LAPORAN
PENELITIAN DOSEN
KESENIAN JARANAN JAWA
LAHIR SEBAGAI BENTUK EKPRESI
KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI
Oleh
SUYADI, S.Sn., M.Sn.
NIP 196508251994031002
JURUSAN SENI KARAWITAN
SEKOLAH TINGGI KESENIAN
WILWATIKTA SURABAYA
SURABAYA
2012
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL
PENELITIAN MANDIRI BAGI DOSEN
1.
Judul Penelitian : Kesenian Jaranan Jawa Lahir
sebagai Bentuk Ekspresi Kehidupan
Masyarakat Petani
2. Bidang
Ilmu : Seni Karawitan
3. Ketua Peneliti :
a. Nama Lengkap :
Suyadi, S.Sn., M.Sn.
b. Jenis Kelamin : L
c. NIP : 196508251994031002
d. Pangkat/Golongan/NIP : Penata/IIIc
d. Jabatan : Lektor
e. Fakultas/Jurusan : Seni Karawitan
f. Sekolah Tinggi : STK Wilwatikta
Surabaya
4. Jumlah Tim Peneliti : 1 orang
5.
Lokasi Penelitian : Kecamatan Keras, Kabupaten
Kediri, Jawa Timur
6. Biaya yang
dibutuhkan : Rp. 10.000.000
(Sepuluh Juta Rupaiah)
7. Pencapaian
Penelitian :
100%
Surabaya,
Mengetahui,
Ketua Jurusan Ketua
Peneliti
Seni Karawitan
(Sabar, M.Sn.) (Suyadi, M.Sn.)
NIP.
196508251994031002
Menyetujui,
Ketua LP2M STKW Surabaya
(Drs. Suwarmin, M.Sn.)
NIP.
195210141973071001
KATA
PENGANTAR
Kegiatan penelitian merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi, seperti dalam peraturan Menteri Koordinator Pengawasan dan Pengembangan
Pendayagunaan Aparatur Negara (MENKOWASBANGPAN) No. 38 tahun 2009. Berdasarkan
pada surat penugasan dari LP2M Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya
seorang Dosen dituntut untuk melaksanakan Penelitian dan Pengabdian kepada
masyarakat sesuai dengan kompetensinya.
Berdasarkan pada hal tersebut di atas, Alhamdulillah pada semester
genap tahun ajaran 2011/2012 penulis telah berhasil melaksanakan tugas tersebut
khususnya pada bidang penelitian. Penelitian tersebut dengan mengambil materi
bentuk kesenian tradisional (kesenian Jaranan Jawa) yang berada di desa Keras,
kecamatan Keras, kabupaten Kediri.
Pelaksanaan penelitian diprogramkan selama satu tahun akademik (2 semester).
Sampai dengan laporan ini disampaikan, pelaksanaan penelitian masih
mencapai 50%, dari keseluruhan hasil yang dicapai. Selanjutnya pada semester
berikutnya merupakan penyelesaian dari semua program penelitian dalam bentuk
laporan hasil penelitian dosen.
ABSTRAK
Bekerja di sawah dari pagi sampai
sore merupakan aktivitas petani dalam menggarap sawah atau ladangnya, mulai
dari mencangkul menanam, memanen begitu seterusnya. Dari rutinitas keseharian
tersebut terekpresi dalam tata cara mereka berkesenian, yang menggambarkan
rutinitas pekerjaannya. Penggambaran aktivitas dalam keseharian nampak pada kesenian rakyat Jatilan Jowo, yang
menggambarkan kehidupan petani. Kesenian
lahir sebagai hiburan untuk mengurangi kejenuhan dan menjadi tradisi dalam wujud syukur
setelah masa panen selesai. Bergembira bersama dengan masyarakat lainnya.
Metode pendekatan kepada
masyarakat sebagai upaya dalam penggalian data informasi, selain mengamati pada
saat pertunjukannya. Menghubungkan dan menyajikan data-data yang telah
diperoleh sebagai bahan penyusunan laporan penelitian. Selain itu didukung oleh
studi dokumenter dan kepustakaan untuk memperkuat data bersifat informasi.
Hasil penelitian memberikan
rekomendasi bahwa kesenian lahir dari kalangan petani dalam perwujudan gerak
petani sebagai penggambaran bekerja di sawah, kostum/ busana bersahaja
selayaknya saat bekerja, dan tanpa rias wajah, dengan iringan yang sangat
sederhana. Dikisahkan bagaimana petani dengan musuh-musuhnya di sawah sebagai
pengganggu di saat-saat menjelang panen, dan bagaimana usaha dari masyarakat
petani yang akhirnya bisa mengusirnya dengan tolak balak.
DAFTAR
ISI
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
A. LAPORAN PENELITIAN
PRAKATA
……………………………………………………………….
ABSTRAK
.................................................................................................
DAFTAR
GAMBAR..................................................................................
DAFTAR ISI
..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
........................................................................
1.1.
Latar Belakang ...............................................................................
1.2.
Rumusan Masalah ............................................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
2.1. Tinjauan
Sumber
...............................................................................
2.2. Kerangka
Teori
..................................................................................
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...........................
3.1.
Tujuan Penelitian
...............................................................................
3.2.
Manfat Penelitian
..............................................................................
BAB IV METODE
PENELITIAN ...........................................................
4.1.
Penentuan Sampel
..............................................................................
4.2.
Penentuan
Informan .........................................................................
4.3.
Teknik Pengumpulan data
................................................................
4.3.1.
Wawancara
..............................................................................
4.3.2.
Studi
Pustaka............................................................................
4.3.3.
Pengamatan
Langsung...........................................................
4.3.4.
Studi Dokumentasi
.................................................................
4.3.5.
Teknik Analisis Data
..............................................................
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN PERTUNJUKAN JARANAN JAWA
5.1.
Elemen Pendukung Kesenian Jaranan
Jawa........................
5.1.1
Latar Belakang Pendukung
......................................
5.2.
Penokohan dan
Peranannya..................................................
5.2.1.
Penari Jaranan
..........................................................
5.2.2.
Juru Gambuh
.............................................................
5.2.3.
Tokoh
Brongan............................................................
5.2.4.
Musik Pengiring .........................................................
5.2.5.
Tata
Busana..................................................................
5.3.
Properti
....................................................................................
5.4.
Arena Pentas ...........................................................................
5.5.
Tata Lampu dan Tata Suara
.................................................
5.6.
Sesaji
.........................................................................................
BAB VI STRUKTUR PENYAJIAN
JARANAN JAWA
6.1. Bagian Awal
..............................................................................
6.2. Jejer Jaranan
............................................................................
6.3. Babak Barongan
......................................................................
BAB VII PENUTUP
Kesimpulan.........................................................................................
Daftar
Pustaka
...................................................................................
|
i
ii
iii
iv
v
1
1
7
9
9
10
13
14
16
16
16
17
18
19
19
20
20
22
22
22
24
24
25
27
28
30
35
37
39
39
41
42
49
53
54
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Jaranan
merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang berkembang pada kalangan
masyarakat pedesaan. Berbagai aktivitas masyarakat sering melibatkan kehadiran
kesenian jaranan sebagai media hiburan ataupun ritual. Masyarakat mengenal beberapa jenis kesenian
Jaranan yaitu; Jaranan Jawa, Jaranan Senterewe, Jaranan Sawunggaling dan
sebagainya. Keragaman dari beberapa jenis kesenian jaranan tersebut tentunya
mempunyai wilayah perkembangannya. Khususnya di kabupaten Kediri dikenal kesenian
Jaranan Jawa bahkan hampir di setiap daerah di tingkat kecamatan memiliki grup
kesenian jaranan. Masyarakat mengenal
Jaranan Jawa sebagai jaranan tertua atau
sebagai cikal bakal dari pertumbuhan bentuk kesenian jaranan yang lainnya.
Kesenian
jaranan muncul sebagai bentuk apresiatif masyarakat petani yang mengimitasikan
aktivitas prajurit atau kesatria yang sedang menunggang kuda disertai berlatih
perang. Kuda dalam bahasa Jawa diartikan jaran.
Istilah jaranan berasal dari kata yaitu jaran yang ditambah dengan akhiran an
menjadi jaranan yang diartikan
menirukan jaran atau kuda. Bentuk
jaranan sebagai imitasi dari kuda yang digunakan sebagai kendaraan para
prajurit atau kesatria. Pada masa itu
tidak sembarang orang bisa memiliki kuda dikarenakan harganya yang sangat
mahal. Kuda atau jaran sebagai pendukung utama, maka kesenian tersebut lazim
disebut dengan Jaranan.
Pertunjukan
Jaranan Jawa terdiri dari beberapa elemen pendukung. Secara spesifik yang
dimaksud elemen pendukung adalah sebaga berikut:
- Penokohan
dan Peranannya:
a. Penari Jaranan
Penari jaranan merupakan
faktor pendukung utama, dengan rata-rata jumlah penarinya 8 orang. Penari Jaranan
Jawa diperankan oleh kaum laki-laki.
b. Juru Gambuh
Juru gambuh atau disebut juga pawang yang merupakan peran khusus yang tidak sembarang orang mampu
berperan sebagai juru gambuh. Juru Gambuh
memiliki kemampuan dalam mengendalikan pemain atau penari yang mengalami
kesurupan atau trance ataupun situasi pada saat pertunjukan.
c. Penari Penthul,
Tembem dan Thethek Melek
Para tokoh
tersebut mengenakan topeng dan memiliki
karakter dinamis dan gecul, dengan
berbagai atraksinya untuk mengihubur para penonton. Fungsi peran tiga tokoh
tersebut sekaligus digunakan sebagai mediator dalam penyampaian informasi yang
disampaikan ke masyarakat atau penonton. Ketiga tokoh tersebut sebagai gambaran
rakyat kecil sebagai abdi para tokoh-tokoh dikerajaan. Menurut
Koentjaraningrat (1994:223) penthul dn tembem dipakai sebagai contoh oleh
rombongan pelawak-pelawak desa yang terdiri dari 5 orang termasuk pengiringnya.
d. Tokoh Barongan
Tokoh
barongan merupakan tokoh binatang yang buas yang hidup di hutan, yang suka memakan
hewan ternak dan merusak lahan pertanian. Sosok binatang tersebut menjadi
musuhnya petani. Barongan dalam pertunjukan jaranan merupakan malapetaka yang
harus disingkirkan. Barongan dalam Jaranan Jawa merupakan visualisasi dari naga
raksasa, diperankan oleh penari dengan menggunakan topeng bagian kepala ular
dan topeng ular ini mempunyai dua fungsi yaitu sebagai penutup kepala/topeng
dan sekaligus sebagai properti.
e. Tokoh Celengan (babi hutan)
Tokoh
celengan merupakan penggambaran babi hutan yang suka merusak dan memakan
tanaman petani. Tokoh celengan atau babi hutan dibawakan seorang penari dengan
membawa properti berupa replika dari binatang babi hutan yang bercula atau juga
disebut celeng. Selain celeng juga ada sosok peran anjing yang juga membawa
replika binatang anjing.
- Musik
Pengiring
Alat musik sebagai pengiring
dalam pertunjukan Jaranan Jawa terdiri dari kempul, kenong, angklung, slompret,
dan kendang. Selain alat musik juga dibawakan beberapa tembang dan juga lagu
yang dilantunkan oleh tokok penthul atau tembem.
- Tata
Busana
Busana yang
digunakan dalamkesenian Jaranan Jawa yaitu celana hitam panjang (celana yang
digunakan petani sewaktu ke sawah), kaos dalam (singlet), terkadang
tidak memakai (ngliga). Kepala penari
mengenakan ikat kepala berwarna hitam atau coklat yang disebut udheng. Busana
penari Jaranan Jawa lebih sederhana tidak jauh dari pakaian keseharian di
kalangan petani.
- Properti
Properti
yang nampak jelas dalan Jaranan Jawa adalah kuda kepang dan cambuk atau pecut.
Kuda kepang dipegang pada tangan kiri dan cambuk atau pecut dipegang pada
tangan kanan. Bentuk kuda kepang dalam jaranan Jawa memiliki ciri khas yaitu
pada bentuk kepala yang lebih besar jika dibandingkan dengan jenis jaranan yang
lainnya. Hal tersebut sekaligus sebagai ciri khasnya. Kuda kepang tersebut
memiliki bulu rambut yang terbuat dari ijuk yaitu serabut dari pelepah pohon
aren yang berwarna hitam.
- Arena
Pentas
Tidak ada
standar baku dalam arena yang digunakan untuk pertunjukan, tempat pertunjukan
lebih mengutamakan pada tempat yang luas dapat berupa halaman atau tanah
lapang. Hal tersebut mengingat jumlah pemain yang banyak dan memberi
keleluasaan untuk tempat penonton. Selain itu juga mengingat bahwa setiap akhir
pertunjukan selalu diakhiri dengan adegan trance atau ndadi, terkadang juga diikuti oleh penonton.
- Tata
lampu/dan tata suara (sound system)
Pertunjukan Jaranan Jawa dapat
dilakukan pada siang atau malam hari. Tata lampu digunakan sebagai penerang
ketika pertunjukan pada malam hari. Sedangkan tata suarasebagai alat bantu
pengeras agar suara gamelan atau lantunan vokal dapat terdengar dengan jelas.
- Sesaji
Istilah
sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa lebih akrab dikenal dengan sajen (bhs Jawa). Sesaji merupakan
bagian pokok yang tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan dalam berbagai
aktivitas hajatan yang telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun.
Rasa khawatir atau kebimbangan akan muncul ketika akan meninggalkan atau tanpa
sesaji. Khususnya dalam pertunjukan Jaranan Jawa sesaji adalah
bagian dari rangkaia pertunjukan.
- Gerak
Gerak tari
dalam Jaranan Jawa merupakan identifikasi dan pengembangan gerak yang bersumber
pada gerak sehari-hari yang biasa dilakukan oleh masyarakat petani. Utamanya
pada gerak kaki adalah sebagai gerak yang dominan, seperti berjalan saat pulang
dan pergi dari sawah. Bentuk gerak kaki lebih mengandalkan gerakan jalan dengan
menggunakan berbagaiposisi kaki dengan teknik jalan biasa yaitu kedua kaki
napak bergantian.pola gerak kaki juga
bersumber pada dari gerakan kuda. Selain gerak kaki juga gerak pada leher dan
kepala yakni ketika kaki bergerak maka diikuti juga gerak kepala yang dilakukan
secara bergantian dengan gerak kepala.
Selain identifikasi pada gerak kaki dan kepala juga
berdasar pada saat perilaku petani sedang kerja di sawah pada waktu
mencangkul,membuat galengan atau pematang sawa yaitu kaki kanan selalu diangkat
dan menumpu pada gundukan tanah cangkulan, dan kaki kanan tadi digerakan dengan
menekan-nekan tanah tersebut. Kedua pola gerak yang bersumber pada kebiasaan
sehari-hari merupakan inspirasi dalam pementukan motif gerak . Beberapa motif gerak dalam Jaranan Jawa yaitu terdiri dari: (a).Motif gerak singget; (b).Motif Gerak jalan lenggang; (c). Motif gerak seredan; (d). Motif gerak ngongklang; (e). Motif gerak jalan mundur; (f). Motif gerak Entrangan; (g). Motif Gerak papat mendek dhuwur
Struktur Penyajian :
- Jejer
Jaranan
Jejer Jaranan merupakan babak
pertama yang diawali dengan tampilan enam penari jaranan dengan menarikan gerak
tari jaranan. Pada akhir pertunjukan
Jejer Jaranan diakhiri dengan adegan trance atau ndadi. Tentunya adegan trance inilah yang sering ditunggu-tunggu
penonton sebagai bentuk atraksi dan pertunjukan menjadi lebih meriah, karena
penari sudah tak terkendali lagi pada pola atau motif gerak tari. Penari yang
mengalami trance akan dipulihkan kesadarannya melalui seorang penimbul atau
juru gambuh.
- Babak
berpasangan
Setelah adegan jejer jaranan
dilanjutkan dengan babak berpasangan. Disebut berpasangan karena dalam
pertunjukan selalu membuat pola komposisi sejajar diantara penari dalam bentuk,
deretan, lingkaran, berjajar berpasangan. Gerakan
tarian tersebut dapat diulang-ulang dan pergntian ragam gerak tergantung dari
pengendang yang memberi aba-aba melalui polakendangan.
- Babak
Barongan
Babak barongan diawali dengan
tokok penthul, tembem, dengan
melantunkan beberapa tembang atau juga diselingin informasi ataupun lelucon. Penthul, Tembem dan penari jaranan
menari bersama yang disusul dengan penari barongan. Inti adegan tersebut penari
berstu mengusir atau menyerang Barongan
- Babak
Celengan
Babak celengan merupakan babak
yang terakhir jumlah penarinya sama dengan adegan barongan. Dalam adegan ini
terjadi perang-perangan antara penari jaranan denagn penari celengan, yang pada
akhirnya terjadi trance diantara beberapa penari.
1.2.Rumusan Masalah
Selain
sebagai hiburan kesenian Jaranan Jawa merupakan bentuk simbolik ritual dari
kaum petani. Perilaku petani dalam mengerjakan sawah menjadi sumber inspirasi
dalam penyusunan motif gerak tari. Jaranan Jawa yang disebut-sebut sebagai
kesenian jaranan yang paling tua, dalam kondisi dan siatuasi saat ini masih
mampu bertahan eksistensinya di kalangan masyarakat. Bertolak dari persoalan
inilah yang menarik peneliti untuk mendeskripsikan bentuk pertunjukan Jaranan
Jawa di Kabupaten Kediri melalui studi
pengamatan. Segala sesuatu pasti mangalami perubahan yang tentunya disebabkan
oleh berbagai faktor. Agar penelitian ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan
maka perlu dirumuskan pokok permasalahan dalam bentuk perumusan masalah yang
terdiri dari:
- Bagaimana
bentuk pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?
- Sejauh mana
kehidupan petani teraplikasikan dalam seni pertunjukan Jaranan Jawa di
Kediri?
- Faktor
apa saja yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan dalam pertunjukan
Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Sumber
Bentuk
Kesenian Jaranan Jawa yang berada di wilayah kabupaten Kediri ataupun daerah
lainnya pada prinsipnya sama. Perbedaan yang terjadi adalah pada kreativitas
seniman dan masyarakat pendukungnya. Perubahan yang terjadi juga dikarenakan
faktor sosial atau lingkungannya. Sebagai upaya untuk memenuhi capaian atau
sasaran penelitian maka dilakukan peninjauan sumber materi meliputi:
2.1.1.
Penentuan Obyek Penelitian
Penentuan lokasi dan pemilihan
salah satu grup sebagai sampel dalam penelitian didasarkan pada; (a). Aktivitas
kelompok atau grup; mudah komunikatif;
banyak dikenal masyarakat.
2.1.2. Nara sumber sebagai pangkalan data primer
Dalam hal ini khususnya pada
pengumpulan data merupakan salah satu faktor yang menentukan juga pada
bagaimana nara sumber yang ditentukan. Melalu nara sumber akan didapat informasi secara langsung atau yang disebut dengan data
primer.
2.1.3.
Sumber Kepustakaan
Sumber yang
lain diperoleh dari audio visual dalam bentuk VCD (Vidio Compact Disk) yang diperoleh dari koleksi pribadi dan Dinas
Pariwisata di kabupaten Kediri dan juga Kabupaten Kediri mengingat Kabupaten
Kediri bersebalahan dengan Kabupaten Tulungagung.
2.2.
Kerangka Teori
2.2.1. Penelitian terdahulu
Sugito, Bambang.
2005. “Jaranan Tulungagung (Kajian Perubahan dan Perkembangan Pertunjukan
Jaranan di Kabupaten Tulungagung” dalam
Jurnal Dewa Ruci Jurnal
Pengkajian dan Penciptaan Seni, vol. 3 No.2 Desember 2005. merupakan suatu
tulisan yang mengkaji tentang perkembangan dan perubahan kesenian Jaranan di Tulungagung. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Jaranan Jawa sebagai
jaranan yang paling tua yang dijadikan dasar dalam pengembangan jaranan yang
lainnya. Disebut juga bahwa Jaranan Jawa berasal dari tradisi seton di kraton dan dikenal masyarakat
sejak abat ke 18.
Berangkat
dari penelitian di atas, Jaranan Jawa tidak menjadi fokus utama tetapi dalam
penelitian tersebut sebagai sumber pengambangan dari jaranan yang lain seperti
jaranan senterewe, Turunggo Sawunggaling dan sebagainya. Pada penelitin penulis
akan memfokuskan pada bentuk pertunjukan Jaranan Jawa yang berada di wilayah
Kediri.
2.2.2.
Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan
“Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan
simbol-simbol, sampai dengan manusiapun disebut makhluk dengan simbol-simbol.
Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang
simbolis”, (Alex Sobur2003:177).
Simbol merupakan merupakan
objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol tersebut
meliputi apa saja yang dapat kita rasakan atau kita alami, (ibid). Pernyataan tersebut digunakan
sebagai teori dalam mengungkap makna gerak tari dalam Jaranan Jawa
mengungkapkan tentang simbol khususnya yang ada dalam kalangan petani. Ragam
gerak tari yang perilaku keseharian masyarakat petani baik sewaktu berjalan
pulang dan pergi dari sawah ataupun saat melakukan pekerjaan di sawah.
2.2.3.
Nilai Estetik dalam Seni Pertunjukan
Budiono Herusatoto mengutip tulisan
Soren Kiergaard bahwa kehidupan manusia itu mengalami tiga tingkatan yaitu:
estetis, etis dan religius. Dengan estetika manusia manusia menuangkan kembali
rasa keindahan melalui karya seni, etis merupakan tindakan manusia dalam
meningkatkan estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi. Sedangkan
tindakan
religius merupakan pertanggungjawaban dari segala tindakan kepada yang lebih tinggi yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, (Budiono,2003: 13-14).
Fungsi seni menurut Soedarsono dan Alan P. Meriem: Wujud karya manusia dapat bermacam-macam
salah satu adalah karya seni. Kesenian atau seni dijadikan media dalam
mengekpresikan dirinya sebagaimana diungkapkan oleh Soedarsono bahwa seni
memiliki fungsi yaitu : (1) sebagai sarana ritual; (2) sebagai sarana hiburan pribadi (performer); dan (3) sebagai presentasi
estetis.
Sedangkan Alan P Merriem juga menguraikan bahwa fungsi seni diantaranya (1)
sebagai kenikmatan estetis; (2) fungsi hiburan; (3) fungsi komunikasi; (4)
fungsi dalam sosial dan religius dan (5) fungsi sebagai penopang keseinambungan
dan stabilitas kebudayaan.
Berangkat dari beberapa
tulisan tersebut di atas bahwa Jaranan Jawa sangat dekat dengan teori yang
dimaksud yaitu sebagai fungsi ritual, sosial dan sekaligus juga sebagai hiburan
bagi masyarakat pendukungnya
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1.
Tujuan Penelitian
Pendekatan
dalam penelitian Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri dengan sampel pada grup
“Taruna Budaya” di kecamatan Keras Kabupaten Kediri, adalah deskriptif
analisistis yaitu sebuah kerja pengamatan secara menyeluruh yang hasilnya
dilaporkan dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian tentunya merupakan suatu
deskripsi sekaligus sebagai bentuk pendeskripsian dari salah kesenian
yang tumbuh dan berkembang di daerah khususnya di Desa Keras, kecamatan Keras
kabpaten Kediri.
Untuk
memfokuskan penelitian serta mencapai hasil yang maksimal maka penelitian juga
disesuaikan pada tujuan penelitian yaitu:
- Ingin
mengetahui bentuk pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?
- Ingin
mengetahui lebih dalam bahwa kesenian Jaranan Jawa merupakan satu bentuk
kesenian yang lahir dari kalangan petani.
- Ingin
mengetahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan dan
perubahan dalam pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?
3.2.
Manfaat Penelitian
Secara
teoritis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran
pada analisitis dari hasil karya seni dalam bentuk deskriptif. Mengingat bahwa
fenomena pada saat ini kesenian yang mudah dikenal adalah yang bersifat
komersial, sementara itu kesenian yang bersifat tradisi atau kerakyatan tidak begitu mendapatkan perhatian dari
masyarakat apalagi sampai pada tingkat bisnis. Aktivitas untuk penyelenggaraan kegiatanpun bersifat
penyajian masih sangat terbatas, terkadang tergantung ada atau tidak adanya
yang menanggap. Pada kepentingan tertentu sekelompok pendukung itupun harus
mengadakan kegiatan dengan kemauan sendiri dengan swadana. Berkaitan dengan
hasil penelitian ini nantinya berharap memiliki manfaat bagi siapa saja dan
dalam kepentingan apapun.
Manfaat
dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Hasil penelitian menambah kepustakaan
baik ditingkat daerah dalam kepemilikan pemerintahan ataupun pihak lain
sebagai media informasi tentang kesenian Jaranan Jawa. Sekaligus sebagai
bentuk pengenalan dari kalangan pembaca.
- Sebagai betuk dokumentasi dan sebagai
literature bagi pengembangan ilmu seni tradisi dalam upaya pengembangan
kesenian utamanya bagi peneliti selanjutnya.
- Menambah kepustakaan di mana penulis
mengabdikan diri yaitu di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya yang
merupakan tempat studi bidang seni. Hasil penelitian yang di koleksi di
perpustakaan tersebut setidaknya akan memberikan informasi bagi dosen dan
mahasiswa dalam memperkaya pengetahuan dari kesenian tradisi.
- Khususnya bagi penulis dari hasil
penelitian diharapkan menambah kepustakaan yang bermanfaat dalam menambah
materi ajar selama penulis melaksanakan tugas. Beberapa mata kuliah yang
terkait dengan hasil penelitian antara lain, mata kuliah metode
penelitian, mata kuliah sejarah seni, sosiologi seni dan beberapa mata
kuliah yang lainnya yang terdapat dalam kurikulum jurusan Seni Karawitan
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Penentuan Sampel
Kesenian
Jaranan Jawa di berbagai daerah pada prinsipnya secara umum memiliki kesamaan.
Mengingat bahwa di Kabupaten Kediri memiliki beberapa grup yang hampir ada pada
setiap wilayah kecamatan, maka penelitian ini menentukan lokasi di
Kecamatan Keras kabupaten Kediri yaitu pada grup Taruna Budaya yang dipimpin
oleh Kasim (57 tahun). Dipilihnya grup tersebut berdasar pada :
a. Aktivitas dari grup Taruna Budaya baik
dalam pementasan atau pertunjukan serta keorganisasiannya
b. Grup Taruna Budaya secara lokasi merupakan
perbatasan antara kabupaten Kediri dan Kediri, hal ini memudahkan dalam mencari
perbandingan, mengingat bahwa Kabupaten Kediri juga merupakan salah satu
wilayah sebagai pusat perkembanan kesenian Jaranan.
c. Secara transportasi mudah dijangkau dari
segala arah, sehingga memudahkan dalam kepentingan komunikasi dalam upaya
pengupulan data.
4.2. Penentuan Informan
Penentuan informan dalam hal ini
dimaksudkan untuk menempatkan seseorang sebagai nara sumber yang bisa
memberikan keterangan berupa informasi atau data sesuai yang diharapkan
penulis. Kriteria yang digunakan dalm penentuan informan yaitu:
a. Informan mengetahui betul tentang
budayanya sendiri (Reyog Kediri) dengan baik dan secara alami.
b. Keterlibatan langsung artinya informan
selalu melaksanakan (berkesenian) secara berulang-ulang dan selalu mengingat
secara garis besar apa yang pernah dilakukan
c. Waktu yang cukup, artinya informan banyak
mempunyai waktu atau tidak terlalu sibuk dan mudah untuk diwawancarai
Untuk
mencari informan selanjutnya peneliti mencari informan di luar pelaku yaitu
pada tokoh masyarakat dan juga pejabat pemerintahan yang ada keterkaitannya
dengan pengembangan seni budaya khususnya di Kabupaten Kediri. Selain beberapa
informan yang telah ditentukan berdasar kriteria, penulis juga mencari informan
relawan yang ditemui di lapangan, yaitu orang-orang yang mampu diajak berbicara dan dari mereka akan
diperoleh data.
4.3. Teknik Pengumpulan Data
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan pada
metode penelitian kualitatif. Dengan mengumpulkan data dan sampel untuk
dicermati dan dianalisis. Dalam pengumpulan data penulis melakukan dengan
metode wawancara, pengamatan langsung dan studi dokumentasi.
4.3.1. Wawancara
Salah satu
proses dalam pengumpulan data penulis menggunakan teknik wawancara dengan
tujuan untuk mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seorang
responden, (Koentjaraningrat, 1997:1290). Dalam melakukan pengumpulan data
peneliti mengacu pada prinsip-prinsip Spradley bahwa peneliti wajib: (1) menyimpan
pembicaraan informan; (2) membuat pejelasan berulang; dan (3) menegaskan kembali
apa yang telah dinyatakan oleh informan, (Spradley, 1997:106).
Pada saat
melakukan wawancara peneliti menggunakan bahasa Jawa (bahasa sehari-hari) untuk
memudahkan dalam menciptakan keakraban
di antara peneliti dan informan. Melalui suasana memudahkan dalam
melakukan wawancara dan tidak akan membuat perasaan informan dalam situasi
formal. Proses dalam pencatan data yang diperoleh dari wawancara peneliti
menggunakan (1). Pencatatan langsung; (2). Pencatatan dari ingatan; (3).
Pencatatan dengan alat recording, Koentjaraningrat, 1997:151-155). Pencatatan langsung dimaksudkan untuk
mencatat secara langsung pernyataan dari informan dalam buku atau kertas yang
telah dipersiapkan. Pencatatan dari ingatan dilakukan setelah peneliti
melakukan wawancara tanpa alat bantu, informasi disimpan dalam ingatan
selanjutnya ditulis dalam bentuk catatan. Sedangkan pencatatan dengan alat recording menggunakan tape recorder untuk merekam semua
pembicaraan pada saat melakukan wawancara. Ketiga hal tersebut dilakukan oleh
penulis mengingat bahwa wawancara dilakukan tidak hanya sekali tetapi
berulang-ulang.
Nara sumber
atau informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tokoh, pemerhati seni,
seniman pelaku.
4.3.2.
Studi Pustaka
Melalui
studi pustaka, diperoleh data-data yang berasal dari sumber-sumber tertulis
dengan cara membaca buku-buku atau tulisan artikel jurnal yang memiliki
relevansi dengan permasalahan yang diteliti. Buku-buku dan beberapa tulisan
artikel tersebut diperoleh dari antara lain dari perpustakaan kantor Dinas
Pariwisata kabupaten Kediri dan Kediri.
Kepustakaan
yang lain juga di peroleh dari perpustakaan STKW Surabaya. Keterbatasan dalam
memperoleh kepustakaan memang merupakan persoalan ketika di daerah masih
terbatas dengan koleksi dokumen dalam bentuk tulisan.
4.3.3.
Pengamatan Langsung (observasi)
Proses
pengamatan terhadap pertunjukan Jaranan Jawa sebenarnya bagi penulis bukan
merupakan sesuatu hal yang baru, sebab penulis yang lahir dan menetap di Kediri
sudah akrab dengan pertunjukan dimaksud. Pengamatan dilakukan melalui
pertunjukan yang dilakukan oleh Grup Taruna Budaya baik dalam pementasan atau
latihan biasa. Secara rutin Grup Taruna Budaya melakukan pembinaan sebagai
upaya peremajaan pemain Jaranan Jawa meskipun masih banyak menemui kendala.
Pada saat
pertunjukan dan latihan tersebut penulis melakukan pengamatan untuk memperoleh
data sebagai bahan dalam penyusunan laporan penelitian. Untuk memperkaya atau
melengkapi data dalam bentuk gambar utamanya pada ragam gerak, dan busana,
secara khusus penulis menggambil gambar dengan kamera/ hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh gambar yang maksimal dan jelas untuk membantu penyampaian
informasi.
4.3.4.
Studi Dokumentasi
Selain
mengadakan pengamatan langsung untuk memperoleh data dalam penelitian juga
mengadakan studi dokumentasi. Sumber yang digunakan dalam kegitan studi
dokumentasi yaitu hasil rekaman audio visual dalam bentuk CD (Compact Disk) yang diperoleh dari hasil
pementasan Jaranan Jawa dan dokumen pribadi dan diperoleh melalui kios-kios
penjualan kaset. Foto-foto pertunjukan yang diperoleh dari dokumen Dinas
Pariwisata Kediri atau koleksi pribadi.
4.3.5. Teknik Analisis Data
Seperti
telah disampaikan di depan bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif yang berupa deskripsi yang mendalam terhadap pertunjukan Jaranan Jawa Kediri utamanya di
kecamatan Keras Kabupaten Kediri. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan dan mengkategorikan data.
Untuk
membuat pernyataan dalam bentuk deskripsi tentang pertunjukan Jaranan Jawa meliputi, struktur pertunjukan,
pendukung pertunjukan, bentuk iringan dan sebagainya dalam melakukan
analisisnya yang banyak berbicara adalah data yang telah diperoleh di
lapangan. Oleh karenanya penelitian dalam
tahap pengumpulan data dilakukan secara berulang-ulang dan selalu dilakukan
pengulangan.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
PERTUJUKAN JARANAN
JAWA
5.1.
Elemen Pendukung Kesenian Jaranan Jawa
5.1.1.
Latar belakang Pendukung
Pusat kegiatan
grup kesenian Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo”, berada di rumah Bapak
Kosism Sanjaya yang sekaligus sebagai pimpinan grup, tepatnya desa Kras RT 01/RW04, kecamatan Kras,
Kabupaten Kediri. Rumah kediaman pimpinan grup biasanya sekaligus sebegai
tempat penyimpanan semua perangkat kesenian Jaranan Jawa, meliputi pakaian, property,
alat music dan piranti yang lainnya. Pimpinan juga sekaligus sebagai sesepuh
yang sebenarnya mempunyai tugas berat selain sebagai ketua juga bertanggung
jawab atas perawatan semua perangkat yang dimilikinya. Hal demikian inilah
termasuk pengrobanan bagi seorang pimpinan kesenian tradisional yang tidak
menghitung keuntungan yang didapatnya tetapi karena didorong oleh keinginan
untukselalu melestarikan seni tradisi tinggalan para leluluhurnya. Motivasi
inilah yang dimiliki oleh para tetua sebagai pewaris dari para leluhurnya dan
sekaligus memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan seni tradisi.
Secara
keorganisasian grup kesenian Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo” juga telah
terdaftar pada organisasi kesenian dengan nomor induk Organisasi:
431.1/182/418.56/2010 di bawah kedinasan kabupaten Kediri. Struktur Organisasi
terdiri dari : Pimpinan/Sesepuh Kosim
Sanjaya, Sekretaris Sumono dan
bendhahara Sunarto. Sedangkan tata kerja dilakukan berdasarkan kerukunan dan
kegotongroyongan. Perihal manajemen terpusat pada kebijakan dari pimpinan dan
persoalan kesalahpahaman tidak pernah terjadi dikarenakan pertunjukan bukan
untuk menjadi sumber penghidupan namun sebagai hiburan dan untuk melestarikan
kesenian di daerahnya. Hal inilah yang menjadikan satu motivasi tersendiri bagi
grup kesenian Jaranan Jawa di kecamatan kras kabupaten Kediri
Sebagaimana
diwujudkan dalam pemberian nama grup yaitu Turonggo Putro Budoyo yang menurut
Kosil Sanjaya dimaknai bahwa Turonggo artinya kuda, Putro adalah anak dan budaya
adalah warisan. Jika diuraikan mempunyai makna bahwa sebagai anak (keturunan)
memiliki tanggung jawab melestarikan kesenian Jaranan Jawa warisan budaya dari
leluhurnya, (wawancara, Kosim Sanjaya). Pada kenyataannya grup kesenian
tersebut didominasi oleh kalangan keluarga sendiri, yang berasal dari cucu
buyut dari generasi sebelumnya. Dengan demikian grup ini menjadi bertahan
secara turun temurun, namun juga selalu membuka kepada siapa saja yang berminat
untuk bergabung pada grup Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo”
Kesenian Jaranan Jawa Grup Putra Budaya di desa
Kras Kecamatan Kras Kabupaten Kediri pendukung pertunjukannya berasal dari
latar belakang yang sangat beragam. Mayoritas dari kalangan petani atau buruh
tani, akan tetapi juga ada yang berprofesi sebagai tukang kayu, tukang becak,
kuli, pengrawit. Selain berbagai profesi apabila dilihat dari silsilah keluarga
sebagian besar pendukung masih memiliki garis keturunan keluarga. Artinya
antara pendukung berasal dari sebuah keluarga yang secara turun temurun
mewarisi kesenian Jaranan Jawa dari kakek atau orang tuanya, kalaupun bukan
anggota keluarga juga berasal dari tetangga atau lingkungan di sekitar tempat
organisasi Jaranan Putro Budoyo berkembang.
5.2.
Penokohan
dan peranannya
5.2.1.
Penari
Jaranan
Berdasarkan pada
data yang diperoleh selama melakukan penelitian rata-rata penari berusia di
atas 50 tahun, yang semuanya dilakukan oleh kaum laki-laki.melihat dari faktor
usia tentunya sudah tidak mampu lagi untuk melakukan gerakan-gerakan pada
tarian jenis jaranan, namun karena fisik yang terlatih melalui pekerjaan harian
maka sangat mendukung pada konsistensi kekuatan fisik untuk melakukan
gerakan-gerakan yang keras dalam arti
membutuhkan tenaga dan fisik yang kuat.
Berikut data para penari Jaranan
Jawa pada Grup Turonggo Putro Budoyo di desa Kras, Kecamatan Kras Kabupaten
Kediri:
No.
|
Nama
|
Usia
|
Peran
|
1.
|
Mujiono
|
52
|
Penari Jaranan
|
2.
|
Sukarli
|
52
|
Penari Jaranan
|
3.
|
Tukiyat
|
50
|
Penari Jaranan
|
4.
|
Sunarto
|
51
|
Penari Jaranan
|
5.
|
Sutaji
|
63
|
Penari Jaranan
|
6.
|
Suyanto
|
53
|
Penari Jaranan
|
7.
|
Seni
|
52
|
Penari Barongan
|
8.
|
Katiman
|
61
|
Penari Celeng
|
9.
|
Dian
|
40
|
Penari Thethekmelek
|
10.
|
Kosim Sanjaya
|
59
|
Juru Gambuh
|
11.
|
Tukilan
|
60
|
Asisten Juru Gambuh
|
12.
|
Sugik
|
42
|
Asisten Juru Gambuh
|
Secara rinci jumlah penari jaranan
teridiri dari 6 (enam) orang, 1 orang penari Barongan, 1 orang penari Celengan
dan 1 orang penari Thethekmelek. Masing-masing peran bias dilakukan oleh siapa
saja tergantung pada kondisi, karena pada prinsipnya setiap orang dapat
melakukan berbagai peran, namun daftar tersebut di atas diambil berdasarkan
pada kebiasaan yang dilakukan oleh grup Jaranan Putro Budoyo.
5.2.2.
Juru Gambuh
Juru gambuh
diartikan seseorang yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mampu
mengendalikan jalannya pertunjukan. Kemampuan tersebut bersifat pada spiritual
yang memiliki kemampuan berkomunikasi
pada penguasa danyang alam
sekitar pertunjukan. Kemampuan yang lain mampu menetralkan kembali kepada para
penari yang sedang ndadi mengalami ndadi (trance) dari alam tidak sadar
menjadi pulih kesadarannya sebagaimana sebelum.
Pada inti
komunikasi yang dilakukan oleh juru gambuh adalah permohonan ijin dan
keselamatan selama melakukan pertunjukan pada lokasi yang ditempati yang
diucapkan melalui mantra-mantra yang merupakan warisan dari para luluhurnya.
Persyaratan dalam komunikasi disertai dengan sesaji lengkap yang telah
disediakan sendiri oleh grup kesenian jaranan.
Untuk memperoleh
kekuatan dan mantra-mantra bagi seorang juru gambuh melalui beberapa tata laku
yang telah disyaratkan oleh para leluhurnya antara lain dengan sesuci, berpuasa
dan bertapa. Hal tersebut juga dilakukan
oleh Kosim Sanjaya sebagai juru Gambuh di grup Jaranan Putro Budoyo, dan
menurut keterangannya yang terberat selama melakukan tata laku tersebut adalah
puasa selama 40 hari yang tidak disertai makan pada waktu malam hari namun
cukup minum air putih dan merokok saja.
Tatalaku menjadi
persyaratan yang terbarat untuk menjadi seorang juru Gambuh karena tidak setiap
orang mampu dan mau melakukannya. Menurut Kosim Sanjaya untuk menjadi seorang
juru gambuh seperti apa yang dialaminya mendapatkan wangsit (bisikan) untuk
melanjutkan menjadi juru gambuh, dan biasanya orang tersebut juga merupakan
ahli waris atau sifat keturunan dari para leluhurnya. Setelah menjadi juru
Gambuh pun harus tetep melakukan tatalaku diantaranya puasa secara rutin agar
apa yang telah diperolehnya tetep terpelihara dan terkontrol pada perilakunya
sendiri, sebab ada beberapa pantangan setelah benar-benar menjadi seorang juru
gambuh.
Dalam
menjalankan tugasnya seorang juru gambuh biasanya dibantu oleh beberapa asisten
atau pembantu, dikarenakan pada saat menyembuhkan pemain yang sedang ndadi memerlukan tenaga yang kuat. Pada
kesenian Jaranan Jawa jika pemain sedang ndadi bias mengeluarkan tenaganya
berlipat dari kekuatan kesehariannya. (wawancara dengan Kosim Sanjaya). Berikut
gambar sang Juru Gambuh yang sedang melakukan tugasnya sebelum pertunjukan
dimulai.
5.2.3. Tokoh Barongan
Tokoh
barongan merupakan tokoh binatang yang buas yang hidup di hutan, yang suka
memakan hewan ternak dan merusak lahan pertanian. Sosok binatang tersebut
menjadi musuhnya petani. Barongan dalam pertunjukan jaranan merupakan
malapetaka yang harus disingkirkan. Barongan dalam Jaranan Jawa merupakan
visualisasi dari naga raksasa, diperankan oleh penari dengan menggunakan topeng
bagian kepala ular dan topeng ular ini mempunyai dua fungsi yaitu sebagai
penutup kepala/topeng dan sekaligus sebagai properti.
5.2.4. Tokok Celengan dan Thethekmelek
5.2.5. Musik Pengiring
Seperangkat instrument dalam
kesenian jaranan jawa terdiri dari beberapa alat music tradisional yaitu tiga
buah angklung, kethuk kenong, kempol gong, slompret dan kendang. Fungsi alat
tersebut sebagai pengiring pada pertunjukan dang ending-gending yang dimainkan
mengacu pada gending tradisional, seperti gending Gondhoriyo, Loro-loro, dan
beberapa gending dolanan bahkan pada sekarang juga beberapa gending atau lagu
campursari.
Nada angklung terdiri dari nada 6
dibaca (nem), nada 2 dibaca (ro) dan nada 1 dibaca (ji). Tehnik membunyikan
angklung dengan digoyang atau digetarkan untuk menghasilkan bunyi, dengan
tehnik bersaut-sautan. Contoh pola tabuhan angklung:
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
6
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
6
|
.
|
.
|
.
|
2
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
2
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
1
|
.
|
.
|
.
|
1
|
.
|
.
|
.
|
1
|
.
|
.
|
.
|
1
|
.
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
3
|
.
|
Tehnik tabuhan kenong kempul:
.
|
.
|
.
|
N
|
.
|
.
|
.
|
P
|
.
|
.
|
.
|
N
|
.
|
.
|
.
|
P
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
.
|
Sedangkan instrument slompret lebih
dominan bernada pelog, dan fungsi slompret dalam kesenian jaranan untuk mengisi
lagu,mengingat bahwa instrument yang lainnya berpola pada tahnik pola ritme.
Pengendali dari jalanya iringan (irama) terletak pada isntrumen kendang, yang
sekaligus sebagai pembari tanda atau aksen
pada setiap pergantian gerak penari jaranan.
Daftar Pendukung Iringan kesenian
Jaranan Jawa grup “Turonggo Putro Budoyo”
No.
|
Nama
|
Usia
|
Peran
|
1.
|
Seni
|
52
|
Pengendang
|
2.
|
Tukilan
|
63
|
Penabuh Angklung 1
|
3.
|
Suparni
|
51
|
Penabuh Angklung 2
|
4.
|
Kardi
|
60
|
Penabuh Angklung 3
|
5.
|
Murdani
|
65
|
Penabuh Gong
|
6.
|
Hartoyo
|
38
|
Penabuh Kethuk
|
7.
|
Mujiyanto
|
49
|
Peniup Slompret
|
8.
|
Suti
|
50
|
Vokal
|
9.
|
Didik
|
43
|
Vokal/Pengendang
|
Daftar pengiring bersifat fleksibel dan bias
diganti oleh siapapun, mengingat bahwa dalam pertunjukan kesenian tradisional
banyak partisipan yang ikut mendukung setiap kali pertunjukan. Hal tersebut
juga menjadi salah satu cirri kas dalam sebuah komunitas seni tradisional.
5.2.6.
Tata Busana
Tata busana
dalam kesenian Jaranan Jawa nampak sangat sederhana sekali sebagaimana pakaian
keseharian sebagai seorang petani khususnya saat bekerja di sawah. Busana
penari Jaranan Jawa terdiri atas; iket kepala (udheng), celana hitam, jarit dan
stagen. Busana yang dikenakan pada bagian atas
yaitu iket. Pada badan celana, jarit dan stagen. Sedangkan penari
Jaranan Jawa tanpa menggunakan rias apapun, sehingga nampak wajah asli dari
para penari. Penari Jaranan Jawa juga tidak mengenakan baju atau disebut ngliga (Jw) artinya tanpa baju.
Sebagaimana dalam gambar berikut.
Pada contoh foto tersebut penari
kelihatan natural atau dalam bahasa Jawa ngliga (tanpa baju) dan tanpa rias,
dan tentu saja nampak bukan seorang seniman yang siap melakukan pertunjukan
namun selayaknya petani yang siap untuk beraktivitas di sawah.
Kesederhanaan
dari tata busana tersebut menjadi salah satu cirri pada sebuah kesenian Jaranan
jawa dan hal tersebut juga mengidentikan seorang petani yang sedang
melaksanakan aktivitas harian yang selalu bekerja di sawah. Pada awal mulanya
pakain betul-betul merupakan pakaian keseharian dalam bekerja di sawah, dank
arena telah diorganisir dengan baik maka untuk menambah nilai keindahan maka
pakaian tersebut diseragamkan mulai dari iket kepala, celana, stagen dan jarit
yang digunakannya.
Berikut
penjelasan tata busana pada kesenian Jaranan Jawa pada grup Putra
Budaya di desa Kras kecamatan Kras Kabupaten Kediri.
5.2.6.1.Iket pada bagian kepala
Udheng atau
sering disebut juga iket, yaitu selembar kain yang bentuknya segitiga berwarna
hitan atau coklat dengan motif bebas yang dikenakan pada bagian kepala. Cara
pemakaiannya diikat di atas kepala dengan sudut tengah iket diletakkan di dahi
kedua ujung ditarik ke depan kemudian melingkar dengan ikatan bagian belakang
kepala. Kostum berupa udheng tersebut dalam keseharian juga sering dipakai para
petani saat bekerja di sawah atau tegal sebagai pengikat dan sekaligus penutup
kepala. Berikut bentuk udeng yang dipakai oleh penari Jaranan Jawa pada grup
Putra Budaya desa Kras.
5.2.6.2.Celana hitam
Celana yang
dipakai dalam kesenian Jaranan Jawa berwarna hitam ukuran ¾ atau biasa disebut
dengan celana kolor dengan kombinasi warna merah dalam bentuk garis lurus pada
samping kanan dan kiri. Bentuk celana demikian ini sudah sedikit pengembangan
karena celana yang sebelumnya hanya celana warna hitam polos tanpa kombinasi
warna lain. Pemakaian celana sebagaimana kebiasaan dalam berpakaian seorang
petani yang sedang atau bekerja di sawah atau tegal. Berikut gambar celana yang
dipakai sebagai kostum penari dalam Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo”
5.2.6.3.Jarit
Jarit atau
kain panjang berwarna putih dengan motif kawung. Pada awalnya kain yang
digunakan seadanya dikarenakan telah memiliki khas hasil tabungan atau iuran
anggota maka telah diupayakan seragam atau satu motif. Cara pemakaiannya sangat sederhana dan
ditumpangi dengan stagen untuk memperkuat agar lilitan jarit pada badannya
tidak mudah lepas.
Jarit yang dipakai dalam kesenian jaranan jawa
seperti pada gambar berikut:
5.2.6.4.Stagen
Stagen yang
dimaksud segulung kain panjang dengan lebar sekitar 20 cm dan panajang sekitar
3 meter.yang digunakan melingkar pada bagian pinggang. Stagen digunakan setelah
kain panjang atau jarit secara bertumpuk sekaligus sebagai pengikat jarit.
Ujung stagen dibentuk segitiga dan diselipkan pada tumpukan stagen sebelumnya,
hal tersebut sebagai pengikat dari tumpukan stagen agar tidak
mudah terlepas saat pertunjukan. Berikut gambar stagen dan cara pemakaiannya.
5.3. Properti
Property
merupakan satu perangkat yang digunakan dalam kesenian jaranan jawa saat
melakukan pertunjukan. Seperangkat property tersebut apabila tidak melakukan
pertunjukan disimpan di markas organisasi atau di rumah pimpinan kelompok,
sekaligus menjadi tanggung jawab pimpinan untuk selalu merawatnya. Property pokok
pada kesenian Jaranan Jawa grup Turonggo Putro Budoyo, antara lain terdiri
dari,jaran kepang, cemeti/cambuk, topeng, celengan, barongan. Berikut contoh foto dari sebagian perangkat
atau property:
Bentuk Jaran kepang, yang terbuat
dari bamboo yang dianyam dan dibentuk semacam kuda dengan dilukis dengan chat
warna merah dan putih serta diberi rambut dari ijuk.
Jaran
kepang dan cemeti kecil yang sejumlah 6 buah dipakai oleh para penari,
sedangkan cemeti besar dipakai untuk juru gambuh.
Properti yang lain
5.4. Arena Pentas
Pertunjukan
Jaranan Jawa tidak menuntut standart tempat yang baku, kebiasaan penyajian
dilakukan di halaman rumah, tanah lapang atau pada tempat terbuka. Secara
sederhana tempat yang dibutuhkan adalah bersih dari benda-benda seperti paku, pecahaan kaca dan
sebagainya yang mengakibatkan adanya hal-hal di luar teknis mengingat para
pemain hanya beralaskan kaos kaki. Mengingat bahwa selama pertunjukan akan
terjadi mobilitas yang cukup tinggi, mulai dari gerakan pemain, penonton, tamu
undangan sampai para penjual
jajanan.
Beberapa bentuk pentas dalam seni pertujukan seni tradisi
yang dikenal di Indonesia antara lain, arena, prosenium, dan campuran (Rina,
2003:17). Tempat pementasan Jaranan Jawa digolongkan dalam bentuk arena yang
merupakan bentuk sederhana apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk lainnya, (ibid). Batas antara pemain dan penonton
tidak ada sehingga penonton dapat terlibat langsung dalam pementasan. Situasi
yang demikian memperlihatkan suasana yang akrab dan terjadi komunikatip antara
pemain dengan penontonnya. Kesederhanaan dan keakraban dalam sebuah pertunjukan
merupakan ciri-ciri dari khas arena pentas, (Pramana, 1983:13).
Berikut bentuk sketsa gambaran
dari arena pertunjukan Reyog Tulungagung dengan mengambil contoh di halaman
rumah. Penggambaran dalam sketsa tersebut mengambil contoh dalam bentuk persegi
panjang, hal demikian untuk memperjelas atau mempermudah dalam menunjukkan
posisi dari keseluruhan elemen pendukung dalam pertunjukan.
Keterangan :
1
letak
kendang
2
Ketuk
3
Gong
4
Vokal
5
Sronen
6
Angklung
1
7
Angklung
2
8
Angklung
3
9
Tempat
sound system
10
Sesaji
11
Tempat
membakar kemenyan
12
Tempat
pentas penari
5.4. Tata Lampu dan tata Suara
Penggunaan
tatalampu terhantung pada waktu pertunjukan, apabila di malam hari tentunya
membutuhkan lampu sebagai penerang arena pertunjukan. Akan tetapi dalam
pertunjukan kesenian jaran Jawa hanya diperlukan sebagai penerang dan tidak
memerlukan tata cahaya sebagaimana pada jenis pertunjukan yang dilaksanakan di
atas panggung. Lampu yang digunakan bias menggunakan lampu biasa atau
obor/oncor yang bahan bakarnya dari minyak tanah. Demikian halnya dengan tata
suara juga sangat tergantung pada kebutuhan, namun pada saat ini jika tidak
menggunakan alat bantu atau yang disebut sound system tentunya mengurangi
kepuasan. Keadiran tata suara dalam pertunjukan sebagai media bantu pengeras suara dari perangkat
alat music dan vocal.
5.5.Sesaji
Istilah
sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa lebih akrab dikenal dengan sajen (bhs Jawa). Sesaji merupakan
bagian pokok yang tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan dalam berbagai
aktivitas hajatan yang telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun.
Rasa khawatir atau kebimbangan akan muncul ketika akan meninggalkan atau tanpa
sesaji. Khususnya dalampertunjukan Jaranan Jawa sesaji adalah bagian dari
rangkaia pertunjukan. Sesaji dalam Jaranan Jawa terdiri dari:
a.
Benden yaitu jadah, panganan yang terbuat dari bahan
beras ketan
b.
Jenang
dan wajik yang dibentuk bulat-bulat
c.
Pisang
raja dua sisir
d.
Tumpeng
lengkap dengan lauk pauknya (ingkungan
ayam kampung)
e.
Beras
atau padi
f.
Mori
dan benang lawe
g.
Perlengkapan
kinangan yang terdiri dari daun sirih, kapur sirih, tembakau, gambir, jambe,
kemenyan dan uang logam
h.
Badek
i.
Gula
gimbal, gula gringsing
j.
Cok
bakal
k.
Tikar
ayam,
l.
Kaca
rias (pengilon)
m.
Sisir
n.
Minyak
wangi
o.
Bunga
kenanga
p.
Air
kendi (kendi bisa diganti dengan ceret)
BAB IV
STRUKTUR PENYAJIAN JARANAN
JAWA
6.1.
Bagian Awal
Pertunjukan
jaranan jawa grup Turonggo Putro Budoyo diawali dengan tetabuhan beberapa
gending yang dilakukan oleh para penabuh musik. Gending-gending yang dimainkan
masih bersifat gending tradisi di daerah Kediri seperti gending Loro-loro,
Gondoriyo atau lagu-lagu campursari,
mengingat bahwa masyarakat sangat menggemari campursari. Kebiasaan ini
dilakukan sebagai pertanda kepada masyarakat yang lain,bahwa pertunjukan
jaranan Jawa akan segera dimulai atau telah siap melakukan pementasan.
Setelah semua
peraga siap dan penonton juga telah terlihat hadir maka sang Juru Gambuh mulai
melaksanakan tugasnya, dan gending pun berubah pada gending khusus untuk
mengawali pertunjukan. Juru gambuh menuju halaman dan langsung duduk bersila
pada selembar tikar yang telah disiapkan oleh asisten juru gambuh. Seperangkat
sesaji termasuk dupa merupakan satu halyang tidak boleh ditinggalkan telah
ditata rapi dan seperngkat property pun telah dijadikan satu. Sembari mengambil
kemenyan sang Juru Gambuh mulai membacakan mantra disertai membakar kemenya.
Asap mengepul dan harum wangi dari kemenyan yang dibakar.
Gending untuk
mengawali pertunjukan mengiringi saat juru gambuh melakukan tugas awal yaitu
gending Sampak Sesaji. Tata laku sang Juru Gambuh, pertama meminta ijin kepada cikal bakal daerah tempat
pertunjukan dan memohon kepada sang
Pencipta untuk diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala gangguan selama
mengadakan pertunjukan dari awal hingga selesai pertunjukan. Membakar kemenyan
sebagai media untuk berkomunikasi dengan cikal bakal daerah tersebut dan diakhiri
dengan menghentakan tangan ketanah 3 kali dengan maksud memberi salam dapa sang
cikal bakal daerah pertunjukan.
Secara rinci
urutan tugas sang Juru gambuh sebagai berikut: (1). Suguh yaitu membuka acara
dan memulai pertunjukan dengan doa atau mantra; (2). Pagar-pagar yaitu
melalukukan mediasi untuk menjaga lingkungan dalampertunjukan agar tidak ada
yang mengganggu atau datangnya gangguan-gangguan dari luar arena pertunjukan;
(3). Nggambuh yaitu untuk memulangkan penari jaranan yag sudan kerasukan untuk
dinetralkan kembali dan pulih kesadarannya sebagaimana sebelum kerasukan.
Juru gambuh pada
tata laku terakhir dengan mencambukan cemeti besar ke arena pertunjukan sambil
menengadah ke atas dengan harapan permohonan pada sang Maha Kuasa. Berakhirnya
cambukan dari sang Juru Gambuh maka dimulailah pertunjukan kesenian Jaranan
Jawa.
6.2. Jejer Jaranan
Berakhirnya
gending sampak sesaji dilanjutkan pada iringan penari jaranan yang dengan cara
berpasangan mulai memasuki arena pertunjukan yang akhirnya sampai semua 6
(enam) penari memasuki arena pertunjukan. Istilah dalam kesenian Jaranan Jawa
grup Turonggo Potro Budoyo disebut tayuman, yaitu berjalan dengan melambaikan
cambuk kecil yang dipegang pada tangan kanan dan sementara tangan kiri memegang
jaran kepang. Formasi barisan yang dibentuk dengan pola lingkaran,garis lurus
atau berpindah posisi atau bertukar tempat. Gending yang mengiringi dengan
irama lamban atau rep dan disertai dengan tetembangan vocal. Adegan tersebut
dinamakan adegan jejer jaranan yang pada puncak adegan ini adalah adegan ndadi
yaitu 2 orang penari yang akan kesurupan. Diantara enam penari siapa nantinya
penari yang kesurupan tidak dapat ditebak. Menurut keterangan Kosim (sang juru
gambuh), tidak dapat dipastikan siapa yang bakal kesurupan karena ini menjadi
satu rahasis yang siapapun tidak dapat mengerti, hanya sang juru gambuh yang
tanggap pada tanda-tanda penari yang mulai kerasukan tentunya akan tanggap
untuk segera menangani secara khusus. Pada adegan kerasukan atau ndadi seorang
penari akan kerasukan pada arwah cikal bakal dan akan mempunyai kekuatan yang
luar biasa karena bias mengalahkan 5 atau 6 orang yang memeganginya.(wawancara
dengan Kosim 5 Mei 2011).
Dilanjutkan
keterangannya bahwa dari 2 orang penari yang kerasukan sebenarnya hanya 1 orang
yang kerasukan arwah dengan kekuatan yang luar biasa dan sementara yang 1 orang
lagi adalah pendampingnya. Sebagaimana kebiasaan bahwa setiap apa yang terjadi
selalu disertai dengan pendamping agar selalu ada yang mengawal atau disebut
sebagai pamomong. Pada puncak adegan jejer jaranan akan berakhir setelah pemain
yang kerasukan tersebut telah disadarkan kembali. Kapan dan berapa lama pemain
itu kerasukan yang dapat memperkirakan hanyalah sang juru gambuh yang dalam
artian tanggap sasmita terhadap perilaku penarinya.
Berikut contoh ragam gerak yang dimainkan oleh
para penari Jaranan Jawa Grup Turonggo Putro Budoyo
Ragam Gerak Jaranan Jawa
Pola Lantai melingkar berulang-ulang (lingkaran
Arang)
Posisi Lingkaran Rapet (dari
lingkaran besar ke lingkaran kecil).
Para penari
secara berurutan membentuk pola lingkaran dari besar menjadi rapat dan berjalan
berkeliling dengan posisi badan miring. Pola lingkaran yang lain dengan posisi
berhadap-hadapan dan berjalan maju kemudian mundur untuk membentuk pola
lingkaran besar dan kecil sesuai dengan irama gending. Setiap pergantian ragam
gerak atau pola ditentukan oleh pengendang yang member aksen-aksen atau tanda
untuk perubahan pada gerak yang satu ke gerak yang lainya.
Formasi penari jaranan dalam pertunjukan dapat
dilihat dari beberapa bentuk yaitu
seperti Lingkaran, garis lurus, bertukar
barisan dan sebagainya sebagaimana pada pola yang tergambar di bawah ini:
Contoh Pola Lantai dalam formasi
lingkaran, penari berhadapan berjalan maju ketika formasi lingkaran kecil dan
akan berjalan mundur ketika formasi membentuk lingkaran besar. Berjalan maju
atau mundur sesuai dengan irama gending yang dimainkan oleh grup pengiring dan
aksen-aksen perubahan ditentukan oleh pengendang.
Contoh Pola Gerak lurus, penari berhadapan dan saling berdiri searah
dan berpasangan untuk membentuk pola garis lurus.
Contoh Pola bertukar tempat, merupakan perubahan dari pola garis lurus selanjutnya membentuk pola
bertukar posisi, dengan berjalan beriringan antar penari yang satu dengan
penari yang lainnya.
Contoh
Pola Sejajar posisi ini dilakukan perubahan setelah bertukar tempat.
Kembali penari membentuk formasi garis lurus dan berhadap-hadapan. Posisi badan
akan berubah miring ketika akan melakukan perubahan ke posisi lingkaran begitu
seterusnya.
Contoh
Pola posisi penari, pada saat berjalan berpapasan di tengah-tengah dan badan
berhimpit menjadi satu garis lurus (menjadi post), yang selanjutnya penari
berjalan kembali menjadi formasi 2 baris.
Pola lantai
merapat adu badan terus trance/ndadi
setidaknya urutan ini yang dilakukan oleh kelompok penari jaranan. Pada posisi
adegan ndadi atau penari kesurupan,penari bebas untuk melakukan gerakan sesuai
dengan keinginan penari. Akan tetapi setiap gerak-gerik penari yang sedang
kesurupan akan menjadi pusat perhatian oleh seluruh anggota grup dan tentunya
oleh semua penonton, karena ini menjadi salah satu adegan yang sering
ditunggu-tunggu oleh penonton.
Contoh penari Jaranan Jawa yang kesurupan atau ndadi,
terlihat bahwa mata penari kelihatan menyeramkan yang terlihat hanya warna
putih dari bagian kelopak matanya.
|
6.3. Babak Barongan
Disebut dengan
Babak Barongan, adegan ini sebagai center pertunjukan adalah pemain barongan.
Mengawali adegan ini secara khusus
pemain barongan mendapatkan mantra dari juru gambuh dengan posisi di
tengah-tengah arena dengan dihadapkan pada dupa tempat pembakar kemenyan.
Selesai pemberian mantra khusus posisi penari barongan tetap berada ditengah
arena dan para penari jaranan yang sejumlah 6 penari masuk satu persatu dengan
membentuk formasi lingkaran dengan mengelilingi penari barongan. Posisi Barongan di tengah lingkaran
kecil/rapat
Contoh pola posisi penari saat
berada di tengah-tengah arena pertunjukan dalamposisi lingkaran kecil, semua
penari merapat dan biasanya di tengah-tengah ditempati penari barongan sebagai
center atau titik tengah lingkaran tersebut.
= Posisi
penari barongan
Dupa yang telah diberi
kemenyan khusus sebelum adegan Barongan barongan posisi di tengah arena
6.4.Babak Celengan
Babak yang terakhir yaitu tampilan babak
celengan, ini merupakan babak akhir dalam struktur pertunjukan kesenian Jaranan
Jawa. Diawali dengan enam penari jaranan yang memasuki arena. Ragam gerak tidak
berbeda dengan adegan atau babak-babak yang lainnya. Ragam gerak pun ditentukan
oleh pengendang sesuai dengan yang dikehendaki.
Selanjutnya muncul tokoh penari celengan
yang diikuti oleh thethek melek. Tingkah laku thethekmelek serba lucu atau
melawak sesuai dengan kemampuan pemainnya. Satu filosofis kenapa penari
celengan selalu disertai dengan thethekmelek, yaitu diibaratkan sebagai seorang
pangon, atau penggembala.
Celengan yang pada intinya menggambarkan
seekor babi hutan yang suka merusak tanaman milik para petani, maka diusirlah
oleh para penari jaranan jawa. Dan klimaknya terjadi adegan semacam peperangan
yang berakhir pada adegan ndadi atau trance. Factor yang mempengaruhi para
penari dapat kesurupan secara logika telah mengalami kecapaian dan sifat
monoton pada tabuhan iringan dan jiwa pemain pun mengalami kekosongan maka akan
berakibat penari tersebut mudah kesurupan.
Tokoh Celengan yang selalu diikuti dengan Thethek
Melek
BAB VII
PENUTUP
Kesimpulan
Kesenian Jaranan Jawa di
kabupaten Kediri teridentifikasi merupakan salah satu jenis kesenian rakyat
yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat petani. Eksis dan tidaknya
tergantung dari para pelaku seni itu sendiri, sehingga tidak mustahil jika
beberpa kesenian tradisi kerakyatan telah banyak yang mengalami kevakuman baik
itu punah, tidak aktif lagi atau masih mampu bertahan dengan secara
keorganisasian. Sangat diperlukan dalam halini adanya kebijakan pemerhati yang
sekiranya mampu untuk mengembangkan baik dilakukan oleh kedinasan atau secara
pribadi.
Sebagaimana
kesenian Jaranan Jawa grup Turonggo Putro Budoyo, yang telah berusaha untuk
bertahan dan bahkan mengembangkan eksistensi keseniannya meskipun asal bias
bertahan.Kesenian yang merupakan ekspresi dari kelompok petani secara jelas
terlihat dari bentuk pertunjukannya mulai dari kostum atau tata busana yang
dikenakan yang betul-betul menampakan keorisinalitasnya sebagai petani dan
gerakan-gerakan yang sangat sederhana. Indikasi tersebut memberikan gambaran
bahwa dari kalangan petani mampu menelorkan salah satu jenis kesenian rakyat,
yang tentu saja hal ini sangat terkait dengan kepentingan social dan ritual
bagi seorang petani.
DAFTAR PUSTAKA
Humardani, SD. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta:
Akademi Karawitan Indonesia, 1983
|
Koentjaraningrat, 1997.
“Metode Wawancara”, dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat, Koentjaraningrat (Ed.).
Jakarta: Gamedia Pustaka Utama
|
Martiara, Rina. 2003,
“Pengaruh Timbal Balik Antara Arena Pertunjukan dan yang Dipresentasikan”,
dalam Kembang Setaman Persembahan untuk
Sang Maha Guru (Ed. Hermien Kusmayati), BP ISI Yogyakarta.
|
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi, Remaja,
Rosdakarya, Bandung
|
Soedarsono, RM.1985. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
|
Spradley, James P.1997. Metode Etnografi, terjemahan Misbah
Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana
|
Sugito, Bambang. 2005.
“Jaranan Tulungagung (Kajian Perubahan dan Perkembangan Pertunjukan Jaranan
di Kabupaten Tulungagung” dalam Jurnal
Dewa Ruci Jurnal Pengkajian dan
Penciptaan Seni, vol. 3 No.2 Desember 2005.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar