Senin, 10 Oktober 2011

Artikel 10

Menilik Penerapan Berbagai Konsep Musikal dalam Karawitan Sunda
Oleh: Nandi Saefurrohman


ABSTRAK

Memahami wujud suatu bentuk musik tradisional tidak lepas dari pengamatan terhadap penggunaan konsep-konsep musik yang berlaku pada masyarakat pemiliknya. Dalam praktek karawitan Sunda pada dasarnya mengacu pada konsep-konsep musik yang biasanya diterapkan secara teknis sebagai acuan dalam membuat dan memainkan musik. Membuat dan memainkan suatu musik akan dihadapkan pada pemahaman tentang struktur atau bagian-bagian yang merupakan wilayah garap musikal sehingga suatu musik dapat memiliki bentuk yang jelas. Bentuk musik terdiri dari suatu tatanan (struktur) musikal yang nampak kongkrit, dapat dipersepsi dengan telinga, diamati (dikritisi), dan dapat dirasakan bagaimana hubungan-hubungan dari komponen-komponen atau unsur-unsur dasar yang ada dalam tatanan musik tersebut.
A.    Pendahuluan
Konsep merupakan ide abstrak yang menunjuk pada suatu fenomena ataupun sifat-sifat yang mempunyai persamaan yang dimiliki sejumlah fenomena. Konsep dinyatakan melalui istilah-istilah dalam bentuk simbol atau kata-kata, dalam hal ini bahasa merupakan suatu persetujuan yang dicapai orang untuk mempresentasikan ide-ide dengan suara atau dengan hurup-hurup yang dipelajari dalam hidupnya. (Alfian, 2003). Konsep bersifat teoritis dan mendasar, serta memiliki kegunaan praktis yang dapat dikembangkan seandainya diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis pula (Suriasumantri,  2001: 151).
Sesuatu yang dapat dianggap sepenuh-penuhnya memenuhi syarat sebagai musik apabila dapat memenuhi kriteria kompositoris yang pada bangunannya menyiratkan adanya kerangka dasar dan struktur yang menampung berbagai elemen musik seperti susunan nada-nada dalam melodi dan ritme, harmoni dalam berbagai warna dan watak suara, gejala dinamik, dan sebagainya (Hardjana, 2003: 4).
Tulisan ini akan membahas seputar konsep musikal dalam karawitan Sunda sebagai dasar atau pijakan dalam merumuskan, membuat (menciptakan), dan mempraktekan beragam repertoar musik tradisional di Jawa Barat, baik pada karawitan vokal (sekar), instrumental (gending), dan vokal-instrumental (sekar gending).

B.     Karawitan Sunda
Masyarakat Sunda menunjuk berbagai repertoar karawitan ke dalam tiga kategori yaitu karawitan vokal (sekar), karawitan instrumental (gendingan), karawitan vokal-instrumental (sekar-gending). Ketiga kategori tersebut dapat dilihat menurut ciri-ciri musikal, gaya, dan sistem atau cara penyajian repertoar.

1.      Sekar
Kata sekar1 dalam seni karawitan Sunda banyak ditemukan untuk menyebut berbagai peristilahan. Secara harafiah sekar berarti vokal atau nyanyian. Seseorang yang ahli dalam berolah seni vokal baik sebagai pesinden maupun penembang keduanya disebut Juru Sekar.. Lagu-lagu vokal Sunda yang dinyanyikan secara mandiri (solo) disebut anggana sekar, dan vokal yang disajikan secara bersama disebut rampak sekar atau layeutan swara (paduan suara, duet, trio, quarter, dan sebagainya). Nyanyian yang dibawakan dengan bentuk dialog disebut sekar catur.
Nyanyian-nyanyian yang berfungsi untuk mengusir kesedihan atau sebagai pelipur lara disebut sekar panglipur atau sekar penggalih, nyanyian untuk mendukung suasana gembira disebut sekar panghêgar; dan nyanyian untuk mencurahkan rasa rindu disebut sekar pangemat. Selain itu kata ‘sekar’ juga sering digunakan oleh para pencipta lagu untuk memberi nama pada  judul lagu yang dibuat, sebut saja lagu sekar manis, sekar mawar, sekar ligar, sekar tanjung, sekar mayang, sekar malati, sekar êndah, dan lain-lain.
Seluruh perbendaharaan seni vokal Sunda dibagi ke dalam dua jenis yaitu kawih dan  tembang. Lagu-lagu vokal Sunda yang temasuk jenis kawih dapat ditemukan pada penyajian seni vokal yang dibawakan tanpa permainan alat musik (waditra) yang disebut nyanyian yang ditambul,2 juga terdapat dalam berbagai penyajian sekar-gending gamelan maupun non gamelan.3 Nyanyian yang ditambul terdapat pada seni Kaulinan Barudak Lembur (permainan anak kampung), sedangkan dalam penyajian karawitan sekar-gending terdapat pada seni Kiliningan, Wayang Golêk Sunda, Degung, Celempungan, Ketuk Tilu, Jaipongan, Gamelan Wanda Anyaran, seni Kendang Pencak; Kuda Rênggong, Calung, Rêog, seni Tembang Cianjuran, dan lain-lain.
Di kalangan pengrawit gamelan pelog-slendro terdapat persepsi bahwa lagu-lagu jenis kawih identik dengan lagu-lagu vokal lagam kapesindênan (gaya pesinden). Sedangkan lagu-lagu jenis tembang identik dengan lagu-lagu vokal lagam tembang (gaya penembang) yang dapat ditemukan dalam seni tembang Cianjuran, Cigawiran, Ciawian, Beluk, Sumedangan, Garutan, seni Rancag Buhun, dan sebagainya.
2.      Gending
Terminologi gending atau gendingan dapat diartikan musik instrumental, yang dibawakan tanpa disertai dengan vokal atau nyanyian. Dalam karawitan Sunda, yang secara khusus membawakan repertoar gendingan terdapat dalam seni Kiliningan, Degung Kawih, Degung Buhun (degung klasik), Goong Rêntêng, seni Jentrêng, seni Tembang Cianjuran, Kendang Pencak, dan lain-lain.    
3.      Sekar-gending
Secara harafiah istilah sekar-gending digunakan untuk menunjuk seni karawitan yang berupa perpaduan antara sekar (vokal) dan gending (instrumental). Dalam karawitan Sunda repertoar sekar-gending dibawakan dengan menggunakan seperangkat gamelan maupun non gamelan.
Ada dua jenis gamelan yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda yakni: (1) Gamelan pelog-slendro yang dipercaya berasal dari kebudayaan masyarakat Jawa. Gamelan ini digunakan dalam seni Kiliningan, Wayang Golek Purwa, Ketuk tilu, Jaipongan, Celempungan. (2) Gamelan degung yang dianggap sebagai produk budaya masyarakat Sunda sendiri. Gamelan ini dipakai dalam penyajian seni degung buhun (degung klasik) yang membawakan lagu-lagu instrumental, dan penyajian degung kawih yang membawakan lagu-lagu sekar-gending. Gamelan pelog-slendro dan gamelan degung juga kerap digunakan dalam penyajian kawih wandaanyaran yang dianggap sebagai gendre baru dalam karawitan Sunda.
Adapun repertoar sekar-gending yang dibawakan tidak menggunakan gamelan biasanya terdapat dalam seni pantun Sunda (menggunakan kecapi pantun), seni tembang Cianjuran (menggunakan kecapi tembang), seni calung jingjing (seperangkat calung), seni gemyung, seni kuda rênggong, seni rudat,  seni terbang buhun, seni kendang  pencak, dan lain-lain.
C.    Penerapan Konsep Musikal
1.  Wirahma (irama)
            Irama merupakan kata benda dan kata sifat. Sebagai kata sifat irama memiliki kandungan makna estetis yang kira-kira mirip dengan (kata sifat) laras, yaitu harmonis, selaras, tertata, teratur. Irama dalam praktek karawitan terkait dengan dua hal yaitu ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada masalah volume (isi) suatu lagu, sedangkan waktu menunjuk pada persoalan kecepatan (tempo) suatu lagu. Irama dalam konteks ruang dapat bersifat imajiner, memiliki makna aplikatif yang lebih pasti (fiked) bahkan absolut. Sedangkan irama dalam konteks waktu aplikasinya lebih relatif, lokal, bahkan kadang-kadang bisa subyektif (Supanggah, 2003: 123). Irama adalah napas gendhing, dengan irama sebuah gending atau lagu menjadi hidup (Supanggah, 2003: 129).
            Kedudukan irama menjadi amat penting agar suatu lagu terasa keindahannya (memilki nilai estetis). Di berbagai praktek karawitan Sunda persoalan irama sering dipahami oleh seorang pengrawit sebagai sesuatu yang bersifat subyektif-interpretatif ketika membawakan sebuah lagu sekar, gending, dan sekar gending. Hal ini terkait dengan faktor kepekaan, penghayatan, dan interpretasi musikal seorang pengrawit ketika membangun kesan estetik (rasa) sebuah lagu. Dalam konteks membangun kesan estetis tersebut, penekanan irama cenderung lebih bersifat non teknis (Sukanda, 2005), sehingga suatu lagu dapat memiliki kekuatan musikal yang dapat disampaikan kepada orang lain.
            Irama dapat memunculkan dan menguatkan ‘rasa lagu’. Ibarat seseorang yang sedang berjalan akan beda rasa dan kekuatan melangkahnya apabila dilakukan dengan cepat, sedang, atupun pelan. Seorang pengrawit ataupun vokalis (juru kawih, juru tembang) dalam memunculkan rasa lagu tersebut harus mampu mensinergikan antaa irama dan melodi agar suatu lagu yang dinyanyikan memenuhi kriteria estetis: ngalagu. Menurut para praktisi seni vokal Sunda ngalagu mengandung maksud yaitu dalam  membawakan atau mengeluarkan nada-nada harus ditata turun-naik dan panjang-pendeknya, berirama, dan tepat dalam menyuarakannya sehingga terasa memiliki keindahan bagi yang menyimaknya (Sobirin, 2005). Menyebut turun-naik dan panjang-pendek nada-nada dalam ngalagu, bahwa dalam pergerakan lagu, antara aspek melodis dan irama merupakan satu kesatuan.
Persoalan irama (wirahma) di kalangan praktisi karawitan Sunda kerap dijadikan rujukan untuk menentukan kategori atau jenis sebuah lagu. Hal ini berawal ketika seorang tokoh karawitan Sunda yaitu Raden Machyar Angga Koesoemadinata (RMAK) menggolongkan lagu-lagu Sunda ke dalam dua jenis irama, yaitu lagu-lagu irama tetap yang disebut wirahma tandak, dan lagu-lagu irama bebas disebut wirahma merdika (1950: 6). Pemikiran RMAK tersebut kemudian menjadi pemahaman yang sampai sekarang menjadi acuan dalam menentukan jenis suatu lagu. Sebagian besar praktisi karawitan Sunda memandang bahwa lagu-lagu vokal irama tetap (sekar wirahma tandak) identik atau dikategorikan sebagai jenis kawih, dan lagu-lagu vokal irama bebas (sekar wirahma merdika) sebagai jenis tembang.
Sekar wirama tandak adalah nyanyian yang dibawakan dengan irama konstan, dimana jarak antara setiap ketukan sama nilainya. Sementara sekar wirama merdika adalah nyanyian yang dibawakan dengan irama tidak tetap, jarak antara setiap ketukan tidak sama (Hasan Su’eb, 1977b: 42). Pada lagu-lagu sekar wirama tandak, baik ketukan, irama, gerakan cepat-lambat, dan panjang-pendek nada, semua bisa ditentukan ukurannya sehingga dapat ditulis dengan pasti. Sementara pada lagu-lagu sekar wirama merdika masalah panjang-pendek nada tergantung pada kehendak vokalis. Biasanya mereka yang sedang belajar lagu-lagu tembang kepada seorang guru, dalam menguasai panjang-pendek nada dari suatu lagu dilakukan dengan cara meniru guru yang mengajarkan langsung dengan lisan (Natapradja, 2003:72).
Wilet / Ugeran Wiletan Lagu:  Konsep praktis pembentukan lagu-lagu sekar dan gending
Kata wilet diduga berasal dari istilah wiletan atau ngawilet yang merupakan sifat dari suatu lagu (sekar, gending, maupun sekar-gending) ketika sedang dimainkan. Kata wilet sering diucapkan di lingkungan praktisi karawitan Sunda, terutama oleh para pengrawit gamelan pelog-slendro dan gamelan degung. Para pengrawit ketika sedang membawakan suatu lagu (gending dan sekar-gending), sering melontarkan kalimat-kalimat interaktif antar sesama pengrawit. Dalam suasana interaktif tersebut kadangkala terjadi lontaran kalimat seru dari seorang pengrawit –biasanya dilakukan oleh juru rebab– yang  ditujukan kepada juru kendang, di dalam kalimat tersebut terucap istilah wiletan dan ngawilet, misalkan kalimat: “sing pas wiletannana nya !” (yang pas wiletannya ya!)  atau “ lagu têh  kurang ngawilet euy!” (lagunya kurang ngawilet). Lontaran kalimat tersebut mengandung maksud untuk mengingatkan kepada juru kendang karena dalam mengolah dan membawakan irama lagu yang dimainkan terasa kurang pas. Apabila dalam membawakan suatu lagu dikatakan terasa ngawilet, artinya pada alur lagu terjadi kesetabilan ketukan (ajeg)  menunjukan tingkat konsistensi irama.
Perbincangan tentang konsep wilet dalam wacana praktek berkarawitan Sunda dipersepsi sebagai aturan praktis dalam membuat dan memainkan lagu-lagu kawih. Sopandi mengatakan, wilet adalah ukuran tingkatan embat atau irama lagu: sawilet, dua wilet, opat wilet (Sopandi, 1988: 211). Wilet menyangkut tentang periode struktural antara dua gong dalam suatu lagu, yang pada dasarnya sama dengan konsep kolotomik dalam gamelan Jawa (Hermawan, 1990: 101). Dalam lagu-lagu sekar-gending gamelan, aturan wilet merupakan alas (landasan) melangkahnya lagu-lagu dalam satu kenongan dan satu gongan, apakah langkahnya harus pelan atau cepat, apakah dipendekan atau dipanjangkan. Kalau dipendekan isinya lagu hanya terdiri beberapa kalimat, sedangkan kalau dipanjangkan, kalimatnya lebih banyak (Tarya, 2005).  
Panjang-pendeknya lagu dalam sa(satu)kenongan dan sa(satu)goongan terkait dengan pergerakan lagu menuju nada kenong dan nada gong. Memang dalam praktek memainkan lagu-lagu sekar-gending gamelan pelog-slendro, terdapat wilayah tabuh kenong dan wilayah tabuh gong. Oleh sebagian pengrawit gamelan kedua wilayah tersebut dianggap sebagai bingkai (pigura) yang membatasi pergerakan lagu yang secara teknis merupakan pembatas ketika terjadi peralihan ‘rasa’ lagu, dari rasa kenongan ke rasa goongan.
Sebuah pergerakan lagu dalam satu kenongan dan satu gongan berkenaan dengan pengolahan irama lagu dilihat dari aspek waktu dan ruang. Irama dari aspek waktu menyangkut pada kecepatan (tempo), sedangkan irama dari aspek ruang menyangkut pada besaran atau ukuran lagu. Maka persoalan waktu dan ruang sering menjadi patokan untuk menentukan kerangka (arkuh) lagu yang didalamnya mencerminkan adanya pola irama dan ukuran panjang-pendek suatu lagu.
Dalam berbagai catatan tentang lagu-lagu kawih, pada umumnya gending-gending gamelan sering ditulis kerangka lagunya saja. Dalam kerangka lagu tersebut mencerminkan pemakaian pola irama dan ukuran/besaran panjang-pendek lagu dalam sakenongan sampai sagoongan. Dengan demikian dalam aturan wilet, suatu bentuk kerangka lagu secara otomatis menggambarkan adanya kesatuan hubungan antara pola irama dan ukuran panjang-pendek lagu.


 Pola Wirahma   
Dalam repertoar lagu-lagu sekar-gending gamelan (kawih kapesindenan), pola irama merupakan patokan pergerakan lagu di wilayah tabuh kenong dan di wilayah tabuh gong. Pergerakan lagu di wilayah tabuh kenong menuju nada pusat (inti) kenong, dan di wilayah tabuh gong menuju nada pusat gong sebagai akhir periode lagu. Kedua wilayah tersebut digambarkan dengan  bentuk pendek (satuan kecil) sebuah kerangka lagu, yakni:
                                 |   .    .     .   N  |    .     .     .      G  |
     . . . N   =  wilayah tabuh kenong,   . . . G  =  wilayah tabuh gong    

Dalam memainkan lagu-lagu kawih, terdapat pola irama satengah wilet (setengah wilet), sawilet (satu wilet), dua wilet, opat wilet (empat wilet), dalapan wilet (delapan wilet). Secara teknis pola-pola irama tersebut apabila ditulis dalam bentuk kerangka lagu akan menggambarkan ukuran ruang lagu dalam sagoongan. Kerangka lagu setiap pola irama terdiri dari sejumlah wiletan (metrum, birama), setiap wiletan dibatasi garis yang disebut gurat wiletan (garis metrum), dan masing- masing wiletan terdiri dari empat perangan wiletan (ketukan). Banyaknya wiletan dalam suatu kerangka lagu akan memberi kemudahan bagi para pengrawit dalam menafsirkan dan atau penggunaan pola irama yang akan dimainkan, apakah pola irama satengah wilet, sawilet, dua wilet, opat wilet, atau dengan pola irama dalapan wilet. Untuk memperjelas keterangan tentang pola-pola irama, digambarkan sebagai berikut:




Pola irama satengah wilet:

|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·      (g)   |

| : gurat wiletan,  · : perangan wiletan, 
· · · · :  wiletan,  (g): nada gong,

Pola irama sawilet:

|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·     (g)    |

Pola irama dua wilet:

|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·      (g)    |

Pola irama opat wilet:

|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·      (g)    |

Pola irama dalapan wilet:

|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·       ·      |
|       ·       ·       ·         ·         |       ·       ·       ·      (g)    |


Ukuran Lagu 
Pada umumnya masyarakat karawitan Sunda menggunakan kata ‘lagu’ ditujukan terhadap musik vokal (sekaran), musik instrumental (gendingan), maupun campuran ke duanya (sekar-gending). Para pengrawit (niyaga) gamelan Sunda dalam menyebut sebuah gending atau sekar-gending sering mengganti dengan istilah lagu. Gending Banjaran disebut lagu banjaran; gending Kulu-Kulu disebut lagu kulu-kulu; gending Catrik disebut lagu catrik, gending Macan Ucul disebut lagu macan ucul, gending Bêndrong disebut lagu bêndrong, dan sebagainya. Selain itu dalam menyebut bentuk suatu lagu dikaitkan dengan masalah besaran atau ukuran lagu, apakah lagu-lagu tersebut berukuran pendek, sedang, atau panjang. Menurut Sopandi ukuran lagu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu dari tingkatan embat, panjang-pendek dan banyaknya kalimat lagu, serta banyaknya gongan dalam tiap lagu  (Sopandi, 1977: 7). 
RMA. Koesoemadinata menyebutkan bahwa lagu-lagu Sunda terdiri dari tiga bentuk ukuran lagu yaitu lagu alit, lagu tengah, dan lagu gede atau lagu ageung. (Kuns, 1973: 408). Namun ada juga yang menyebut bahwa pada karawitan Sunda terdapat empat bentuk lagu yaitu bentuk gurudugan, bentuk rênggong, bentuk tengahan, dan bentuk ageung (Sopandi dan kawan-kawan,1976: 25). Dari penelitian yang dilakukan Maman Suaman tentang  pola-pola lagu sekar-gending gamelan pelog-slendro, pada dasarnya  lagu-lagu Sunda terbagai menjadi tiga bentuk, yaitu: sekar alit atau sering disebut renggong alit, sekar tengahan atau sering disebut lenyepan, dan sekar ageung atau sering disebut lalamba (Suaman, 1991: 11). Kemudian Natapradja dalam bukunya yang membahas tentang sekar-gending dalam karawitan Sunda, membagi lagu-lagu sekar dan gending menjadi tiga bentuk, yaitu: rênggong alit, rênggong macapat, dan rênggong ageung (Natapradja,2003:76). Para pengrawit gamelan yang diminta keterangannya mengatakan, untuk menentukan panjang pendek sebuah lagu sekar-gending tergantung dari tingkatan irama yang dimainkan. Lagu panjang atau disebut juga lagu lalamba (dari kata lamba: lambat atau panjang) menggunakan irama opat wilet dan dalapan wilet, sedangkan lagu pendek menggunakan irama satengah wilet, sawilet, dan dua wilet (Tarya, 2005).
Berangkat dari ugeran wiletan lagu yang di dalamnya terkait dengan pembentukan pola-pola irama lagu, lagu alit merupakan bentuk sekar, gending, dan sekar-gending yang dalam sa(satu) goongan relatif pendek. Kerangka lagu dalam sagoongan memiliki empat sampai delapan wiletan, dan pada lagu ageung dalam sagoongan memiliki wiletan sebanyak enambelas ke atas. Para pengrawit gamelan mengatakan bahwa lagu-lagu ageung merupakan lagu panjang yang dimainkan dengan tempo relatif pelan.
Berikut contoh kerangka lagu alit dan ageung yang mengacu aturan wilet tersebut:
1). Lagu alit irama satu wilet (contoh : Macan Ucul, laras  slendro)
Kerangka lagu:            |   .    .   .   5   |    .    .    .    1   |   .    .    .   5   |    .    .    .  (4)   |
Pola irama:                  |    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·   (g)    |
 
Lagu-lagu dengan pola irama satu wilet dimainkan pada penyajian gamelan pelog-slendro dan gamelan degung, baik berupa lagu gending (gendingan) maupun lagu sekar-gending. Khusus berupa gendingan biasanya  sering digunakan untuk gending tari.
2). Lagu alit irama dua wilet (contoh: Catrik Dua wilet, laras slendro)
Kerangka lagu:            |   .    .   .   3   |    .   .    .    5    |   .    .    .   3   |    .   .    .    2      |
|   .    .   .   3   |    .   .    .    5    |   .    .    .   3   |    .   .    .   (4)     |
Pola irama:                  |    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·     ·                |
|    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·   (g)               |

3). Lagu ageung empat wilet (contoh lagu: Rênggong Gedê, laras slendro,)
Kerangka lagu:            |    .   .   .   3   |   .    .    .    2    |   .    .    .   3   |    .   .    .     5     |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    2    |   .    .    .   3   |    .   .    .     4     |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    4    |   .    .    .   3   |    .   .    .     5     |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    5    |   .    .    .   3   |    .   .    .    (2)    |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    5    |   .    .    .   3   |    .   .    .     2     |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    5    |   .    .    .   3   |    .    .   .     2     |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    4    |   .    .    .   3   |    .    .   .     5     |
|    .   .   .   3   |   .    .    .    2    |   .    .    .   3   |    .    .   .    (4)    |
|   .   .    .   3   |   .    .    .    2    |   .    .    .   3   |    .    .   .     4     |
|   .   .    .   3   |   .    .    .    2    |   .    .    .   3   |    .    .   .     2     |
|   .   .    .   3   |   .    .    .    4    |   .    .    .   3   |    .    .   .     5     |
|   .   .    .   3   |   .    .    .    4    |   .    .    .   3   |    .    .   .    (5)    |
Pola irama:                  |    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·     ·                |
|    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·     ·                |
|    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·     ·                |
|    ·    ·   ·    ·    |   ·    ·    ·     ·     |   ·    ·    ·    ·    |    ·    ·    ·   (g)               |





2.  Runtuyan Sora (melodi)
Sebutan melodi dalam karawitan Sunda diberi istilah runtuyan sora atau ranggeuyan sora4 yang searti dengan rangkaian nada. Runtuyan sora (melodi) dalam implementasi praktek karawitan Sunda berbentuk sebuah susunan nada-nada yang diatur sedemikian rupa berdasarkan kaidah-kaidah penggarapan sebuah lagu. Aspek keteraturan dari rangkaian nada-nada tersebut  berdasarkan dari nilai panjang-pendeknya nada-nada yang disusun.
 Panjang-pendek nada dalam karawitan Sunda disebut ambekan sora, dan nilai panjang-pendek nada disebut dami. Dalam notasi lagu-lagu Sunda  –pada umumnya ditulis dengan notasi angka–,  tanda yang dipakai untuk ambekan sora adalah titik (.) dan nol (0). Tanda titik untuk pangulur sora (memperpanjang nada), dan tanda nol untuk pamandeg sora (berhenti). Nilai panjang-pendek nada (dami) dibatasi ketukan-ketukan yang disebut perangan wiletan. Pada penulisan lagu-lagu sekar-gending wirama tandak (irama tetap), setiap wiletan  terdiri dari empat perangan wiletan. Wiletan dalam karawitan Sunda berarti metrum, birama. RMA. Koesoemadinata memberi istilah lain yaitu wiramantara (1950: 30).
            Untuk memperjelas keterangan tentang nilai nada-nada dalam satu wiletan, digambarkan dengan contoh berikut:
                              ·              ·              ·             ·            =   4 perangan wiletan     
                        1              2              3             4            =   panjang tiap nada 1dami
                       12            23            34           45           =                         ½ dami
                      123          234          345         451          =                       1/3 dami
                     1234        2345        3451       4512         =                         ¼ dami

Pada proses pembuatan sekaran (lagu vokal) Sunda baik lagu-lagu jenis kawih maupun tembang, terdapat cara-cara yang dipakai para pencipta lagu ketika membuat sebuah runtuyan sora (melodi). Pada umumnya para pencipta lagu-lagu vokal jenis kawih membuat runtuyan sora dengan menuliskan galeuhna lagu (nada-nada pokok) yang tidak dibubuhi sora-sora reureueus (nada-nada hiasan/ornamentasi lagu). Sebagai contoh runtuyan sora berikut:
     ____      ____       ____          ____     ____        ___­­_
|      0       5      4     5     4      4     4    |    4     4    5     1       1     1      1    |
               o-   ray  o-   ray-   an   lu-      ar    lê-  or   ma–  pay  sa-  wah
       ____         ____       ____                 ____     ____        ____
|      0     1        3     4     4      4     4    |    4     4    3     2       2     2      2    |
             en-  tong   ka   sa-  wah  pa-     re-  na keur ceu-deum beu-kah

Runtuyan sora pada lagu-lagu vokal jenis tembang ditulis nada-nada atau tanda-tanda yang menggambarkan sebagai sebuah reureueus/hiasan, runtuyan sora demikian sering disebut galayarna lagu. Para pencipta lagu-lagu vokal tembang membubuhkan nada-nada hiasan sebagai petunjuk penggunaan jenis-jenis reureueus agar tidak keliru dalam menyanyikannya meskipun ditulis sebatas anceran (petanda) atau kulit luarnya saja. Sebagai contoh runtuyan sora berikut:
5   5  5    5          5  54      5     4545   2
Pa-ja-ja-ran        ka -ri     nga----------ran

2      1 5  5      555 435    5 51    2 2 15   5  2 2   2   2 1
Pang-ra-ngo---------------geus     na-rik   ko--------lot

Dalam catatan-catatan yang memuat kumpulan lagu-lagu kawih, memang jarang menemukan sebuah notasi lagu vokal yang lengkap dengan gambaran pemakaian berbagai reureueus. Apabila notasi tersebut dibaca atau dinyanyikan apa adanya, akan tergambar suatu bentuk nyanyian yang disebut polosan. Notasi semacam ini dipakai untuk menuliskan lagu-lagu vokal pada kawih kaulinan barudak lembur (lagu-lagu permainan anak kampung), kawih kapesindenan, kawih degung. kawih wandaanyaran, dan lain-lain.
Pergerakan melodi pada lagu-lagu vokal baik vokal jenis kawih maupun tembang terkait langsung dengan pengucapan kata-kata dari lirik lagu (rumpaka) yang dinyanyikan. Secara metrikaswara (jumlah nada dalam setiap suku kata) pada lagu-lagu vokal kawih  dimana bersifat metris melodis, terikat ketukan, nilai nada, dan aturan pola irama–  setiap nada-nada yang dirangkai mencerminkan kata-kata dari lirik lagu (rumpaka). Runtuyan sora pada lagu-lagu kawih termasuk golongan monometraschematika, artinya setiap suku kata mengandung satu nada pokok (silabis) meskipun banyak ornamentasi dan liku-likunya tetapi nadanya itu-itu juga  (Wiraatmadja, 1964:  29), penerapan reureueus (hiasan lagu) pada lagu-lagu jenis kawih tergantung dari kemampun tafsir setiap juru kawih. Sedangkan runtuyan sora pada lagu-lagu tembang  bersifat ritmis melodies, tidak terikat ketukan, nilai nada, dan aturan pola irama. Dalam penulisan lagu jarang menggunakan wiletan-wiletan (metrum), sehingga tersedia ruang yang lebih luas untuk mencantumkan nada-nada yang menggambarkan berbagai reureueus/hiasan lagu (melismatis). Dalam penulisan notasi lagu-lagu tembang,  penerapan reureueus pada sebuah lagu sudah dibakukan.
Sebuah lagu yang bersifat metris melodis (jenis kawih) dari aspek runtuyan sora harus mencerminkan adanya beungkeutan sora, padalisan-padalisan lagu, dan leunjeuran padalisan, sebagai kriteria yang biasa dipakai sebagai dasar atau langkah-langkah praktis untuk menyusun sebuah lagu. Dalam beungkeutan sora antara aspek nada dan aspek rumpaka (lirik lagu) membentuk padalisan-padalisan lagu, baik padalisan yang berupa cangkang maupun berupa jeroan.5 Kemudian padalisan-padalisan tersebut tersusun sedemikian rupa membentuk leunjeuran padalisan.
Beungkeutan sora menunjuk terciptanya kesatuan antar nada yang saling mengikat (ngabeungkeut). Bengkeutan sora ditandai dengan adanya lilitan sora, yaitu dalam perangan wiletan (ketukan-ketukan) nada-nada yang ditempatkan memiliki hubungan dan fungsi yang sama sebagai pembentuk lekak-liku lagu atu sering disebut liukan lagu. Pada praktek gamelan Sunda, lilitan sora  merupakan  kesatuan nada dari pola tabuhan instrumen yang satu dengan pola tabuhan instrumen lainnya. Misalnya pola tabuhan saron satu dengan pola tabuhan saron dua, jika digabungkan secara simetris akan menghasilkan suatu pola melodi, biasanya pola melodi tersebut menjadi pola tabuhan instrumen peking. Begitu juga antara pola tabuhan bonang barung dengan pola tabuhan bonang panerus (bonang rincik).
Padalisan lagu atau sering disebut runtuyan sora sapadalisan –secara harafiah padalisan artinya kalimat–  menunjuk terciptanya suatu kalimat musikal berupa cangkang (kulit) maupun  jeroan (isi). Kemuda antara kalimat musikal dan kalimat lirik membentuk harmonisasi sebagai kalimat pertanyaan dan kalimat jawaban.6 Dalam lagu-lagu vokal jenis kawih, cangkang dan jeroan merupakan padalisan lagu yang masing-masing dapat dipenggal atau dipisahkan seperti sebuah kalimat pertanyaan dan kalimat jawaban. Cangkang akan berdiri kokoh sebagai kalimat pertanyaan apabila ada jeroan sebagai kalimat lanjutan atau sebagai jawabannya. Begitu juga sebaliknya, jeroan akan berdiri kokoh sebagai kalimat jawaban jika ada cangkang sebagai pertanyaannya.
Leunjeuran padalisan atau sering disebut runtuyan sora saleunjeuran menunjuk terciptanya wujud suatu lagu secara utuh. Leunjeuran padalisan merupakan gabungan padalisan lagu yang tersusun secara bertahap dan harmonis (ngaleunjeur), mulai dari awal keberangkatan (ngawalan), bagian tengah (tengahan), dan bagian akhir lagu (selehan). Ukuran satu leunjeuran padalisan dalam lagu-lagu kawih identik dengan sa(satu)goongan. Padalisan-padalisan lagu dalam satu leunjeran padalisan digambarkan seperti berikut:


 bs:           (a)                 (b)                  (c)                  (d)
             pl:
                              1                   2                     1                     2            
             lp:                                                                                                    abcd/G
         
bs:  bengkeutan sora       pl:   padalisan lagu        1: cangkang/kulit  
 2: jeroan/isi        lp:  leunjeuran padalisan       G: gongan

             Dalam lagu-lagu jenis kawih ukuran satu padalisan lagu sekar (satu kalimat vokal) sebanding dengan satu padalisan lagu gending (satu kalmat gending). Pada lagu-lagu pendek, satu kalimat vokal sebanding dengan jalannya gending dalam satu kenongan dan jalannya gending dari kenongan menuju satu goongan. Antara sekar dan gending pergerakannya sejalan saat terjadi peralihan-peralihan irama tabuh (alih nabeuh) yang diatur oleh juru pandêga (juru kendang). Dalam orientasi pergerakan melodi lagu, juru sekar harus cermat mengikuti alur gending jangan sampai keliru dalam membunyikan nada akhir di setiap padalisan lagu, baik  pada saat labuh kenong maupun saat labuh gong. 7   Labuh dalam perbendaharaan bahasa Sunda berarti tiba atau jatuh. Istilah labuh kenong dan labuh gong menunjuk pada ketepatan jatuhnya nada kenong dan gong ketika sedang memainkan suatu lagu gending. Istilah ini sering diucapkan oleh para pengrawit gamelan pelog-slendro –terutama oleh para pengrawit sepuh (setarap empu gending)–  yang bertindak sebagai  lurah gending.
             Seringkali para pengrawit gamelan menganggap salah jika sindên kurang tepat atau keliru menyuarakan nada akhir kenong atau gong pada lagu yang dinyanyikannya. Namun menurut beberapa ahli karawitan Sunda persepsi tersebut kurang begitu tepat karena dalam penyajian sekar-gending gamelan antara vokal dan gending sama-sama berada dalam satu atap yang disebut pola lagu sebagai patokan pergerakan arah lagu. Dalam hal ini pergerakan vokal dan gending di setiap padalisan lagu sama-sama menuju nada pusat kenong dan gong. Dalam membawakan sekar-gending Sunda, pola lagu atau sering juga disebut posisi lagu, dianggap sebagai ‘rumus’ dalam penentuan nada pusat kenong dan gong. Pola lagu-pola lagu yang biasa digunakan khususnya pada  lagu-lagu sekar-gending  gamelan  (kawih kapesindenan), antara lain: pola lagu Gendu, Panglima, Renggong, Belenderan, Banjaran, Kulu-kulu, Karangnunggal, dan sebagainya.
              


CATATAN
1.       Sekar merupakan kata halus (lemes) untuk menunjuk ‘bunga’ atau ‘kembang’. Para orang tua di Pasundan sering menyebut sekar dari pada kembang. Kembang melati disebut sekar malati, bunga mawar disebut sekar mawar, bunga yang sedang mekar disebut sekar ligar, rangkaian bunga disebut sekar rinoncê, bunga yang dipakai sebagai sarana dalam upacara ngaruwat disebut sekar pangruwat, dan lain-lain. Pada tradisi nazdran (berziarah  ke makam) di masyarakat Pasundan, salah satu kebiasaan yang sampai sekarang masih berlaku yaitu tradisi nyekar artinya menabur bunga di makam yang dikunjungi.

2.      Ditambul dari kata dasar nambul merupakan kata kerja yang sering digunakan sebagai bahasa sehari-hari masyarakat Sunda. Biasanya kata ini diterapkan atau dipakai terhadap orang yang sedang makan nasi tanpa ada lauk-pauknya, atau terhadap orang yang sedang mengerjakan sesuatu secara sendirian tanpa dibantu orang lain

3.      Menurut Rahayu Supanggah, gamelan merupakan seperangkat ricikan yang sebagian besar  terdiri dari alat musik pukul atau perkusi, yang dibuat dari bahan utama logam (perunggu, kuningan, besi atau bahan yang lain), dilengkapi dengan ricikan-ricikan dengan bahan kayu dan / atau kulit maupun campuran dari dua atau ketiga bahan tersebut. (lihat Bothekan Karawitan I, 2002. p.12-13).
4.      Dalam bahasa Sunda,  kata ‘runtuyan’  atau ‘ngaruntuy’ , ‘ranggeuyan’ atau ‘ngaranggeuy menunjuk pada keteraturan dalam menyusun atau merangkai benda-benda, kata-kata, kalimat-kalimat, atau suatu cerita.   

5.      Kata ‘cangkang  dipakai untuk menunjuk kulit buah-buangan dan ubi-ubian, sedangkan kata ‘jeroan’ untuk menunjuk isi suatu benda atau isi perut mahluk hidup, juga sering dipakai sebagai kata untuk menunjuk maksud atau kedalaman hati seseorang.   

6.      Aspek lirik merupakan bagian penting dalam proses penciptaan lagu-lagu jenis kawih. Sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi para pencipta lagu-lagu jenis kawih biasanya mereka terlebih dahulu membuat lirik kemudian baru membuat melodinya. Lirik-lirik lagu yang dibuat bentuknya bisa berupa puisi terikat maupun puisi bebas. Bentuk puisi terikat dalam lirik-lirik lagu kawih banyak menggunakan kaidah-kaidah (aturan) pupuh dan pantun. Sedangan pada lirik-lirik lagu yang berbentuk puisi bebas (prosa) pada intinya terdiri dari  lirik-lirik lagu yang tidak terikat oleh aturan-aturan pupuh maupun pantun. Pada lirik-lirik lagu yang menggunakan kaidah pupuh (terikat guru lagu dan guru wilangan), setiap bait lirik terdiri dari baris-baris yang dapat berdiri sebagai kalimat. Begitu juga dalam puisi pantun, misalkan bentuk sisandiran, dimana dalam satu bait lirik terdiri dari kalimat pertanyaan atau disebut sebagai cangkang (kulit) dan kalimat jawaban atau disebut sebagai jeroan (isi).

7.      Dalam praktek karawitan Sunda terdapat  anggapan yang sering dilontarkan oleh para praktisi karawitan Sunda tentang posisi dan kedudukan sekar dan gending dalam penyajian karawitan sekar-gending. Pada penyajian sekar-gending gamelan pelog-slendro (kawih kapesidenan), posisi sekar dianggap ada “di belakang” gending, sekar harus mengikuti gending. Pernyataan ini tersirat dalam ungkapkan: sekar nuturkeun gending atau sekar milu gending (vokal mengikuti gending). Ungkapan sekar nuturkeun gending dianalogikan bahwa dalam penyajian sekar-gending gamelan, kedudukan gending lebih kuat dibandingkan vokal, vokal. harus ‘taat’ pada gending.Sementara dalam penyajian seni tembang Cianjuran posisi vokal dianggap ada “di depan” gending, atau sering dinyatakan dengan ungkapan: gending nuturkeun sekar atau gending milu sekar (gending mengikuti vokal).

DAFTAR PUSTAKA


Danasasmita, Makmur. 1983. Sastra Lagu dalam Tembang Sunda.  Bandung:  ASTI.

Depdikbud, (ed). 1987a. Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian. Jakarta: Dirkes.
                         1987b. Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini. Bandung: P & K

Djelantik, A. A. M. 1999. Estetik: Sebuah Pengantar.  Bandung:  MSPI, 

Endang,    S. 1979. Pangajaran Tembang Sunda. Bandung: Pelita Masa.

Hardjana, Suka. 2003.            Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: MSPI.

Hermawan, Deni. 2002. Etnomusikologi. Beberapa Permasalahan dalam Musik  Sunda.
                                       Bandung:  STSI Press.

Jayakusumah, Ali. 1983. Tutungkusan Rumpaka Buhun. Cianjur:  Mimitran Tembang Sunda.

Koesoemadinata, R.M.A. 1969. Ilmu Seni Raras. Djakarta: Pradnja  Paramita.
                       1950. Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara.  Djakarta: Noordhoff-Kolff.

Koswara, Tatang. 1990. Kawih Kaulinan. Bandung: Mitra Buana.

Martadinata, Juju Sain.  1976. Sekar Gending Degung. Bandung:  Mitra Buana.

Natapradja, Iwan. 2003. Sekar Gending. Bandung: Karya Cipta Lestari.
.          
Sopandi, Atik. 1977.   Penuntun Pengajaran Karawitan Sunda.  Bandung: ASTI.

Supanggah, R., (ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
                      2001.  Bothekan Karawitan I. Jakarta: MSPI.

Suriasumantri, Jujun S.  2001. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
 Jakarta: Sinar Pustaka  

Tamaswara, Amas. 1991. Kawih Sunda Pralagan. Bandung; Pustaka Buana.

Van Zanten, Wim. 1988. Sundanese Music in The Cianjuran Style:
Anthropological  and Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht:  Foris Publications.

Wiratmaja, Apung  S. 1994. Sumbangan Asih Kana Tembang Sunda. Bandung:  Purnamasari.

Satjadibrata, R. 1954.             Kamus Basa Sunda. Djakarta: Perpustakaan Perguruan
                         Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Soepandi, Atik. 1987. Kamus Istilah Karawitan Sunda. Bandung: Pustaka Buana

Rahayu Supanggah. 1994   “Gatra, Inti Dari Konsep Gending Tradisi Jawa”, dalam
                                  Jurnal Wiled, tahun I (Juli 1994), STSI  Surakarta.
                                 1983. “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Garap”. Makalah
                                             Disajikan dalam diskusi dosen dan mahasiswa ASKI Surakarta.

Suaman, Maman. 1992. “Pola-Pola Lagu-Lagu Tradisional Sunda di dalam Gamelan Pelog dan
                                       Slendro, Jenis-jenis Lagu Sekar Alit pada Embat Sawilet dan Dua
                                       Wilet”.Laporan Penelitian,  ASTI Bandung.

Wiardi, Didi. 1994. “Tinjauan Musikologis Lagu Gede dalam Sejak Kiliningan”.
                      Skripsi, STSI  Surakarta.




Biodata penulis:

Nandi Saefurrohman, M.Sn
Lahir di Bandung, 4 Mei 1965. Pernah kuliah mendalami ilmu karawitan di ASTI Bandung, STSI Surakarta. Menyelesaikan studi Pascasarjana Prodi Pengkajian Musik Nusantara di ISI Surakarta tahun 2006. Sejak tahun 1992 sampai sekarang menjadi tenaga pengajar di STKW Surabaya.           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar