PENDIDIKAN APRESIASI SENI DI SEKOLAH DASAR DAN LANJUTAN
Nandi Saefurrohman
Kata ‘apresiasi’ berasal dari kata asing appreciation yang berarti pengertian,
pemahaman, penghargaan, kesadaran terhadap suatu nilai.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), apresiasi
mengandung pengertian yaitu penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu atau kesadaran
terhadap nilai seni-budaya. Pengertian ini lebih menitik beratkan
pada kesungguhan seseorang untuk melakukan tindakan pengamatan, penghayatan, penilaian,
dan memberikan penghargaan terhadap objek yang diamati. Salah satu objek yang
sering menjadi domain kegiatan apresiasi ini adalah karya seni atau kesenian.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan seni-budaya untuk sekolah dasar dan
lanjutan, penggunaan terminologi ‘apresiasi seni’ sebagai sebuah nama mata
pelajaran memang tidak –atau mungkin belum– diketemukan sampai hari ini.
Padahal kalau kita telaah, seluruh proses kegiatan belajar mengajar seni-budaya
pada intinya terkait dengan proses pembelajaran apresiasi seni. Sehingga
menunjuk atau menyebut apresiasi seni menjadi sangat substansial dan elementer.
Alangkah prospektif jika dalam pengembangan kurikulum pendidikan seni-budaya,
kedepannya, ‘Pendidikan Seni’ disebut menjadi ‘Pendidikan Apresiasi Seni’.
Disadari atau tidak, kegiatan pembelajaran apresiasi seni bagi para siswa
didik di sekolah dasar dan lanjutan, merupakan salah satu cara untuk memenuhi
standard kualitas pendidikan seni di sekolah. Pembelajaran
apresiasi seni bertujuan supaya siswa didik memiliki pengetahuan mendasar dalam
menghayati dan memahami aspek-aspek karya
seni dari berbagi sudut pandang.
Selain itu siswa dapat memiliki ruang pengalaman estetis dan imajinasi, memiliki
pemahaman tentang esensi dan fungsi seni di masyarakat, mampu menggali dan
memacu potensi diri di bidang seni, dan selebihnya mampu menumbuhkan minat siswa
untuk menekuni bidang seni baik sebagai praktisi maupun seorang entrepreneur.
Strategi pendidikan apresiasi seni bagi para siswa didik perlu dikembangkan
serta dilaksanakan secara konsisten dan terstruktur, supaya tingkat kemampuan
siswa dalam menghayati, menilai, dan menghargai suatu karya seni/kesenian bisa
diandalkan. Ruang kegiatan apresiasi seni amatlah luas. Cakupan kegiatannya
meliputi aktivitas studi lapangan (pengamatan dan penelaahan objek),
laboratorium (praktikum/kreativitas), dan aktivitas uji hasil melalui kegiatan
ajang presentasi seni. Sebagai penekanan, bahwa dalam kegiatan studi lapangan,
pengamatan dan penelaahan sebaiknya diarahkan terhadap jenis kesenian yang
berakar atau mencirikan budaya etnik. Hal ini dimaksudkan supaya para siswa
memiliki kesadaran untuk lebih dekat mengenal, menghargai, dan mencintai budaya
daerahnya sendiri ditengah-tengah terpaan budaya populer yang semakin kencang.
Proses pembelajaran apresiasi seni dapat dilaksanakan malalui tiga tahap.
Pertama, tahap pembelajaran
pengenalan jenis dan bentuk seni
(disebut: tahap I);
Kedua, tahap pembelajaran
memahami nilai seni (tahap II);
Ketiga, tahap pembelajaran mempraktikan dan kreatifitas seni
(tahap III). Tahap-tahap tersebut secara
singkat dirumuskan sebagai berikut:
Pembelajaran Tahap I
Pembelajaran jenis dan bentuk seni/kesenian merupakan modal dasar untuk
mengenalkan ragam macam karya seni kepada para siswa didik. Tujuan utamanya supaya
setiap siswa mampu membedakan keragaman bidang seni yang tumbuh di masyarakat,
dengan segala corak dan warna yang membedakannya. Selain itu, aktifitas siswa
didik dalam mengamati secara kongkrit beragam karya seni dan unsur-unsur
material yang membentuknya akan memacu ketajaman empirik, berpikir realistik,
memacu keinginan menganalisa dan atau mendeskripsikan material seni secara
menyeluruh sebagai bahan dasar pengetahuan berikutnya.
Mengenalkan jenis dan bentuk seni kepada
siswa didik tidak terbatas hanya berdasarkan dari berbagai keterangan yang
terdapat dalam literatur (sumber) tertulis semata. Siswa perlu diajak untuk
menyimak secara detail dari aspek visualnya (data kongkrit). Pendekatannya
dapat dilakukan dengan cara menyimak melalui berbagai gambar/photo, audio, video,
mengadakan orientasi langsung terhadap objek-material murni dengan melihat
pameran karya seni rupa, menonton pergelaran/pertunjukan kesenian, serta mendatangi
sentra-sentra atau tempat-tempat dimana seni/kesenian itu tumbuh dan
berkembang.
Perlu dipertimbangkan, bahwa dalam pendekatan proses pembelajaran tahap
satu ini lebih diarahkan terhadap pemilihan jenis-jenis seni yang memiliki
sifat (kualita) mendidik, membangun mental dan karakter siswa, serta dapat
memperdalam penghayatan terhadap nilai-nilai sosial-budaya dan estetika. Sebaiknya
dimulai dengan mengenalkan keragaman jenis dan bentuk seni yang memiliki
kekhasan budaya lokal (etnik/tradisional) untuk menguatkan rasa kebanggaan,
penghargaan, dan sekaligus sebagai bentuk tanggungjawab dalam pendidikan
kebangsaan.
Pembelajaran Tahap
II
Dalam pembelajaran tahap
dua ini perlu memberikan pengertian kepada para siswa didik tentang pentingnya
mengetahui arti seni dari sudut pandang kedalaman maknawi (substansi) dan
kontekstualnya. Tujuan yang dirasa sangat penting dalam proses pembelajaran
tahap dua ini adalah bagaimana siswa mampu memahami nilai (esensi) seni serta
memiliki sikap kritis terhadap berbagai fenomena berkesenian yang terjadi di
masyarakat.
Mengawali pembelajaran melalui metode penyampaian dengan teknik naratif kiranya
mampu memberikan penjelasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan makna
dan fungsi seni bagi kehidupan manusia. Seni/kesenian yang tumbuh di
masyarakat –mencontohkan pada seni
etnik/seni tradisional– biasanya
memperlihatkan karakteristik yang merepresentasikan dinamika sosio-cultural dan
identitas masyarakat pemilik seni dengan segala nuansa kearifan lokalnya.
Dengan metode naratif tersebut diharapkan keterangan-keterangan yang
disampaikan lebih banyak mengungkap tentang bagaimana seni dimaknai atau
berfungsi sebagai wahana dinamis ekspresi masyarakat dalam mengusung
nilai-nilai keindahan, kedamaian, kebersamaan, rekreatif, moralitas dan pesan-pesan
spiritual.
Selain memberikan pemahaman tersebut di atas, para siswa juga perlu
dibekali dengan pemahaman tentang berbagai fenomena seni (cara berkesenian)
yang berkembang di masyarakat sebagai konsekwensi logis dari pengaruh
kebudayaan global. Progresivitas budaya populer yang sulit terbendung
menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan prilaku manusia dalam
mengaktualisasikan hasrat berkesenian. Kecenderungan tumbuhnya budaya hedonisme
menjadi alasan untuk menempatkan bidang seni sebagai objek yang paling mudah
untuk dirambah. Sebagai contoh, misalanya tentang maraknya acara-acara bertajuk
pertunjukan kesenian yang lebih mementingkan fungsi sekunder
(kesenangan/hiburan, propaganda, dan sebagainya) dari pada fungsi primer
(hayatan, pencerahan, penjagaan jiwa). Dengan demikian diharapkan para siswa
didik memiliki asumsi dasar tentang esensi suatu bentuk seni yang dapat
meningkatkan derajat kualitas hidup ataupun sebaliknya.
Pembelajaran Tahap
III
Pendidikan seni di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan salah satunya diimplementasikan
melalui kegiatan terapan-praksis. Bidang seni yang diajarkan biasanya
disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan penyelenggara pendidikan/sekolah
Apabila dikaji lebih cermat, kegiatan praktek seni sangat efektif berguna untuk
memacu tingkat apresiasi siswa secara mendalam terhadap bidang seni (seni
musik, seni tari, seni rupa, seni teater, dan sebagainya) yang diminati. Namun
demikian, seringkali kita menyaksikan bahwa praktek kesenian di sekolah masih dianggap
sebagai salah satu kegiatan penunjang untuk menyalurkan bakat dan minat para
siswa didik di bidang seni.
Terkait dengan proses pembelajaran apresiasi seni, kegiatan praktikum sebaiknya tidak dimaksudkan
untuk menentukan secara formal standard kualitas dan peningkatan nilai belajar
para siswa didik. Tetapi lebih diarahkan untuk memberi keleluasaan atau peluang
kepada para siswa sebagai apresiator dalam beradaptasi dengan objek
praktik/bidang seni. Dengan cara ini diharapkan setiap siswa mampu mencerna,
menilai, dan menumbuhkan keberanian dan tindakan kreatifnya secara
proporsional. Kreatifitas seni lebih menekankan aspek kemampuan siswa untuk
menuangkan ide kreatifnya sebagai hasil dari pengenalan tentang beragam jenis
dan bentuk seni, juga tentang nilai seni yang difahaminya.
Dalam tahapan ini, semua sistem terapan menggunakan metode penyampaian
dengan teknik naratif dan teknik bertindak (mencontohkan, melakukan) tentang pola
dan struktur dasar dari bidang seni yang dipelajari. Teknik naratif disajikan
secara komunikatif dan mudah dicerna ketika memberi pengarahan seputar kronologi
tindakan (cara mempraktekan), dan ketika memberi penjelasan tentang manfaat
atau hasil tindakan yang dilakukan siswa. Perlu diketahui bahwa tingkat
ketertarikan setiap siswa didik untuk mempelajari atau mempraktekan bidang seni
tertentu tidaklah sama. Masing-masing memiliki dasar kemampuan dan bakat yang
berbeda pula. Siswa yang dengan mudah mampu menerima, menyerap, dan melakukan
proses pembelajaran praktik dengan baik kemungkinan memiliki bakat seni yang
besar, sehingga keterampilannya harus terus diolah secara konsisten dan
terarah. Sedangkan bagi siswa yang dianggap kurang berbakat atau tidak memiliki
minat dan kemampuan untuk mempraktekan bidang seni tertentu, harus selalu diberi
motivasi dan keyakinan bahwa dalam diri setiap orang pada dasarnya memiliki potensi
seni. Untuk menggali potensi seni tersebut salah satunya dengan cara
berinteraksi langsung melakukan/belajar mempraktekan sampai menemukan suatu
bidang seni yang cocok untuk diminati.
Sebagai bukti dari keseluruhan pembelajaran praktik seni adalah dengan
mengupayakan adanya program kegiatan selanjutnya berupa presentasi hasil
pembelajaran praktik seni para siswa. Presentasi seni bertujuan agar para siswa
dapat mengkomunikasikan, memamerkan, dan atau mempertunjukan hasil olah seninya
kepada publik. Biasanya kegiatan presentasi seni sering dilaksanakan oleh para
siswa baik dalam ajang lomba seni, maupun acara-acara kesiswaan /kegiatan non-formal
lainnya.
Tiga tahap proses pembelajaran apresiasi seni tersebut di atas, dapat
dilaksanakan secara berkala/periodik sebagai kegiatan tambahan kesiswaan, dan
atau dilaksanakan secara insidentil/non-periodik untuk memenuhi kebutuhan
materi pengajaran pokok bidang seni yang sudah direncanakan dan disesuaikan
dengan cakupan kurikulum. Apabila dilaksanakan secara berkala sebagai program
kegiatan tambahan, maka proses pembelajaraan tahap demi tahap dapat dilakukan
melebur sebagai bentuk kegiatan ekstrakulikuler. Selain memungkinkan kegiatan
apresiasi seni lebih fleksibel (aktif, komunikatif, terbuka), juga porsi
pengetahuan seni yang disampaikan akan sangat luas melalui metode penyampaian dengan
menggunakan teknik naratif dan tindakan. Sedangkan jika proses pembelajaran
dilaksanakan non-periodik untuk memenuhi target pencapaian materi ajar bidang
seni semata, maka proses pembelajaran biasanya agak kaku atau kurang fleksibel.
Pengetahuan seni yang disampaikan sangat terbatas, dan seringkali mengacu
kepada materi rujukan (referensi) yang sudah ditetapkan sebagai bahan atau
materi ujian tulis bagi para siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran
apresiasi seni bagi para siswa didik sebaiknya dilaksanakan secara periodik dan
ditempatkan secara fleksibel dalam program kegiatan kesiswaan/kegiatan ekstrakulikuler.
Sebagai penutup tulisan ringkas ini, kiranya
sangat diperlukan peranan aktif para pendidik seni-budaya maupun pihak
penyelenggara pendidikan sekolah dasar dan lanjutan untuk terus memikirkan dan
menunjukan secara kongkrit usaha-usaha pendidikan apresiasi seni yang relevan
dengan misi-visi pendidikan nasional. Melalui pendidikan apresiasi seni
diharapkan dapat membangun mental dan karakter para siswa didik, yang pada
akhirnya akan bermuara pada tujuan pembangunan karakter kebangsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar