Sejarah kebudayaan Indonesia
(SKI) adalah suatu konsef ilmiah yang di dalamnya terdiri dari 3 variable,
yaitu:
1. Sejarah
Sejarah dapat dilihat dari beberapa
dimensi yaitu dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang)
dan dimensi tempat. Dari dimensi tempat sejarah mempunya ruang lingkup makro
dan mikro. Jika dilihat dari proses historis maka perkembangan
kebudayaan Indonesia ada yang bersifat makro dan mikro. Untuk melihat tentang
budaya makro sama seperti kita melihat dan mengamati budaya global (culture
global), sedangkan pada budaya mikro dapat dicontohkan dengan adanya usulan
atau pemikiran dalam pelestarian
kebudayaan di daerah Wonosari – Gunungkidul.
2. Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu konsep
yang dapat bersifat defenitif atau substantif. Ada lebih 100 definisi tentang
kebudayaan. Salah satunya yaitu menurut Ralp Linton dalam, bukunya yang
berjudul Study of Man edisi I tahun 1936, yang menyebutkan bahwa
kebudayaan adalah sebagai warisan sosial (social heredity),
bahwa semua unsur, sistem, dan nilai budaya dipelajari oleh individu-individu
dalam interaksinya secara terus menerus
sehingga ada proses pewarisan. Di antara warisan sosial itu ada yang khusus dan
mempunyai kedudukan yang sangat penting yaitu bahasa (lisan, tulisan dan
simbul).
3. Indonesia
Indonesia dalam konsep Sejaah
Kebudayaan berati erat hubunganya dengan geo 0budaya Indonesia, yaitu bahwa
kebudayaan yang ada di Indonesia erat dengan prilaku manusia Indonesia yang
pluralistik. Maka untuk mengetahui dan memahamnya perlu mempelajari ekologi
budaya.
Perkembangan
Kebudayaan Indonesia dan Evolusi Pikiran
Apa hubungan perkembangan kebudayaan
Indonesia dengan evolusi pikiran?. Hubungan ini penah dibahas secara umum oleh
seorang ahli antropologi dan sosiologi tentang Indonesia dari US yaitu Prof.
Dr. Clifford Geertz pada tahun 1974, dalam bukunya yang berjudul Interpretation
of Cultures (tafsir kebudayaan). Dari buku itu diuraikan tentang yang
dimaksud evolusi pikiran adalah perkembangan
konsep-konsep kebudayaan yang diciptakan oleh intelektual / ilmuwan. Betapa
sulitnya mempersoalkan konsep-konsep tentang perkembangan kebudayaan yang
diciptakan oleh para intelektual yang meliputi beberapa kesulitan:
1.
Konsep itu harus berlandaskan data kebudayaan, baik itu
sebagai fenomena, unsur, nilai dan sistem kebudayaan dari masyarakat yang
memilikinya. Ini berarti bahwa para intelektual tersebut harus mempunyai
kesungguhan dalam mengamati, mengumpulkan, serta menganalisis hal-hal tersebut.
2.
Mengenai tersedianya sumber-sumber buku, karangan
ilmiah lain, dan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk
menyusun konsep-konsep kebudayaan. Oleh karena itu ada dua pokok yang
berhubungan dengan hal ini yaitu substansial studi dan formal studi.
Perkembangan kebudayaan
Indonesia dalam hubungannya dengan evolusi pikiran bersangkut-paut dengan:
1.
Konsep-konsep kebudayaan untuk menjelaskan kebudayaan
Indonesia umumnya berasal dari ilmuwan, misalnya tentang konsep trikotomi
budaya jawa. Dalam buku The Religius of Jawa (1960) karya Clifford
Geertz, trikotomi budaya Jawa terdiri dari budaya abangan, budaya santri,
dan budaya priyayi. Konsep trikotomi ini hanya
2.
Perlaku
dari tahun 50 s/d 60-an, konsep ini sesuai/cocok dengan kondisi yang ada dalam
masyarakat Jawa. Tetapi saat ini budaya priyayi sudah tidak ditemukan karena
birokrasi priyayi telah hilang. Demikian juga budaya abangan sukar dicari
ciri-cirinya, tinggal budaya santri yang masih relevan dengan ciri-cirinya masa
lampau. Dari contoh konsep budaya yang dibuat Clifford tersebut nampak jelas
sudah terjadi revolusi pikiran.
3.
Permasalahan yang berhubungan dengan perkembangan
kebudayaan Indonesia terletak pula pada ragamnya budaya etnis. Betapa sukarnya
merumuskan konsep-konsep kebudayaan nasional jika ditinjau dari ragamnya budaya
etnis atau kesuku-bangsaan. Permasalahannya adalah bahwa satu unsur etnis yang
dapat dimasukan kedalam budaya nasional harus mencerminkan adanya nation state
Indonesia (negara bangsa). Namun unsur-unsur budaya etnis yang tidak dimasukan
kedalam kerangka NS maka tetap sebagai budaya etnis saja.
Permasalahan
yang harus dicermati dengan perkembangan kebudayaan Indonesia saat ini adalah hadirnya budaya global yang sebenarnya
sudah pada abad ke 20 masuk ke negara-negara diluar Eropa. Pada awal abad ke
20, budaya global sudah berkembang di tanah-tanah koloni yang perkembangannya
sangat erat dengan kebijakan politik sebelumnya (budaya politik kolonial).
Sebagai konsumen (bagi Indonesia) adanya nilai-nilai yang baru datang diterima
begitu saja sebagai peminjaman budaya (culture borrowing). Dalam
peminjaman ada proses difusi kebudayaan, artinya difusi antara
unsur-unsur budaya Indonesia dengan
unsur-unsur yang dari luar. Dalam proses difusi ini ada fihak yang memberi dan
ada fihak yang menerima. Untuk menerima unsur-unsur yang baru, tiap unsur
kebudayaan mempunyai waktu yang berbeda-beda atau dapat ditolaknya.
Dalam proses difusi seperti yang dikatakan Ralph
Linton (The Study of Man) bahwa terjadinya proses difusi ditentukan
oleh:
1.
Ada fihak pemberi dan penerima, dijelaskan adanya kontak masyarakat yang lebih dari satu.
2.
Ada proses yang dinamakan peminjaman kebudayaan. Dalam
proses ini ada waktu apakah pihak penerima budaya mau menjadikan miliknya
sebagai unsur yang berasal dari pihak pemberi. Di sini sangat penting karena
proses difusi merupakan proses pemilihan unsur budaya untuk ditolak atau
diterima.
Budaya
Etnisitas di Indonesia dalam Hubungannya dengan
Kebudayaan Indonesia
Kebudayaan di Indonsia dalam konteks budaya
politik dan politik kebudayaan erat hubungannya dengan negara bangsa (nation
state). Itulah sebabnya aneka ragam budaya komunitas di Indonesia harus dilihat
dari budaya nation state. Dalam buku Aneka Budaya dan Komunitas
di Indonesia (1981) yang menyatakan (dalam bagian Pendahuluan):
“...timbul
kesan bahwa betapa sulitnya memberikan kerangka nasional dari budaya-budaya
daerah di Indonesia. Berdasarkan data ststistik ada 300 budaya etnis
dan 250 bahasa local di Indonesia yang semuanya berkembang secara dinamik
sesuai dengan sistem dan nilai budaya lokal masing-masing. Ini berarti bahwa
Indonesia mempunyai pluralitas budaya dan etnis...”.
Pada
tahun 2003 terbit sebuah buku karya Samuael Hantington yang berjudul Benturan
Antar Kebudayaan yang membahas aneka ragam budaya pluralitas di dunia.
Budaya pluralitas itulah yang akhirnya menumbuhkan benturan-benturan dalam
proses perkembangan kebudayaan di dunia.
Ada satu segi lain dalam buku tersebut yang
berbeda dengan konsep kebudayaan dan peradaban yang telah dirumuskan
sebelum buku tersebut terbit. Buku
tersebut tidak membedakan antara pengertian peradaban dan kebudayaan yang
sebelumnya dirumuskan secara berbeda. Pada rumusan sebelumnya: “peradaban
itu merupakan kebudayaan yang sudah tidak sanggup lagi berkembang. Sedangkan
unsur-unsur peradaban yang masih berkembang tidak disebut sebagai peradaban
tetapi disebut sebagai kebudayaan” (Samuel Hantington, Peradaban
Adalah Kebudayaan).
Peradaban dalam kontek ini agaknya mengkuti
klasifikasi kebudayaan seperti yang telah dibuat rumusannya oleh para ahli
budaya sebelumnya, di antaranya:
1.
Budaya yang sempurna yang cenderung berkembang ke arah
peradaban tinggi
2.
Budaya yang kurang sempurna yang cenderung berkembang
terus dengan unsur-unsurnya sampai ke tingkat peradaban
3.
budaya yang tidak sempurna yang umumnya dimiliki oleh
suku-suku terasing.
Budaya yang sempurna selalu
memiliki 9 sistem budaya yaitu sosial, ekonomi, politik / birokrasi, agama /
kepercayaan, bahasa, teknologi, pandangan hidup, seni, dan pendidikan.
Sedangkan budaya yang kurang sempurna tidak mempunyai kelengkapan sistem-sistem
tersebut. Dari uraian buku tersebut, tampaknya kata peradaban yang digunakan
adalah peradaban negara maju yang industrial dan saling berbenturan, karena
kepentingan budaya Indonesia. Itulah sebabnya buku tersebut banyak memberikan
contoh-contoh fenomena budaya di negara-negara maju.
Pluralitas
budaya di Indonesia berangkat dari adanya dua pernyataan yaitu:
1.
Perkembangan budaya-budaya daerah dengan 300 etnisnya
dan 250 bahasa lokalnya, merupakan kenyataan empiris bangsa Indonesia.
2. Pengertian pluralitas dipakai menjelang akhir
Perang Dunia ke II oleh para ilmuwan
sosial Eropa Barat yang
digunakan untuk menjelaskan keragaman masyarakat di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Konsep
pluralitas di Iondonesia memang menyulitkan bagi nation state Indonesia. Untuk
menunjukan kebudayaan Indonesia, kebudayaan nasional, kepribadian Indonesia dan
kepribadian nasional, ketika UU Otoda digulirkan pada awal tahun 2001 ternyata
ada sebagian daerah menafsirkan sebagai otonom kesukuan. Ini berarti bahwa
budaya daerah akan dominan dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia.
Budaya Tradisi Besar (the
great traditions) dan
Budaya Tradisi Kecil (the
little traditions) di Indonesia
Budaya tradisi besar dan kecil adalah konsep
abstrak untuk menjelaskan keragaman budaya yang ada di dunia termasuk
Indonesia. Karena merupakan konsep maka pemahaman budaya-budaya masyarakat
dengan konsep tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Misalnya: ada suatu masyarakat sebelum mengalami modernisasi digolongkan pada
tradisi kecil, namun setelah mengalami atau memasuki budaya modern maka dapat digolongkan pada budaya tradisi
besar. Oleh karena itu perlu dijelaskan secara depenitif pengertian
kedua-duanya.
Budaya tradisi besar adalah budaya
yang dimiliki masyarakat dengan sistem budayanya yang sempurna.
Sistem-sistem itu mengacu pada sistem universal budaya. Sedangkan Budaya
tradisi kecil adalah budaya yang dimiliki masyarakat dengan sistem
yang tidak sempurna. Biasanya masyarakat yang tergolong suku bangsa yang
terisolasi lebih cenderung dinamakan sebagai pemilik tradisi kecil.
Di Indonesia budaya masyarakat yang digolongkan pada
tradisi besar adalah budaya-budaya yang berkembang di pusat-pusat kerajaan pada
masa lampau dan kota-kota besar pada masa modern seperti Jakarta. Banyak studi
yang mengatakan bahwa kerajaan Majapahit di Jatim merupakan pusat berkembangnya
budaya tradisi besar pada abad 14-15, sebelumnya dua kerajaan besar yaitu
Kediri dan Singasari yang memiliki budaya tradisi besar. Di Majapahit sistem
ekonomi, sosial, agama, birokrasi, dikembangkan secara institusi sehingga
akhirnya budaya Majapahit dapat disebut budaya tradisi besar yang semuanya
berpusat di keraton. Sedangkan budaya petani di wilayah Majapahit digolongkan
pada budaya taradisi kecil, karena sistem-sistem yang dimiliki kurang/tidak
sempurna, seperti sistem agama yang masih percaya pada nenek moyang.
Budaya petani digolongkan sebagai budaya
hidrolik, yang kemudian berkembang di daerah pulau Bali (sistem subak).
Seperti diketahui bahwa ketika budaya majapahit mengalami keruntuhan karena
munculnya budaya Islam di pantai Jawa ternyata ada sebagian orang Majapahit
yang melarikan diri ke pulau Bali, dan mereka mengembangkan budaya hidrolik
ini. Budaya ini mengembangkan sistem pengairan dan pertanian yang didukung
dengan sistem kepercayaan terhadap nenek moyang. Itulah sebabnya
petani-petani Majapahit ketika mengawali dan mengakhiri panenan selalu
melakukan upacara pada dewi sri, berbagai jenis tarian dan musik
diciptakan yang tujuannya untuk melindungi pertaniannya. Sistem penanggalan
untuk mengerjakan tanah serta memelihara tanaman dihubungkan dengan kepercayaan
pada dewi bulan. Ada sebuah buku karangan Van Setten Vandermeer
(1979) yang menulis tentang sistem persawahan di Jatim abad 13-14 sertamembahas
budaya Hindu dalam kontek tradisi kecil dan besar.
Geo Budaya
di Indonesia (dilihat dari aspek kesejarahan)
Geo budaya
di Indonesia dilihat dari aspek
kesejarahan sangat erat pengaruhnya terhadap pembentukan budaya-budaya mikro.
Budaya mikro adalah budaya yang berkembang pada space ruang dan waktu yang
terbatas serta dipengaruhi oleh geografi. Dari segi kajian empiris tentang
kebudayaan di Indonesia seperti yang dikejakan oleh Hildred Geertz, yang
mengatakan bahwa adanya geografi di Indonesia mencerminkan perbedaan-perbedaan
budaya mikro, etnis, kesuku bangsaan, yang semuanya dibentuk oleh perbedaan
geografi, hal inilah yang disebut dengan geo budaya.
Menurut
Hildred, ada tiga bagian wilayah geografi yang memberikan ciri khas
masing-masing budaya setempat yaitu :
1.
Budaya pantai
Yaitu jaringan sosial
komunitas pantai yang mengembangkan budaya maritim dengan indikator pada
perdagangannya. Menurut teori JC. Van Leur, menjelaskan bahwa
perdagangan pantai di Indonesia mendorong dinamika budaya yang cepat berubah.
Akibatnya, peninggalan-pennggalan budaya di daerah pantai tidak ditemukan
secara lebih baik, sedangkan di daerah pedalaman peninggalan budaya banyak
ditemukan. Budaya maritim ini merupakan salah satu ciri khas budaya melayu,
misalnya hikayat Hang Tuah yang menceritakan budaya maritim dengan tokoh fiktif
Hang Tuah. Tokoh fiktif adalah tokoh yang tidak ada dalam kenyataan sejarah dan
sulit dibuktikan dengan kajian sejarah.
2. Budaya
pedalaman.
Pembagian budaya pantai dan
budaya pedalaman bukan saja teori Hildred, tetapi juga teori Van Leur. Meskipun kedua tokoh ini membagi dua budaya
tersebut tetapi Van Leur lebih mendalam membagi ciri perbedaannya. Menurut Van
Leur budaya pedalaman adalah budaya pertanian (budaya hidrolik).
Budaya hidrolik inilah yang membedakan dengan budaya pantai yang dinamis.
Budaya pedalaman sifatnya statis sehingga banyak meninggalkan penghalusan
budaya. Itulah sebabnya budaya feodal yang dipengaruhi hinduisme dan budhaisme
berkembang di pedesaan. Dari teori Van Leur dengan indikator pusat budaya,
ternyata budaya di pedalaman lebih dapat berlangsung lama sehingga banyak
ditemukan pusat-pusat budaya (keraton/istana), pusat budaya inilah banyak
meninggalkan kota-kota tradisional. Misalnya kota-kota di Majapahit, Singasari,
Kediri, Mataram (Jateng).
Dinamika budaya pantai
disebabkan karena 2 hal:
a.
Interaksi perdagangan diantara komunitas pantai
b.
Interaksi individu-individu yang berbeda
budayanya yang saling mempengaruhi secara difusi, akibatnya budaya sangat
dinamik. Difusi adalah proses kontak dua masyarakat atau lebih dimana ada fihak
penerima budaya. Proses penerimaan/penolakan budaya dari fihak pemberi memakan
waktu yang cukup lama. Proses ini disebut proses peminjaman budaya, yang akan
menentukan apakah budaya tersebut diterima atau ditolak, maka inilah yang
menyebabkan kenapa budaya pantai sangat dinamik.
3.
Budaya kota.
Kebudayaan ini berkembang di
wilayah kota, yang sebenarnya bisa
dimasukan pada budaya pantai dan budaya pedalaman. Oleh karena itu Van Leur
membedakan dua budaya yaitu Kota pedalaman
dan Kota pantai. Klasifikasi yang lain dikemukakan oleh
hildred Greetz yaitu budaya pantai,
budaya pedalaman, dan budaya pegunungan.
“Etos
Budaya”, Kebudayaan dan Masyarakat Indonesia.
Etos budaya adalah karakteristik/ciri khas suatu
kebudayaan yang karena dengan ciri-ciri itu dapat membedakan budaya yang satu
dengan budaya yang lain. Oleh karena itu dalam studi antropologi budaya mudah
dikenal etos-etos bangsa di dunia. Misalnya ada etos Amerika, Jepang, Indonesia
dan etos lain yang dimilki suku-suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat pluralisme/majemuk, oleh karena itu saat ini etos budaya
kesukuan harus di arahkan dan dibina kearah sintesa Indonesia. Seni daerah,
bahasa daerah, dan adat istiadat harus dikembangkan kearah budaya Nation
State (NS) Indonesia. Istilah NS pada awalnya dihubungkan dengan
konsef politik negara baru. Saat ini konsep NS harus menjadi payung
perkembangan seni dan budaya daerah.
Bila unsur seni dan budaya menjadi pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan
yang timbul di daerah, maka hasilnya akan menumbuhkan suatu kesadaran tentang
manajemen sumber daya manusia Indonesia. Dalam kontek ini termasuk manajemen
seni dan budaya Indonesia.
Untuk menjelaskan etos budaya Indonesia,
maka diperlukan suatu komparasi perbandingan dengan etos-etos budaya
lainnya. Nation State adalah negara
baru sebagai negara merdeka (setelah PD II) yang mempunyai negara bangsa.
NS adalah konsef abstrak yang dimunculkan oleh sosiolog dari Amerika Serikat
(AS) Clifford Geertz, untuk menjelaskan negara baru yang berhasil melakukan
dekolonialisasi, yaitu proses bebasnya tanah dan rakyat jajahan yang kemudian
menjadi merdeka serta berhasil mendirikan negara sebagai bangsa yang merdeka
(NS).
Ada negara-negara di Eropa Barat yang tidak
pernah dijajah tetapi dapat disebut NS. Sebenarnya NS yang dimunculkan oleh Geertz ditujukan pada negara-negara yang
berhasil memproklamasikan diri sebagai negara medeka karena proses
dekolonisasi. Meskipun demikian konsef
NS dapat juga digunakan untuk menjelaskan negara-negara merdeka (mis. Thailand)
yang tidak pernah dijajah. Jadi NS erat denga konsef negara baru dan
negara-negara yang bercorak kebangsaan. NS dalam hubungannya dengan uraian di
atas erat hubungannya dengan konsef politik. Saat ini NS harus dihubungkan
dengan konsef-konsef lainnya, baik langsung atau tidak. Konsef tersebut dapat
menjelaskan eksistensi bangsa, misalnya NS dalam hubungannya dengan seni,
budaya, ekonomi, sosial, dan unsur yang lain. Jadi membicarakan etos budaya
kesukuan harus tetap pada kerangka NS Indonesia, jika tidak dalam kerangka
tersebut maka yang tumbuh adalah etno etos budaya, yaitu etos budaya
etnis/kesukuan yang terlepas dari ke-Indonesiaan
Telah disinggung di atas, bahwa etos
budaya Indonesia dapat dijelaskan tidak saja dari segi etnis/etno etos budaya,
tetapi juga dari segi komparasi etos budaya bangsa lain. Etos budaya AS
mempunyai ciri individualistik dan
kebebasan, karena erat dengan konsep kapitalisme dan liberalisme. Di AS
saat ini ada dua etos budaya, yaitu:
1.
Etos budaya konservatif yang didukung oleh
generasi tua, pada umumnya yang melihat Amerika ke depan secara pesimistik.
2.
Etos budaya progresif yang dipengaruhi oleh cara
hidup kapitalisme dan liberalisme yang melihat Amerika Serikat secara
optimistik.
Masyarakat Jepang mempunyai etos budaya berbeda dengan AS. Meskipun bangsa
Jepang dalam modernisasi mengikuti cara berpikir kapitalisme dan liberalisme,
tetapi penataan budaya kedalam bangsa Jepang sangat mengutamakan tradisi.
Misalnya dapat dilihat pada budaya makan. Dalam kontek ini orang jepang sangat
taat kepada budaya tradisi yang dimiliki termasuk jenis makanan yang
dikonsumsinya.
Perkembangan
Kebudayaan Indonesia
menurut
teori Ralph Linton (The Study of Man)
Teori Ralph Linton mengenai kebudayaan salah satunya adalah teori
tentang masyarakat sebagai bahan mentah kebudayaan (material of culture)
mengapa demikian?. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang saling
berinteraksi dan menumbuhkan perilaku budaya baik menyangkut wujud-wujudnya,
normanya, dan sistemnya. Linton mengatakan bahwa kebudayaan adalah warisan
sosial (social heredity). Warisan social adalah semua unsur kebudayaan yang
dapat diwariskan melalui:
1. Interaksi timbal balik antar individu, sehingga
menumbuhkan prilaku budaya. Dalam interaksi ini terdapat internalisasi budaya,
sosialisasi budaya yang semuanya melibatkan individu-individu.
2. Difusi kebudayaan seperti diketahui dalam kajian
budaya dijelaskan bahwa difusi adalah proses yang melibatkan dua atau lebih
masyarakat dan budayanya, sehingga ada fihak pemberi dan fihak penerima unsur
kebudayaan. Dari proses inilah unsur kebudayaan yang baru dapat diterima atau
ditolak oleh penerimanya. Berdasarkan dua alasan di atas maka keberadaan budaya
dan perkembangannya sangat tergantung pada masyarakat. Paradigma inilah yang
melahirkan teori bahwa masyarakat adalah bahan mentah kebudayaan.
Teori yang berhubungan dengan masyarakat
sebagai bahan mentah kebudayaan sebenarnya berangkat dari pemikiran bahwa
masyarakat yang terdiri dari individu-induvidu merupakan jaring-jaring yang
mengembangkan kebudayaan. Masyarakat sebagai bahan 0.mentah kebudayaan tidak
bersifat fisik semata-mata, tetapi juga bersifat non fisik, seperti unsur-unsur
psikologi, etika, dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan. Itulah sebabnya
Linton memasukan unsur psikologi sebagai unsur dominan dalam jaring-jaring
individu dan masyarakat yang kemudian menjadi unsur bahan mentah bagi
kebudayaan . Oleh karena itu pengertian bahan mentah (row material) tidak
seperti pengetahuan umum yang mengandung pisik semata-mata, namun yang menjadi
bahan mentah di sini adalah individu dan masyarakat sehingga unsur psikologi
termasuk di dalamnya.
Ada tiga unsur bahan mentah yang dimiliki
masyarakat bagi budaya, yaitu jaring-jaring masayarakat, psikologi, dan
intelektualisme. Ketiga hal itulah
yang menjadi eksistensi budaya dalam perkembangannya. Wujud budaya yang berupa
ide, norma, dan material, tumbuh dari individu dalam masyarakat. Di Indonesia
dengan ciri masyarakat yang majemuk maka bahan mentah kebudayaan akan
berbeda-beda. Bahan mentah masyarakat Jawa berbeda dengan bahan mentah
masyarakat Bali. Oleh karena itu kebudayaan Indonesia adalah konsep ideal,
artinya satu konsep berupa gagasan/ide yang bersumber dari berbagai bahan mentah
kebudayaan. Kebudayaan Indonesia ada karena Nation State Indonesia.
Dikotomi Perkembangan Kebudayaan Indonesia dan pembangunan
Dikotomi kebudayaan di Indonesia menyulitkan dalam pembangunan, konflik
kebudayaan lebih sulit memecahkan dan mecari jalan keluar dibandingkan
dengankonflik ekonomidan politik. Contoh yang menarik misalnya pada beberapa
tahun yang lalu di NTT ada peristiwa konflik agama dan kebudayaan dengan kasus
yang sama tidak pernahmenimbulkan konflik di Jawa. Kasus itu adalah ketika di NTT
ada misa Katholik dimana seorang pastor memberikan hosti yaitu sesobek
roti yang suci dan dipegang oleh seorang pendeta dan dimasukan kedalam mulut
umatnya di gereja. Kasus di NTT itu ada seorang umat yang menerimaa dengan
tangan. Pada hal di Jawa tahun 1970-an pemberian hosti apat diterima dengan
tangan kanan, yang sebelumnya dengan mulutnya. Akibat peristiwa itu menimbulkan
kemarahan umat yang lain, sehingga suku bangsa yang menjadi induk dari umat nasrani yang menerima hosti dengan
tanganitu kampungya dibakar habis. Ini membuktikan bahwa dalam budaya nasrani
diIndonesia terdapat adanya perbedaan tradisi. Dengan kasus seperti
inisebenarnya tidak perlu menimbulkan konflik umat nasrani itu sendiri.
Permasalahan perkembangan kebudayaan di Indonesia adalah
permasalah dikotomis seperti (1) budaya jawa vs luar jawa, (2) budaya Kota vs
budaya desa (3) budaya pribumi vs budaya non pribumi, (4) budaya birokrasi
pusat VS budaya birokrasi daerah.(seperti terjadinya permesta).
Diotomi kebidayaan di indonesia dimulai dari
pengaruh-pengaruh budaya luar yang tidak seimbang. Masyarakat indoesia adalah
masyarakat yang pluralitas sehingga ketidakseimbangan itu memudahka konflik
masyarakat yang majemuk, padahal pembangunan selalu dipusatkan di jawa. Ketika
orang eropa datang ke Indonesia pembangunan ekonominya dipusatkan di jawa
hasilnya dibawa ke eropa. Tidak tersentuhnya kegiatan ekonomi di luar jawa
secara baik mengakibatkan terjadinya ketertinggalan perkembangan bagi
masyarakatdi luar jawa. Misalnya yang masyarakat terjadi pada masyarakat di
Irian Jaya. Kebudayaan irian jaya yang dalam kajian antropologi disebutsebagai
kebudayaan papua mempunyai bahasa lokal yang beragam (puluhan bahasa lokal
etnis).sehingga dalam masyarakat papua tecermin keragaman suatu etnis padahal
yang dibutuhkan Indonesia adalah persatuan dan kesatuan.
sesuai dengan budaya reformasi yang bergulir dengan unsur-unsurnya
demokrasi, keterbukaan, tertib hukum, tertib politik, tertib sosial ekonomimaka
persatuan dan kesatuan indonesia harus
mengembangkan menejemen pemahaman yang baik dengan pluralitas. Pada masa orba
kebudayaan indonesia lebih ditekankan pada kesatuan dan pesatuan tanpa
menghiraukan kemajemukan dalam
menejemen, akibatnya ialah terjdai konflik budaya yang berkepanjangan selama
reformasi digulirkan.
Contoh yang menarik ialah konflik budaya pribumu dan nonpribumi sebenarnya penilaian ppribumi dan nonppribumu
sudah dimulai pada masa kolonial belanda, pada maa itu sudah ada pembagian
sosial budaya yaitu: (1) masyarakat an budaya eropa, (2) masyarakat dan budaya
Timur asing (cina, arab, India) , (3) masyarakat dan budaya pribumi. Tiga
pembagian ini sudah mewarnai statistik sosial politik pemerintah kolonial yang
berkembang saat ini. Sebagai tolok ukur pengaruh pemerintah kolonial di indonesiaadalahdengan
adanya materiunang-undang yang ada diindonesia yang bayak menyerap dari
pemerintah kolonial terutama yang menyangkut UU Pidana.
Sebuah kajian yang membahas persekutuan aneh di Jakarta yaitu suatu organisasi yang mengatur perkawinan
laki-laki eropa dengan wanita pribumi atau timur asing, jika ada persoalan yang
meyangkut tentang keluarga maka aturan yang berhubungan dengan adat
masing-masing menjadi pedoman untuk memecahkan masalah. Sedangkan orangeropa
dikenakan hukum eropa. Ini berarti mencerminkan adanya dikotomi kebudayaan
eropa, pribumi dan timur asing.
Perkembangan kebudayaan
di Indonesia dari segi dikotomi ini memang kurang menguntungkan untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan budaya bangsa. Perbedaan yang sangat
menonjol dari masyarakat Irian Jata dibandingkan dengan masyarakat jawa
merupakan permasalahan pembangunan di Indonesia saat ini dan masa yang akan
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar