MEDIA
GLOBAL DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
By: Nandi Saefurrohman
Pendahuluan
Perkembangan kebudayaan manusia yang cukup cepat terutama
disebabkan oleh kemampuan semua masyarakat untuk meminjam unsur-unsur dari
kebudayaan-kebudayaan lainnya dan menginkoroporasikannya di dalam kebudayaannya
sendiri. Selain itu kebudayaan manusia yang berkembang salah satu cirinya
ditandai dengan hadirnya perangkat-perangkat (instrumen) canggih untuk
mempermudah akselerasi komunikasi dan informasi. Kelanjutannya
penemuan-penemuan perangkat canggih tersebut terkait dengan bebagai efek
samping yang ditimbulkan, apakah dampaknya menguntungkan atau merugikan,
tergantung tujuan dan strategi apa yang di terapkan oleh para inventors.
Sesuatu yang bersifat universal dalam hal ini bahwa
kepesatan (teknologi) dalam kebudayaan manusia terutama berkat penemuan dan
perkembangan alat-alat yang dapat mempermudah dan mempercepat komunikasi,
sebagai strategi yang dilakukan para
inventors untuk mencari keuntungan
ekonomis (Ralp Linton: 1984: 255).
Dalam hal ini apakah tedapat hubungan antara perkembangan kebudayaan
(teknologi canggih) tersebut dengan persoalan-persoalan yang dilematis dalam
wacana dan situasi global culturee.
Dalam tulisan ini akan mencoba sekilas mengupas tentang persoalan hegemoni
media global dalam persinggungannya dengan dimensi kehidupan kita saat ini.
Media Global: “Imperialisme Kultural”
Media global dalam pergunjingan kebudayaan, selalu
bersumber dari persoalan mengenai
situasi dan kondisi dunia saat ini. Penempatan serta fungsi dari perangkat
teknologi yang terkait secara langsung dengan kemajuan sistem dan
pengembangan teknologi informasi dan
komunikasi, menjadi tolok ukur kebangkitan media-media elektronik untuk
menjelajahi dunia. Maka kita akan melihat sebuah hasil yang menakjubkan dari
terobosan ini. Kebudayaan dunia bukan lagi sebagai sebuah dimensi dari ranah “budaya manusia” yang maha
luas yang terdapat dalam lingkaran bumi, tetapi
kebudayaan dunia saat ini sudah
menjadi sebuah wilayah yang amat sempit, wilayah yang berada dalam
genggaman teknologi.
Dalam zaman modern atau pada abad teknologi canggih seperti
sekarang ini penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang timbul di salah satu tempat
di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan seringkali tanpa kontak
yang nyata antara individu-individu. Ini disebabkan karena adanya alat-alat
penyiaran yang sangat efektif, seperti surat kabar, majalah, buku, radio, film
dan televisi (Koentjaraningrat, 1985:246). Ilmu dan teknologi makin lama
makin berkembang lebih cepat, dan manusia abad ke 20-21 ini dihadapkan pada
suatu masalah baru akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi itu. Yang menjadi masalah bukanlah pengembangan
ilmu dan teknologinya, akan tetapi yang menjadi persoalan ialah pada aspek
penggunaan dari hasil ilmu itu sendiri.
Untuk apakah ilmu dan teknologi itu digunakan, serta dasar dan ide apakah yang
dipakai. Berbagai kecurigaan dan pertentangan yang fundamental antara
bangsa-bangsa di dunia ini, menyebabkan bahwa penggunaan ilmu dan hasil
kemajuan teknologi menjadi persoalan tersendiri bagi umat manusia.
Di dalam menerima atau menolak sebuah pengaruh kebudayaan
baru atau unsur-unsur dari kebudayaan itu,
biasanya masyarakat memakai prinsip tentang nilai kegunaan, artinya apa
yang penting baginya tentu aka mendapatkan respon dan mereka menyikapinya dengan sambutan yang
baik. Diterima atau tidaknya pengaruh
yang dirasakan baru tersebut tergantung dari sistem nilai-nilai masyarakat yang
memberi. Pada masa teknologi super
modern seperti sekarang ini, di mana umat manusia di seluruh dunia sedang
mengalami perubahan-perubahan besar yang disebabkan oleh faktor-faktor kemajuan
teknologi dan faktor kebudayaan, dimana nilai-nilai yang sudah lama
digantikan dengan nilai-nilai baru yang terus dan sedang bergulir. Maka hal
demikian akan menjadikan timbulnya ketegangan-ketegangan dan
pergolakan-pergolakan yang terjadi pada masyarakat.
Pada saat sekarang power
shift atau pergeseran kekuasaan sedang terjadi di mana-mana. Kalau dulu IBM
menguasai industri komputer, sekarang ada ratusan merk lain yang mempnyai
kesempatan untuk bersaing dan berkembang hidup. Kalau pada awalnya cuma ada 3
(tiga) Stasiun televisi yang mendominasi siaran di Amerika (CBS, ABC dan NBC),
kini ada sekitar 2300 Stasiun yang tersebar dari Barat sampai ke Timur
Darat. Begitu juga yang terjadi dengan
Indonesia, RRI dan TVRI beberapa dekade kebelakang keduanya telah memonopoli
“dunia” udara Indonesia dengan semboyannya yang terkenal “Sekali di Udara Tetap
di Udara”, “menjalin persatuan dan kesatuan”. Sekarang situasinya sudah
berubah. Kurang lebih ada sekitar 600 stasiun radio Non RRI yang setiap hari
memanjakan telinga pendengarnya. Begitu juga
sejak kemunculan stasiun televisi swasta RCTI pada tahun 1989 membawa angin
segar dan kesempatan untuk mendobrak monopoli yang sejak 1962 dipegang oleh
televisi pemerintah itu.
Untuk mengejar aktualitas dan commercial time,
siaran televisi di berbagai negara yang dulunya hanya ditayangkan pada malam
hari, sekarang sudah mengarah kepada pelayanan nonstop 24 jam (siang dan malam)
seperti yang dilakukan oleh staiun-stasiun besar penyiaran televisi semisal
CNN, BBC, M-TV, Star TV, HBO, CFI, dan ESPN. Tak ketinggalan pula stasiun
penyiaran televisi di Indonesia seperti Indosiar, Metro TV, RCTI, SCTV, Global TV hampir tidak
ada waktu kosong untuk tidak mengisi ruang benng layar kaca, sementara TPI,
AN-Teve, TV7, Lativi, dan TVRI sudah siaran antara 8 sampai 20 jam per
hari. Jika dipukul rata bahwa stasiun
televisi di Indonesia membutuhkan sekitar 100 jam bahan siaran atau 36.000 jam
dalam setahun, sementara kemampuan produksi dari Rumah Produksi dan stasiun
televisi itu sendiri baru sekitar 25 sampai 40% dari kebutuhan. Asumsi yang
berkembnag mengatakan bahwa terlalu dominannya tayangan import di televisi kita
akan menciptakan ketidak seimbangan informasi dan perkembangan pola pikir
masyarakat Indonesia yang majemuk, sehingga hal ini dapat menimbulkan proses
penyerapan budaya westernisasi yang
dilematis mendominasi ruang-ruang
pikiran masyarakat kita.
Berbicara tentang televisi berarti harus membicarakan tiga
hal pokok tentang yang terlibat di dalamnya yaitu: yang menyajkannya (stasun
televisi), yang disajikannya (materi tayangan atau siaran) dan yang menikmati
sajian itu. (masyarakat luas). Tidak dipungkiri lagi bahwa saat ini hampir
seluruh stasiun televisi di Indonesia amat dominan dalam menayangkan menu-menu
tayangannya yang berasal dari produk-produk Amerika. Gejala seperti ini bukan
saja di Indonesia tapi sudah menjadi penomena dunia. Menurut Asian
Journal of Communication bahwa
hampir mencapai 80% dari acara televisi di Amerika Latin dipasok dari
Hollywood, sementara di televisi Eropa barat sekitar 40%, Negara-negara Arab
mendekati angka 35%, Afrika 47%,
sementara Kanada dan Indonesia mendekati angka 70%. Hal inilah yang kemudian
dikatakan sebagai Cultural Imperialism atau imperialisme “modern” dalam
kebudayaan.
Sementara itu juga persoalan tentang teknologi multi media
komputer dengan jaringan internetnya yang semakin inovatif dan menggejala
sebagai produk konsumtif masyarakat dunia karena sifat layanan komersialnya
yang murah, merupakan perangkat teknologi yang memiliki kemungkinan
menyebarluaskan informasi, dan menciptakan komunikasi sedemikaian cepat dan
luas. Itulah sebabnya medium ini disebut information super highway. Kehadiran
teknologi komunikasi internet ini
menjanjikan sebuah realitas penjelajahan kehidupan praktis dari wujud atau bentuk sebuah dunia maya.
Situasi ini terkait
dengan respon masyarakat terhadap fasilitas yang mendorong kemungkinkan-kemungkinan
untuk mendapatkan informasi, dan produk budaya global yang memiliki fungsi
untuk memberikan kesenangan (satisfaction), pengetahuan, dan pendistribusian
ide-ide individual maupun kelompok. Berbagai media elektronik dengan
mengandalkan perangkat teknologinya yang serba canggih begitu menjadi bagian
terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Muatan dari berbagai media ini
semakin jauh dari unsur lokalitas dan komunitas dari konsumen.
Banyak faktor yang membuat keberadaan televisi dan sarana
multi media yang lain menjadi media
komunikasi dan informasi yang sangat ampuh untuk menyebarkan segala apapun yang
menjadi model-model perkembangan dunia. Hal ini dikarenakan bahwa dunia manusia
bukanlah sebuah dunia yang selesai tetapi lebih pada persoalan pembentukan, dan
penciptaan baru, alhasil dunia manusia merupakan dunia yang akan “menjadi”
juga. Dunia dalam manusia berubah dan berkembang menjadi semakin kaya dan
kompleks seiring dengan perubahan dan perkembangan interaksinya dengan
lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosialnya (Cassirer,
1990:144).
Sejak lama Hollywood yang prosentase
kepemilikanya lebih besar dikuasai oleh orang-orang Yahudi sudah menguasai
pasar entertainmen dan informasi dunia. Jutaan film produksi Hollywood merajai
bioskop-bioskop di seluruh dunia, sementara jutaan episode serial televisinya
jadi kegemaran orang banyak. Pendapatan nasional Amerika Serikat, terbesarnya
didapatkan dari dunia informasi dan intellectual right dan bukan dari
manufaktur.
Amerika sudah berhasil
mengarahkan opini publik ke arah yang lebih banyak mendatangkan keuntungan di
berbagai aspek menurut ideologi dan cara pandang kontruksi budaya
“ke-Amerika-annya”. Dia membuai masyarakat dunia dengan cerita-cerita tentang
kehebatan Amerika dan menciptakan berbagai hero mulai dari Superman hingga
Rambo. Dia memiliki tokoh-tokoh macho pujaan dunia seperti Arnold
Schwarzenegger dan Silverster Stallone yang bisa melakukan apa saja tanpa
batas. Bahkan lewat film Time Cop,
sebuah sciene fiction yang diciptakan Claude van Damme yang bisa kembali
ke masa lalunya lewat sarana time machine. Tayangan Gost dari Demi Moore
membuat jutaan perempuan di seluruh dunia memotong rambutnya, sementara film
Speed telah menjangkitkan semangat kebut-kebutan dan rambut pendek gaya Keanu
Reeves.
Kehebatan produk-produk Amerika memang pada kemasannya.
Resep buatan Hollywood disusun dengan konsep Heterogenitas sehingga bisa
pas dengan pasar global dan memenuhi selera mayoritas penonton dunia. Pengakuan
dunia terhadap ketangkasan Amerika tidak perlu diragukan lagi, Amerika sangat
cekatan dalam memanfaatkan screen power dari media komunikasi dan
informasi dibandingkan bangsa manapun di dunia.
Media Global: hegemoni kebudayaan yang menciptakan ”Desa Dunia”
Ketika terbetik berita tentang kematian Lady Diana karena
kecelakaan di La Place d’alma Paris, dalam waktu yang singkat seluruh dunia
telah mengetahuinya lewat radio dan televisi. Berkat cara dan gencarnya
jaringan televisi internasional yang mengemas berita tersebut maka terbentuklah
opini duka massal di seluruh dunia. Berita tersebut begitu cepat merebak,
bahkan penjual asongan di terminal yang tidak pernah sekalipun bersangkut paut
dengan urusan selebriti internasionalpun tiba-tiba bercerita dengan
keharuannya, penuh rasa simpati pada Sang Putri. Padahal apakah artinya Putri
yang jauh dan tidak ada sangkut pautnya dengan dia dan sebaliknya dia dengan
Sang Putri. Namun, kehebatan teknologi media citra rupanya mampu menembus batas
jarak, waktu, bangsa bahkan kebudayaannya. Tiba-tiba penjual asongan tersebut
merasa bahwa Sang Putri mejadi bagian dari kehidupannya. Batas negara, bangsa
dan kebudayaan telah hilang oleh tumbuhnya opini duka massal, berkat teknologi
dalam media informasi. Kalau dahulu perang dapat dilokalisir di suatu wilayah,
kini perang bisa “terjadi” di setiap rumah. Rasanya begitu sulit bagi suatu
negara dewasa ini untuk tidak melibatkan masyarakat dunia terhadap peristiwa
penting yang terjadi di negaranya.
Perubahan budaya lisan yang langsung meloncat pada pada
budaya media elektronik dengan sendirinya membawa implikasi yang luas dalam
kehidupan masyarakat. Dalam tahapan yang normal, budaya media bergerak dari
budaya lisan ke budaya tulisan / cetakan dan kemudian meloncat ke budaya media
elektronik yang bagi sebagaian besar masyarakat perkotaan disebut sebagai
wahana dalam galaksi elektronik yang membawa kepada perubahan yang sangat besar
(MacLuhan:1964).
Tak bisa dipungkiri lagi, bahwa perubahan dunia dewasa ini
telah banyak disebabkan oleh adanya semacam loncatan dalam kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Dunia menjadi terasa sempit, tak ada berita dari
salah satu sudut dunia yang sekarang yang tak bisa ditangkap ataupun diketahui oleh masyarakat
dari berbagai penjuru dunia. Suatu
peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan melibatkan masyarakat dunia secara
emosional. Masyarakat dengan serentak mampu memberikan tafsiran-tafsiran dan
analisis terhadap apa yang diketahui, didengar dan dilihatnya dalam media
global seperti radio dan televisi. Dunia sudah menjadi satu. Bahkan
Marshal McLuhan jauh-jauh hari sudah
memperkirakan bahwa nantinya dunia ini akan menjadi sebuah desa raksasa (desa
dunia), global village. Sebagaimana situasi pada umumnya di desa,
bahwa suatu peristiwa yang terjadi dalam sebuah keluarga, akan menjadi concern
dari masyarakat di sekeliling desa tersebut.
Seandainya “desa dunia” itu memang menjadi wacana
yang memberi kenyataan, ada beberapa persoalan yang pasti akan dihadapi oleh
manusia, apakah setiap manusia yang hidup dalam sebuah kebudayaan mampu dalam
mengakses setiap kemajuan, dan apakah tingkat kemajuan tersebut dapat
meningkatkan kualitas hidupnya, karena mengakses bukan hanya sekedar menerima
begitu saja, tetapi juga dalam hal menggunakan dan memanfaatkan sesuai dengan
kebutuhannya, apakah manusia atau masyarakat kebanyakan mampu menyerapnya mengingat tidak setiap orang mempunyai
tingkat pendidikan yang memadai. Dan kalaupun pendidikannyapun memadai belum
tentu dapat memperoleh kesempatan untuk memiliki perangkat teknologi dikarenakan faktor biaya, hubungan atau kalah
dalam persaingan.
Teknologi dan berbagai kemungkinan
kemajuan sepenuhnya dikontrol oleh kuasa uang atau modal, yang pasti tidak
dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Kesempatan untuk berkembang tidak lagi
dimungkinkan oleh bakat dan kemampuan, melainkan oleh uang. Maka cukuplah,
apabila kemudian masyarakat hanya berkesempatan untuk “menerima”
saja apa yang sudah dipilihkan oleh kuasa modal, sambil tetap berdiri di
pinggir kemajuan. Teknologi komunikasi
modern ternyata menjauhkan hubungan antara pribadi dan menghambat proses
kebudayaan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Arus modernisasi di samping mempunyai dampak positif bagi
perkambangan peradaban dan perkembangan manusia, dimana teknologi sebagai
sebuah pilar modernisasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap sendi-sendi
kehidupan manusia di dunia, menghadirkan siklus sistem-sistem lebih menjadi
mekanis, otomatis, instan, dan pragmatis. Arah kebudayaan, nyaris tidak pernah
bisa dikonsepsikan dalam satu gerak yang paradigmatik sekalipun. Namun melalui
klasifikasi yang spesifik, arah kebudayaan tersebut dapat dijelaskan melalui
berbagai kecenderungan yang terjadi. Di samping secara filosofis kebudayaan
sangat erat dengan aktivitas sosial masyarakat, serta adanya kontak sosial dari
komunikasi global dengan teknologi sebagai penyangganya, telah membangun
dimensi integrasi budaya secara baru dan terus menerus melakukan pembaharuan.
Ternyata apa yang
dipikirkan dan diandaikan oleh McLuhan, bahwa dunia akan menjadi desa dunia
tidak sepenuhnya tercapai. Teknologi memiliki kecenderungan menciptakan
alienasi atau keterasingan, sikap individual, dan cenderung merusak kebudayaan
yang hakiki, sehingga kebudayaan desa yang memiliki kekentalan nilai manusiawi
seperti perhatian, kebersamaan, saling menolong, tidak akan tercipta dalam
lingkungan manusia atau masyarakat. Di tangan kuasa modal, teknologi
dipergunakan untuk menggalang mobilitas massa menyelaraskan selera, gaya hidup
dan kepentingan pribadi.
Kekuatan kebudayaan barat sebetulnya terletak
pada simbiosis mutualisme teknologi dan kapitalis. Dengan menopang kekuatan
sistem kapitalis yang bergerak dari Barat, teknologi menyebar ke segala
penjuru. Di sisi lain sistem kapitalis juga dengan cepat memasuki seluruh
dimensi kehidupan karena ditopang oleh kecanggihan teknologi. Dengan demikian
teknologi dan sistem kapitalis menjadi mesin yang yang dasyat dari paradigma
kebudayaan modern yang mengacu pada “penyeragaman dan pembaratan”. Maka
kebudayaan Barat tidak meyakini
pluralisme budaya dan lebih
mengagungkan universalisme budaya. Dengan kekuatan jaringan teknologinya
(terutama teknologi informasi dan komunikasi) maka budaya Barat memegang
hegemoni kebudayaan dunia menuju pada suatu “Desa Dunia” sebagai mana
yang disinyalirkan McLuhan.
Media Global: konsep produksi dan distribusi media
hiburan dalam situasi budaya
massa
Zaman informasi atau masyarakat informasi adalah suatu istilah
yang menciptakan fantasi bahwa kita benar-benar terlibat dan menarik manfaat
dari banjir informasi sedunia. Istilah itu seakan-akan netral, tapi
sesungguhnya ia mengandung konsep terencana bagaimana memanfaatkan sumber daya
alam dan manusia secara lebih halus, lebih sopan. Ia menggantikan sebuah kata
yang sudah lama dibenci: eksploitasi (N. Dewanto: 1996). Menceburkan diri pada zaman informasi adalah
menyadari limpahan informasi sebagai tekanan yang siap membongkar hierarki lama
tentang yang besar dan yang sepele, yang tinggi dan yang rendah, yang pusat dan
yang pinggiran, yang modern dan yang tradisional, yang baru dan yang lama.
Sepertinya gelombang dahsyat teknologi
komunikasi dan informasi ini menghantarkan manusia pada beragam alternatif
untuk memilih dan menyeleksi jenis-jenis informasi, pengetahuan sampai pada setiap segala sesuatu yang
dipandang bermanfaat dan menjanjikan
baik secara material maupun psikologis. Tekanan dan dorongan-dorongan
dalam menemukan preferensi objek-objek yang menyenangkan dan memuaskan
(satisfaksi) sudah menjadi hal yang terus dipahami sebagai reaksi terhadap adanya sistem,
strategi, dan teknologi nformasi-komunikasi yang dikembangkan oleh
negara-negara kapitalis, negara-negara yang menjadikan unsur teknologi sebagai
alat penguasaan terhadap peradaban dan kebudayaan dunia. Selera dunia
menjadi tolak ukur kekuasaannya, globalisasi menjadi isue tujuannya,
penemuan-penemuan dan ekperimentasi terhadap perangkat canggih sebagai
umpannya, maka jadilah manusia sebagai individu-individu dalam cengkraman consumerisme.
Gambaran tentang keberadaan produk
budaya massa di tengah masyarakat, kiranya dapat bertolak dari kerangka
pemikiran tentang kebudayaan yang digunakan oleh Rosengren yang menyebutkan
bahwa budaya merupakan atau menjadi acuan dalam berbagai dimensi kehidupan
sosial. Acuannya dijabarkan dalam 4 orientasi, yaitu orientasi normatif,
orientasi instrumental, orientasi kognitif, dan orientasi ekspresif. Dari
masing-masing orientasi ini kehidupan sosial dapat dikelompokan sebagai domain polity
(dinamika masyarakat negara), ekonomi, teknologi, sains, dunia akademik (scholarship),
sastra (litterature), seni, dan agama. Domain polity dan agama pada
dasarnya didorong oleh orientasi normatif. Sementara orientasi instrumental
menjadi pendorong bagi domain ekonomi dan teknologi. Domain sains dan dunia
akademik digerakan oleh orientasi kognitif, dan orientasi ekspresif menjadi
acuan bagi domain sastra dan seni. Di sini kebudayaan sebagai sumber nilai
menjadikan setiap domain sosial digerakan atas azas keseimbangan dalam
tarik-menarik antara satu domain dengan lainnya.
Kebudayaan dalam arti yang sempit
biasanya dimaksudkan sebagai produk yang diproduksi dan dikonsumsi dalam
orentasi ekspresif. Produk semacam inilah yang dikenal dengan sebutan media
hiburan (rekreatif). Dengan kata lain bahwa media hiburan menggunakan domain
seni dan sastra sebagai materi untuk digunakan manusia atau masyarakat dalam
orientasi ekspresif, seperti ketika melihat
barang-barang atau karya seni yang dipajang.
Mungkin fungsi ekpresif yang terkandung dalam sebuah karya seni tersebut
bukan pada barang yang digunakannya atau pada wujud dan bentuknya, tetapi
sejauh mana bisa diamati dan dinikmati secra estetis.
Keberadaan media global di tengah tengah kehidupan manusia yang memberi
aspek dan respek dalam kebangkitan produk-produk media “hiburan” massa
mengarahkan pada pilihan untuk mendapatkan muatan yang dapat memberi kepuasan satifaction yang
mencakup kualitas emosi seperti pengalaman imajinatif dan exsistensi
ekspresitas. Proses dari motivasi media global sesungguhnya tertuju pada
pembentukan masyarakat dunia yang terlegitimasi oleh nilai-nilai materialistis,
hedonistis, scientis, dan unsur-unsur
budaya yang mampu mengubah atau
memperkuat selera masyarakat internasional
seperti “seni untuk hiburan, propaganda, komersial, politik, dan
sebagainya”.
Selain dilihat dari perspektif seperti
tersebut diatas, keberadaan media global dapat dibicarakan dengan melihat
kedudukan pelaku yaitu konsumen dan produsen.
Pemilahan antara konsumen dan produsen pada dasarnya bermula dari
karakteristik sosial yang menjadi latar belakang kehidupan sosial. Secara sederhana dikenal dikotomis kehidupan
tradisonal dan modern yang masing-masing membentuk peran dan kedudukan individu
di dalamnya.
Pada wilayah (setting) budaya
masyarakat tradisional, persoalan tentang konsumen dan produsen ini tidak
berada pada posisi yang tajam dan mencolok. Berbagai kebutuhan dapat disediakan
sendiri, atau setidaknya posisi sebagai produsen dan konsumen dapat digantikan
satu dengan yang lainnya. Artinya di dalam lingkungan masyarakat tradisional,
kedudukan setiap orang tidak dipermasalahkan dalam bingkai domain pemberi dan penerima. Begitu pula dalam hal
penyediaan media hiburan dalam masyarakat tradisional dapat dilakukan sendiri
dan dikonsumsi bersama-sama. Tetapai
dalam masyarakat modern yang dicirikan dengan spesialisasi dan profesionalisme,
kehidupan modern bergerak dalam dinamika industrial. Konsekuensinya dalam
penyelenggaraan media rekreasi atau hiburanpun juga akan menggunakan
kaidah-kaidah industrial.
Jika kerangka
pemikiran tersebut di atas diterapkan khususnya terhadap masyarakat kota,
setidaknya akan terlihat bahwa keberadaan media hiburan sudah menggunakan
kaidah-kaidah modern dan mengacu pada sistem ekonomi global yang lebih
mementingkan produksi dan distribusi industrial. Di satu sisi produsen-produsen
budaya yang tidak menggunakan kaidah industrial ini tidak akan mendapatkan
tempat, sedangkan pada sisi yang lain penikmat mediapun semakin berada pada
koridor selera yang konsumtif.
Tantangan ini pada dasarnya bukan hanya pada media hiburan
semata, karena secara menyeluruh sistem
produksi dan distribusi informasi dan komunikasi konvensional yang terjadi pada
abad 19 dan separoh abad ke 20 semakin hilang, digantikan oleh sistem pencaran
teknologi elektronik. Namun sistem komunikasi yang bertumpu kepada teknologi
ini menjadi faktor yang luar biasa dalam
perkembangan produk budaya massa yang didistribuskan secara fisik atau dipancarkan
dalam signal elektronik (narrowcasting atau broadcasting), atau
melalui koridor dalam jagat maya (internet), atau melalui kombinasi
ketiganya yaitu yang disebut dengan multimedia.
Penutup
Pada bagian akhir tulisan ini bukan untuk
memberikan kesimpulan atau pandangan sepihak seputar pembahasan ini, namun
setidak-tidaknya dapat memberikan sedikit penjelasan mengenai apa yang dikatakan oleh sebagian
orang tentang kehadiran media global dalam ranah kebudayaan manusia.
Media global yang kita maksud adalah adanya sebuah zaman
dimana tingkat kecerdasan manusia dalam persoalan teknologi komunikasi dan
informasi tengah memenuhi kapasitasnya dalam domain polity, ekonomi, sains,
scholarship, sastra, seni dan agama. Media global juga dianggap sebagai suatu
perangkat untuk menjadikan sebuah dunia manusia dalam satu kesatuan nilai-nilai
yang tumbuh dalam satu atap dengan apa yang disebuat “desa dunia”.
Di satu sisi, dalam media global
dengan globalisasi sebagai salah satu isue yang dikembangkannya, ditandai
dengan proses pasokan produk-produk budaya dan media hiburan (rekreasi) yang
membentuk pola konsumsi umat manusia (masyarakat) yang bersifat global. Selain
itu ditandai juga dengan hadirnya pola-pola atau bentuk-bentuk tindakan manusia
(masyarakat) yang seragam, akibat dari penggunaan teknologi yang seragam pula.
Sedangkan di sisi yang lain, nampak adanya tanda-tanda bahwa proses globalisasi
ini tidak dapat menjadikan umat manusia
sebagai komunitas dunia, dikarenakan bahwa resistensi sosial masyarakat
berlangsung dengan mencari akar ke dalam tradisi maupun sejarah yang memiliki
sifat lokalitas.
Dalam realitas kebudayaan dunia (global culture), produk
budaya “hiburan” massa adalah suatu
unsur yang dominan melingkupi ruang-ruang sosial masyarakat dunia saat ini.
Media-media yang berpangkal pada tujuan
pemberi satisfaksi berlomba mengarahkan produksinya pada gaya/corak ekonomi
global dengan sistem distribusi industrial.
KEPUSTAKAAN
Carey, James W., 1989. Communication as Culture. Boston: Unwin
Hyman.
Cassirer, Ernst, 1990. Manusia dan
kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia. Jakarta:
Gramedia.
Dewanto, Nirwan, 1996. Senjakala
Kebudayaan. Yogyakarta: YBB
Korten, David C, 2002. Menuju Abad
ke-21. Jakata: Yayasan Obor
Koentjaraningrat, 1985. Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
----------------, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Linton, Ralph, 1936. The Study of Man, D. Appleton Century Company, New York,
London
MacLuhan,Herbert Marshal,1964.Understanding Media. New York: McGraw Hill.
Storey, J., 2003. Teori Budaya dan
Budaya Pop. ( An Introductory Guide to Cultural Theori and popular
Culture, 1993).
Yogyakarta: Qalam
Walters, J. Donald, 1988. Crises in
Modern Thought. Nevada
City, California: Crystal Clarity.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar