Sabtu, 24 Oktober 2015

Arpop

MEDIA GLOBAL DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
By: Nandi Saefurrohman
Pendahuluan
Perkembangan kebudayaan manusia yang cukup cepat terutama disebabkan oleh kemampuan semua masyarakat untuk meminjam unsur-unsur dari kebudayaan-kebudayaan lainnya dan menginkoroporasikannya di dalam kebudayaannya sendiri. Selain itu kebudayaan manusia yang berkembang salah satu cirinya ditandai dengan hadirnya perangkat-perangkat (instrumen) canggih untuk mempermudah akselerasi komunikasi dan informasi. Kelanjutannya penemuan-penemuan perangkat canggih tersebut terkait dengan bebagai efek samping yang ditimbulkan, apakah dampaknya menguntungkan atau merugikan, tergantung tujuan dan strategi apa yang di terapkan oleh para inventors.
Sesuatu yang bersifat universal dalam hal ini bahwa kepesatan (teknologi) dalam kebudayaan manusia terutama berkat penemuan dan perkembangan alat-alat yang dapat mempermudah dan mempercepat komunikasi, sebagai strategi  yang dilakukan para inventors  untuk mencari keuntungan ekonomis (Ralp Linton: 1984: 255).  Dalam hal ini apakah tedapat hubungan antara perkembangan kebudayaan (teknologi canggih) tersebut dengan persoalan-persoalan yang dilematis dalam wacana dan situasi global  culturee. Dalam tulisan ini akan mencoba sekilas mengupas tentang persoalan hegemoni media global dalam persinggungannya dengan dimensi kehidupan kita saat ini. 
Media Global:   “Imperialisme  Kultural”
Media global dalam pergunjingan kebudayaan, selalu bersumber dari   persoalan mengenai situasi dan kondisi dunia saat ini. Penempatan serta fungsi dari perangkat teknologi yang terkait secara langsung dengan kemajuan sistem dan pengembangan  teknologi informasi dan komunikasi, menjadi tolok ukur kebangkitan media-media elektronik untuk menjelajahi dunia. Maka kita akan melihat sebuah hasil yang menakjubkan dari terobosan ini. Kebudayaan dunia bukan lagi sebagai sebuah  dimensi dari ranah “budaya manusia” yang maha luas yang terdapat dalam lingkaran bumi, tetapi  kebudayaan dunia saat ini sudah  menjadi sebuah wilayah yang amat sempit, wilayah yang berada dalam genggaman teknologi.
Dalam zaman modern atau pada abad teknologi canggih seperti sekarang ini penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang timbul di salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan seringkali tanpa kontak yang nyata antara individu-individu. Ini disebabkan karena adanya alat-alat penyiaran yang sangat efektif, seperti surat kabar, majalah, buku, radio, film dan televisi (Koentjaraningrat, 1985:246). Ilmu dan teknologi makin lama makin berkembang lebih cepat, dan manusia abad ke 20-21 ini dihadapkan pada suatu masalah baru akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi itu.  Yang menjadi masalah bukanlah pengembangan ilmu dan teknologinya, akan tetapi yang menjadi persoalan ialah pada aspek penggunaan dari hasil ilmu  itu sendiri. Untuk apakah ilmu dan teknologi itu digunakan, serta dasar dan ide apakah yang dipakai. Berbagai kecurigaan dan pertentangan yang fundamental antara bangsa-bangsa di dunia ini, menyebabkan bahwa penggunaan ilmu dan hasil kemajuan teknologi menjadi persoalan tersendiri bagi umat manusia.     
Di dalam menerima atau menolak sebuah pengaruh kebudayaan baru atau unsur-unsur dari kebudayaan itu,  biasanya masyarakat memakai prinsip tentang nilai kegunaan, artinya apa yang penting baginya tentu aka mendapatkan respon  dan mereka menyikapinya dengan sambutan yang baik.  Diterima atau tidaknya pengaruh yang dirasakan baru tersebut tergantung dari sistem nilai-nilai masyarakat yang memberi.  Pada masa teknologi super modern seperti sekarang ini, di mana umat manusia di seluruh dunia sedang mengalami perubahan-perubahan besar yang disebabkan oleh faktor-faktor  kemajuan  teknologi dan faktor kebudayaan, dimana nilai-nilai yang sudah lama digantikan dengan nilai-nilai baru yang terus dan sedang bergulir. Maka hal demikian akan menjadikan timbulnya ketegangan-ketegangan dan pergolakan-pergolakan yang terjadi pada masyarakat.
Pada saat sekarang  power shift atau pergeseran kekuasaan sedang terjadi di mana-mana. Kalau dulu IBM menguasai industri komputer, sekarang ada ratusan merk lain yang mempnyai kesempatan untuk bersaing dan berkembang hidup. Kalau pada awalnya cuma ada 3 (tiga) Stasiun televisi yang mendominasi siaran di Amerika (CBS, ABC dan NBC), kini ada sekitar 2300 Stasiun yang tersebar dari Barat sampai ke Timur Darat.  Begitu juga yang terjadi dengan Indonesia, RRI dan TVRI beberapa dekade kebelakang keduanya telah memonopoli “dunia” udara Indonesia dengan semboyannya yang terkenal “Sekali di Udara Tetap di Udara”, “menjalin persatuan dan kesatuan”. Sekarang situasinya sudah berubah. Kurang lebih ada sekitar 600 stasiun radio Non RRI yang setiap hari memanjakan telinga pendengarnya. Begitu juga  sejak kemunculan stasiun televisi swasta RCTI pada tahun 1989 membawa angin segar dan kesempatan untuk mendobrak monopoli yang sejak 1962 dipegang oleh televisi pemerintah  itu.
Untuk mengejar aktualitas dan commercial time, siaran televisi di berbagai negara yang dulunya hanya ditayangkan pada malam hari, sekarang sudah mengarah kepada pelayanan nonstop 24 jam (siang dan malam) seperti yang dilakukan oleh staiun-stasiun besar penyiaran televisi semisal CNN, BBC, M-TV, Star TV, HBO, CFI, dan ESPN. Tak ketinggalan pula stasiun penyiaran televisi di Indonesia seperti Indosiar,  Metro TV, RCTI, SCTV, Global TV hampir tidak ada waktu kosong untuk tidak mengisi ruang benng layar kaca, sementara TPI, AN-Teve, TV7, Lativi, dan TVRI sudah siaran antara 8 sampai 20 jam per hari.  Jika dipukul rata bahwa stasiun televisi di Indonesia membutuhkan sekitar 100 jam bahan siaran atau 36.000 jam dalam setahun, sementara kemampuan produksi dari Rumah Produksi dan stasiun televisi itu sendiri baru sekitar 25 sampai 40% dari kebutuhan. Asumsi yang berkembnag mengatakan bahwa terlalu dominannya tayangan import di televisi kita akan menciptakan ketidak seimbangan informasi dan perkembangan pola pikir masyarakat Indonesia yang majemuk, sehingga hal ini dapat menimbulkan proses penyerapan budaya westernisasi  yang dilematis  mendominasi ruang-ruang pikiran masyarakat kita.
Berbicara tentang televisi berarti harus membicarakan tiga hal pokok tentang yang terlibat di dalamnya yaitu: yang menyajkannya (stasun televisi), yang disajikannya (materi tayangan atau siaran) dan yang menikmati sajian itu. (masyarakat luas). Tidak dipungkiri lagi bahwa saat ini hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia amat dominan dalam menayangkan menu-menu tayangannya yang berasal dari produk-produk Amerika. Gejala seperti ini bukan saja di Indonesia tapi sudah menjadi penomena dunia. Menurut Asian Journal  of Communication bahwa hampir mencapai 80% dari acara televisi di Amerika Latin dipasok dari Hollywood, sementara di televisi Eropa barat sekitar 40%, Negara-negara Arab mendekati angka  35%, Afrika 47%, sementara Kanada dan Indonesia mendekati angka 70%. Hal inilah yang kemudian dikatakan sebagai Cultural Imperialism atau imperialisme “modern” dalam kebudayaan.
Sementara itu juga persoalan tentang teknologi multi media komputer dengan jaringan internetnya yang semakin inovatif dan menggejala sebagai produk konsumtif masyarakat dunia karena sifat layanan komersialnya yang murah, merupakan perangkat teknologi yang memiliki kemungkinan menyebarluaskan informasi, dan menciptakan komunikasi sedemikaian cepat dan luas. Itulah sebabnya medium ini disebut information super highway. Kehadiran teknologi komunikasi  internet ini menjanjikan sebuah realitas penjelajahan kehidupan praktis dari  wujud atau bentuk  sebuah dunia maya.  
 Situasi ini terkait dengan respon masyarakat terhadap fasilitas yang mendorong kemungkinkan-kemungkinan untuk mendapatkan informasi, dan produk budaya global yang memiliki fungsi untuk memberikan kesenangan (satisfaction), pengetahuan, dan pendistribusian ide-ide individual maupun kelompok. Berbagai media elektronik dengan mengandalkan perangkat teknologinya yang serba canggih begitu menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Muatan dari berbagai media ini semakin jauh dari unsur lokalitas dan komunitas dari konsumen.
Banyak faktor yang membuat keberadaan televisi dan sarana multi media yang lain  menjadi media komunikasi dan informasi yang sangat ampuh untuk menyebarkan segala apapun yang menjadi model-model perkembangan dunia. Hal ini dikarenakan bahwa dunia manusia bukanlah sebuah dunia yang selesai tetapi lebih pada persoalan pembentukan, dan penciptaan baru, alhasil dunia manusia merupakan dunia yang akan “menjadi” juga. Dunia dalam manusia berubah dan berkembang menjadi semakin kaya dan kompleks seiring dengan perubahan dan perkembangan interaksinya dengan lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosialnya (Cassirer, 1990:144).
          Sejak lama Hollywood yang prosentase kepemilikanya lebih besar dikuasai oleh orang-orang Yahudi sudah menguasai pasar entertainmen dan informasi dunia. Jutaan film produksi Hollywood merajai bioskop-bioskop di seluruh dunia, sementara jutaan episode serial televisinya jadi kegemaran orang banyak. Pendapatan nasional Amerika Serikat, terbesarnya didapatkan dari dunia informasi dan intellectual right dan bukan dari manufaktur.
 Amerika sudah berhasil mengarahkan opini publik ke arah yang lebih banyak mendatangkan keuntungan di berbagai aspek menurut ideologi dan cara pandang kontruksi budaya “ke-Amerika-annya”. Dia membuai masyarakat dunia dengan cerita-cerita tentang kehebatan Amerika dan menciptakan berbagai hero mulai dari Superman hingga Rambo. Dia memiliki tokoh-tokoh macho pujaan dunia seperti Arnold Schwarzenegger dan Silverster Stallone yang bisa melakukan apa saja tanpa batas.  Bahkan lewat film Time Cop, sebuah sciene fiction yang diciptakan Claude van Damme yang bisa kembali ke masa lalunya lewat sarana time machine. Tayangan Gost dari Demi Moore membuat jutaan perempuan di seluruh dunia memotong rambutnya, sementara film Speed telah menjangkitkan semangat kebut-kebutan dan rambut pendek gaya Keanu Reeves.
Kehebatan produk-produk Amerika memang pada kemasannya. Resep buatan Hollywood disusun dengan konsep Heterogenitas sehingga bisa pas dengan pasar global dan memenuhi selera mayoritas penonton dunia. Pengakuan dunia terhadap ketangkasan Amerika tidak perlu diragukan lagi, Amerika sangat cekatan dalam memanfaatkan screen power dari media komunikasi dan informasi dibandingkan bangsa manapun di dunia. 

Media Global:  hegemoni kebudayaan yang menciptakan ”Desa Dunia”
      
Ketika terbetik berita tentang kematian Lady Diana karena kecelakaan di La Place d’alma Paris, dalam waktu yang singkat seluruh dunia telah mengetahuinya lewat radio dan televisi. Berkat cara dan gencarnya jaringan televisi internasional yang mengemas berita tersebut maka terbentuklah opini duka massal di seluruh dunia. Berita tersebut begitu cepat merebak, bahkan penjual asongan di terminal yang tidak pernah sekalipun bersangkut paut dengan urusan selebriti internasionalpun tiba-tiba bercerita dengan keharuannya, penuh rasa simpati pada Sang Putri. Padahal apakah artinya Putri yang jauh dan tidak ada sangkut pautnya dengan dia dan sebaliknya dia dengan Sang Putri. Namun, kehebatan teknologi media citra rupanya mampu menembus batas jarak, waktu, bangsa bahkan kebudayaannya. Tiba-tiba penjual asongan tersebut merasa bahwa Sang Putri mejadi bagian dari kehidupannya. Batas negara, bangsa dan kebudayaan telah hilang oleh tumbuhnya opini duka massal, berkat teknologi dalam media informasi. Kalau dahulu perang dapat dilokalisir di suatu wilayah, kini perang bisa “terjadi” di setiap rumah. Rasanya begitu sulit bagi suatu negara dewasa ini untuk tidak melibatkan masyarakat dunia terhadap peristiwa penting yang terjadi di negaranya.  
Perubahan budaya lisan yang langsung meloncat pada pada budaya media elektronik dengan sendirinya membawa implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat. Dalam tahapan yang normal, budaya media bergerak dari budaya lisan ke budaya tulisan / cetakan dan kemudian meloncat ke budaya media elektronik yang bagi sebagaian besar masyarakat perkotaan disebut sebagai wahana dalam galaksi elektronik yang membawa kepada perubahan yang sangat besar (MacLuhan:1964).
Tak bisa dipungkiri lagi, bahwa perubahan dunia dewasa ini telah banyak disebabkan oleh adanya semacam loncatan dalam kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dunia menjadi terasa sempit, tak ada berita dari salah satu sudut dunia yang sekarang yang tak bisa  ditangkap ataupun diketahui oleh masyarakat dari berbagai penjuru dunia.  Suatu peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan melibatkan masyarakat dunia secara emosional. Masyarakat dengan serentak mampu memberikan tafsiran-tafsiran dan analisis terhadap apa yang diketahui, didengar dan dilihatnya dalam media global seperti radio dan televisi. Dunia sudah menjadi satu. Bahkan Marshal McLuhan  jauh-jauh hari sudah memperkirakan bahwa nantinya dunia ini akan menjadi sebuah desa raksasa (desa dunia),  global village.  Sebagaimana situasi pada umumnya di desa, bahwa suatu peristiwa yang terjadi dalam sebuah keluarga, akan menjadi concern dari masyarakat di sekeliling desa tersebut.
Seandainya “desa dunia” itu memang menjadi wacana yang memberi kenyataan, ada beberapa persoalan yang pasti akan dihadapi oleh manusia, apakah setiap manusia yang hidup dalam sebuah kebudayaan mampu dalam mengakses setiap kemajuan, dan apakah tingkat kemajuan tersebut dapat meningkatkan kualitas hidupnya, karena mengakses bukan hanya sekedar menerima begitu saja, tetapi juga dalam hal menggunakan dan memanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya, apakah manusia atau masyarakat kebanyakan mampu menyerapnya  mengingat tidak setiap orang mempunyai tingkat pendidikan yang memadai. Dan kalaupun pendidikannyapun memadai belum tentu dapat memperoleh kesempatan untuk memiliki perangkat teknologi  dikarenakan faktor biaya, hubungan atau kalah dalam persaingan.
          Teknologi dan berbagai kemungkinan kemajuan sepenuhnya dikontrol oleh kuasa uang atau modal, yang pasti tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Kesempatan untuk berkembang tidak lagi dimungkinkan oleh bakat dan kemampuan, melainkan oleh uang. Maka cukuplah, apabila kemudian masyarakat hanya berkesempatan untuk  “menerima”  saja apa yang sudah dipilihkan oleh kuasa modal, sambil tetap berdiri di pinggir kemajuan.  Teknologi komunikasi modern ternyata menjauhkan hubungan antara pribadi dan menghambat proses kebudayaan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Arus modernisasi di samping mempunyai dampak positif bagi perkambangan peradaban dan perkembangan manusia, dimana teknologi sebagai sebuah pilar modernisasi juga menimbulkan dampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan manusia di dunia, menghadirkan siklus sistem-sistem lebih menjadi mekanis, otomatis, instan, dan pragmatis. Arah kebudayaan, nyaris tidak pernah bisa dikonsepsikan dalam satu gerak yang paradigmatik sekalipun. Namun melalui klasifikasi yang spesifik, arah kebudayaan tersebut dapat dijelaskan melalui berbagai kecenderungan yang terjadi. Di samping secara filosofis kebudayaan sangat erat dengan aktivitas sosial masyarakat, serta adanya kontak sosial dari komunikasi global dengan teknologi sebagai penyangganya, telah membangun dimensi integrasi budaya secara baru dan terus menerus melakukan pembaharuan.
  Ternyata apa yang dipikirkan dan diandaikan oleh McLuhan, bahwa dunia akan menjadi desa dunia tidak sepenuhnya tercapai. Teknologi memiliki kecenderungan menciptakan alienasi atau keterasingan, sikap individual, dan cenderung merusak kebudayaan yang hakiki, sehingga kebudayaan desa yang memiliki kekentalan nilai manusiawi seperti perhatian, kebersamaan, saling menolong, tidak akan tercipta dalam lingkungan manusia atau masyarakat. Di tangan kuasa modal, teknologi dipergunakan untuk menggalang mobilitas massa menyelaraskan selera, gaya hidup dan kepentingan pribadi.   
           Kekuatan kebudayaan barat sebetulnya terletak pada simbiosis mutualisme teknologi dan kapitalis. Dengan menopang kekuatan sistem kapitalis yang bergerak dari Barat, teknologi menyebar ke segala penjuru. Di sisi lain sistem kapitalis juga dengan cepat memasuki seluruh dimensi kehidupan karena ditopang oleh kecanggihan teknologi. Dengan demikian teknologi dan sistem kapitalis menjadi mesin yang yang dasyat dari paradigma kebudayaan modern yang mengacu pada “penyeragaman dan pembaratan”. Maka kebudayaan Barat tidak meyakini  pluralisme budaya dan lebih  mengagungkan universalisme budaya. Dengan kekuatan jaringan teknologinya (terutama teknologi informasi dan komunikasi) maka budaya Barat memegang hegemoni kebudayaan dunia menuju pada suatu “Desa Dunia” sebagai mana yang disinyalirkan McLuhan.

Media Global: konsep produksi dan distribusi media hiburan dalam situasi budaya massa
                        
Zaman informasi atau masyarakat informasi adalah suatu istilah yang menciptakan fantasi bahwa kita benar-benar terlibat dan menarik manfaat dari banjir informasi sedunia. Istilah itu seakan-akan netral, tapi sesungguhnya ia mengandung konsep terencana bagaimana memanfaatkan sumber daya alam dan manusia secara lebih halus, lebih sopan. Ia menggantikan sebuah kata yang sudah lama dibenci: eksploitasi (N. Dewanto: 1996).  Menceburkan diri pada zaman informasi adalah menyadari limpahan informasi sebagai tekanan yang siap membongkar hierarki lama tentang yang besar dan yang sepele, yang tinggi dan yang rendah, yang pusat dan yang pinggiran, yang modern dan yang tradisional, yang baru dan yang lama.
          Sepertinya gelombang dahsyat teknologi komunikasi dan informasi ini menghantarkan manusia pada beragam alternatif untuk memilih dan menyeleksi jenis-jenis informasi, pengetahuan  sampai pada setiap segala sesuatu yang dipandang bermanfaat dan menjanjikan  baik secara material maupun psikologis. Tekanan dan dorongan-dorongan dalam menemukan preferensi objek-objek yang menyenangkan dan memuaskan (satisfaksi) sudah menjadi hal yang terus dipahami  sebagai reaksi terhadap adanya sistem, strategi, dan teknologi nformasi-komunikasi yang dikembangkan oleh negara-negara kapitalis, negara-negara yang menjadikan unsur teknologi sebagai alat penguasaan terhadap peradaban dan kebudayaan dunia.  Selera dunia  menjadi tolak ukur kekuasaannya, globalisasi menjadi isue tujuannya, penemuan-penemuan dan ekperimentasi terhadap perangkat canggih sebagai umpannya, maka jadilah manusia sebagai individu-individu dalam cengkraman consumerisme.
          Gambaran tentang keberadaan produk budaya massa di tengah masyarakat, kiranya dapat bertolak dari kerangka pemikiran tentang kebudayaan yang digunakan oleh Rosengren yang menyebutkan bahwa budaya merupakan atau menjadi acuan dalam berbagai dimensi kehidupan sosial. Acuannya dijabarkan dalam 4 orientasi, yaitu orientasi normatif, orientasi instrumental, orientasi kognitif, dan orientasi ekspresif. Dari masing-masing orientasi ini kehidupan sosial dapat dikelompokan sebagai domain polity (dinamika masyarakat negara), ekonomi, teknologi, sains, dunia akademik (scholarship), sastra (litterature), seni, dan agama. Domain polity dan agama pada dasarnya didorong oleh orientasi normatif. Sementara orientasi instrumental menjadi pendorong bagi domain ekonomi dan teknologi. Domain sains dan dunia akademik digerakan oleh orientasi kognitif, dan orientasi ekspresif menjadi acuan bagi domain sastra dan seni. Di sini kebudayaan sebagai sumber nilai menjadikan setiap domain sosial digerakan atas azas keseimbangan dalam tarik-menarik antara satu domain dengan lainnya.
          Kebudayaan dalam arti yang sempit biasanya dimaksudkan sebagai produk yang diproduksi dan dikonsumsi dalam orentasi ekspresif. Produk semacam inilah yang dikenal dengan sebutan media hiburan (rekreatif). Dengan kata lain bahwa media hiburan menggunakan domain seni dan sastra sebagai materi untuk digunakan manusia atau masyarakat dalam orientasi  ekspresif, seperti ketika melihat barang-barang atau karya seni yang dipajang.  Mungkin fungsi ekpresif yang terkandung dalam sebuah karya seni tersebut bukan pada barang yang digunakannya atau pada wujud dan bentuknya, tetapi sejauh mana bisa diamati dan dinikmati secra estetis.  
            Keberadaan media global di tengah tengah kehidupan manusia yang memberi aspek dan respek dalam kebangkitan produk-produk media “hiburan” massa mengarahkan pada pilihan untuk mendapatkan muatan  yang dapat memberi kepuasan satifaction yang mencakup kualitas emosi seperti pengalaman imajinatif dan exsistensi ekspresitas. Proses dari motivasi media global sesungguhnya tertuju pada pembentukan masyarakat dunia yang terlegitimasi oleh nilai-nilai materialistis, hedonistis, scientis,  dan unsur-unsur budaya  yang mampu mengubah atau memperkuat selera masyarakat internasional  seperti “seni untuk hiburan, propaganda, komersial, politik, dan sebagainya”.
          Selain dilihat dari perspektif seperti tersebut diatas, keberadaan media global dapat dibicarakan dengan melihat kedudukan pelaku yaitu konsumen dan produsen.  Pemilahan antara konsumen dan produsen pada dasarnya bermula dari karakteristik sosial yang menjadi latar belakang kehidupan sosial.  Secara sederhana dikenal dikotomis kehidupan tradisonal dan modern yang masing-masing membentuk peran dan kedudukan individu di dalamnya.
           Pada wilayah (setting) budaya masyarakat tradisional, persoalan tentang konsumen dan produsen ini tidak berada pada posisi yang tajam dan mencolok. Berbagai kebutuhan dapat disediakan sendiri, atau setidaknya posisi sebagai produsen dan konsumen dapat digantikan satu dengan yang lainnya. Artinya di dalam lingkungan masyarakat tradisional, kedudukan setiap orang tidak dipermasalahkan dalam bingkai domain  pemberi dan penerima. Begitu pula dalam hal penyediaan media hiburan dalam masyarakat tradisional dapat dilakukan sendiri dan dikonsumsi bersama-sama.  Tetapai dalam masyarakat modern yang dicirikan dengan spesialisasi dan profesionalisme, kehidupan modern bergerak dalam dinamika industrial. Konsekuensinya dalam penyelenggaraan media rekreasi atau hiburanpun juga akan menggunakan kaidah-kaidah industrial.
 Jika kerangka pemikiran tersebut di atas diterapkan khususnya terhadap masyarakat kota, setidaknya akan terlihat bahwa keberadaan media hiburan sudah menggunakan kaidah-kaidah modern dan mengacu pada sistem ekonomi global yang lebih mementingkan produksi dan distribusi industrial. Di satu sisi produsen-produsen budaya yang tidak menggunakan kaidah industrial ini tidak akan mendapatkan tempat, sedangkan pada sisi yang lain penikmat mediapun semakin berada pada koridor selera yang konsumtif.
Tantangan ini pada dasarnya bukan hanya pada media hiburan semata, karena secara menyeluruh  sistem produksi dan distribusi informasi dan komunikasi konvensional yang terjadi pada abad 19 dan separoh abad ke 20 semakin hilang, digantikan oleh sistem pencaran teknologi elektronik. Namun sistem komunikasi yang bertumpu kepada teknologi ini menjadi faktor yang luar biasa  dalam perkembangan produk budaya massa yang didistribuskan secara fisik atau dipancarkan dalam signal elektronik (narrowcasting atau broadcasting), atau melalui koridor dalam jagat maya (internet), atau melalui kombinasi ketiganya yaitu yang disebut dengan multimedia. 

Penutup
          Pada bagian akhir tulisan ini bukan untuk memberikan kesimpulan atau pandangan sepihak seputar pembahasan ini, namun setidak-tidaknya dapat memberikan sedikit penjelasan  mengenai apa yang dikatakan oleh sebagian orang tentang kehadiran media global dalam ranah kebudayaan manusia.
Media global yang kita maksud adalah adanya sebuah zaman dimana tingkat kecerdasan manusia dalam persoalan teknologi komunikasi dan informasi tengah memenuhi kapasitasnya dalam domain polity, ekonomi, sains, scholarship, sastra, seni dan agama. Media global juga dianggap sebagai suatu perangkat untuk menjadikan sebuah dunia manusia dalam satu kesatuan nilai-nilai yang tumbuh dalam satu atap dengan apa yang disebuat “desa dunia”.
          Di satu sisi, dalam media global dengan globalisasi sebagai salah satu isue yang dikembangkannya, ditandai dengan proses pasokan produk-produk budaya dan media hiburan (rekreasi) yang membentuk pola konsumsi umat manusia (masyarakat) yang bersifat global. Selain itu ditandai juga dengan hadirnya pola-pola atau bentuk-bentuk tindakan manusia (masyarakat) yang seragam, akibat dari penggunaan teknologi yang seragam pula. Sedangkan di sisi yang lain, nampak adanya tanda-tanda bahwa proses globalisasi ini tidak dapat menjadikan umat manusia  sebagai komunitas dunia, dikarenakan bahwa resistensi sosial masyarakat berlangsung dengan mencari akar ke dalam tradisi maupun sejarah yang memiliki sifat lokalitas.
Dalam realitas kebudayaan dunia (global culture), produk budaya “hiburan”  massa adalah suatu unsur yang dominan melingkupi ruang-ruang sosial masyarakat dunia saat ini. Media-media yang berpangkal   pada tujuan pemberi satisfaksi berlomba mengarahkan produksinya pada gaya/corak ekonomi global dengan sistem distribusi industrial.   
KEPUSTAKAAN
Carey, James W., 1989.  Communication as Culture. Boston: Unwin Hyman.

Cassirer, Ernst, 1990. Manusia dan kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Dewanto, Nirwan, 1996. Senjakala Kebudayaan.  Yogyakarta: YBB

Korten, David C, 2002. Menuju Abad ke-21. Jakata:  Yayasan Obor

Koentjaraningrat, 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
----------------, 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press. 
                   
Linton, Ralph, 1936.  The Study of Man,  D. Appleton Century Company, New York, London

MacLuhan,Herbert Marshal,1964.Understanding Media. New York: McGraw Hill.

Storey, J., 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. ( An Introductory Guide to Cultural Theori and popular Culture, 1993).  Yogyakarta: Qalam

Walters, J. Donald, 1988. Crises in Modern Thought. Nevada City, California: Crystal Clarity.






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar