun berbeda karena tidak langsung pada unit sampling. Kesamaannya dengan teknik yang ke dua adalah, karena teknik ini tidak dilakukan secara langsung pada unit sampling, namun berbeda karena tidak dilakukan secara bertingkat. Misalnya, sampling berupa individu-individu, dimasukkan ke dalam satuan-satuan tertentu, sehingga menjadi kelompok individu atau cluster. Random dilakukan terhadap sejumlah kelompok atau cluster, yang pada tahap pertama tanpa memperhatikan jumlah unit sampling di dalam setiap kelompok. Dari sejumlah kelompok yang terpilih, dihitung jumlah unit sampling yang diperoleh. Kemungkinan kelebihan unit sampling berupa individu sering tidak dipermasalahkan. Akan tetapi, bila kelebihannya mencapai jumlah satu kelompok, dapat dilakukan pengurangan satu kelompok dengan melakukan random. Sebaliknya, bila terjadi kekurangan sampel dari ukuran yang telah ditetapkan, maka harus ditambah dengan mengambil lagi secara random satu atau dua kelompok, walaupun jumlah unit sampling akan melebihi ukuran yang ditetapkan.
2.       Non Probability Sampling
Teknik ini termasuk non random sampling, karena tidak memperhitungkan variasi antara setiap unit sampling, dan kemungkinan kekeliruan sampel. Dengan kata lain, penentuan sampel tidak dilakukan secara eksak, akan tetapi secara hipotesis dengan menetapkan jumlah atau ukuran sampel secara perkiraan. Jumlah populasi sering tidak diketahui dengan pasti, sehingga pengambilan jumlah atau ukuran sampel hanya dilakukan dengan perkiraan, atau estimasi telah mencukupi untuk mewakili populasi. Dalam teknik ini ukuran sampel tidak dipersoalkan, karena hanya diperkirakan secara hipotetis, bahwa jumlah dianggap cukup sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. teknik ini terdiri dari tiga macam, yaitu : (1) Accidental Sampling, (2) Quota Sampling, dan (3) Purposive Sampling.
2.1.   Accidental Sampling
Dalam teknik ini pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu, peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang ditemuinya. Setelah jumlahnya diperkirakan mencukupi, pengumpulan data dihentikan. Misalnya mengenai pendapat umum tentang Pemilu di Indonesia. Peneliti dengan mempergunakan interviu, langsung mengumpulkan data dari setiap orang dewasa yang dijumpainya. Setelah jumlah yang diwawancarai dianggap cukup, pengumpulan data dihentikan dan data diolah/dianalisa.
2.2.   Quota Sampling
Dalam teknik ini jumlah populasi tidak diperhitungkan, akan tetapi diklasifikasikan dalam beberapa kelompok. Sampel diambil dengan memberikan jatah atau quota tertentu pada setiap kelompok, yang seolah-olah berkedudukan masing-masing sebagai sub populasi. Pengumpulan data dilakukan langsung pada unit sampling seperti cara pertama. Setelah jatahnya untuk sub populasi atau kelompok terpenuhi, pengumpulan data dihentikan. Misalnya penelitian dilakukan dengan mempergunakan petani sebagai unit sampling, untuk mengetahui pendapatnya tentang harga pupuk,  sesuai dengan penghasilan para petani. Untuk itu, keluarga petani akan dikelompokkan menjadi ; petani asli, petani buruh, dan petani yang juga pegawai negeri. Setiap populasi itu diberi jatah tertentu, walaupun jumlahnya masing-masing populasi tidak diketahui. Kemudian setiap petani dari sub populasi dihubungi sebagai sumber data, sampai jumlahnya sesuai dengan jatahnya masing-masing.
2.3.   Purposive Sampling
Dalam teknik ini pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. ukuran sampel tidak dipersoalkan sebagaimana di dalam accdidental sampling. Perbedaannya terletak pada pembatasan sampel, dengan hanya mengambil unit sampling yang sesuai dengan tujuan penelitian. dengan kata lain, unit sampel yang dihubungi, disesuaikan dengan kreiteria-kriteria tertentu, yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Misalnya tentang penelitian tata tertib lalu lintas di sebuah kota. Sampel yang dipergunakan hanya diambil di antara orang-orang yang memiliki kendaraan bermotor, yang tercatat di kepolisian atau pada pemilik SIM. Pengumpulan data dilakukan pada unit sampling tersebut, tidak pengendara yang mungkin bukan pemilik kendaraan bermotor atau mungkin tidak memiliki SIM. Setelah jumlahnya cukup, pengumpulan data dihentikan, dan dilakukan pengolahan data. 
D. Sifat Populasi dan Sampel
                Dalam penentuan sampel, selain melakukan teknik yang tepat, juga perlu diperhatikan sifat dan penyebaran populasi. Berkenaan dengan hal itu, dikenal pula beberapa kemungkinan dalam menetapkan sampel. Kemungkinan itu antara lain menyangkut jumlah, atau tempat tertentu (Hadari Nawawi.1995 : 140 –160)
1.       Proportional Sample (Sampel Proporsional)
Apabila populasi terdiri dari beberapa sub populasi yang tidak sama jumlahnya, dalam penarikan sampel perbandingan antar sub populasi perlu diperhitungkan, maka dihasilkanlah sampel proporsional. Dengan kata lain, unit sampling di dalam setiap sub sampel, sebanding jumlah atau ukurannya dengan unit sampling di dalam setiap sub populasi. Sedang jumlah keseluruhan sampel adalah sebanyak jumlah atau ukuran sampel yang telah ditetapkan. Misalnya penelitian dengan mempergunakan murid SD sebagai unit sampling, yang terdiri dari 3000 murid SD negeri dan 1500 SD swasta/bersubsidi. Dengan demikian perbandingan sub populasi adalah  2 : 1. Dari populasi itu akan diambil sebanyak 150 murid sebagai sampel, maka harus diambil sebanyak 100 murid SD negeri, dan 50 murid SD swasta/bersubsidi.
2.       Area Sample (Sampel Wilayah)
Area sample ini memiliki kesamaan dengan sampel proporsional. Perbedaannya hanya terletak pada sub populasi, yang ditetapkan berdasarkan daerah penyebaran populasi yang hendak diteliti. Perbandingan besarnya sub populasi menurut daerah penelitian, dijadikan dasar dalam menentukan ukuran setiap sub sampel. Misalnya penelitian yang mempergunakan buruh tani sebagi unit sampling, yang tersebar di 5 Kabupaten/Kodya. Kelima Kabupaten tersebut memiliki perbedaan jumlah buruh tani, dengan perbandingan  5 : 4 : 3 : 2 : 1. Jumlah yang akan diambil sebagai sampel 150 buruh. Dengan demikian, setiap Kabupaten harus diambil sampel dengan jumlah yang sebanding, yaitu 50 buruh, 40 buruh, 30 buruh, 20 buruh, dan 10 buruh.
3.       Double Sample (Sampel Ganda)
Sampel ganda atau  sampel kembar dilakukan dengan maksud memungkinkan data dari sampel masuk seluruhnya. Untuk itu, jumlah atau ukuran sampel ditetapkan dua kali lebih banyak, dari sampel minimum yang telah ditetapkan. Penentuan sampel sebanyak dua kali lipat itu dilakukan, terutama apabila alat pengumpul data yang dipergunakan adalah kuesioner atau angket yang dikirim. Dengan mengirim dua set kuesioner pada unit sampling yang memiliki persamaan, maka dapat diharapkan salah satu di antaranya akan dikembalikan, sehingga jumlah atau ukuran sampel yang telah ditentukan dapat dipenuhi.
4.       Multiple Sample (Sampel Majemuk)
Sampel majemuk ini merupakan perluasan dari sampel ganda. Pengambilan sampel dilakukan lebih dari dua kali lipat jumlah atau ukuran sampel yang telah ditetapkan, dengan ketentuan unit sampling untuk setiap kelipatan, memiliki kesamaan dengan unit sampling yang pertama. Dengan multiple sample ini, kemungkinan masuknya data sebanyak jumlah atau ukuran sampel yang telah ditetapkan, tidak perlu diragu-ragukan lagi. Sampel ini hanya dapat dilakukan apabila jumlah atau ukuran populasi cukup besar.
5.       Sistematic Sample (Sampel Sistematik)
Sampel ini diambil dari populasi dengan jarak atau interval tertentu, antara lain berupa interval waktu munculnya gejala, atau interval ruang berupa jarak tempat munculnya gejala, dan lain-lain. Batas jarak atau interval waktu atau jarak munculnya gejala itu harus tetap dan uniform, untuk semua gejala yang dijadikan sampel. Untuk itu, sampel pertama harus diambil secara random, kemudian sampel selanjutnya ditetapkan menurut interval yang dipergunakan, sampai terpenuhi jumlah atau ukuran sampel yang telah ditetapkan (sampel minimum).

Evaluasi  :
1.       Bagaimanakah cara memilih atau menentukan populasi yang baik ?
2.       Jelaskan dengan contoh berbagai cara pengambilan sampel !
3.        
Referensi               :
1.       Sutopo. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
2.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
4.       Saifuddin Azwar. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


BAB IX
VARIABEL  PENELITIAN  DAN  HIPOTESA


Tujuan  Instruksional  Khusus
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan dan menentukan jenis variabel dalam penelitian.
b.       Menjelaskan secara mendalam tentang hubungan antar variabel penelitian.
c.        Menjelaskan dan menentukan jenis variabel dalam penelitian.
d.       Menjelaskan dan membedakan berbagai jenis hipotesa.

A.      Variabel
Di dalam penelitian biasanya terdapat beberapa variabel yang harus ditetapkan dengan jelas oleh seorang peneliti, sebelum memulai pengumpulan data. Kelima jenis variabel yang akan dijelaskan di sini, tidak semuanya harus ada dalam sebuah penelitian, tidak mustahil hanya terdapat empat, tiga, atau bahkan dua variabel saja. Di dalam suatu variabel harus jelas pula aspek-aspek atau faktor-faktornya, yang dapat dikemukakan secara terperinci dan operasional dalam penjelasan istilah. Penentuan aspek-aspek atau faktor-faktor di dalam setiap variabel itu, berarti semakin mudah menetapkan data yang akan dikumpulkan. Adapun kelima variabel tersebut adalah sebagai berikut.
1.       Variabel Bebas (Independence Variable)
Variabel bebas adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur, yang menentukan atau mempengaruhi ada atau munculnya gejala atau faktor atau unsur yang lain, yang pada gilirannya gejala atau faktor atau unsur yang ke dua itu disebut sebagai variabel terikat. Tanpa variabel ini maka variabel terikat tidak akan muncul. Dengan demikian, tidak adanya variabel ini, maka tidak ada atau tidak muncul variabel terikat. Selanjutnya bila variabel ini berubah, maka muncul variabel terikat yang berbeda atau yang lain, atau bahkan sama sekali tidak ada atau tidak muncul. Untuk mempermudah pemahaman variabel ini, akan dicontohkan setelah menjelaskan variabel terikat, karena antara keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
2.       Variabel Terikat (Dependence Variable)
Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur, yang ada atau munculnya dipengaruhi atau ditentukan oleh variabel bebas. Ada atau munculnya variabel ini adalah karena adanya variabel bebas tertentu, dan bukan karena variabel lain.
Contoh : Metode Kerja berpengaruh atau menentukan Prestasi Kerja atau Produktivitas Kerja, di samping ada kemungkinan pengaruh faktor lain. Dari kedua veriabel tersebut jelas bahwa Metode Kerja dengan segala aspeknya adalah variabel bebas, sedangkan Prestasi atau Produktivitas Kerja dengan segala aspek atau gejalanya adalah variabel terikat.
3.       Variabel Kontrol (Control Variable)
Variabel kontrol adalah sejumlah gejala atau faktor atau unsur yang dengan sengaja dikendalikan, agar tidak mempengaruhi variabel bebas dan variabel terikat. Dengan mengendalikan pengaruhnya, berarti variabel ini tidak ikut menentukan ada tidaknya atau muncul tidaknya variabel terikat. Dengan kata lain, ada tidaknya atau muncul tidaknya variabel terikat murni, karena pengaruh variabel bebas tertentu.
Salah satu upaya dalam mengendalikan pengaruh variabel ini, adalah dengan mengatur agar memiliki kesamaan pengaruh terhadap semua unsur sampel sebagai sumber data. Untuk itu, kondisi variabel ini di lingkungan sampel penelitian harus disamakan, agar ada tidaknya atau muncul tidaknya variabel terikat, benar-benar hanya karena variabel bebas. Di samping itu, usaha menghilangkan pengaruh variabel ini, yang terbaik adalah apabila dapat dieliminir atau dihapuskan semuanya, di lingkungan unsur sampel. Akan tetapi, karena sering terdapat variabel yang tak dapat diubah atau dieliminir sepenuhnya, maka perlu untuk diperhitungkan pengaruhnya. Usaha mengendalikan suatu variabel dengan memperhitungkan pengaruhnya, menempatkan variabel tersebut sebagai variabel antara, dan bukan sebagai variabel kontrol. Dengan kata lain, variabel antara dapat disebut sebagai variabel kontrol yang diperhitungkan pengaruhnya.
4.       Variabel Antara (Intervining Variable)
Variabel antara adalah sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol, tetapi dapat diperhitungkan pengaruhnya terhadap variabel bebas. Oleh karena berpengaruh terhadap variabel bebas, maka mengakibatkan variabel terikat yang muncul tidak murni, sehingga perlu diketahui seberapa besar pengaruh variabel ini. Salah satu usaha untuk memperhitungkan pengaruhnya, adalah dengan melakukan pemisahan atau blok terhadap sampel. Misalnya dengan memperhitungkan pengaruh perbedaan jenis kelamin, yang dipisahkan antara sampel pria dengan wanita, atau perbedaan intelegensi, dengan memisahkan antara sampel yang cerdas dengan sampel yang kurang (bodoh), dan sebagainya.
5.       Variabel Ekatrane (Extranious Variable)
Variabel ini terdiri dari sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol, dan tidak dapat pula diperhitungkan atau dieliminir pengaruhnya terhadap variabel bebas. Variabel ini muhgkin bersumber dari kondisi sampel, dan mungkin pula berada di luar sampel. Dalam suatu penelitian, bila ternyata terdapat variabel ekstrane yang diketahui, dan benar-benar tidak dapat dikontrol atau diperhitungkan atau dihapuskan, maka peneliti berkewajiban di samping menyebutkan, juga mengemukakan alasan yang logis dan rasional, tentang pengaruhnya yang merata terhadap sampel penelitian. Pengaruh yang merata itu memungkinkan berakibat sama pada variabel bebas, namun tidak dapat dihitung seberapa besarnya (Hadari Nawawi.1995 : 56 – 60).
B.       Hipotesa
Dugaan sementara tentang pemecahan masalah yang masih harus diuji kebenarannya disebut hipotesa. Untuk menguji sebuah hipotesa diperlukan sejumlah data, baik yang mendukung atau bertentangan dengan hipotesa. Data tersebut akan diolah dengan teknik atau perhitungan statistik, guna memperoleh kesimpulan-kesimpulan dalam menerima atau menolak hipotesa. Di dalam penelitian kualitatif, hipotesa tidak mutlak diperlukan. Sebagai gantinya, perumusan masalah yang akan diteliti harus jelas, dan dibuatkan uraian secukupnya serta dirumuskan dalam suatu rumusan penelitian. Di dalam penelitian kuantitatif, keberadaan hipotesa merupakan suatu keharusan.
Pada dasarnya perumusan hipotesa dalam suatu penelitian berfungsi sebagai berikut.
a.        Hipotesa adalah dalil atau prinsip yang logis, dan dapat diterima secara rasional, tanpa mempercayainya sebagai kebenaran, sebelum diuji atau disesuaikan dengan fakta-fakta, atau kenyataan-kenyataan yang mendukung atau menolak kebenaran.
b.       Hipotesa adalah generalisasi atau rumusan kesimpulan yang bersifat tentatif (sementara), yang hanya akan berlaku bila telah diuji dan terbukti kebenarannya.
c.        Hipotesa adalah dugaan logis sebagai kemungkinan pemecahan masalah, yang hanya dapat diterima sebagai kebenaran, bila setelah diuji ternyata fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan sesuai dengan dugaan tersebut.  
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesa dalam suatu penelitian harus diuji. Oleh karena itu, perumusan hipotesa yang baik adalah hipotesa yang dapat diuji kebenaran atau ketidakbenarannya. Hipotesa seperti itu memerlukan ketajaman dalam perumusannya, atau jelas variabel-variabelnya. Hipotesa seperti itu bukan sekedar hasil perenungan, tanpa dasar teoritis yang cukup kuat dan memadai. Dengan kata lain, hipotesa bukan hasil dari perumusan yang bersifat spekulatif, karena kegiatan penelitian bukanlah pekerjaan atau kegiatan trial and error.
Hipotesa dapat dibedakan menjadi hipotesa mayor dan hipotesa minor. Hipotesa mayor, sebagaimana istilahnya sendiri sudah menunjukkan adalah hipotesa induk, dan menjadi sumber dari anak-anak hipotesa. Hipotesa yang akhir ini disebut hipotesa minor. Hipotesa minor, disebabkan karena hakekatnya dijabarkan dari hipotesa mayor. Untuk memahami kedua hipotesa tersebut, dapat dicontohkan dengan membuat sebuah hipotesa. Contoh hipotesa “kemiskinan adalah penyebab terjadinya kejahatan”. Kita harus tahu jelas jenis-jenis kejahatan, misalnya ; pencurian, perampokan, penipuan, perkosaan, perjudian, pemalsuan, dan sebagainya. Jika jenis kejahatan ada bermacam-macam, maka dapat disusun banyak sekali anak-anak hipotesa, yang masing-masing khusus membuat dugaan, tentang adanya hubungan antara kemiskinan dengan jenis kejahatan yang bersangkutan. Misalnya “ada hubungan yang positif antara derajat kemiskinan dengan besar kecilnya kejahatan pencurian”, atau “antara kemiskinan dan kejahatan perampokan ada hubungan yang searah”. Dalam perumusan hipotesa harus dinyatakan dengan bentuk statement, tidak boleh dalam bentuk pertanyaan.
Suatu mental construct harus disusun untuk memberi petunjuk jalan kepada pengetesan hipotesa, baik yang mayor maupun minor. Sebagai contoh ada hipotesa “kemiskinan menjadi penyebab kejahatan” , maka mental construct dapat disusun sebagai berikut.
a.        Di mana ada kejahatan, maka di situ harus ada kemiskinan.
b.       Di mana ada kejahatan, maka di situ tidak boleh ada kemiskinan.
c.        Kejahatan hanya dilakukan oleh orang miskin.
d.       Kejahatan tidak dilakukan oleh orang kaya.
e.       Makin besar kemiskinan, makin besar pula kejahatan.
f.         Makin kecil kemiskinan, makin kecil pula kejahatan.
g.        Di tempat-tempat yang banyak kemiskinan, di situ harus makin banyak kejahatan.
h.       Di tempat-tempat yang sedikit kemiskinan, di situ harus semakin sedikit kejahatan. Dan sebagainya.
Hipotesa dalam perumusannya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Hipotesa Nihil (Null Hypotesis) atau biasa disingkat dengan Ho, dan Hipotesa Alternatif (Alternative Hypotesis) atau biasa disingkat dengan Ha. Misalnya ada sebuah hipotesa yang berbunyi “tidak ada perbedaan kecerdasan antara pria dengan wanita”, pernyataan ini merupakan hipotesa nihil. Sebaliknya “pria lebih cerdas daripada wanita” atau “wanita lebih cerdas daripada pria”, merupakan pernyataan hipotesa alternatif. Adanya dua bentuk hipotesa itu, Ho dan Ha, menimbulkan implikasi yang berbeda-beda dalam pengetesannya.
C.       Pengujian Hipotesa
Pengujian hipotesa secara kuantitatif dapat dilakukan melalui analisa data secara statistik. Untuk itu, hipotesa harus dirumuskan dalam bentuk hipotesa nihil dan hipotesa alternatif. Dalam analisa data, hasil penghitungan statistik yang signifikan mengharuskan hipotesa alternatif diterima, dan sebaliknya hipotesa nihil ditolak. Dengan demikian, berarti hasil penghitungan statistik yang non signifikan, mengharuskan hipotesa alternatif ditolak, dan sebaliknya hipotesa nihil diterima.
Perumusan hipotesa alternatif harus mengandung dugaan yang intelegen, karena dikembangkan dari hipotesa nihil, yang pada dasarnya  dirumuskan sekedar menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara satu variabel yang lain di dalam suatu masalah. Di dalam perumusan belum tampak usaha menerangkan apa sebabnya sesuatu itu demikian, atau mengapa harus demikian sebagai pembuktian dari kebenarannya. Misalnya dalam perumusan hipotesa nihil dinyatakan “tidak terdapat perbedaan pengaruh antara variabel V1 dengan pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K”. Bila hipotesa itu diterima, berarti harus diakui bahwa tidak ada tidak terdapat perbedaan pengaruh, antara variabel V1 dengan pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K. Sebaliknya bila hipotesa itu ditolak, berarti harus diakui bahwa kedua variabel itu berbeda pengaruhnya satu dengan yang lain, terhadap kondisi K. Dari pengujian hipotesa itu belum dinyatakan apa sebabnya, atau mengapa pengaruh kedua variabel itu berbeda atau tidak berbeda antara satu dengan yang lain.  
Dari uraian di atas dapat diasumsikan, bahwa pengujian hipotesa nihil hanya akan menghasilkan sesuatu, bila hipotesa itu ditolak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hipotesa nihil pada dasarnya diuji untuk ditolak. Untuk itu diperlukan hipotesa alternatif, yang harus mengandung dugaan intelegen, tentang variabel yang mana di antara dua atau lebih variabel, yang mungkin berpengaruh paling efektif, terhadap suatu obyek penelitian, dan bahkan mungkin dengan sebab-sebabnya mengapa demikian.
Dari contoh di atas, perumusan hipotesa alternatif dapat dilakukan dalam tiga bentuk sebagai berikut.
a.        Terdapat perbedaan pengaruh antara variabel V1 dengan variabel V2 terhadap kondisi K (V1 # V2). Namun harus diakui, bahwa perumusan ini masih belum mengandung dugaan yang intelegen. Hasilnya masih berupa penolakan atau penerimaan hipotesa, belum menunjukkan variabel mana di antara dua atau lebih variabel yang paling efektif pengaruhnya.
b.       Pengaruh variabel V1 lebih efektif daripada pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K (V1 > V2). Perumusan ini bila diterima akan menghasilkan sesuatu berupa keharusan mengakui, bahwa pengaruh V1 lebih efektif dari pengaruh V2. Sebaliknya bila ditolak, masih harus dipersoalkan apakah pengaruh kedua variabel itu sama, atau mungkin pula pengaruh V2 lebih efektif. Oleh karena itu, dapat pula dirumuskan hipotesa alternatif yang ke tiga seperti di bawah ini.
c.        Pengaruh variabel V1 kurang efektif daripada pengaruh variabel V2 terhadap kondisi K (V1 < V2). Penerimaan hipotesa ini mengharuskan pengakuan, bahwa pengaruh variabel V1 pengaruhnya kurang efektif, dibandingkan dengan pengaruh variabel V2. Sebaliknya penolakan terhadap hipotesa ini berarti mengharuskan pengakuan, bahwa variabel V1 dan V2 mungkin sama, atau mungkin pula pengaruh variabel V2 lebih efektif daripada pengaruh variabel V1.
Dalam perumusan hipotesa alternatif, bentuk ke dua dan ke tiga akan lebih tinggi mutunya, bila disertai dugaan apa sebabnya pengaruh variabel yang satu lebih efektif dibanding dengan variabel yang lain. Di samping itu, perumusannya tidak saja mengenai pengaruh variabel, tetapi mungkin saja mengenai perbedaan, atau tidak terdapatnya perbedaan dalam hal-hal lain, sesuai dengan masalah penelitian (Hadari Nawawi. 1995 : 162).

Evaluasi  :
1.       Deskripsikan berbagai jenis variabel penelitian !
2.       Buatlah variabel penelitian dalam sebuah contoh kerangka penelitian !
3.       Jelaskan tentang hubungan antar variabel dalam sebuah contoh kerangka penelitian !
4.       Jelaskan berbagai macam hipotesis dalam penelitian !
5.       Haruskah setiap penelitian memakai hipotesis, jelaskan dengan contoh !
6.       Bagaimanakah cara menguji hipotesis, dan langkah apa yang harus dilakukan oleh peneliti bila hipotesis tidak terbukti ?

Referensi               :
1.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.
3.       Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.       Qadir, SA. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta : Yayasan Obor.
5.       Saifuddin Azwar. 1999, Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.



BAB X
PENYUSUNAN  LAPORAN  DAN BEBERAPA  KETENTUAN


Tujuan  Instruksional  Khusus


Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :
a.        Menjelaskan tata tulis dalam menyusun laporan penelitian.
b.       Membuat kerangka usulan penelitian (proposal) penyusunan skripsi.
c.        Menerapkan beberapa ketentuan penulisan dan penelitian dalam penyusunan skripsi.

Hasil penelitian yang disusun secara tertulis adalah karya ilmiah, yang secara langsung atau tidak langsung mutunya dipengaruhi oleh cara menyajikannya pada yang berkepentingan. Untuk itu, perlu mendapatkan perhatian yang cukup dari seorang penyusun laporan penelitian, terutama mengenai kerangka dan tata tulis yang dipergunakan. Kedua hal tersebut akan memberikan dukungan yang positif terhadap isi laporan, bila dilakukan secara tepat dan konsisten.

A.       Kerangka Usulan Penelitian (Proposal)

Kerangka usulan penelitian atau lebih lazim disebut proposal, biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu ; (1) Bagian awal, (2) Bagian Utama, dan (3) Bagian akhir. Dalam hal ini tiap bagian tersebut saling berkaitan, dengan ketentuan jumlah halaman tidak lebih dari 30 halaman untuk masing-masing bagian.
1.       Bagian Awal
Bagian awal ini mencakup empat hal, yaitu ; (1) halaman judul luar, (2) halaman judul dalam, (3) halaman pengesahan, dan (4) halaman daftar isi.
1.1. Halaman Judul Luar
Halaman judul luar memuat enam hal, yaitu ; (a) judul, (b) maksud usulan penelitian, (c) lambang perguruan tinggi, (d) nama dan nomor mahasiswa, (e) nama instansi yang dituju, dan (f) tahun pengajuan. Halaman ini ditulis di atas kertas buffalo, warna disesuaikan dengan ketentuan program studi/jurusan masing-masing. Selanjutnya lihat lampiran 1.
a.        Judul, hendaknya ringkas, lugas, dan mengisyaratkan permasalahan serta bidang ilmu yang bersangkutan. Ditulis dengan huruf kapital semua, bila ada kajian khusus hendaknya diletakkan di dalam kurung, dan hanya setiap awal kata saja yang diberi huruf kapital.
b.       Maksud usulan penelitian, ditulis di bawah judul, yaitu berbunyi ; Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana/Magister/Doktor Program Studi………, Minat Utama (bila ada). Penulisan huruf kapital hanya pada setiap awal kata, kecuali kata sambung yang ditulis tetap dengan huruf kecil.
c.        Lambang Perguruan Tinggi, sesuai dengan bentuknya bulat (bukan segi), dengan diameter kira-kira 5,5 cm.
d.       Nama dan Nomor mahasiswa, ditulis lengkap, tidak boleh menggunakan singkatan, tanpa gelar atau gelar kehormatan lainnya, di bawahnya ditulis nomor induk mahasiswa.
e.       Nama instansi yang dituju, adalah instansi tempat mahasiswa menuntut ilmu, di bawahnya ditulis kota (kodya/kabupaten) instansi tersebut berada, ditulis dengan huruf kapital semua.
f.         Tahun pengajuan, sesuai dengan tahun pada saat pengajuan proposal.
1.2. Halaman Judul Dalam
Halaman judul dalam berisi tulisan yang sama dengan halaman judul luar, tetapi diketik di atas kertas putih HVS ukuran kwarto (A4) dengan berat 80 gram. 
1.3. Halaman Pengesahan
Pada halaman pengesahan berisi tulisan ; (a) judul usulan penelitian, (b) penyusun dan nomor mahasiswa, (c) dewan pembimbing, (d) tanggal penyusunan, (e) mengetahui ketua program studi/jurusan. Selanjutnya contoh dapat dilihat pada lampiran 2.
1.4. Halaman Daftar Isi
Di dalam halaman daftar isi tertera tulisan daftar isi, yang kemudian diikuti urutan judul bab dan sub judul bab, disertai dengan nomor halamannya.
2. Bagian Utama
Bagian utama ini mencakup sebelas bagian, yaitu ; (1) latar belakang masalah, (2) perumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) landasan teori, (6) penelitian yang relevan, (7) kerangka berfikir, (8) hipotesis, (9) metode penelitian, (10) batasan operasional variabel penelitian, dan (11) jadwal penelitian.
2.1. Latar Belakang Masalah
Diuraikan secukupmya faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa masalah itu diteliti, ditinjau dari segi kepentingan (urgensi) dan motivasi penelitian yang diusulkan. Dalam bagian ini dipaparkan pula rasionalitas (argumentasi) mengapa penelitian tersebut perlu dilakukan. Perlu dikemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan penelitian, namun masih secara umum (belum direduksi).
2.2. Perumusan Masalah
Berisi uraian masalah utama yang menjadi fokus penelitian. Di samping itu, perlu ditegaskan lingkup permasalahan, dan dilakukan pembahasan masalah. Perumusan masalah harus dapat menunjukkan inti permasalahan, dan variabel-variabel yang hendak diteliti. Masalah harus singkat, spesifik, jelas, dan pada umumnya dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
2.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan tujuan umum dan khusus, yang merupakan jawaban terhadap permasalahan penelitian.
2.4. Manfaat Penelitian
                Manfaat penelitian merupakan  pernyataan bahwa penelitian yang diusulkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
2.5. Landasan Teori
Menampilkan hasil studi kepustakaan yang mengungkapkan studi secara teoretis (Theoritical Approuch), yang akan dipakai serta mengungkapkan secara garis besar landasan teori yang akan dikembangkan dalam penelitian.
2.6. Penelitian yang Relevan
Tinjauan penelitian yang relevan berisi tinjauan kritis, terhadap hasil penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan. Dijelaskan secara garis besar hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan. Kemudian ditinjau aspek-aspek khusus yang membedakannya dengan penelitian yang akan dilakukan.
2.7. Kerangka Berfikir
Uraian kerangka berfikir dimasudkan untuk menggambarkan teori-teori sebagai dasar penyusunan hipotesis. Kerangka berfikir merupakan suatu kerangka pemikiran yang bertujuan untuk memperoleh kejelasan, dari variabel yang berpengaruh, dan variabel yang dipengaruhi, baik hubungan maupun derajat ketergantungannya. Untuk mempermudah penjelasan, dapat dibuat bagan atau diagram alir.
2.8. Hipotesa
Apabila berupa penelitian kualitatif, hipotesis tidak merupakan suatu keharusan. Sebagai gantinya, perumusan masalah yang akan diteliti harus jelas, dan dibuatkan uraian secukupnya, serta dirumuskan dalam suatu rumusan penelitian.  Di dalam penelitian kuantitatif, adanya hipotesis merupakan suatu keharusan, yang merupakan tampilan variabel-variabel secara jelas.
2.9. Metode Penelitian
Secara garis besar dibedakan antara metode penelitian kualitatif dengan kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, rumusan mengenai metode penelitian berfungsi sebagai penuntun pelaksanaan yang bersifat sementara. Di dalam proses penelitian, proses perumusan tersebut dapat dilakukan perubahan atau penyempurnaan. Secara umum metode penelitian (kualitatif) memuat komponen-komponen sebagai berikut.
a.        Tempat atau lokasi penelitian (apabila dianggap perlu).
b.       Data dan sumber data.
c.        Teknik pemerolehan data.
d.       Model dan teknik analisis.
Pada penelitian kuantitatif komponen-komponen penelitiannya agak berbeda, namun komponen inipun biasa digunakan dalam penelitian kualitatif. Komponen-komponen tersebut sebagai berikut.
a.        Populasi dan sampel.
b.       Penarikan samapel.
c.        Data yang diperlukan.
d.       Instrumen penelitian.
e.       Teknik pengumpulan data.
f.         Teknik analisis.
Keenam komponen ini pun biasa dipergunakan dalam penelitian kualitatif, namun dalam penerapannya agak lentur dan terbuka.
2.10. Batasan Operasional Variabel Penelitian
Batasan operasional yang dimaksud adalah definisi identifikasi atas konsep-konsep, mengenai segala sesuatu yang erat hubungannya dengan judul penelitian dan variabel yang telah ditentukan.
2.11. Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian memuat tahap-tahap penelitian, rincian kegiatan setiap tahap, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan setiap tahapnya. Jadwal penelitian dapat disajikan dalam bentuk uraian maupun matriks.    
3. Bagian Akhir
Pada bagian akhir meliputi daftar pustaka dan lampiran, namun bila peneliti ingin menampilkan suplemen/tambahan, dapat juga ditambahkan di dalam halaman tersendiri setelah lampiran.
3.1. Daftar Pustaka
Daftar pustaka memuat pustaka yang diacu dalam usulan penelitian, dan disusun secara alphabetis (menurut abjad awal). Selanjutnya dapat dilihat pada sub bab mengenai teknik penulisan daftar pustaka.
3.2. Lampiran
Dalam lampiran (apabila ada) memuat keterangan atau informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, misalnya ; angket, wawancara, penghitungan statistik, tabel, dan lain sebagainya. lampiran tersebut sifatnya melengkapi usulan penelitian.
B.       Kerangka Penulisan Penelitian
Sebuah penelitian ilmiah (Skripsi, Thesis, dan Disertasi), memiliki beberapa spesifikasi format yang (secara umum) dibakukan dan bersifat sekuensial logis. Melalui bentuk yang sekuensial logis ini, dengan mudah penulis dapat menyusun pikirannya yang sistematis secara kohesif dan koherensif. Format tersebut biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu ; (1) bagian awal / preliminary, (2) bagian inti / content, dan (3) bagian akhir / reference.
1. Bagian Awal / Preliminary
Bagian awal merupakan suatu bagian dari suatu tulisan ilmiah sebelum masuk pada pokok pembicaraan utama, bagian ini antara lain sebagai berikut. 
1.1.   Halaman Judul
Dalam halaman judul terdiri dari beberapa komponen, antara lain ; (a) judul, (b) tujuan penulisan, (c) lambang institusi, (d) nama dan nomor penyusun, (e) nama instansi berisi nama jurusan/fakultas dan perguruan tinggi, dan (f) tahun penyelesaian.
a.        Judul merupakan nama karangan yang memberikan gambaran singkat tentang inti penelitian. Kata-kata dalam judul harus dalam diksi yang jelas, sederhana, tidak bombastis, tidak puitis, dan tidak provokatif. Judul harus mencerminkan hubungan antar variabel. Dirumuskan dalam satu kalimat yang ringkas, komunikatif, dan alternatif. Ditulis dalam huruf kapital semua, kecuali ada keterangan studi spesifik, yang harus ditulis dengan huruf kapital hanya pada awal katanya. Apabila judul agak panjang, dan tidak memungkinkan ditulis dalam satu baris, maka penyusunan baris berikutnya harus berbentuk piramid terbalik. Dalam judul tidak dibenarkan ada pemenggalan kata. Lay out halaman judul harus menggunakan centered (terpusat di tengah)
b.       Tujuan penulisan memuat kalimat (umumnya) sebagai berikut “ Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana/Magister/Doktor pada Bidang Ilmu Seni Tari. Perlu diperhatikan, bahwa penulisan huruf kapital hanya pada awal kata, kecuali kata sambung tidak ditulis dengan huruf kapital.
c.        Lambang Perguruan Tinggi, sesuai dengan bentuknya bulat (bukan segi), dengan diameter kira-kira 5,5 cm. Bila lambang perguruan tinggi berwarna, maka harus disesuaikan.
d.       Nama dan Nomor mahasiswa, ditulis lengkap, tidak boleh menggunakan singkatan, tanpa gelar atau gelar kehormatan lainnya, di bawahnya ditulis nomor induk mahasiswa.
e.       Nama instansi yang dituju, adalah instansi tempat mahasiswa menuntut ilmu, yaitu nama jurusan, fakultas, dan perguruan tinggi. Pada bagian bawahnya ditulis kota (kodya/kabupaten) instansi tersebut berada, ditulis dengan huruf kapital semua.
f.         Tahun penyelesaian sesuai dengan saat menyelesaikan laporan penelitian.
Selanjutnya dapat dilihat contoh halaman judul pada lampiran 3
1.2.   Halaman Pengesahan/Persetujuan
Terdapat dua macam halaman pengesahan, yaitu pengesahan pembimbing, dan pengesahan laporan. Halaman pengesahan dihitung sebagai halaman pertama dan ke dua dari bagian awal. Penulisan halaman ini menggunakan angka romawi kecil, diletakkan pada bagian tengah bawah. Halaman ini memuat keterangan antara lain :
a.        Persetujuan dari (para) pembimbing untuk diajukan dalam sidang/ujian.
b.       Nama (para) pembimbing, yang dibawah namanya dicantumkan Nomor Induk Pegawai atau nomor registrasi.
c.        Pernyataan diketahui oleh ketua jurusan/program studi yang bersangkutan.
d.       Lay out dibuat centered (terpusat di tengah).
Selanjutnya contoh halaman pengesahan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.
1.3.   Halaman Pernyataan
Halaman ini berisi pernyataan penulis, bahwa hasil penelitian ini merupakan penelitian asli dan bukan mencontoh (plagiasi) dari penulisan orang lain. Contoh halaman ini dapat dilihat pada lampiran 6.
1.4.   Halaman Khusus
Halaman ini memuat pesan khusus dari penulis, yang dapat berupa motto atau persembahan. Bila memuat persembahan, maka harus jelas bahwa tulisan tersebut dipersembahkan kepada instansi tertentu, atau kepada seseorang yang sangat istimewa dalam hidupnya.
1.5.   Halaman Kata Pengantar
Pernyataan KATA PENGANTAR diketik dengan huruf kapital semua, tanpa garis bawah dan tanpa titik. Pada umumnya kata pengantar berisi antara lain ; (a) puji syukur kepada Tuhan, (b) maksud singkat dilaksanakannya penelitian, (c) uraian singkat mengenai latar belakang, (d) ruang lingkup dan tujuan penelitian, (e) sifat penelitian, (f) harapan yang berpijak dari hasil penelitian, dan (g) ucapan terima kasih kepada beberapa fihak (rektor, dekan, ketua jurusan, pembimbing, dan barangkali teman sekelas).
1.6.   Halaman Daftar Tabel/Singkatan dan Lambang, dan Daftar Lampiran .
Apabila daftar tabel, daftar singkatan, dan daftar lampiran sangat banyak, maka masing-masing dapat dibuat halaman sendiri. Penulisan tabel dan singkatan harus mengacu pada keumuman.
1.7.   Halaman Daftar Isi
Di dalam halaman daftar isi tertera tulisan DAFTAR ISI, yang kemudian diikuti urutan judul bab dan sub judul bab, disertai dengan nomor halamannya.
1.8.   Halaman Abstrak
Halaman abstrak merupakan uraian singkat, namun lengkap mengenai hal ihwal penelitian, mencakup ; masalah penelitian, metode penelitian, dan hasil penelitian. Bagian ini diketik dengan jarak satu spasi dalam bahasa Indonesia dan mungkin juga dalam bahasa Inggris.
2.       Bagian Inti / Content
Bagian ini berisi uraian yang disajikan dalam bentuk bab, yang mencakup ; (1) pendahuluan, (2) landasan teori, (3) metode penelitian, (4) hasil analisis dan pembahasan, dan  (5) penutup.
2.1.   Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi uraian mengenai (a) latar belakang masalah, (b) perumusan masalah, (c) tujuan penelitian, dan (d) manfaat penelitian.
a.        Latar belakang masalah, isinya hampir sama dengan latar belakang masalah dalam usulan penelitian (proposal), hanya lebih dipertajam.
b.       Perumusan masalah, isinya sama dengan perumusan masalah dalam usulan penelitian.
c.        Tujuan penelitian, isinya sama persis dengan tujuan penelitian dalam usulan penelitian.
d.       Manfaat penelitian, isinya juga sama dengan manfaat penelitian dalam usulan penelitian.
2.2.   Landasan Teori
Bagian ini juga berisi tentang landasan teori yang sama dengan yang termuat dalam usulan penelitian, namun lebih diperluas dan diperdalam. Uraian landasan teori yang diperluas dan diperdalam, harus pula lebih diperinci, dengan maksud memberi landasan teoritik terhadap masalah yang diteliti. Setelah uraian landasan teori, kemudian dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai penelitian yang relevan, kerangka berfikir, dan hipotesis (bila ada).
2.3.   Metode Penelitian
Uraian mengenai metode penelitian juga sama dengan uraian dalam usulan penelitian. Perlu ditekankan, bahwa uraian metode penelitian merupakan uraian metode dan teknik dalam penelitian, bukan memindah beberapa definisi metode dan teknik ke dalam sebuah penelitian. Jadi, uraian ini merupakan gambaran langkah peneliti dalam mengumpulkan data, analisis data, serta penyimpulan data.
2.4.   Hasil Analisis dan Pembahasan
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian, analisis data, dan pembahasannya. Hasil analisis dan pembahasan dapat dipecah menjadi sub judul, yang setiap sub judulnya mencerminkan masalah yang telah disajikan. Apabila dianggap perlu, dapat pula dibahas beberapa keterbatasan atau kelemahan hasil penelitian, untuk penyempurnaan dan pengembangan penelitian yang akan datang.
2.5.   Penutup
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran, yang dinyatakan secara terpisah, dan masing-masing  menjadi sub bab.
a.        Kesimpulan, merupakan pernyataan singkat dan tepat, yang berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, sehubungan dengan masalah penelitian. Pada penelitian yang mempergunakan hipotesis, merupakan pernyataan singkat dan tepat, yang mengarah pada pembuktian hipotesis yang diajukan.
b.       Saran, dibuat berdasarkan pengalaman dan pertimbangan penulis, yang ditujukan kepada para peneliti bidang sejenis, untuk melanjutkan atau mengembangkan hasil penelitian. Di samping itu, dapat pula diuraikan saran terhadap pemanfaatan hasil penelitian, baik secara teoretis maupun praktis (implikasi bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia).


3.       Bagian Akhir / reference
Pada bagian ini berisi dua komponen, yaitu ; (1) daftar pustaka, dan (2) lampiran. Namun bila peneliti ingin menampilkan suplemen/tambahan, dapat juga ditambahkan di dalam halaman tersendiri setelah lampiran.
3.1.   Daftar Pustaka
Daftar pustaka memuat pustaka yang diacu dalam usulan penelitian maupun dalam pelaksanaan penelitian. Disusun secara alphabetis (menurut urutan abjad awal). Selanjutnya dapat dilihat pada sub bab mengenai teknik penulisan daftar pustaka.
3.2.   Lampiran
Lampiran digunakan untuk menempatkan data atau keterangan lain, yang berfungsi untuk melengkapi penjelasan yang telah disajikan dalam bagian isi.
C.       Teknik Penulisan
Pada dasarnya dikenal beberapa teknik penulisan, namun yang berbeda hanya pada teknik penulisan pustaka yang terdapat dalam teks, penulisan footnote, dan penulisan daftar pustaka. Pada teknik penulisan ini harus dipegang teguh mengenai keajegan (dalam arti konsistensi). Selanjutnya bagian ini akan dibicarakan beberapa ketentuan dalam penulisan laporan penelitian, yang antara lain meliputi ; (1) bahan dan ukuran kertas, (2) pengetikan, (3) penomoran, (4) kutipan, (5) footnote atau endnote, dan (6) daftar pustaka.
1.       Bahan dan Ukuran Kertas
Naskah dibuat di atas kertas HVS berukuran kwarto (28 X 21,8 cm), berbobot minimal 80 gram (dikenal dengan kertas HVS kwarto 80 gr.), dan tidak dibuat bolak-balik. Sampul luar dibuat di atas kertas buffalo atau sejenis, yang dilapisi dengan plastik dan berwarna sesuai dengan jurusan masing-masing, dengan tinta hitam (atau sesuai dengan ketentuan jurusan masing-masing).
2.       Pengetikan
Laporan penelitian diketik dengan huruf pika (dalam komputer dikenal dengan Times New Roman font 12), dengan jarak dua spasi. Bagian abstrak, kutipan langsung, footnote/endnote, dan daftar pustaka diketik dengan jarak satu spasi. Abstrak diketik satu spasi, paling banyak dua lembar. Daftar pustaka diketik satu spasi, dengan jarak antara daftar pustaka yang lain dua spasi.        
3.       Penomoran
Penomoran halaman bagian awal (halaman pengesahan sampai abstrak) menggunakan angka romawi kecil, dan diletakkan pada bagian tengah bawah. Penomoran bab mempergunakan angka romawi besar, dan diletakkan sejajar dengan bab pada bagian tengah, sedangkan penomoran halaman yang memuat bab, mempergunakan angka arab kecil (1,2,3 dsb.), diletakkan pada bagian tengah bawah. Penomoran bagian inti dan akhir, selain yang memuat bab mempergunakan angka arab kecil, diletakkan pada bagian kanan atas naskah. Jarak antara nomor dengan naskah kurang lebih dua spasi.
4.       Kutipan
Kutipan langsung yang lebih dari tiga baris diketik dengan jarak satu spasi,  dimulai dengan ketikan setelah empat ketukan,  dan diapit dengan tanda petik ganda ( “ ). Kutipan langsung yang kurang dari tiga baris diketik dua spasi, dimasukkan ke dalam teks kalimat, dan diapit dengan tanda petik ganda ( “ ). Setiap kutipan harus ditunjukkan sumber pustakanya, dengan ketentuan ; kurung buka, nama pengarang, koma, spasi, tahun penerbitan, spasi, titik dua, spasi, halaman, kurung tutup, contoh : (De Witt Parker, 2004 : 17). Kutipan tidak langsung (berupa buah pikiran orang lain, kemudian ditambah ulasan atau pembanding pikiran penulis) harus disebutkan sumber pustakanya. Semua bentuk kutipan yang berbahasa asing harus diberi terjemahan, dengan diapit tanda petik tunggal ( ‘ ).
Setiap alenia baru diketik menjorok ke dalam, dimulai  setelah hitungan ketujuh, di dalam program komputer biasanya memakai tombol tab. Margin kiri dan margin atas berjarak 4 cm, margin kanan dan margin bawah berjarak 3 cm. Pada halaman yang mempergunakan footnote, harus berakhir pada batas margin bawah 3 cm.                
5.       Footnote atau Endnote
Footnote/endnote dipergunakan sebagai tambahan penjelasan (bukan untuk acuan referensi), diketik dengan jarak satu spasi, dan jarak antara dua footnote dua spasi. Harus dibedakan dengan model  footnote yang dipergunakan sebagai acuan sumber pustaka. Penulisan teks footnote harus dibawah teks terakhir pada suatu halaman, kemudian diberi garis lurus sebanyak tujuh ketukan. Di bawah garis diberi nomor footnote, kemudian penulisan  teks footnote. Sesuatu yang akan dijelaskan di dalam footnote atau endnote, harus diberi nomor yang menjorok ke atas setengah spasi. Perbedaan footnote dan endnote hanya terletak pada penempatannya. Footnote ditempatkan langsung pada bagian bawah teks, kalau endnote ditempatkan pada bagian akhir suatu bab.
6.       Daftar Pustaka
Beberapa ketentuan dalam penulisan daftar pustaka, tabel dan  diagram, antara lain sebagai berikut.
a.        Daftar pustaka disusun secara alphabetis (sesuai urutan abjad).
b.       Urutan penulisan daftar pustaka sebagai berikut ; nama penulis, titik, tahun penerbitan, titik, judul buku, titik, kota penerbit, spasi, titik dua, nama penerbit, titik. Bila melebihi satu baris, maka baris ke dua harus dimulai dengan tujuh ketukan.
c.        Kalau terdapat beberapa buku oleh pengarang yang sama, maka dibawahnya cukup diganti dengan garis lurus.
d.       Bila terdapat beberapa buku oleh pengarang yang sama, dan tahun yang sama, maka selain ketentuan (6 c) juga harus diberi urutan dengan mempergunakan abjad kecil (a, b, c, dsb.).
e.       Bila buku yang disebut dalam daftar pustaka merupakan edisi terjemahan, setelah judul buku disebutkan (edisi terjemahan oleh ……di dalam kurung). Di dalam edisi terjemahan, tahun terbit yang dipakai adalah tahun terbit terjemahan.
f.         Bila buku yang disebut dalam daftar pustaka berupa artikel dalam sebuah kumpulan, maka judul artikel diapit dengan tanda petik tunggal.
g.        Daftar pustaka yang boleh dicantumkan hanya sumber referensi yang dikutip langsung atau tidak langsung.
h.       Nama buku yang dijadikan daftar pustaka dicetak tebal atau miring, kecuali artikel yang hanya diapit dengan tanda petik tunggal.
i.         Bila terdapat sumber pustaka yang belum diterbitkan (makalah, skripsi, thesis, dsb.), maka judulnya diapit dengan tanda petik ganda.
j.         Gelar akademik dan gelar kebangsawanan tidak disertakan.
k.        Semua nama penulis asing dibalik.
l.         Penulis dari kalangan Indonesia tidak dibalik, kecuali nama yang didahului dengan nama babtis atau nama diri yang disingkat harus dibalik, contoh :
F. Paimin                        ditulis                     Paimin, F.
D. Edi Subroto               ditulis                     Edi Subroto, D.
m.      Nama penulis yang terdidi dari tiga orang semua ditampilkan, untuk penulis asing yang dibalik hanya penulis yang pertama.
n.       Nama penulis yang lebih dari empat orang, yang ditulis hanya penulis yang pertama, kemudian koma dan di belakangnya diberi tambahan  et. al. (Selanjutnya periksa dalam lampiran 7).
Evaluasi  :
1.       Buatlah sebuah proposal penelitian, bila memungkinkan telah mengarah ke penulisan skripsi.
2.       Buatlah berbagai macam kutipan langsung dan tidak langsung dari berbagai macam leteratur.
3.       Buatlah beberapa footnote dan atau endnot dari berbagai literatur.
4.       Buatlah beberapa daftar kepustakaan dari berbagai literatur.

Referensi               :
1.       Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2.       Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research Jilid II. Yogyakarta : Andi Offset.
3.       Lexy. JM. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
4.       Otong, S.J. 2001. Pedoman Penulisan Skripsi, Thesis, Disertasi. Bandung : Yrama Widya.
5.       Nasution, S. 1982. Metode Research. Bandung : Jemmars.
6.       Nasution, S, M. Thomas. 1985. Buku Penuntun Membuat Thesis, Skripsi, Disertasi, Makalah. Bandung : Jemmars.
7.       Suryadi. 1980. Penuntun Penyusunan Paper-Skripsi-Thesis. Surabaya : Usaha Nasional.
8.       Westra, IGK Paridjata. 1990. Pedoman Penulisan Skripsi Berdasarkan Penelitian Empiris di Perguruan Tinggi. Surabaya : Airlangga University Press.
9.       Contoh Proposal.
10.    Contoh Skripsi.






[1] Istilah Teks dalam hal ini tidak hanya menyangkut sesuatu wacana yang tertulis (written discourse), dan tidak tertulis (spoken discourse) saja, namun juga meluas menjadi wacana yang dapat dilihat (visuable discourse), dan wacana yang dapat didengar (audible discourse). Seni sastra termasuk ke dalam wacana tertulis, seni berpidato masuk ke dalam wacana lisan, seni patung, tari, seni rupa dan sejenisnya, masuk ke dalam wacana yang dapat dilihat, dan seni  musik, seni suara masuk ke dalam wacana yang dapat didengar. 


[2] Kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu ulasan dapat dibuat oleh peneliti sendiri, menurut modelnya masing-masing, misalnya ; kartu ikhtisar dibuat dengan kertas berlubang satu, kartu kutipan dengan kertas berlubang dua, dan kartu ulasan dengan kartu berlubang tiga.




[1] Di Indonesia dibedakan antara Thesis dengan Skripsi, Thesis disusun untuk memperoleh gelar Magister (S2), sedangkan Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana (S1). Thesis selain meminta sumbangan pemikiran dan penemuan baru, juga diarahkan  untuk menguji sebuah teori sesuai dengan bidang spesialisasinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar