Senin, 16 Juni 2014

PENDIDIKAN APRESIASI SENI DI SEKOLAH DASAR DAN LANJUTAN

Nandi Saefurrohman

Kata ‘apresiasi berasal dari kata asing appreciation yang berarti pengertian, pemahaman, penghargaan, kesadaran terhadap suatu nilai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apresiasi mengandung pengertian yaitu penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu atau kesadaran terhadap nilai seni-budaya. Pengertian ini lebih menitik beratkan pada kesungguhan seseorang untuk melakukan tindakan pengamatan, penghayatan, penilaian, dan memberikan penghargaan terhadap objek yang diamati. Salah satu objek yang sering menjadi domain kegiatan apresiasi ini adalah karya seni atau kesenian.  

Dalam pengembangan kurikulum pendidikan seni-budaya untuk sekolah dasar dan lanjutan, penggunaan terminologi ‘apresiasi seni’ sebagai sebuah nama mata pelajaran memang tidak –atau mungkin belum– diketemukan sampai hari ini. Padahal kalau kita telaah, seluruh proses kegiatan belajar mengajar seni-budaya pada intinya terkait dengan proses pembelajaran apresiasi seni. Sehingga menunjuk atau menyebut apresiasi seni menjadi sangat substansial dan elementer. Alangkah prospektif jika dalam pengembangan kurikulum pendidikan seni-budaya, kedepannya, ‘Pendidikan Seni’ disebut menjadi ‘Pendidikan Apresiasi Seni’. 

Disadari atau tidak, kegiatan pembelajaran apresiasi seni bagi para siswa didik di sekolah dasar dan lanjutan, merupakan salah satu cara untuk memenuhi standard kualitas pendidikan seni di sekolah. Pembelajaran apresiasi seni bertujuan supaya siswa didik memiliki pengetahuan mendasar dalam menghayati dan memahami aspek-aspek karya seni dari berbagi sudut pandang. Selain itu siswa dapat memiliki ruang pengalaman estetis dan imajinasi, memiliki pemahaman tentang esensi dan fungsi seni di masyarakat, mampu menggali dan memacu potensi diri di bidang seni, dan selebihnya mampu menumbuhkan minat siswa untuk menekuni bidang seni baik sebagai praktisi maupun seorang entrepreneur.

Strategi pendidikan apresiasi seni bagi para siswa didik perlu dikembangkan serta dilaksanakan secara konsisten dan terstruktur, supaya tingkat kemampuan siswa dalam menghayati, menilai, dan menghargai suatu karya seni/kesenian bisa diandalkan. Ruang kegiatan apresiasi seni amatlah luas. Cakupan kegiatannya meliputi aktivitas studi lapangan (pengamatan dan penelaahan objek), laboratorium (praktikum/kreativitas), dan aktivitas uji hasil melalui kegiatan ajang presentasi seni. Sebagai penekanan, bahwa dalam kegiatan studi lapangan, pengamatan dan penelaahan sebaiknya diarahkan terhadap jenis kesenian yang berakar atau mencirikan budaya etnik. Hal ini dimaksudkan supaya para siswa memiliki kesadaran untuk lebih dekat mengenal, menghargai, dan mencintai budaya daerahnya sendiri ditengah-tengah terpaan budaya populer yang semakin kencang.

Proses pembelajaran apresiasi seni dapat dilaksanakan malalui tiga tahap. Pertama, tahap pembelajaran pengenalan jenis dan bentuk seni (disebut: tahap I); Kedua, tahap pembelajaran memahami nilai seni (tahap II); Ketiga, tahap pembelajaran mempraktikan dan kreatifitas seni (tahap III). Tahap-tahap tersebut secara singkat dirumuskan sebagai berikut:

Pembelajaran Tahap I

Pembelajaran jenis dan bentuk seni/kesenian merupakan modal dasar untuk mengenalkan ragam macam karya seni kepada para siswa didik. Tujuan utamanya supaya setiap siswa mampu membedakan keragaman bidang seni yang tumbuh di masyarakat, dengan segala corak dan warna yang membedakannya. Selain itu, aktifitas siswa didik dalam mengamati secara kongkrit beragam karya seni dan unsur-unsur material yang membentuknya akan memacu ketajaman empirik, berpikir realistik, memacu keinginan menganalisa dan atau mendeskripsikan material seni secara menyeluruh sebagai bahan dasar pengetahuan berikutnya.

 Mengenalkan jenis dan bentuk seni kepada siswa didik tidak terbatas hanya berdasarkan dari berbagai keterangan yang terdapat dalam literatur (sumber) tertulis semata. Siswa perlu diajak untuk menyimak secara detail dari aspek visualnya (data kongkrit). Pendekatannya dapat dilakukan dengan cara menyimak melalui berbagai gambar/photo, audio, video, mengadakan orientasi langsung terhadap objek-material murni dengan melihat pameran karya seni rupa, menonton pergelaran/pertunjukan kesenian, serta mendatangi sentra-sentra atau tempat-tempat dimana seni/kesenian itu tumbuh dan berkembang.

Perlu dipertimbangkan, bahwa dalam pendekatan proses pembelajaran tahap satu ini lebih diarahkan terhadap pemilihan jenis-jenis seni yang memiliki sifat (kualita) mendidik, membangun mental dan karakter siswa, serta dapat memperdalam penghayatan terhadap nilai-nilai sosial-budaya dan estetika. Sebaiknya dimulai dengan mengenalkan keragaman jenis dan bentuk seni yang memiliki kekhasan budaya lokal (etnik/tradisional) untuk menguatkan rasa kebanggaan, penghargaan, dan sekaligus sebagai bentuk tanggungjawab dalam pendidikan kebangsaan.

Pembelajaran Tahap II  

Dalam pembelajaran tahap dua ini perlu memberikan pengertian kepada para siswa didik tentang pentingnya mengetahui arti seni dari sudut pandang kedalaman maknawi (substansi) dan kontekstualnya. Tujuan yang dirasa sangat penting dalam proses pembelajaran tahap dua ini adalah bagaimana siswa mampu memahami nilai (esensi) seni serta memiliki sikap kritis terhadap berbagai fenomena berkesenian yang terjadi di masyarakat.

Mengawali pembelajaran melalui metode penyampaian dengan teknik naratif kiranya mampu memberikan penjelasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan makna dan fungsi seni bagi kehidupan manusia. Seni/kesenian yang tumbuh di masyarakat  –mencontohkan pada seni etnik/seni tradisional–  biasanya memperlihatkan karakteristik yang merepresentasikan dinamika sosio-cultural dan identitas masyarakat pemilik seni dengan segala nuansa kearifan lokalnya. Dengan metode naratif tersebut diharapkan keterangan-keterangan yang disampaikan lebih banyak mengungkap tentang bagaimana seni dimaknai atau berfungsi sebagai wahana dinamis ekspresi masyarakat dalam mengusung nilai-nilai keindahan, kedamaian, kebersamaan, rekreatif, moralitas dan pesan-pesan spiritual.

Selain memberikan pemahaman tersebut di atas, para siswa juga perlu dibekali dengan pemahaman tentang berbagai fenomena seni (cara berkesenian) yang berkembang di masyarakat sebagai konsekwensi logis dari pengaruh kebudayaan global. Progresivitas budaya populer yang sulit terbendung menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan prilaku manusia dalam mengaktualisasikan hasrat berkesenian. Kecenderungan tumbuhnya budaya hedonisme menjadi alasan untuk menempatkan bidang seni sebagai objek yang paling mudah untuk dirambah. Sebagai contoh, misalanya tentang maraknya acara-acara bertajuk pertunjukan kesenian yang lebih mementingkan fungsi sekunder (kesenangan/hiburan, propaganda, dan sebagainya) dari pada fungsi primer (hayatan, pencerahan, penjagaan jiwa). Dengan demikian diharapkan para siswa didik memiliki asumsi dasar tentang esensi suatu bentuk seni yang dapat meningkatkan derajat kualitas hidup ataupun sebaliknya.

Pembelajaran Tahap III

Pendidikan seni di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan salah satunya diimplementasikan melalui kegiatan terapan-praksis. Bidang seni yang diajarkan biasanya disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan penyelenggara pendidikan/sekolah Apabila dikaji lebih cermat, kegiatan praktek seni sangat efektif berguna untuk memacu tingkat apresiasi siswa secara mendalam terhadap bidang seni (seni musik, seni tari, seni rupa, seni teater, dan sebagainya) yang diminati. Namun demikian, seringkali kita menyaksikan bahwa praktek kesenian di sekolah masih dianggap sebagai salah satu kegiatan penunjang untuk menyalurkan bakat dan minat para siswa didik di bidang seni.

Terkait dengan proses pembelajaran apresiasi seni, kegiatan praktikum sebaiknya tidak dimaksudkan untuk menentukan secara formal standard kualitas dan peningkatan nilai belajar para siswa didik. Tetapi lebih diarahkan untuk memberi keleluasaan atau peluang kepada para siswa sebagai apresiator dalam beradaptasi dengan objek praktik/bidang seni. Dengan cara ini diharapkan setiap siswa mampu mencerna, menilai, dan menumbuhkan keberanian dan tindakan kreatifnya secara proporsional. Kreatifitas seni lebih menekankan aspek kemampuan siswa untuk menuangkan ide kreatifnya sebagai hasil dari pengenalan tentang beragam jenis dan bentuk seni, juga tentang nilai seni yang difahaminya.

Dalam tahapan ini, semua sistem terapan menggunakan metode penyampaian dengan teknik naratif dan teknik bertindak (mencontohkan, melakukan) tentang pola dan struktur dasar dari bidang seni yang dipelajari. Teknik naratif disajikan secara komunikatif dan mudah dicerna ketika memberi pengarahan seputar kronologi tindakan (cara mempraktekan), dan ketika memberi penjelasan tentang manfaat atau hasil tindakan yang dilakukan siswa. Perlu diketahui bahwa tingkat ketertarikan setiap siswa didik untuk mempelajari atau mempraktekan bidang seni tertentu tidaklah sama. Masing-masing memiliki dasar kemampuan dan bakat yang berbeda pula. Siswa yang dengan mudah mampu menerima, menyerap, dan melakukan proses pembelajaran praktik dengan baik kemungkinan memiliki bakat seni yang besar, sehingga keterampilannya harus terus diolah secara konsisten dan terarah. Sedangkan bagi siswa yang dianggap kurang berbakat atau tidak memiliki minat dan kemampuan untuk mempraktekan bidang seni tertentu, harus selalu diberi motivasi dan keyakinan bahwa dalam diri setiap orang pada dasarnya memiliki potensi seni. Untuk menggali potensi seni tersebut salah satunya dengan cara berinteraksi langsung melakukan/belajar mempraktekan sampai menemukan suatu bidang seni yang cocok untuk diminati.

Sebagai bukti dari keseluruhan pembelajaran praktik seni adalah dengan mengupayakan adanya program kegiatan selanjutnya berupa presentasi hasil pembelajaran praktik seni para siswa. Presentasi seni bertujuan agar para siswa dapat mengkomunikasikan, memamerkan, dan atau mempertunjukan hasil olah seninya kepada publik. Biasanya kegiatan presentasi seni sering dilaksanakan oleh para siswa baik dalam ajang lomba seni, maupun acara-acara kesiswaan /kegiatan non-formal lainnya. 

Tiga tahap proses pembelajaran apresiasi seni tersebut di atas, dapat dilaksanakan secara berkala/periodik sebagai kegiatan tambahan kesiswaan, dan atau dilaksanakan secara insidentil/non-periodik untuk memenuhi kebutuhan materi pengajaran pokok bidang seni yang sudah direncanakan dan disesuaikan dengan cakupan kurikulum. Apabila dilaksanakan secara berkala sebagai program kegiatan tambahan, maka proses pembelajaraan tahap demi tahap dapat dilakukan melebur sebagai bentuk kegiatan ekstrakulikuler. Selain memungkinkan kegiatan apresiasi seni lebih fleksibel (aktif, komunikatif, terbuka), juga porsi pengetahuan seni yang disampaikan akan sangat luas melalui metode penyampaian dengan menggunakan teknik naratif dan tindakan. Sedangkan jika proses pembelajaran dilaksanakan non-periodik untuk memenuhi target pencapaian materi ajar bidang seni semata, maka proses pembelajaran biasanya agak kaku atau kurang fleksibel. Pengetahuan seni yang disampaikan sangat terbatas, dan seringkali mengacu kepada materi rujukan (referensi) yang sudah ditetapkan sebagai bahan atau materi ujian tulis bagi para siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran apresiasi seni bagi para siswa didik sebaiknya dilaksanakan secara periodik dan ditempatkan secara fleksibel dalam program kegiatan kesiswaan/kegiatan ekstrakulikuler.
 Sebagai penutup tulisan ringkas ini, kiranya sangat diperlukan peranan aktif para pendidik seni-budaya maupun pihak penyelenggara pendidikan sekolah dasar dan lanjutan untuk terus memikirkan dan menunjukan secara kongkrit usaha-usaha pendidikan apresiasi seni yang relevan dengan misi-visi pendidikan nasional. Melalui pendidikan apresiasi seni diharapkan dapat membangun mental dan karakter para siswa didik, yang pada akhirnya akan bermuara pada tujuan pembangunan karakter kebangsaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar