Jumat, 10 September 2021

SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA : Sebuah Catatan Ringkas


Sejarah kebudayaan Indonesia (SKI) adalah suatu konsef ilmiah yang di dalamnya terdiri dari 3 variable, yaitu:
1.  Sejarah
            Sejarah dapat dilihat dari beberapa dimensi yaitu dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang) dan dimensi tempat. Dari dimensi tempat sejarah mempunya ruang lingkup makro dan mikro. Jika dilihat dari proses historis maka perkembangan kebudayaan Indonesia ada yang bersifat makro dan mikro. Untuk melihat tentang budaya makro sama seperti kita melihat dan mengamati budaya global (culture global), sedangkan pada budaya mikro dapat dicontohkan dengan adanya usulan atau pemikiran dalam pelestarian  kebudayaan di daerah Wonosari – Gunungkidul.
2. Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu konsep yang dapat bersifat defenitif atau substantif. Ada lebih 100 definisi tentang kebudayaan. Salah satunya yaitu menurut Ralp Linton dalam, bukunya yang berjudul Study of Man edisi I tahun 1936, yang menyebutkan bahwa kebudayaan adalah sebagai warisan sosial (social heredity), bahwa semua unsur, sistem, dan nilai budaya dipelajari oleh individu-individu dalam interaksinya secara  terus menerus sehingga ada proses pewarisan. Di antara warisan sosial itu ada yang khusus dan mempunyai kedudukan yang sangat penting yaitu bahasa (lisan, tulisan dan simbul).
3. Indonesia
Indonesia dalam konsep Sejaah Kebudayaan berati erat hubunganya dengan geo 0budaya Indonesia, yaitu bahwa kebudayaan yang ada di Indonesia erat dengan prilaku manusia Indonesia yang pluralistik. Maka untuk mengetahui dan memahamnya perlu mempelajari ekologi budaya.

Perkembangan Kebudayaan Indonesia dan Evolusi Pikiran

            Apa hubungan perkembangan kebudayaan Indonesia dengan evolusi pikiran?. Hubungan ini penah dibahas secara umum oleh seorang ahli antropologi dan sosiologi tentang Indonesia dari US yaitu Prof. Dr. Clifford Geertz pada tahun 1974, dalam bukunya yang berjudul Interpretation of Cultures (tafsir kebudayaan). Dari buku itu diuraikan tentang yang dimaksud evolusi pikiran  adalah perkembangan konsep-konsep kebudayaan yang diciptakan oleh intelektual / ilmuwan. Betapa sulitnya mempersoalkan konsep-konsep tentang perkembangan kebudayaan yang diciptakan oleh para intelektual yang meliputi beberapa kesulitan:
1.      Konsep itu harus berlandaskan data kebudayaan, baik itu sebagai fenomena, unsur, nilai dan sistem kebudayaan dari masyarakat yang memilikinya. Ini berarti bahwa para intelektual tersebut harus mempunyai kesungguhan dalam mengamati, mengumpulkan, serta menganalisis hal-hal tersebut.
2.      Mengenai tersedianya sumber-sumber buku, karangan ilmiah lain, dan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan untuk menyusun konsep-konsep kebudayaan. Oleh karena itu ada dua pokok yang berhubungan dengan hal ini yaitu substansial studi dan formal studi.
Perkembangan kebudayaan Indonesia dalam hubungannya dengan evolusi pikiran bersangkut-paut dengan:
1.      Konsep-konsep kebudayaan untuk menjelaskan kebudayaan Indonesia umumnya berasal dari ilmuwan, misalnya tentang konsep trikotomi budaya jawa. Dalam buku The Religius of Jawa (1960) karya Clifford Geertz, trikotomi budaya Jawa terdiri dari budaya abangan, budaya santri, dan budaya priyayi. Konsep trikotomi ini hanya
2.      Perlaku dari tahun 50 s/d 60-an, konsep ini sesuai/cocok dengan kondisi yang ada dalam masyarakat Jawa. Tetapi saat ini budaya priyayi sudah tidak ditemukan karena birokrasi priyayi telah hilang. Demikian juga budaya abangan sukar dicari ciri-cirinya, tinggal budaya santri yang masih relevan dengan ciri-cirinya masa lampau. Dari contoh konsep budaya yang dibuat Clifford tersebut nampak jelas sudah terjadi revolusi pikiran.
3.      Permasalahan yang berhubungan dengan perkembangan kebudayaan Indonesia terletak pula pada ragamnya budaya etnis. Betapa sukarnya merumuskan konsep-konsep kebudayaan nasional jika ditinjau dari ragamnya budaya etnis atau kesuku-bangsaan. Permasalahannya adalah bahwa satu unsur etnis yang dapat dimasukan kedalam budaya nasional harus mencerminkan adanya nation state Indonesia (negara bangsa). Namun unsur-unsur budaya etnis yang tidak dimasukan kedalam kerangka NS maka tetap sebagai budaya etnis saja.
Permasalahan yang harus dicermati dengan perkembangan kebudayaan Indonesia saat ini  adalah hadirnya budaya global yang sebenarnya sudah pada abad ke 20 masuk ke negara-negara diluar Eropa. Pada awal abad ke 20, budaya global sudah berkembang di tanah-tanah koloni yang perkembangannya sangat erat dengan kebijakan politik sebelumnya (budaya politik kolonial). Sebagai konsumen (bagi Indonesia) adanya nilai-nilai yang baru datang diterima begitu saja sebagai peminjaman budaya (culture borrowing). Dalam peminjaman ada proses difusi kebudayaan, artinya difusi antara unsur-unsur budaya Indonesia  dengan unsur-unsur yang dari luar. Dalam proses difusi ini ada fihak yang memberi dan ada fihak yang menerima. Untuk menerima unsur-unsur yang baru, tiap unsur kebudayaan mempunyai waktu yang berbeda-beda atau dapat ditolaknya.
Dalam proses difusi seperti yang dikatakan Ralph Linton (The Study of Man) bahwa terjadinya proses difusi ditentukan oleh:
1.      Ada fihak pemberi dan penerima, dijelaskan adanya  kontak masyarakat yang lebih dari satu.
2.      Ada proses yang dinamakan peminjaman kebudayaan. Dalam proses ini ada waktu apakah pihak penerima budaya mau menjadikan miliknya sebagai unsur yang berasal dari pihak pemberi. Di sini sangat penting karena proses difusi merupakan proses pemilihan unsur budaya untuk ditolak atau diterima.

Budaya Etnisitas di Indonesia dalam Hubungannya dengan
Kebudayaan  Indonesia


            Kebudayaan di Indonsia dalam konteks budaya politik dan politik kebudayaan erat hubungannya dengan negara bangsa (nation state). Itulah sebabnya aneka ragam budaya komunitas di Indonesia harus dilihat dari budaya nation state. Dalam  buku Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia (1981) yang menyatakan (dalam bagian Pendahuluan):
            “...timbul kesan bahwa betapa sulitnya memberikan kerangka nasional dari            budaya-budaya daerah di Indonesia. Berdasarkan data ststistik ada 300 budaya           etnis dan 250 bahasa local di Indonesia yang semuanya berkembang secara     dinamik sesuai dengan sistem dan nilai budaya lokal masing-masing. Ini berarti     bahwa Indonesia mempunyai pluralitas budaya dan etnis...”.

            Pada tahun 2003 terbit sebuah buku karya Samuael Hantington yang berjudul Benturan Antar Kebudayaan yang membahas aneka ragam budaya pluralitas di dunia. Budaya pluralitas itulah yang akhirnya menumbuhkan benturan-benturan dalam proses perkembangan kebudayaan di dunia.
            Ada satu segi lain dalam buku tersebut yang berbeda dengan konsep kebudayaan dan peradaban yang telah dirumuskan sebelum  buku tersebut terbit. Buku tersebut tidak membedakan antara pengertian peradaban dan kebudayaan yang sebelumnya dirumuskan secara berbeda. Pada rumusan sebelumnya: “peradaban itu merupakan kebudayaan yang sudah tidak sanggup lagi berkembang. Sedangkan unsur-unsur peradaban yang masih berkembang tidak disebut sebagai peradaban tetapi disebut sebagai kebudayaan” (Samuel Hantington, Peradaban Adalah Kebudayaan).  
            Peradaban dalam kontek ini agaknya mengkuti klasifikasi kebudayaan seperti yang telah dibuat rumusannya oleh para ahli budaya sebelumnya, di antaranya:
1.      Budaya yang sempurna yang cenderung berkembang ke arah peradaban tinggi
2.      Budaya yang kurang sempurna yang cenderung berkembang terus dengan unsur-unsurnya sampai ke tingkat peradaban
3.      budaya yang tidak sempurna yang umumnya dimiliki oleh suku-suku terasing.
Budaya yang sempurna selalu memiliki 9 sistem budaya yaitu sosial, ekonomi, politik / birokrasi, agama / kepercayaan, bahasa, teknologi, pandangan hidup, seni, dan pendidikan. Sedangkan budaya yang kurang sempurna tidak mempunyai kelengkapan sistem-sistem tersebut. Dari uraian buku tersebut, tampaknya kata peradaban yang digunakan adalah peradaban negara maju yang industrial dan saling berbenturan, karena kepentingan budaya Indonesia. Itulah sebabnya buku tersebut banyak memberikan contoh-contoh fenomena budaya di negara-negara maju.
      Pluralitas budaya di Indonesia berangkat dari adanya dua pernyataan yaitu:
1.      Perkembangan budaya-budaya daerah dengan 300 etnisnya dan 250 bahasa lokalnya, merupakan kenyataan empiris bangsa Indonesia.
2.  Pengertian pluralitas dipakai menjelang akhir Perang Dunia ke II oleh para ilmuwan             sosial   Eropa Barat yang digunakan untuk menjelaskan keragaman masyarakat di Asia     Tenggara termasuk  Indonesia.
       Konsep pluralitas di Iondonesia memang menyulitkan bagi nation state Indonesia. Untuk menunjukan kebudayaan Indonesia, kebudayaan nasional, kepribadian Indonesia dan kepribadian nasional, ketika UU Otoda digulirkan pada awal tahun 2001 ternyata ada sebagian daerah menafsirkan sebagai otonom kesukuan. Ini berarti bahwa budaya daerah akan dominan dalam proses pembentukan kebudayaan Indonesia.

Budaya Tradisi Besar (the great traditions) dan
Budaya Tradisi Kecil (the little traditions) di Indonesia

            Budaya tradisi besar dan kecil adalah konsep abstrak untuk menjelaskan keragaman budaya yang ada di dunia termasuk Indonesia. Karena merupakan konsep maka pemahaman budaya-budaya masyarakat dengan konsep tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Misalnya: ada suatu masyarakat sebelum mengalami modernisasi digolongkan pada tradisi kecil, namun setelah mengalami atau memasuki budaya modern  maka dapat digolongkan pada budaya tradisi besar. Oleh karena itu perlu dijelaskan secara depenitif pengertian kedua-duanya.
             Budaya tradisi besar adalah budaya yang dimiliki masyarakat dengan sistem budayanya yang sempurna. Sistem-sistem itu mengacu pada sistem universal budaya. Sedangkan Budaya tradisi kecil adalah budaya yang dimiliki masyarakat dengan sistem yang tidak sempurna. Biasanya masyarakat yang tergolong suku bangsa yang terisolasi lebih cenderung dinamakan sebagai pemilik tradisi kecil.
            Di Indonesia  budaya masyarakat yang digolongkan pada tradisi besar adalah budaya-budaya yang berkembang di pusat-pusat kerajaan pada masa lampau dan kota-kota besar pada masa modern seperti Jakarta. Banyak studi yang mengatakan bahwa kerajaan Majapahit di Jatim merupakan pusat berkembangnya budaya tradisi besar pada abad 14-15, sebelumnya dua kerajaan besar yaitu Kediri dan Singasari yang memiliki budaya tradisi besar. Di Majapahit sistem ekonomi, sosial, agama, birokrasi, dikembangkan secara institusi sehingga akhirnya budaya Majapahit dapat disebut budaya tradisi besar yang semuanya berpusat di keraton. Sedangkan budaya petani di wilayah Majapahit digolongkan pada budaya taradisi kecil, karena sistem-sistem yang dimiliki kurang/tidak sempurna, seperti sistem agama yang masih percaya pada nenek moyang.
            Budaya petani digolongkan sebagai budaya hidrolik, yang kemudian berkembang di daerah pulau Bali (sistem subak). Seperti diketahui bahwa ketika budaya majapahit mengalami keruntuhan karena munculnya budaya Islam di pantai Jawa ternyata ada sebagian orang Majapahit yang melarikan diri ke pulau Bali, dan mereka mengembangkan budaya hidrolik ini. Budaya ini mengembangkan sistem pengairan dan pertanian yang didukung dengan sistem kepercayaan terhadap nenek moyang. Itulah sebabnya petani-petani Majapahit ketika mengawali dan mengakhiri panenan selalu melakukan upacara pada dewi sri, berbagai jenis tarian dan musik diciptakan yang tujuannya untuk melindungi pertaniannya. Sistem penanggalan untuk mengerjakan tanah serta memelihara tanaman dihubungkan dengan kepercayaan pada dewi bulan. Ada sebuah buku karangan Van Setten Vandermeer (1979) yang menulis tentang sistem persawahan di Jatim abad 13-14 sertamembahas budaya Hindu dalam kontek tradisi kecil dan besar.


Geo Budaya di Indonesia (dilihat dari aspek kesejarahan)

       Geo budaya di Indonesia  dilihat dari aspek kesejarahan sangat erat pengaruhnya terhadap pembentukan budaya-budaya mikro. Budaya mikro adalah budaya yang berkembang pada space ruang dan waktu yang terbatas serta dipengaruhi oleh geografi. Dari segi kajian empiris tentang kebudayaan di Indonesia seperti yang dikejakan oleh Hildred Geertz, yang mengatakan bahwa adanya geografi di Indonesia mencerminkan perbedaan-perbedaan budaya mikro, etnis, kesuku bangsaan, yang semuanya dibentuk oleh perbedaan geografi, hal inilah yang disebut dengan geo budaya.
       Menurut Hildred, ada tiga bagian wilayah geografi yang memberikan ciri khas masing-masing budaya setempat yaitu :
1.      Budaya pantai
Yaitu jaringan sosial komunitas pantai yang mengembangkan budaya maritim dengan indikator pada perdagangannya. Menurut teori JC. Van Leur, menjelaskan bahwa perdagangan pantai di Indonesia mendorong dinamika budaya yang cepat berubah. Akibatnya, peninggalan-pennggalan budaya di daerah pantai tidak ditemukan secara lebih baik, sedangkan di daerah pedalaman peninggalan budaya banyak ditemukan. Budaya maritim ini merupakan salah satu ciri khas budaya melayu, misalnya hikayat Hang Tuah yang menceritakan budaya maritim dengan tokoh fiktif Hang Tuah. Tokoh fiktif adalah tokoh yang tidak ada dalam kenyataan sejarah dan sulit dibuktikan dengan kajian sejarah.
2.      Budaya pedalaman.
Pembagian budaya pantai dan budaya pedalaman bukan saja teori Hildred, tetapi juga teori Van Leur.  Meskipun kedua tokoh ini membagi dua budaya tersebut tetapi Van Leur lebih mendalam membagi ciri perbedaannya. Menurut Van Leur budaya pedalaman adalah budaya pertanian (budaya hidrolik). Budaya hidrolik inilah yang membedakan dengan budaya pantai yang dinamis. Budaya pedalaman sifatnya statis sehingga banyak meninggalkan penghalusan budaya. Itulah sebabnya budaya feodal yang dipengaruhi hinduisme dan budhaisme berkembang di pedesaan. Dari teori Van Leur dengan indikator pusat budaya, ternyata budaya di pedalaman lebih dapat berlangsung lama sehingga banyak ditemukan pusat-pusat budaya (keraton/istana), pusat budaya inilah banyak meninggalkan kota-kota tradisional. Misalnya kota-kota di Majapahit, Singasari, Kediri, Mataram (Jateng).
Dinamika budaya pantai disebabkan karena 2 hal:
a.      Interaksi perdagangan diantara komunitas pantai
b.      Interaksi individu-individu yang berbeda budayanya yang saling mempengaruhi secara difusi, akibatnya budaya sangat dinamik. Difusi adalah proses kontak dua masyarakat atau lebih dimana ada fihak penerima budaya. Proses penerimaan/penolakan budaya dari fihak pemberi memakan waktu yang cukup lama. Proses ini disebut proses peminjaman budaya, yang akan menentukan apakah budaya tersebut diterima atau ditolak, maka inilah yang menyebabkan kenapa budaya pantai sangat dinamik.
3.      Budaya kota.
Kebudayaan ini berkembang di wilayah kota, yang  sebenarnya bisa dimasukan pada budaya pantai dan budaya pedalaman. Oleh karena itu Van Leur membedakan dua budaya yaitu Kota pedalaman  dan  Kota pantai.  Klasifikasi yang lain dikemukakan oleh hildred Greetz yaitu  budaya pantai, budaya pedalaman, dan budaya pegunungan.

“Etos Budaya”, Kebudayaan dan Masyarakat Indonesia.

            Etos budaya  adalah karakteristik/ciri khas suatu kebudayaan yang karena dengan ciri-ciri itu dapat membedakan budaya yang satu dengan budaya yang lain. Oleh karena itu dalam studi antropologi budaya mudah dikenal etos-etos bangsa di dunia. Misalnya ada etos Amerika, Jepang, Indonesia dan etos lain yang dimilki suku-suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralisme/majemuk, oleh karena itu saat ini etos budaya kesukuan harus di arahkan dan dibina kearah sintesa Indonesia. Seni daerah, bahasa daerah, dan adat istiadat harus dikembangkan kearah budaya Nation State (NS) Indonesia. Istilah NS pada awalnya dihubungkan dengan konsef politik negara baru. Saat ini konsep NS harus menjadi payung perkembangan  seni dan budaya daerah. Bila unsur seni dan budaya menjadi pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di daerah, maka hasilnya akan menumbuhkan suatu kesadaran tentang manajemen sumber daya manusia Indonesia. Dalam kontek ini termasuk manajemen seni dan budaya Indonesia. 
            Untuk menjelaskan etos budaya Indonesia, maka diperlukan suatu komparasi perbandingan dengan etos-etos budaya lainnya.  Nation State adalah negara baru sebagai negara merdeka (setelah PD II) yang mempunyai negara bangsa. NS adalah konsef abstrak yang dimunculkan oleh sosiolog dari Amerika Serikat (AS) Clifford Geertz, untuk menjelaskan negara baru yang berhasil melakukan dekolonialisasi, yaitu proses bebasnya tanah dan rakyat jajahan yang kemudian menjadi merdeka serta berhasil mendirikan negara sebagai bangsa yang merdeka (NS).
            Ada negara-negara di Eropa Barat yang tidak pernah dijajah tetapi dapat disebut NS. Sebenarnya NS yang dimunculkan  oleh Geertz ditujukan pada negara-negara yang berhasil memproklamasikan diri sebagai negara medeka karena proses dekolonisasi. Meskipun demikian  konsef NS dapat juga digunakan untuk menjelaskan negara-negara merdeka (mis. Thailand) yang tidak pernah dijajah. Jadi NS erat denga konsef negara baru dan negara-negara yang bercorak kebangsaan. NS dalam hubungannya dengan uraian di atas erat hubungannya dengan konsef politik. Saat ini NS harus dihubungkan dengan konsef-konsef lainnya, baik langsung atau tidak. Konsef tersebut dapat menjelaskan eksistensi bangsa, misalnya NS dalam hubungannya dengan seni, budaya, ekonomi, sosial, dan unsur yang lain. Jadi membicarakan etos budaya kesukuan harus tetap pada kerangka NS Indonesia, jika tidak dalam kerangka tersebut maka yang tumbuh adalah etno etos budaya, yaitu etos budaya etnis/kesukuan yang terlepas dari ke-Indonesiaan
            Telah disinggung di atas, bahwa etos budaya Indonesia dapat dijelaskan tidak saja dari segi etnis/etno etos budaya, tetapi juga dari segi komparasi etos budaya bangsa lain. Etos budaya AS mempunyai ciri individualistik dan  kebebasan, karena erat dengan konsep kapitalisme dan liberalisme. Di AS saat ini ada dua etos budaya, yaitu:
1.      Etos budaya konservatif yang didukung oleh generasi tua, pada umumnya yang melihat Amerika ke depan secara pesimistik.
2.      Etos budaya progresif yang dipengaruhi oleh cara hidup kapitalisme dan liberalisme yang melihat Amerika Serikat secara optimistik.      
Masyarakat Jepang mempunyai etos budaya berbeda dengan AS. Meskipun bangsa Jepang dalam modernisasi mengikuti cara berpikir kapitalisme dan liberalisme, tetapi penataan budaya kedalam bangsa Jepang sangat mengutamakan tradisi. Misalnya dapat dilihat pada budaya makan. Dalam kontek ini orang jepang sangat taat kepada budaya tradisi yang dimiliki termasuk jenis makanan yang dikonsumsinya.



Perkembangan Kebudayaan Indonesia
menurut teori Ralph Linton (The Study of Man)


      Teori Ralph Linton mengenai kebudayaan salah satunya adalah teori tentang masyarakat sebagai bahan mentah kebudayaan (material of culture) mengapa demikian?. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang saling berinteraksi dan menumbuhkan perilaku budaya baik menyangkut wujud-wujudnya, normanya, dan sistemnya. Linton mengatakan bahwa kebudayaan adalah warisan sosial (social heredity). Warisan social adalah semua unsur kebudayaan yang dapat diwariskan melalui:
1.      Interaksi timbal balik antar individu, sehingga menumbuhkan prilaku budaya. Dalam interaksi ini terdapat internalisasi budaya, sosialisasi budaya yang semuanya melibatkan individu-individu.
2.      Difusi kebudayaan seperti diketahui dalam kajian budaya dijelaskan bahwa difusi adalah proses yang melibatkan dua atau lebih masyarakat dan budayanya, sehingga ada fihak pemberi dan fihak penerima unsur kebudayaan. Dari proses inilah unsur kebudayaan yang baru dapat diterima atau ditolak oleh penerimanya. Berdasarkan dua alasan di atas maka keberadaan budaya dan perkembangannya sangat tergantung pada masyarakat. Paradigma inilah yang melahirkan teori bahwa masyarakat adalah bahan mentah kebudayaan.
      Teori yang berhubungan dengan masyarakat sebagai bahan mentah kebudayaan sebenarnya berangkat dari pemikiran bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-induvidu merupakan jaring-jaring yang mengembangkan kebudayaan. Masyarakat sebagai bahan 0.mentah kebudayaan tidak bersifat fisik semata-mata, tetapi juga bersifat non fisik, seperti unsur-unsur psikologi, etika, dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan. Itulah sebabnya Linton memasukan unsur psikologi sebagai unsur dominan dalam jaring-jaring individu dan masyarakat yang kemudian menjadi unsur bahan mentah bagi kebudayaan . Oleh karena itu pengertian bahan mentah (row material) tidak seperti pengetahuan umum yang mengandung pisik semata-mata, namun yang menjadi bahan mentah di sini adalah individu dan masyarakat sehingga unsur psikologi termasuk di dalamnya.
      Ada tiga unsur bahan mentah yang dimiliki masyarakat bagi budaya, yaitu jaring-jaring masayarakat, psikologi, dan intelektualisme.  Ketiga hal itulah yang menjadi eksistensi budaya dalam perkembangannya. Wujud budaya yang berupa ide, norma, dan material, tumbuh dari individu dalam masyarakat. Di Indonesia dengan ciri masyarakat yang majemuk maka bahan mentah kebudayaan akan berbeda-beda. Bahan mentah masyarakat Jawa berbeda dengan bahan mentah masyarakat Bali. Oleh karena itu kebudayaan Indonesia adalah konsep ideal, artinya satu konsep berupa gagasan/ide yang bersumber dari berbagai bahan mentah kebudayaan. Kebudayaan Indonesia ada karena Nation State Indonesia. 

Dikotomi Perkembangan Kebudayaan Indonesia dan pembangunan

Dikotomi kebudayaan di Indonesia menyulitkan dalam pembangunan, konflik kebudayaan lebih sulit memecahkan dan mecari jalan keluar dibandingkan dengankonflik ekonomidan politik. Contoh yang menarik misalnya pada beberapa tahun yang lalu di NTT ada peristiwa konflik agama dan kebudayaan dengan kasus yang sama tidak pernahmenimbulkan konflik di Jawa. Kasus itu adalah ketika di NTT ada misa Katholik dimana seorang pastor memberikan hosti yaitu sesobek roti yang suci dan dipegang oleh seorang pendeta dan dimasukan kedalam mulut umatnya di gereja. Kasus di NTT itu ada seorang umat yang menerimaa dengan tangan. Pada hal di Jawa tahun 1970-an pemberian hosti apat diterima dengan tangan kanan, yang sebelumnya dengan mulutnya. Akibat peristiwa itu menimbulkan kemarahan umat yang lain, sehingga suku bangsa yang menjadi induk   dari umat nasrani yang menerima hosti dengan tanganitu kampungya dibakar habis. Ini membuktikan bahwa dalam budaya nasrani diIndonesia terdapat adanya perbedaan tradisi. Dengan kasus seperti inisebenarnya tidak perlu menimbulkan konflik umat nasrani itu sendiri.
            Permasalahan perkembangan kebudayaan di Indonesia adalah permasalah dikotomis seperti (1) budaya jawa vs luar jawa, (2) budaya Kota vs budaya desa (3) budaya pribumi vs budaya non pribumi, (4) budaya birokrasi pusat VS budaya birokrasi daerah.(seperti terjadinya permesta).
            Diotomi kebidayaan di indonesia dimulai dari pengaruh-pengaruh budaya luar yang tidak seimbang. Masyarakat indoesia adalah masyarakat yang pluralitas sehingga ketidakseimbangan itu memudahka konflik masyarakat yang majemuk, padahal pembangunan selalu dipusatkan di jawa. Ketika orang eropa datang ke Indonesia pembangunan ekonominya dipusatkan di jawa hasilnya dibawa ke eropa. Tidak tersentuhnya kegiatan ekonomi di luar jawa secara baik mengakibatkan terjadinya ketertinggalan perkembangan bagi masyarakatdi luar jawa. Misalnya yang masyarakat terjadi pada masyarakat di Irian Jaya. Kebudayaan irian jaya yang dalam kajian antropologi disebutsebagai kebudayaan papua mempunyai bahasa lokal yang beragam (puluhan bahasa lokal etnis).sehingga dalam masyarakat papua tecermin keragaman suatu etnis padahal yang dibutuhkan Indonesia adalah persatuan dan kesatuan.
sesuai dengan budaya reformasi yang bergulir dengan unsur-unsurnya demokrasi, keterbukaan, tertib hukum, tertib politik, tertib sosial ekonomimaka persatuan dan kesatuan indonesia  harus mengembangkan menejemen pemahaman yang baik dengan pluralitas. Pada masa orba kebudayaan indonesia lebih ditekankan pada kesatuan dan pesatuan tanpa menghiraukan  kemajemukan dalam menejemen, akibatnya ialah terjdai konflik budaya yang berkepanjangan selama reformasi digulirkan.
Contoh yang menarik ialah konflik budaya pribumu dan nonpribumi  sebenarnya penilaian ppribumi dan nonppribumu sudah dimulai pada masa kolonial belanda, pada maa itu sudah ada pembagian sosial budaya yaitu: (1) masyarakat an budaya eropa, (2) masyarakat dan budaya Timur asing (cina, arab, India) , (3) masyarakat dan budaya pribumi. Tiga pembagian ini sudah mewarnai statistik sosial politik pemerintah kolonial yang berkembang saat ini. Sebagai tolok ukur pengaruh pemerintah kolonial di indonesiaadalahdengan adanya materiunang-undang yang ada diindonesia yang bayak menyerap dari pemerintah kolonial terutama yang menyangkut UU Pidana.
Sebuah kajian yang membahas persekutuan aneh di Jakarta yaitu  suatu organisasi yang mengatur perkawinan laki-laki eropa dengan wanita pribumi atau timur asing, jika ada persoalan yang meyangkut tentang keluarga maka aturan yang berhubungan dengan adat masing-masing menjadi pedoman untuk memecahkan masalah. Sedangkan orangeropa dikenakan hukum eropa. Ini berarti mencerminkan adanya dikotomi kebudayaan eropa, pribumi dan timur asing.
            Perkembangan kebudayaan di Indonesia dari segi dikotomi ini memang kurang menguntungkan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan budaya bangsa. Perbedaan yang sangat menonjol dari masyarakat Irian Jata dibandingkan dengan masyarakat jawa merupakan permasalahan pembangunan di Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.            















































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar