Rabu, 21 Oktober 2015

LAPORAN
PENELITIAN DOSEN










KESENIAN JARANAN JAWA
LAHIR SEBAGAI BENTUK EKPRESI
KEHIDUPAN MASYARAKAT PETANI



Oleh

SUYADI, S.Sn., M.Sn.
NIP 196508251994031002



JURUSAN SENI KARAWITAN
SEKOLAH TINGGI KESENIAN WILWATIKTA SURABAYA
SURABAYA
2012
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL
PENELITIAN MANDIRI BAGI DOSEN


1.   Judul Penelitian                                         :  Kesenian Jaranan Jawa Lahir
   sebagai Bentuk Ekspresi Kehidupan    
   Masyarakat Petani
2.   Bidang Ilmu                                              :  Seni Karawitan

3.   Ketua Peneliti                                          :
a. Nama Lengkap                                      :  Suyadi, S.Sn., M.Sn.
b. Jenis Kelamin                                        :  L
c. NIP                                                        :  196508251994031002
d. Pangkat/Golongan/NIP                        :  Penata/IIIc
d. Jabatan                                                  :  Lektor
e. Fakultas/Jurusan                                    :  Seni Karawitan
f.  Sekolah Tinggi                                      :  STK Wilwatikta Surabaya

4.   Jumlah Tim Peneliti                                   : 1 orang
5.   Lokasi Penelitian                                       :  Kecamatan Keras, Kabupaten  
   Kediri,  Jawa Timur
6. Biaya yang dibutuhkan                               :  Rp. 10.000.000
                                                                           (Sepuluh Juta Rupaiah)
7. Pencapaian Penelitian                                 : 100%

            Surabaya,
Mengetahui,
Ketua  Jurusan                                                                        Ketua Peneliti
Seni Karawitan



(Sabar, M.Sn.)                                                             (Suyadi, M.Sn.)
                                                                                    NIP. 196508251994031002

Menyetujui,
Ketua LP2M STKW Surabaya




(Drs. Suwarmin, M.Sn.)
NIP. 195210141973071001

KATA PENGANTAR

Kegiatan penelitian merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, seperti dalam peraturan Menteri   Koordinator Pengawasan dan Pengembangan Pendayagunaan Aparatur Negara (MENKOWASBANGPAN) No. 38 tahun 2009. Berdasarkan pada surat penugasan dari LP2M Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya seorang Dosen dituntut untuk melaksanakan Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan kompetensinya.

Berdasarkan pada hal tersebut di atas, Alhamdulillah pada semester genap tahun ajaran 2011/2012 penulis telah berhasil melaksanakan tugas tersebut khususnya pada bidang penelitian. Penelitian tersebut dengan mengambil materi bentuk kesenian tradisional (kesenian Jaranan Jawa) yang berada di desa Keras, kecamatan Keras, kabupaten Kediri.  Pelaksanaan penelitian diprogramkan selama  satu tahun akademik (2 semester).

Sampai dengan laporan ini disampaikan, pelaksanaan penelitian masih mencapai 50%, dari keseluruhan hasil yang dicapai. Selanjutnya pada semester berikutnya merupakan penyelesaian dari semua program penelitian dalam bentuk laporan hasil penelitian dosen.






ABSTRAK

Bekerja di sawah dari pagi sampai sore merupakan aktivitas petani dalam menggarap sawah atau ladangnya, mulai dari mencangkul menanam, memanen begitu seterusnya. Dari rutinitas keseharian tersebut terekpresi dalam tata cara mereka berkesenian, yang menggambarkan rutinitas pekerjaannya. Penggambaran aktivitas dalam keseharian nampak  pada kesenian rakyat Jatilan Jowo, yang menggambarkan kehidupan petani.  Kesenian lahir sebagai hiburan untuk mengurangi kejenuhan  dan menjadi tradisi dalam wujud syukur setelah masa panen selesai. Bergembira bersama dengan masyarakat lainnya.

Metode pendekatan kepada masyarakat sebagai upaya dalam penggalian data informasi, selain mengamati pada saat pertunjukannya. Menghubungkan dan menyajikan data-data yang telah diperoleh sebagai bahan penyusunan laporan penelitian. Selain itu didukung oleh studi dokumenter dan kepustakaan untuk memperkuat data bersifat informasi.

Hasil penelitian memberikan rekomendasi bahwa kesenian lahir dari kalangan petani dalam perwujudan gerak petani sebagai penggambaran bekerja di sawah, kostum/ busana bersahaja selayaknya saat bekerja, dan tanpa rias wajah, dengan iringan yang sangat sederhana. Dikisahkan bagaimana petani dengan musuh-musuhnya di sawah sebagai pengganggu di saat-saat menjelang panen, dan bagaimana usaha dari masyarakat petani yang akhirnya bisa mengusirnya dengan tolak balak.









DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
A. LAPORAN PENELITIAN
PRAKATA ……………………………………………………………….
ABSTRAK  .................................................................................................
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
1.1.       Latar Belakang  ...............................................................................
1.2.            Rumusan Masalah ............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
2.1. Tinjauan Sumber ...............................................................................
2.2. Kerangka Teori ..................................................................................
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...........................
3.1.            Tujuan Penelitian ...............................................................................
3.2.            Manfat Penelitian ..............................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN ...........................................................
4.1.            Penentuan Sampel ..............................................................................
4.2.            Penentuan  Informan .........................................................................
4.3.            Teknik Pengumpulan data ................................................................
4.3.1.       Wawancara ..............................................................................
4.3.2.      Studi Pustaka............................................................................
4.3.3.      Pengamatan Langsung...........................................................
4.3.4.      Studi Dokumentasi .................................................................
4.3.5.      Teknik Analisis Data ..............................................................
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN PERTUNJUKAN JARANAN JAWA
5.1.            Elemen Pendukung Kesenian Jaranan Jawa........................
5.1.1         Latar Belakang Pendukung ......................................
5.2.             Penokohan dan Peranannya..................................................
5.2.1.       Penari Jaranan ..........................................................
5.2.2.       Juru Gambuh .............................................................
5.2.3.       Tokoh Brongan............................................................
5.2.4.       Musik Pengiring .........................................................
5.2.5.       Tata Busana..................................................................
5.3.            Properti ....................................................................................
5.4.            Arena Pentas ...........................................................................
5.5.            Tata Lampu dan Tata Suara .................................................
5.6.            Sesaji .........................................................................................
BAB VI STRUKTUR PENYAJIAN JARANAN JAWA
6.1.   Bagian Awal ..............................................................................
6.2.   Jejer Jaranan  ............................................................................
6.3.   Babak Barongan ......................................................................
BAB VII PENUTUP
Kesimpulan.........................................................................................
Daftar Pustaka ...................................................................................


i

ii
iii
iv
v
1
1
7
9
9
10

13
14
16
16
16
17
18
19
19
20
20
22

22
22
24
24
25
27
28
30
35
37
39
39

41
42
49

53
54




BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Jaranan merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang berkembang pada kalangan masyarakat pedesaan. Berbagai aktivitas masyarakat sering melibatkan kehadiran kesenian jaranan sebagai media hiburan ataupun ritual.  Masyarakat mengenal beberapa jenis kesenian Jaranan yaitu; Jaranan Jawa, Jaranan Senterewe, Jaranan Sawunggaling dan sebagainya. Keragaman dari beberapa jenis kesenian jaranan tersebut tentunya mempunyai wilayah perkembangannya. Khususnya di kabupaten Kediri dikenal kesenian Jaranan Jawa bahkan hampir di setiap daerah di tingkat kecamatan memiliki grup kesenian jaranan. Masyarakat  mengenal Jaranan Jawa sebagai jaranan  tertua atau sebagai cikal bakal dari pertumbuhan bentuk kesenian jaranan yang lainnya.
Kesenian jaranan muncul sebagai bentuk apresiatif masyarakat petani yang mengimitasikan aktivitas prajurit atau kesatria yang sedang menunggang kuda disertai berlatih perang. Kuda dalam bahasa Jawa diartikan jaran. Istilah jaranan berasal dari kata  yaitu  jaran yang ditambah dengan akhiran an menjadi jaranan yang diartikan menirukan jaran atau kuda. Bentuk jaranan sebagai imitasi dari kuda yang digunakan sebagai kendaraan para prajurit atau kesatria.  Pada masa itu tidak sembarang orang bisa memiliki kuda dikarenakan harganya yang sangat mahal. Kuda atau jaran sebagai pendukung utama, maka kesenian tersebut lazim disebut dengan Jaranan.
Pertunjukan Jaranan Jawa terdiri dari beberapa elemen pendukung. Secara spesifik yang dimaksud elemen pendukung adalah sebaga berikut:
  1. Penokohan dan Peranannya:
a.       Penari Jaranan
Penari jaranan merupakan faktor pendukung utama, dengan rata-rata jumlah penarinya 8 orang. Penari Jaranan Jawa diperankan oleh kaum laki-laki.
b.      Juru Gambuh
Juru gambuh atau disebut juga pawang yang merupakan peran khusus yang tidak sembarang orang mampu berperan sebagai juru gambuh. Juru Gambuh memiliki kemampuan dalam mengendalikan pemain atau penari yang mengalami kesurupan atau trance ataupun situasi pada saat pertunjukan.
c.       Penari Penthul, Tembem dan Thethek Melek
Para tokoh tersebut mengenakan topeng  dan memiliki karakter dinamis dan gecul, dengan berbagai atraksinya untuk mengihubur para penonton. Fungsi peran tiga tokoh tersebut sekaligus digunakan sebagai mediator dalam penyampaian informasi yang disampaikan ke masyarakat atau penonton. Ketiga tokoh tersebut sebagai gambaran rakyat kecil sebagai abdi para tokoh-tokoh dikerajaan.   Menurut Koentjaraningrat (1994:223) penthul dn tembem dipakai sebagai contoh oleh rombongan pelawak-pelawak desa yang terdiri dari 5 orang termasuk pengiringnya.
d.      Tokoh Barongan
Tokoh barongan merupakan tokoh binatang yang buas yang hidup di hutan, yang suka memakan hewan ternak dan merusak lahan pertanian. Sosok binatang tersebut menjadi musuhnya petani. Barongan dalam pertunjukan jaranan merupakan malapetaka yang harus disingkirkan. Barongan dalam Jaranan Jawa merupakan visualisasi dari naga raksasa, diperankan oleh penari dengan menggunakan topeng bagian kepala ular dan topeng ular ini mempunyai dua fungsi yaitu sebagai penutup kepala/topeng dan sekaligus sebagai properti.   
e.       Tokoh Celengan (babi hutan)
Tokoh celengan merupakan penggambaran babi hutan yang suka merusak dan memakan tanaman petani. Tokoh celengan atau babi hutan dibawakan seorang penari dengan membawa properti berupa replika dari binatang babi hutan yang bercula atau juga disebut celeng. Selain celeng juga ada sosok peran anjing yang juga membawa replika binatang anjing.

  1. Musik Pengiring
Alat musik sebagai pengiring dalam pertunjukan Jaranan Jawa terdiri dari kempul, kenong, angklung, slompret, dan kendang. Selain alat musik juga dibawakan beberapa tembang dan juga lagu yang dilantunkan oleh tokok penthul atau tembem.
  1. Tata Busana
Busana yang digunakan dalamkesenian Jaranan Jawa yaitu celana hitam panjang (celana yang digunakan petani sewaktu ke sawah), kaos dalam (singlet), terkadang tidak memakai (ngliga). Kepala penari mengenakan ikat kepala berwarna hitam atau coklat yang disebut udheng. Busana penari Jaranan Jawa lebih sederhana tidak jauh dari pakaian keseharian di kalangan petani. 
  1. Properti
Properti yang nampak jelas dalan Jaranan Jawa adalah kuda kepang dan cambuk atau pecut. Kuda kepang dipegang pada tangan kiri dan cambuk atau pecut dipegang pada tangan kanan. Bentuk kuda kepang dalam jaranan Jawa memiliki ciri khas yaitu pada bentuk kepala yang lebih besar jika dibandingkan dengan jenis jaranan yang lainnya. Hal tersebut sekaligus sebagai ciri khasnya. Kuda kepang tersebut memiliki bulu rambut yang terbuat dari ijuk yaitu serabut dari pelepah pohon aren  yang berwarna hitam.
  1. Arena Pentas
Tidak ada standar baku dalam arena yang digunakan untuk pertunjukan, tempat pertunjukan lebih mengutamakan pada tempat yang luas dapat berupa halaman atau tanah lapang. Hal tersebut mengingat jumlah pemain yang banyak dan memberi keleluasaan untuk tempat penonton. Selain itu juga mengingat bahwa setiap akhir pertunjukan selalu diakhiri dengan adegan trance atau ndadi, terkadang juga diikuti oleh penonton.
  1. Tata lampu/dan tata suara (sound system)
Pertunjukan Jaranan Jawa dapat dilakukan pada siang atau malam hari. Tata lampu digunakan sebagai penerang ketika pertunjukan pada malam hari. Sedangkan tata suarasebagai alat bantu pengeras agar suara gamelan atau lantunan vokal dapat terdengar dengan jelas.
  1. Sesaji
Istilah sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa lebih akrab dikenal dengan sajen (bhs Jawa). Sesaji merupakan bagian pokok yang tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan dalam berbagai aktivitas hajatan yang telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Rasa khawatir atau kebimbangan akan muncul ketika akan meninggalkan atau tanpa sesaji. Khususnya dalam pertunjukan Jaranan Jawa sesaji adalah bagian dari rangkaia pertunjukan.

  1. Gerak
Gerak tari dalam Jaranan Jawa merupakan identifikasi dan pengembangan gerak yang bersumber pada gerak sehari-hari yang biasa dilakukan oleh masyarakat petani. Utamanya pada gerak kaki adalah sebagai gerak yang dominan, seperti berjalan saat pulang dan pergi dari sawah. Bentuk gerak kaki lebih mengandalkan gerakan jalan dengan menggunakan berbagaiposisi kaki dengan teknik jalan biasa yaitu kedua kaki napak  bergantian.pola gerak kaki juga bersumber pada dari gerakan kuda. Selain gerak kaki juga gerak pada leher dan kepala yakni ketika kaki bergerak maka diikuti juga gerak kepala yang dilakukan secara bergantian dengan gerak kepala.  
            Selain identifikasi pada gerak kaki dan kepala juga berdasar pada saat perilaku petani sedang kerja di sawah pada waktu mencangkul,membuat galengan atau pematang sawa yaitu kaki kanan selalu diangkat dan menumpu pada gundukan tanah cangkulan, dan kaki kanan tadi digerakan dengan menekan-nekan tanah tersebut. Kedua pola gerak yang bersumber pada kebiasaan sehari-hari merupakan inspirasi dalam pementukan motif gerak . Beberapa motif gerak dalam Jaranan Jawa yaitu terdiri dari: (a).Motif gerak singget; (b).Motif Gerak jalan lenggang; (c). Motif gerak seredan; (d). Motif gerak ngongklang; (e). Motif gerak jalan mundur; (f). Motif gerak Entrangan; (g). Motif Gerak papat mendek dhuwur

Struktur Penyajian :
  1. Jejer Jaranan
Jejer Jaranan merupakan babak pertama yang diawali dengan tampilan enam penari jaranan dengan menarikan gerak tari jaranan. Pada akhir pertunjukan Jejer Jaranan diakhiri dengan adegan trance atau ndadi. Tentunya adegan trance inilah yang sering ditunggu-tunggu penonton sebagai bentuk atraksi dan pertunjukan menjadi lebih meriah, karena penari sudah tak terkendali lagi pada pola atau motif gerak tari. Penari yang mengalami trance akan dipulihkan kesadarannya melalui seorang penimbul atau juru gambuh.
  1. Babak berpasangan
Setelah adegan jejer jaranan dilanjutkan dengan babak berpasangan. Disebut berpasangan karena dalam pertunjukan selalu membuat pola komposisi sejajar diantara penari dalam bentuk, deretan, lingkaran, berjajar berpasangan. Gerakan tarian tersebut dapat diulang-ulang dan pergntian ragam gerak tergantung dari pengendang yang memberi aba-aba melalui polakendangan.
  1. Babak Barongan
Babak barongan diawali dengan tokok penthul, tembem, dengan melantunkan beberapa tembang atau juga diselingin informasi ataupun lelucon. Penthul, Tembem dan penari jaranan menari bersama yang disusul dengan penari barongan. Inti adegan tersebut penari berstu mengusir atau menyerang Barongan
  1. Babak Celengan
Babak celengan merupakan babak yang terakhir jumlah penarinya sama dengan adegan barongan. Dalam adegan ini terjadi perang-perangan antara penari jaranan denagn penari celengan, yang pada akhirnya terjadi trance diantara beberapa penari.

1.2.Rumusan Masalah
Selain sebagai hiburan kesenian Jaranan Jawa merupakan bentuk simbolik ritual dari kaum petani. Perilaku petani dalam mengerjakan sawah menjadi sumber inspirasi dalam penyusunan motif gerak tari. Jaranan Jawa yang disebut-sebut sebagai kesenian jaranan yang paling tua, dalam kondisi dan siatuasi saat ini masih mampu bertahan eksistensinya di kalangan masyarakat. Bertolak dari persoalan inilah yang menarik peneliti untuk mendeskripsikan bentuk pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri  melalui studi pengamatan. Segala sesuatu pasti mangalami perubahan yang tentunya disebabkan oleh berbagai faktor. Agar penelitian ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan maka perlu dirumuskan pokok permasalahan dalam bentuk perumusan masalah yang terdiri dari:
  1. Bagaimana bentuk pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?
  2. Sejauh mana kehidupan petani teraplikasikan dalam seni pertunjukan Jaranan Jawa di Kediri?
  3. Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan dalam pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Tinjauan Sumber
Bentuk Kesenian Jaranan Jawa yang berada di wilayah kabupaten Kediri ataupun daerah lainnya pada prinsipnya sama. Perbedaan yang terjadi adalah pada kreativitas seniman dan masyarakat pendukungnya. Perubahan yang terjadi juga dikarenakan faktor sosial atau lingkungannya. Sebagai upaya untuk memenuhi capaian atau sasaran penelitian maka dilakukan peninjauan sumber materi meliputi:
2.1.1.      Penentuan Obyek Penelitian
Penentuan lokasi dan pemilihan salah satu grup sebagai sampel dalam penelitian didasarkan pada; (a). Aktivitas kelompok atau grup; mudah komunikatif;  banyak dikenal masyarakat.
2.1.2.      Nara sumber sebagai pangkalan data primer
Dalam hal ini khususnya pada pengumpulan data merupakan salah satu faktor yang menentukan juga pada bagaimana nara sumber yang ditentukan. Melalu nara sumber akan didapat informasi secara langsung atau yang disebut dengan data primer.
2.1.3.      Sumber Kepustakaan
Sumber yang lain diperoleh dari audio visual dalam bentuk VCD (Vidio Compact Disk) yang diperoleh dari koleksi pribadi dan Dinas Pariwisata di kabupaten Kediri dan juga Kabupaten Kediri mengingat Kabupaten Kediri bersebalahan dengan Kabupaten Tulungagung.

2.2.            Kerangka Teori
2.2.1.      Penelitian terdahulu
Sugito, Bambang. 2005. “Jaranan Tulungagung (Kajian Perubahan dan Perkembangan Pertunjukan Jaranan di Kabupaten Tulungagung” dalam  Jurnal Dewa Ruci Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, vol. 3 No.2 Desember 2005. merupakan suatu tulisan yang mengkaji tentang perkembangan dan perubahan kesenian Jaranan di Tulungagung. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Jaranan Jawa sebagai jaranan yang paling tua yang dijadikan dasar dalam pengembangan jaranan yang lainnya. Disebut juga bahwa Jaranan Jawa berasal dari tradisi seton di kraton dan dikenal masyarakat sejak abat ke 18.
Berangkat dari penelitian di atas, Jaranan Jawa tidak menjadi fokus utama tetapi dalam penelitian tersebut sebagai sumber pengambangan dari jaranan yang lain seperti jaranan senterewe, Turunggo Sawunggaling dan sebagainya. Pada penelitin penulis akan memfokuskan pada bentuk pertunjukan Jaranan Jawa yang berada di wilayah Kediri.
2.2.2.      Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan
“Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, sampai dengan manusiapun disebut makhluk dengan simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis”, (Alex Sobur2003:177). 

Simbol merupakan merupakan objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol tersebut meliputi apa saja yang dapat kita rasakan atau kita alami, (ibid). Pernyataan tersebut digunakan sebagai teori dalam mengungkap makna gerak tari dalam Jaranan Jawa mengungkapkan tentang simbol khususnya yang ada dalam kalangan petani. Ragam gerak tari yang perilaku keseharian masyarakat petani baik sewaktu berjalan pulang dan pergi dari sawah ataupun saat melakukan pekerjaan di sawah.
           
2.2.3.      Nilai Estetik dalam Seni Pertunjukan  
            Budiono Herusatoto mengutip tulisan Soren Kiergaard bahwa kehidupan manusia itu mengalami tiga tingkatan yaitu: estetis, etis dan religius. Dengan estetika manusia manusia menuangkan kembali rasa keindahan melalui karya seni, etis merupakan tindakan manusia dalam meningkatkan estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi. Sedangkan
tindakan religius merupakan pertanggungjawaban dari segala tindakan  kepada yang lebih tinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa, (Budiono,2003: 13-14).
            Fungsi seni menurut Soedarsono dan Alan P. Meriem: Wujud karya manusia dapat bermacam-macam   salah satu adalah karya seni. Kesenian atau seni dijadikan media dalam mengekpresikan dirinya sebagaimana diungkapkan oleh Soedarsono bahwa seni memiliki fungsi yaitu : (1) sebagai sarana ritual;  (2) sebagai sarana hiburan pribadi (performer); dan (3) sebagai presentasi estetis.
Sedangkan Alan P Merriem juga menguraikan bahwa fungsi seni diantaranya (1) sebagai kenikmatan estetis; (2) fungsi hiburan; (3) fungsi komunikasi; (4) fungsi dalam sosial dan religius dan (5) fungsi sebagai penopang keseinambungan dan stabilitas kebudayaan.
Berangkat dari beberapa tulisan tersebut di atas bahwa Jaranan Jawa sangat dekat dengan teori yang dimaksud yaitu sebagai fungsi ritual, sosial dan sekaligus juga sebagai hiburan bagi masyarakat pendukungnya
















BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


3.1.  Tujuan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri dengan sampel pada grup “Taruna Budaya” di kecamatan Keras Kabupaten Kediri, adalah deskriptif analisistis yaitu sebuah kerja pengamatan secara menyeluruh yang hasilnya dilaporkan dalam bentuk deskriptif. Hasil penelitian tentunya merupakan suatu deskripsi sekaligus sebagai bentuk pendeskripsian dari salah kesenian yang tumbuh dan berkembang di daerah khususnya di Desa Keras, kecamatan Keras kabpaten Kediri.
Untuk memfokuskan penelitian serta mencapai hasil yang maksimal maka penelitian juga disesuaikan pada tujuan penelitian yaitu:
  1. Ingin mengetahui bentuk pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?
  2. Ingin mengetahui lebih dalam bahwa kesenian Jaranan Jawa merupakan satu bentuk kesenian yang lahir dari kalangan petani.
  3. Ingin mengetahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perubahan dalam pertunjukan Jaranan Jawa di Kabupaten Kediri?

3.2.  Manfaat Penelitian
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran pada analisitis dari hasil karya seni dalam bentuk deskriptif. Mengingat bahwa fenomena pada saat ini kesenian yang mudah dikenal adalah yang bersifat komersial, sementara itu kesenian yang bersifat tradisi atau kerakyatan  tidak begitu mendapatkan perhatian dari masyarakat apalagi sampai pada tingkat bisnis. Aktivitas  untuk penyelenggaraan kegiatanpun bersifat penyajian masih sangat terbatas, terkadang tergantung ada atau tidak adanya yang menanggap. Pada kepentingan tertentu sekelompok pendukung itupun harus mengadakan kegiatan dengan kemauan sendiri dengan swadana. Berkaitan dengan hasil penelitian ini nantinya berharap memiliki manfaat bagi siapa saja dan dalam kepentingan apapun.
Manfaat dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Hasil penelitian menambah kepustakaan baik ditingkat daerah dalam kepemilikan pemerintahan ataupun pihak lain sebagai media informasi tentang kesenian Jaranan Jawa. Sekaligus sebagai bentuk pengenalan dari kalangan pembaca.
  2. Sebagai betuk dokumentasi dan sebagai literature bagi pengembangan ilmu seni tradisi dalam upaya pengembangan kesenian utamanya bagi peneliti selanjutnya.
  3. Menambah kepustakaan di mana penulis mengabdikan diri yaitu di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya yang merupakan tempat studi bidang seni. Hasil penelitian yang di koleksi di perpustakaan tersebut setidaknya akan memberikan informasi bagi dosen dan mahasiswa dalam memperkaya pengetahuan dari kesenian tradisi.
  4. Khususnya bagi penulis dari hasil penelitian diharapkan menambah kepustakaan yang bermanfaat dalam menambah materi ajar selama penulis melaksanakan tugas. Beberapa mata kuliah yang terkait dengan hasil penelitian antara lain, mata kuliah metode penelitian, mata kuliah sejarah seni, sosiologi seni dan beberapa mata kuliah yang lainnya yang terdapat dalam kurikulum jurusan Seni Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.
BAB IV
METODE PENELITIAN


4.1   Penentuan Sampel
Kesenian Jaranan Jawa di berbagai daerah pada prinsipnya secara umum memiliki kesamaan. Mengingat bahwa di Kabupaten Kediri memiliki beberapa grup yang hampir ada pada setiap wilayah kecamatan, maka penelitian ini menentukan lokasi di Kecamatan Keras kabupaten Kediri yaitu pada grup Taruna Budaya yang dipimpin oleh Kasim (57 tahun). Dipilihnya grup tersebut berdasar pada :
a.       Aktivitas dari grup Taruna Budaya baik dalam pementasan atau pertunjukan serta keorganisasiannya
b.      Grup Taruna Budaya secara lokasi merupakan perbatasan antara kabupaten Kediri dan Kediri, hal ini memudahkan dalam mencari perbandingan, mengingat bahwa Kabupaten Kediri juga merupakan salah satu wilayah sebagai pusat perkembanan kesenian Jaranan.
c.       Secara transportasi mudah dijangkau dari segala arah, sehingga memudahkan dalam kepentingan komunikasi dalam upaya pengupulan data.
4.2. Penentuan Informan
            Penentuan informan dalam hal ini dimaksudkan untuk menempatkan seseorang sebagai nara sumber yang bisa memberikan keterangan berupa informasi atau data sesuai yang diharapkan penulis. Kriteria yang digunakan dalm penentuan informan yaitu:
a.       Informan mengetahui betul tentang budayanya sendiri (Reyog Kediri) dengan baik dan secara alami.
b.      Keterlibatan langsung artinya informan selalu melaksanakan (berkesenian) secara berulang-ulang dan selalu mengingat secara garis besar apa yang pernah dilakukan
c.       Waktu yang cukup, artinya informan banyak mempunyai waktu atau tidak terlalu sibuk dan mudah untuk diwawancarai

Untuk mencari informan selanjutnya peneliti mencari informan di luar pelaku yaitu pada tokoh masyarakat dan juga pejabat pemerintahan yang ada keterkaitannya dengan pengembangan seni budaya khususnya di Kabupaten Kediri. Selain beberapa informan yang telah ditentukan berdasar kriteria, penulis juga mencari informan relawan yang ditemui di lapangan, yaitu orang-orang yang mampu  diajak berbicara dan dari mereka akan diperoleh data.

4.3. Teknik Pengumpulan Data
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan pada metode penelitian kualitatif. Dengan mengumpulkan data dan sampel untuk dicermati dan dianalisis. Dalam pengumpulan data penulis melakukan dengan metode wawancara, pengamatan langsung dan studi dokumentasi.

4.3.1.  Wawancara
Salah satu proses dalam pengumpulan data penulis menggunakan teknik wawancara dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seorang responden, (Koentjaraningrat, 1997:1290). Dalam melakukan pengumpulan data peneliti mengacu pada prinsip-prinsip Spradley bahwa peneliti wajib: (1) menyimpan pembicaraan informan; (2) membuat pejelasan berulang; dan (3) menegaskan kembali apa yang telah dinyatakan oleh informan, (Spradley, 1997:106).
Pada saat melakukan wawancara peneliti menggunakan bahasa Jawa (bahasa sehari-hari) untuk memudahkan dalam menciptakan keakraban  di antara peneliti dan informan. Melalui suasana memudahkan dalam melakukan wawancara dan tidak akan membuat perasaan informan dalam situasi formal. Proses dalam pencatan data yang diperoleh dari wawancara peneliti menggunakan (1). Pencatatan langsung; (2). Pencatatan dari ingatan; (3). Pencatatan dengan alat recording, Koentjaraningrat, 1997:151-155).  Pencatatan langsung dimaksudkan untuk mencatat secara langsung pernyataan dari informan dalam buku atau kertas yang telah dipersiapkan. Pencatatan dari ingatan dilakukan setelah peneliti melakukan wawancara tanpa alat bantu, informasi disimpan dalam ingatan selanjutnya ditulis dalam bentuk catatan. Sedangkan pencatatan dengan alat recording menggunakan tape recorder untuk merekam semua pembicaraan pada saat melakukan wawancara. Ketiga hal tersebut dilakukan oleh penulis mengingat bahwa wawancara dilakukan tidak hanya sekali tetapi berulang-ulang.
Nara sumber atau informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tokoh, pemerhati seni, seniman pelaku.
4.3.2.       Studi Pustaka
Melalui studi pustaka, diperoleh data-data yang berasal dari sumber-sumber tertulis dengan cara membaca buku-buku atau tulisan artikel jurnal yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti. Buku-buku dan beberapa tulisan artikel  tersebut diperoleh dari  antara lain dari perpustakaan kantor Dinas Pariwisata kabupaten Kediri dan Kediri.
Kepustakaan yang lain juga di peroleh dari perpustakaan STKW Surabaya. Keterbatasan dalam memperoleh kepustakaan memang merupakan persoalan ketika di daerah masih terbatas dengan koleksi dokumen dalam bentuk tulisan.
4.3.3.       Pengamatan Langsung (observasi)
Proses pengamatan terhadap pertunjukan Jaranan Jawa sebenarnya bagi penulis bukan merupakan sesuatu hal yang baru, sebab penulis yang lahir dan menetap di Kediri sudah akrab dengan pertunjukan dimaksud. Pengamatan dilakukan melalui pertunjukan yang dilakukan oleh Grup Taruna Budaya baik dalam pementasan atau latihan biasa. Secara rutin Grup Taruna Budaya melakukan pembinaan sebagai upaya peremajaan pemain Jaranan Jawa meskipun masih banyak menemui kendala.
Pada saat pertunjukan dan latihan tersebut penulis melakukan pengamatan untuk memperoleh data sebagai bahan dalam penyusunan laporan penelitian. Untuk memperkaya atau melengkapi data dalam bentuk gambar utamanya pada ragam gerak, dan busana, secara khusus penulis menggambil gambar dengan kamera/ hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambar yang maksimal dan jelas untuk membantu penyampaian informasi.
4.3.4.           Studi Dokumentasi
Selain mengadakan pengamatan langsung untuk memperoleh data dalam penelitian juga mengadakan studi dokumentasi. Sumber yang digunakan dalam kegitan studi dokumentasi yaitu hasil rekaman audio visual dalam bentuk CD (Compact Disk) yang diperoleh dari hasil pementasan Jaranan Jawa dan dokumen pribadi dan diperoleh melalui kios-kios penjualan kaset. Foto-foto pertunjukan yang diperoleh dari dokumen Dinas Pariwisata Kediri atau koleksi pribadi.
4.3.5. Teknik Analisis Data
Seperti telah disampaikan di depan bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa deskripsi yang mendalam terhadap pertunjukan Jaranan Jawa Kediri utamanya di kecamatan Keras Kabupaten Kediri. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan dan mengkategorikan data.
Untuk membuat pernyataan dalam bentuk deskripsi tentang pertunjukan  Jaranan Jawa meliputi, struktur pertunjukan, pendukung pertunjukan, bentuk iringan dan sebagainya dalam melakukan analisisnya yang banyak berbicara adalah data yang telah diperoleh di lapangan.  Oleh karenanya penelitian dalam tahap pengumpulan data dilakukan secara berulang-ulang dan selalu dilakukan pengulangan.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN
PERTUJUKAN JARANAN JAWA


5.1.            Elemen Pendukung Kesenian Jaranan Jawa

5.1.1.                  Latar belakang Pendukung
Pusat kegiatan grup kesenian Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo”, berada di rumah Bapak Kosism Sanjaya yang sekaligus sebagai pimpinan grup, tepatnya  desa Kras RT 01/RW04, kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Rumah kediaman pimpinan grup biasanya sekaligus sebegai tempat penyimpanan semua perangkat kesenian Jaranan Jawa, meliputi pakaian, property, alat music dan piranti yang lainnya. Pimpinan juga sekaligus sebagai sesepuh yang sebenarnya mempunyai tugas berat selain sebagai ketua juga bertanggung jawab atas perawatan semua perangkat yang dimilikinya. Hal demikian inilah termasuk pengrobanan bagi seorang pimpinan kesenian tradisional yang tidak menghitung keuntungan yang didapatnya tetapi karena didorong oleh keinginan untukselalu melestarikan seni tradisi tinggalan para leluluhurnya. Motivasi inilah yang dimiliki oleh para tetua sebagai pewaris dari para leluhurnya dan sekaligus memiliki rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan seni tradisi.
Secara keorganisasian grup kesenian Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo” juga telah terdaftar pada organisasi kesenian dengan nomor induk Organisasi: 431.1/182/418.56/2010 di bawah kedinasan kabupaten Kediri. Struktur Organisasi terdiri dari : Pimpinan/Sesepuh  Kosim Sanjaya, Sekretaris  Sumono dan bendhahara Sunarto. Sedangkan tata kerja dilakukan berdasarkan kerukunan dan kegotongroyongan. Perihal manajemen terpusat pada kebijakan dari pimpinan dan persoalan kesalahpahaman tidak pernah terjadi dikarenakan pertunjukan bukan untuk menjadi sumber penghidupan namun sebagai hiburan dan untuk melestarikan kesenian di daerahnya. Hal inilah yang menjadikan satu motivasi tersendiri bagi grup kesenian Jaranan Jawa di kecamatan kras kabupaten Kediri
Sebagaimana diwujudkan dalam pemberian nama grup yaitu Turonggo Putro Budoyo yang menurut Kosil Sanjaya dimaknai bahwa Turonggo artinya kuda, Putro adalah anak dan budaya adalah warisan. Jika diuraikan mempunyai makna bahwa sebagai anak (keturunan) memiliki tanggung jawab melestarikan kesenian Jaranan Jawa warisan budaya dari leluhurnya, (wawancara, Kosim Sanjaya). Pada kenyataannya grup kesenian tersebut didominasi oleh kalangan keluarga sendiri, yang berasal dari cucu buyut dari generasi sebelumnya. Dengan demikian grup ini menjadi bertahan secara turun temurun, namun juga selalu membuka kepada siapa saja yang berminat untuk bergabung pada grup Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo”
Kesenian Jaranan Jawa Grup Putra Budaya di desa Kras Kecamatan Kras Kabupaten Kediri pendukung pertunjukannya berasal dari latar belakang yang sangat beragam. Mayoritas dari kalangan petani atau buruh tani, akan tetapi juga ada yang berprofesi sebagai tukang kayu, tukang becak, kuli, pengrawit. Selain berbagai profesi apabila dilihat dari silsilah keluarga sebagian besar pendukung masih memiliki garis keturunan keluarga. Artinya antara pendukung berasal dari sebuah keluarga yang secara turun temurun mewarisi kesenian Jaranan Jawa dari kakek atau orang tuanya, kalaupun bukan anggota keluarga juga berasal dari tetangga atau lingkungan di sekitar tempat organisasi Jaranan Putro Budoyo berkembang.

5.2.            Penokohan dan peranannya
5.2.1.                  Penari Jaranan
Berdasarkan pada data yang diperoleh selama melakukan penelitian rata-rata penari berusia di atas 50 tahun, yang semuanya dilakukan oleh kaum laki-laki.melihat dari faktor usia tentunya sudah tidak mampu lagi untuk melakukan gerakan-gerakan pada tarian jenis jaranan, namun karena fisik yang terlatih melalui pekerjaan harian maka sangat mendukung pada konsistensi kekuatan fisik untuk melakukan gerakan-gerakan yang  keras dalam arti membutuhkan tenaga dan fisik yang kuat.
Berikut data para penari Jaranan Jawa pada Grup Turonggo Putro Budoyo di desa Kras, Kecamatan Kras Kabupaten Kediri:
No.
Nama
Usia
Peran
1.
Mujiono
52
Penari Jaranan
2.
Sukarli
52
Penari Jaranan
3.
Tukiyat
50
Penari Jaranan
4.
Sunarto
51
Penari Jaranan
5.
Sutaji
63
Penari Jaranan
6.
Suyanto
53
Penari Jaranan
7.
Seni
52
Penari Barongan
8.
Katiman
61
Penari Celeng
9.
Dian
40
Penari Thethekmelek
10.
Kosim Sanjaya
59
Juru Gambuh
11.
Tukilan
60
Asisten Juru Gambuh
12.
Sugik
42
Asisten Juru Gambuh

Secara rinci jumlah penari jaranan teridiri dari 6 (enam) orang, 1 orang penari Barongan, 1 orang penari Celengan dan 1 orang penari Thethekmelek. Masing-masing peran bias dilakukan oleh siapa saja tergantung pada kondisi, karena pada prinsipnya setiap orang dapat melakukan berbagai peran, namun daftar tersebut di atas diambil berdasarkan pada kebiasaan yang dilakukan oleh grup Jaranan Putro Budoyo.
5.2.2.               Juru Gambuh
Juru gambuh diartikan seseorang yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mampu mengendalikan jalannya pertunjukan. Kemampuan tersebut bersifat pada spiritual yang memiliki kemampuan berkomunikasi  pada penguasa danyang alam sekitar pertunjukan. Kemampuan yang lain mampu menetralkan kembali kepada para penari yang sedang ndadi mengalami ndadi (trance) dari alam tidak sadar menjadi pulih kesadarannya sebagaimana sebelum.
Pada inti komunikasi yang dilakukan oleh juru gambuh adalah permohonan ijin dan keselamatan selama melakukan pertunjukan pada lokasi yang ditempati yang diucapkan melalui mantra-mantra yang merupakan warisan dari para luluhurnya. Persyaratan dalam komunikasi disertai dengan sesaji lengkap yang telah disediakan sendiri oleh grup kesenian jaranan.
Untuk memperoleh kekuatan dan mantra-mantra bagi seorang juru gambuh melalui beberapa tata laku yang telah disyaratkan oleh para leluhurnya antara lain dengan sesuci, berpuasa dan bertapa. Hal tersebut juga  dilakukan oleh Kosim Sanjaya sebagai juru Gambuh di grup Jaranan Putro Budoyo, dan menurut keterangannya yang terberat selama melakukan tata laku tersebut adalah puasa selama 40 hari yang tidak disertai makan pada waktu malam hari namun cukup minum air putih dan merokok saja.
Tatalaku menjadi persyaratan yang terbarat untuk menjadi seorang juru Gambuh karena tidak setiap orang mampu dan mau melakukannya. Menurut Kosim Sanjaya untuk menjadi seorang juru gambuh seperti apa yang dialaminya mendapatkan wangsit (bisikan) untuk melanjutkan menjadi juru gambuh, dan biasanya orang tersebut juga merupakan ahli waris atau sifat keturunan dari para leluhurnya. Setelah menjadi juru Gambuh pun harus tetep melakukan tatalaku diantaranya puasa secara rutin agar apa yang telah diperolehnya tetep terpelihara dan terkontrol pada perilakunya sendiri, sebab ada beberapa pantangan setelah benar-benar menjadi seorang juru gambuh.
Dalam menjalankan tugasnya seorang juru gambuh biasanya dibantu oleh beberapa asisten atau pembantu, dikarenakan pada saat menyembuhkan pemain yang sedang ndadi memerlukan tenaga yang kuat. Pada kesenian Jaranan Jawa jika pemain sedang ndadi bias mengeluarkan tenaganya berlipat dari kekuatan kesehariannya. (wawancara dengan Kosim Sanjaya). Berikut gambar sang Juru Gambuh yang sedang melakukan tugasnya sebelum pertunjukan dimulai.
 

























5.2.3.      Tokoh Barongan
Tokoh barongan merupakan tokoh binatang yang buas yang hidup di hutan, yang suka memakan hewan ternak dan merusak lahan pertanian. Sosok binatang tersebut menjadi musuhnya petani. Barongan dalam pertunjukan jaranan merupakan malapetaka yang harus disingkirkan. Barongan dalam Jaranan Jawa merupakan visualisasi dari naga raksasa, diperankan oleh penari dengan menggunakan topeng bagian kepala ular dan topeng ular ini mempunyai dua fungsi yaitu sebagai penutup kepala/topeng dan sekaligus sebagai properti.  

5.2.4.      Tokok Celengan dan Thethekmelek

5.2.5.      Musik Pengiring

Seperangkat instrument dalam kesenian jaranan jawa terdiri dari beberapa alat music tradisional yaitu tiga buah angklung, kethuk kenong, kempol gong, slompret dan kendang. Fungsi alat tersebut sebagai pengiring pada pertunjukan dang ending-gending yang dimainkan mengacu pada gending tradisional, seperti gending Gondhoriyo, Loro-loro, dan beberapa gending dolanan bahkan pada sekarang juga beberapa gending atau lagu campursari.
Nada angklung terdiri dari nada 6 dibaca (nem), nada 2 dibaca (ro) dan nada 1 dibaca (ji). Tehnik membunyikan angklung dengan digoyang atau digetarkan untuk menghasilkan bunyi, dengan tehnik bersaut-sautan. Contoh pola tabuhan angklung:

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
6
.
.
.
.
.
.
.
6
.
.
.
2
.
.
.
.
.
.
.
2
.
.
.
.
.
1
.
.
.
1
.
.
.
1
.
.
.
1
.
.
3
.
3
.
3
.
3
.
3
.
3
.
3
.
3
.

Tehnik tabuhan kenong kempul:

.
.
.
N
.
.
.
P
.
.
.
N
.
.
.
P
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sedangkan instrument slompret lebih dominan bernada pelog, dan fungsi slompret dalam kesenian jaranan untuk mengisi lagu,mengingat bahwa instrument yang lainnya berpola pada tahnik pola ritme. Pengendali dari jalanya iringan (irama) terletak pada isntrumen kendang, yang sekaligus sebagai pembari tanda atau aksen  pada setiap pergantian gerak penari jaranan.
Daftar Pendukung Iringan kesenian Jaranan Jawa grup “Turonggo Putro Budoyo”
No.
Nama
Usia
Peran
1.
Seni
52
Pengendang
2.
Tukilan
63
Penabuh Angklung 1
3.
Suparni
51
Penabuh Angklung 2
4.
Kardi
60
Penabuh Angklung 3
5.
Murdani
65
Penabuh Gong
6.
Hartoyo
38
Penabuh Kethuk
7.
Mujiyanto
49
Peniup Slompret
8.
Suti
50
Vokal
9.
Didik
43
Vokal/Pengendang

Daftar pengiring bersifat fleksibel dan bias diganti oleh siapapun, mengingat bahwa dalam pertunjukan kesenian tradisional banyak partisipan yang ikut mendukung setiap kali pertunjukan. Hal tersebut juga menjadi salah satu cirri kas dalam sebuah komunitas seni tradisional.



















5.2.6.      Tata Busana
Tata busana dalam kesenian Jaranan Jawa nampak sangat sederhana sekali sebagaimana pakaian keseharian sebagai seorang petani khususnya saat bekerja di sawah. Busana penari Jaranan Jawa terdiri atas; iket kepala (udheng), celana hitam, jarit dan stagen. Busana yang dikenakan pada bagian atas  yaitu iket. Pada badan celana, jarit dan stagen. Sedangkan penari Jaranan Jawa tanpa menggunakan rias apapun, sehingga nampak wajah asli dari para penari. Penari Jaranan Jawa juga tidak mengenakan baju atau disebut ngliga (Jw) artinya tanpa baju. Sebagaimana dalam gambar berikut.
 













Pada contoh foto tersebut penari kelihatan natural atau dalam bahasa Jawa ngliga (tanpa baju) dan tanpa rias, dan tentu saja nampak bukan seorang seniman yang siap melakukan pertunjukan namun selayaknya petani yang siap untuk beraktivitas di sawah. 
Kesederhanaan dari tata busana tersebut menjadi salah satu cirri pada sebuah kesenian Jaranan jawa dan hal tersebut juga mengidentikan seorang petani yang sedang melaksanakan aktivitas harian yang selalu bekerja di sawah. Pada awal mulanya pakain betul-betul merupakan pakaian keseharian dalam bekerja di sawah, dank arena telah diorganisir dengan baik maka untuk menambah nilai keindahan maka pakaian tersebut diseragamkan mulai dari iket kepala, celana, stagen dan jarit yang digunakannya.
Berikut penjelasan   tata busana  pada kesenian Jaranan Jawa pada grup Putra Budaya di desa Kras kecamatan Kras Kabupaten Kediri.

5.2.6.1.Iket pada bagian kepala
Udheng atau sering disebut juga iket, yaitu selembar kain yang bentuknya segitiga berwarna hitan atau coklat dengan motif bebas yang dikenakan pada bagian kepala. Cara pemakaiannya diikat di atas kepala dengan sudut tengah iket diletakkan di dahi kedua ujung ditarik ke depan kemudian melingkar dengan ikatan bagian belakang kepala. Kostum berupa udheng tersebut dalam keseharian juga sering dipakai para petani saat bekerja di sawah atau tegal sebagai pengikat dan sekaligus penutup kepala. Berikut bentuk udeng yang dipakai oleh penari Jaranan Jawa pada grup Putra Budaya desa Kras.
 








 




5.2.6.2.Celana hitam
Celana yang dipakai dalam kesenian Jaranan Jawa berwarna hitam ukuran ¾ atau biasa disebut dengan celana kolor dengan kombinasi warna merah dalam bentuk garis lurus pada samping kanan dan kiri. Bentuk celana demikian ini sudah sedikit pengembangan karena celana yang sebelumnya hanya celana warna hitam polos tanpa kombinasi warna lain. Pemakaian celana sebagaimana kebiasaan dalam berpakaian seorang petani yang sedang atau bekerja di sawah atau tegal. Berikut gambar celana yang dipakai sebagai kostum penari dalam Jaranan Jawa “Turonggo Putro Budoyo
 














5.2.6.3.Jarit
Jarit atau kain panjang berwarna putih dengan motif  kawung. Pada awalnya kain yang digunakan seadanya dikarenakan telah memiliki khas hasil tabungan atau iuran anggota maka telah diupayakan seragam atau satu motif.  Cara pemakaiannya sangat sederhana dan ditumpangi dengan stagen untuk memperkuat agar lilitan jarit pada badannya tidak mudah lepas.
Jarit yang dipakai dalam kesenian jaranan jawa seperti pada gambar berikut:











5.2.6.4.Stagen
Stagen yang dimaksud segulung kain panjang dengan lebar sekitar 20 cm dan panajang sekitar 3 meter.yang digunakan melingkar pada bagian pinggang. Stagen digunakan setelah kain panjang atau jarit secara bertumpuk sekaligus sebagai pengikat jarit. Ujung stagen dibentuk segitiga dan diselipkan pada tumpukan stagen sebelumnya, hal tersebut sebagai pengikat dari tumpukan stagen agar tidak mudah terlepas saat pertunjukan. Berikut gambar stagen dan cara pemakaiannya.



 





























5.3.      Properti
Property merupakan satu perangkat yang digunakan dalam kesenian jaranan jawa saat melakukan pertunjukan. Seperangkat property tersebut apabila tidak melakukan pertunjukan disimpan di markas organisasi atau di rumah pimpinan kelompok, sekaligus menjadi tanggung jawab pimpinan untuk selalu merawatnya. Property pokok pada kesenian Jaranan Jawa grup Turonggo Putro Budoyo, antara lain terdiri dari,jaran kepang, cemeti/cambuk, topeng, celengan, barongan.  Berikut contoh foto dari sebagian perangkat atau property:
Bentuk Jaran kepang, yang terbuat dari bamboo yang dianyam dan dibentuk semacam kuda dengan dilukis dengan chat warna merah dan putih serta diberi rambut dari ijuk.














 

























            Jaran kepang dan cemeti kecil yang sejumlah 6 buah dipakai oleh para penari, sedangkan cemeti besar dipakai untuk juru gambuh.
Properti yang lain

5.4.      Arena Pentas

Pertunjukan Jaranan Jawa tidak menuntut standart tempat yang baku, kebiasaan penyajian dilakukan di halaman rumah, tanah lapang atau pada tempat terbuka. Secara sederhana tempat yang dibutuhkan adalah bersih dari  benda-benda seperti paku, pecahaan kaca dan sebagainya yang mengakibatkan adanya hal-hal di luar teknis mengingat para pemain hanya beralaskan kaos kaki. Mengingat bahwa selama pertunjukan akan terjadi mobilitas yang cukup tinggi, mulai dari gerakan pemain, penonton, tamu undangan sampai  para penjual jajanan. 
            Beberapa bentuk pentas dalam seni pertujukan seni tradisi yang dikenal di Indonesia antara lain, arena, prosenium, dan campuran (Rina, 2003:17). Tempat pementasan Jaranan Jawa digolongkan dalam bentuk arena yang merupakan bentuk sederhana apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk lainnya, (ibid). Batas antara pemain dan penonton tidak ada sehingga penonton dapat terlibat langsung dalam pementasan. Situasi yang demikian memperlihatkan suasana yang akrab dan terjadi komunikatip antara pemain dengan penontonnya. Kesederhanaan dan keakraban dalam sebuah pertunjukan merupakan ciri-ciri dari khas arena pentas, (Pramana, 1983:13).
Berikut bentuk sketsa gambaran dari arena pertunjukan Reyog Tulungagung dengan mengambil contoh di halaman rumah. Penggambaran dalam sketsa tersebut mengambil contoh dalam bentuk persegi panjang, hal demikian untuk memperjelas atau mempermudah dalam menunjukkan posisi dari keseluruhan elemen pendukung dalam pertunjukan.
 




















Keterangan :
1                    letak kendang
2                    Ketuk
3                    Gong
4                    Vokal
5                    Sronen
6                    Angklung 1
7                    Angklung 2
8                    Angklung 3
9                    Tempat sound system
10                Sesaji
11                Tempat membakar kemenyan
12                Tempat pentas penari

5.4. Tata Lampu dan tata Suara
Penggunaan tatalampu terhantung pada waktu pertunjukan, apabila di malam hari tentunya membutuhkan lampu sebagai penerang arena pertunjukan. Akan tetapi dalam pertunjukan kesenian jaran Jawa hanya diperlukan sebagai penerang dan tidak memerlukan tata cahaya sebagaimana pada jenis pertunjukan yang dilaksanakan di atas panggung. Lampu yang digunakan bias menggunakan lampu biasa atau obor/oncor yang bahan bakarnya dari minyak tanah. Demikian halnya dengan tata suara juga sangat tergantung pada kebutuhan, namun pada saat ini jika tidak menggunakan alat bantu atau yang disebut sound system tentunya mengurangi kepuasan. Keadiran tata suara dalam pertunjukan sebagai  media bantu pengeras suara dari perangkat alat music dan vocal.

5.5.Sesaji
Istilah sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa lebih akrab dikenal dengan sajen (bhs Jawa). Sesaji merupakan bagian pokok yang tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan dalam berbagai aktivitas hajatan yang telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Rasa khawatir atau kebimbangan akan muncul ketika akan meninggalkan atau tanpa sesaji. Khususnya dalampertunjukan Jaranan Jawa sesaji adalah bagian dari rangkaia pertunjukan. Sesaji dalam Jaranan Jawa terdiri dari:
a.                   Benden yaitu jadah, panganan yang terbuat dari bahan beras ketan
b.                  Jenang dan wajik yang dibentuk bulat-bulat
c.                   Pisang raja dua sisir
d.                  Tumpeng lengkap dengan lauk pauknya (ingkungan ayam kampung)
e.                   Beras atau padi
f.                   Mori dan benang lawe
g.                  Perlengkapan kinangan yang terdiri dari daun sirih, kapur sirih, tembakau, gambir, jambe, kemenyan dan uang logam
h.                  Badek
i.                    Gula gimbal, gula gringsing
j.                    Cok bakal
k.                  Tikar ayam,
l.                    Kaca rias (pengilon)
m.                Sisir
n.                  Minyak wangi
o.                  Bunga kenanga
p.                  Air kendi (kendi bisa diganti dengan ceret)
 






















BAB IV
STRUKTUR PENYAJIAN JARANAN JAWA


6.1.   Bagian Awal
Pertunjukan jaranan jawa grup Turonggo Putro Budoyo diawali dengan tetabuhan beberapa gending yang dilakukan oleh para penabuh musik. Gending-gending yang dimainkan masih bersifat gending tradisi di daerah Kediri seperti gending Loro-loro, Gondoriyo  atau lagu-lagu campursari, mengingat bahwa masyarakat sangat menggemari campursari. Kebiasaan ini dilakukan sebagai pertanda kepada masyarakat yang lain,bahwa pertunjukan jaranan Jawa akan segera dimulai atau telah siap melakukan pementasan.
Setelah semua peraga siap dan penonton juga telah terlihat hadir maka sang Juru Gambuh mulai melaksanakan tugasnya, dan gending pun berubah pada gending khusus untuk mengawali pertunjukan. Juru gambuh menuju halaman dan langsung duduk bersila pada selembar tikar yang telah disiapkan oleh asisten juru gambuh. Seperangkat sesaji termasuk dupa merupakan satu halyang tidak boleh ditinggalkan telah ditata rapi dan seperngkat property pun telah dijadikan satu. Sembari mengambil kemenyan sang Juru Gambuh mulai membacakan mantra disertai membakar kemenya. Asap mengepul dan harum wangi dari kemenyan yang dibakar.
Gending untuk mengawali pertunjukan mengiringi saat juru gambuh melakukan tugas awal yaitu gending Sampak Sesaji. Tata laku sang Juru Gambuh, pertama meminta ijin kepada cikal bakal daerah tempat pertunjukan  dan memohon kepada sang Pencipta untuk diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala gangguan selama mengadakan pertunjukan dari awal hingga selesai pertunjukan. Membakar kemenyan sebagai media untuk berkomunikasi dengan cikal bakal daerah tersebut dan diakhiri dengan menghentakan tangan ketanah 3 kali dengan maksud memberi salam dapa sang cikal bakal daerah pertunjukan.
Secara rinci urutan tugas sang Juru gambuh sebagai berikut: (1). Suguh yaitu membuka acara dan memulai pertunjukan dengan doa atau mantra; (2). Pagar-pagar yaitu melalukukan mediasi untuk menjaga lingkungan dalampertunjukan agar tidak ada yang mengganggu atau datangnya gangguan-gangguan dari luar arena pertunjukan; (3). Nggambuh yaitu untuk memulangkan penari jaranan yag sudan kerasukan untuk dinetralkan kembali dan pulih kesadarannya sebagaimana sebelum kerasukan.
Juru gambuh pada tata laku terakhir dengan mencambukan cemeti besar ke arena pertunjukan sambil menengadah ke atas dengan harapan permohonan pada sang Maha Kuasa. Berakhirnya cambukan dari sang Juru Gambuh maka dimulailah pertunjukan kesenian Jaranan Jawa.


6.2.   Jejer Jaranan
Berakhirnya gending sampak sesaji dilanjutkan pada iringan penari jaranan yang dengan cara berpasangan mulai memasuki arena pertunjukan yang akhirnya sampai semua 6 (enam) penari memasuki arena pertunjukan. Istilah dalam kesenian Jaranan Jawa grup Turonggo Potro Budoyo disebut tayuman, yaitu berjalan dengan melambaikan cambuk kecil yang dipegang pada tangan kanan dan sementara tangan kiri memegang jaran kepang. Formasi barisan yang dibentuk dengan pola lingkaran,garis lurus atau berpindah posisi atau bertukar tempat. Gending yang mengiringi dengan irama lamban atau rep dan disertai dengan tetembangan vocal. Adegan tersebut dinamakan adegan jejer jaranan yang pada puncak adegan ini adalah adegan ndadi yaitu 2 orang penari yang akan kesurupan. Diantara enam penari siapa nantinya penari yang kesurupan tidak dapat ditebak. Menurut keterangan Kosim (sang juru gambuh), tidak dapat dipastikan siapa yang bakal kesurupan karena ini menjadi satu rahasis yang siapapun tidak dapat mengerti, hanya sang juru gambuh yang tanggap pada tanda-tanda penari yang mulai kerasukan tentunya akan tanggap untuk segera menangani secara khusus. Pada adegan kerasukan atau ndadi seorang penari akan kerasukan pada arwah cikal bakal dan akan mempunyai kekuatan yang luar biasa karena bias mengalahkan 5 atau 6 orang yang memeganginya.(wawancara dengan Kosim 5 Mei 2011).
Dilanjutkan keterangannya bahwa dari 2 orang penari yang kerasukan sebenarnya hanya 1 orang yang kerasukan arwah dengan kekuatan yang luar biasa dan sementara yang 1 orang lagi adalah pendampingnya. Sebagaimana kebiasaan bahwa setiap apa yang terjadi selalu disertai dengan pendamping agar selalu ada yang mengawal atau disebut sebagai pamomong. Pada puncak adegan jejer jaranan akan berakhir setelah pemain yang kerasukan tersebut telah disadarkan kembali. Kapan dan berapa lama pemain itu kerasukan yang dapat memperkirakan hanyalah sang juru gambuh yang dalam artian tanggap sasmita terhadap perilaku penarinya.
 Berikut contoh ragam gerak yang dimainkan oleh para penari Jaranan Jawa Grup Turonggo Putro Budoyo
Ragam Gerak Jaranan Jawa

 






















Pola Lantai melingkar berulang-ulang (lingkaran Arang)
 











Posisi Lingkaran Rapet (dari lingkaran besar ke lingkaran kecil).
Para penari secara berurutan membentuk pola lingkaran dari besar menjadi rapat dan berjalan berkeliling dengan posisi badan miring. Pola lingkaran yang lain dengan posisi berhadap-hadapan dan berjalan maju kemudian mundur untuk membentuk pola lingkaran besar dan kecil sesuai dengan irama gending. Setiap pergantian ragam gerak atau pola ditentukan oleh pengendang yang member aksen-aksen atau tanda untuk perubahan pada gerak yang satu ke gerak yang lainya.

 
























Formasi penari jaranan dalam pertunjukan dapat dilihat dari beberapa bentuk yaitu
seperti Lingkaran, garis lurus, bertukar barisan dan sebagainya sebagaimana pada pola yang tergambar di bawah ini:
Contoh Pola Lantai dalam formasi lingkaran, penari berhadapan berjalan maju ketika formasi lingkaran kecil dan akan berjalan mundur ketika formasi membentuk lingkaran besar. Berjalan maju atau mundur sesuai dengan irama gending yang dimainkan oleh grup pengiring dan aksen-aksen perubahan ditentukan oleh pengendang.

 









Contoh Pola Gerak lurus, penari berhadapan dan saling berdiri searah dan berpasangan untuk membentuk pola garis lurus.
 









Contoh Pola bertukar tempat, merupakan perubahan dari pola garis lurus selanjutnya membentuk pola bertukar posisi, dengan berjalan beriringan antar penari yang satu dengan penari yang lainnya.
 







            Contoh Pola  Sejajar posisi ini dilakukan perubahan setelah bertukar tempat. Kembali penari membentuk formasi garis lurus dan berhadap-hadapan. Posisi badan akan berubah miring ketika akan melakukan perubahan ke posisi lingkaran begitu seterusnya.
 






































            Contoh Pola posisi penari, pada saat berjalan berpapasan di tengah-tengah dan badan berhimpit menjadi satu garis lurus (menjadi post), yang selanjutnya penari berjalan kembali menjadi formasi 2 baris.


 








           


Pola lantai merapat adu badan terus trance/ndadi setidaknya urutan ini yang dilakukan oleh kelompok penari jaranan. Pada posisi adegan ndadi atau penari kesurupan,penari bebas untuk melakukan gerakan sesuai dengan keinginan penari. Akan tetapi setiap gerak-gerik penari yang sedang kesurupan akan menjadi pusat perhatian oleh seluruh anggota grup dan tentunya oleh semua penonton, karena ini menjadi salah satu adegan yang sering ditunggu-tunggu oleh penonton.

Contoh penari Jaranan Jawa yang kesurupan atau ndadi, terlihat bahwa mata penari kelihatan menyeramkan yang terlihat hanya warna putih dari bagian kelopak matanya.




















Gambar: Penari Jaranan yang kesurupan sedang minta makan dari bagian perangkat sesaji.
Foto : Dokumen Suyadi, 2011
 
 






6.3.   Babak Barongan
Disebut dengan Babak Barongan, adegan ini sebagai center pertunjukan adalah pemain barongan. Mengawali  adegan ini secara khusus pemain barongan mendapatkan mantra dari juru gambuh dengan posisi di tengah-tengah arena dengan dihadapkan pada dupa tempat pembakar kemenyan. Selesai pemberian mantra khusus posisi penari barongan tetap berada ditengah arena dan para penari jaranan yang sejumlah 6 penari masuk satu persatu dengan membentuk formasi lingkaran dengan mengelilingi penari barongan. Posisi Barongan di tengah lingkaran kecil/rapat


Contoh pola posisi penari saat berada di tengah-tengah arena pertunjukan dalamposisi lingkaran kecil, semua penari merapat dan biasanya di tengah-tengah ditempati penari barongan sebagai center atau titik tengah lingkaran tersebut.

 








             =  Posisi penari barongan



Dupa yang telah diberi kemenyan  khusus sebelum adegan Barongan barongan posisi di tengah arena
 





















6.4.Babak Celengan
        Babak yang terakhir yaitu tampilan babak celengan, ini merupakan babak akhir dalam struktur pertunjukan kesenian Jaranan Jawa. Diawali dengan enam penari jaranan yang memasuki arena. Ragam gerak tidak berbeda dengan adegan atau babak-babak yang lainnya. Ragam gerak pun ditentukan oleh pengendang sesuai dengan yang dikehendaki.
        Selanjutnya muncul tokoh penari celengan yang diikuti oleh thethek melek. Tingkah laku thethekmelek serba lucu atau melawak sesuai dengan kemampuan pemainnya. Satu filosofis kenapa penari celengan selalu disertai dengan thethekmelek, yaitu diibaratkan sebagai seorang pangon, atau penggembala.
        Celengan yang pada intinya menggambarkan seekor babi hutan yang suka merusak tanaman milik para petani, maka diusirlah oleh para penari jaranan jawa. Dan klimaknya terjadi adegan semacam peperangan yang berakhir pada adegan ndadi atau trance. Factor yang mempengaruhi para penari dapat kesurupan secara logika telah mengalami kecapaian dan sifat monoton pada tabuhan iringan dan jiwa pemain pun mengalami kekosongan maka akan berakibat penari tersebut mudah kesurupan.  








Tokoh Celengan yang selalu diikuti dengan Thethek Melek

 



























BAB VII

PENUTUP


Kesimpulan
Kesenian Jaranan Jawa di kabupaten Kediri teridentifikasi merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat petani. Eksis dan tidaknya tergantung dari para pelaku seni itu sendiri, sehingga tidak mustahil jika beberpa kesenian tradisi kerakyatan telah banyak yang mengalami kevakuman baik itu punah, tidak aktif lagi atau masih mampu bertahan dengan secara keorganisasian. Sangat diperlukan dalam halini adanya kebijakan pemerhati yang sekiranya mampu untuk mengembangkan baik dilakukan oleh kedinasan atau secara pribadi.
            Sebagaimana kesenian Jaranan Jawa grup Turonggo Putro Budoyo, yang telah berusaha untuk bertahan dan bahkan mengembangkan eksistensi keseniannya meskipun asal bias bertahan.Kesenian yang merupakan ekspresi dari kelompok petani secara jelas terlihat dari bentuk pertunjukannya mulai dari kostum atau tata busana yang dikenakan yang betul-betul menampakan keorisinalitasnya sebagai petani dan gerakan-gerakan yang sangat sederhana. Indikasi tersebut memberikan gambaran bahwa dari kalangan petani mampu menelorkan salah satu jenis kesenian rakyat, yang tentu saja hal ini sangat terkait dengan kepentingan social dan ritual bagi seorang petani.



DAFTAR  PUSTAKA


Humardani, SD. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Akademi Karawitan Indonesia, 1983

Koentjaraningrat, 1997. “Metode Wawancara”, dalam Metode-metode Penelitian  Masyarakat, Koentjaraningrat (Ed.). Jakarta: Gamedia Pustaka Utama

Martiara, Rina. 2003, “Pengaruh Timbal Balik Antara Arena Pertunjukan dan yang Dipresentasikan”, dalam Kembang Setaman Persembahan untuk Sang Maha Guru (Ed. Hermien Kusmayati), BP ISI Yogyakarta.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi, Remaja, Rosdakarya, Bandung

Soedarsono, RM.1985. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Spradley, James P.1997. Metode Etnografi, terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana

Sugito, Bambang. 2005. “Jaranan Tulungagung (Kajian Perubahan dan Perkembangan Pertunjukan Jaranan di Kabupaten Tulungagung” dalam  Jurnal Dewa Ruci Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, vol. 3 No.2 Desember 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar