Menilik Penerapan
Berbagai Konsep Musikal dalam Karawitan Sunda
Oleh: Nandi
Saefurrohman
ABSTRAK
Memahami wujud suatu bentuk musik tradisional tidak lepas dari pengamatan terhadap penggunaan
konsep-konsep musik yang berlaku pada masyarakat pemiliknya. Dalam praktek karawitan Sunda pada
dasarnya mengacu pada konsep-konsep musik yang biasanya diterapkan secara teknis sebagai acuan dalam membuat dan memainkan musik. Membuat dan memainkan suatu
musik akan dihadapkan pada pemahaman tentang struktur atau bagian-bagian yang
merupakan wilayah garap musikal
sehingga suatu musik dapat memiliki bentuk yang jelas. Bentuk musik terdiri
dari suatu tatanan (struktur) musikal yang nampak
kongkrit, dapat dipersepsi dengan telinga, diamati (dikritisi), dan dapat
dirasakan bagaimana hubungan-hubungan dari komponen-komponen atau unsur-unsur
dasar yang ada dalam tatanan musik tersebut.
A. Pendahuluan
Konsep merupakan ide abstrak yang menunjuk pada suatu fenomena
ataupun sifat-sifat yang mempunyai persamaan yang dimiliki sejumlah fenomena.
Konsep dinyatakan melalui istilah-istilah dalam bentuk simbol atau kata-kata,
dalam hal ini bahasa merupakan suatu persetujuan yang dicapai orang untuk
mempresentasikan ide-ide dengan suara atau dengan hurup-hurup yang dipelajari
dalam hidupnya. (Alfian, 2003). Konsep bersifat teoritis dan mendasar, serta
memiliki kegunaan praktis yang dapat dikembangkan seandainya diterapkan pada
masalah-masalah yang bersifat praktis pula (Suriasumantri, 2001: 151).
Sesuatu
yang dapat dianggap sepenuh-penuhnya memenuhi syarat sebagai musik apabila
dapat memenuhi kriteria kompositoris yang pada bangunannya menyiratkan adanya
kerangka dasar dan struktur yang menampung berbagai elemen musik seperti
susunan nada-nada dalam melodi dan ritme, harmoni dalam berbagai warna dan
watak suara, gejala dinamik, dan sebagainya (Hardjana, 2003: 4).
Tulisan ini akan membahas seputar konsep musikal dalam karawitan Sunda sebagai
dasar atau pijakan dalam merumuskan, membuat (menciptakan), dan mempraktekan beragam
repertoar musik tradisional di Jawa Barat, baik pada karawitan vokal (sekar), instrumental (gending), dan vokal-instrumental (sekar gending).
B.
Karawitan Sunda
Masyarakat Sunda menunjuk berbagai repertoar karawitan ke dalam
tiga kategori yaitu karawitan vokal (sekar),
karawitan instrumental (gendingan),
karawitan vokal-instrumental (sekar-gending). Ketiga kategori tersebut dapat dilihat menurut
ciri-ciri musikal, gaya, dan sistem atau cara penyajian repertoar.
1. Sekar
Kata sekar1 dalam seni karawitan Sunda banyak ditemukan untuk menyebut berbagai peristilahan. Secara harafiah sekar berarti vokal atau nyanyian. Seseorang yang ahli dalam
berolah seni vokal baik sebagai pesinden maupun penembang keduanya disebut Juru
Sekar.. Lagu-lagu vokal Sunda yang dinyanyikan secara mandiri (solo)
disebut anggana sekar, dan vokal yang disajikan secara bersama disebut rampak
sekar atau layeutan swara (paduan suara, duet, trio, quarter,
dan sebagainya). Nyanyian yang dibawakan dengan bentuk dialog disebut sekar
catur.
Nyanyian-nyanyian
yang berfungsi untuk mengusir kesedihan atau sebagai pelipur lara disebut sekar
panglipur atau sekar penggalih, nyanyian untuk mendukung suasana
gembira disebut sekar panghêgar; dan nyanyian untuk mencurahkan
rasa rindu disebut sekar pangemat. Selain itu kata ‘sekar’ juga sering digunakan oleh para pencipta lagu untuk memberi
nama pada judul lagu yang dibuat, sebut
saja lagu sekar manis, sekar mawar, sekar ligar, sekar tanjung, sekar
mayang, sekar malati, sekar êndah, dan lain-lain.
Seluruh
perbendaharaan seni vokal Sunda dibagi ke dalam dua jenis yaitu kawih dan tembang. Lagu-lagu vokal Sunda yang temasuk
jenis kawih dapat ditemukan pada penyajian seni vokal yang
dibawakan tanpa permainan alat musik (waditra) yang disebut nyanyian yang ditambul,2 juga terdapat dalam berbagai penyajian sekar-gending
gamelan maupun non gamelan.3 Nyanyian yang ditambul terdapat pada seni Kaulinan
Barudak Lembur (permainan anak kampung), sedangkan dalam penyajian karawitan sekar-gending terdapat pada seni Kiliningan,
Wayang Golêk Sunda, Degung, Celempungan,
Ketuk Tilu, Jaipongan, Gamelan Wanda Anyaran, seni Kendang
Pencak; Kuda Rênggong, Calung, Rêog, seni Tembang Cianjuran, dan
lain-lain.
Di kalangan pengrawit gamelan pelog-slendro terdapat persepsi bahwa lagu-lagu
jenis kawih identik dengan lagu-lagu
vokal lagam kapesindênan (gaya pesinden). Sedangkan lagu-lagu jenis tembang identik dengan lagu-lagu
vokal lagam tembang (gaya penembang) yang dapat ditemukan dalam
seni tembang Cianjuran, Cigawiran, Ciawian, Beluk,
Sumedangan, Garutan, seni Rancag Buhun, dan
sebagainya.
2. Gending
Terminologi gending atau gendingan dapat diartikan musik
instrumental, yang dibawakan tanpa disertai dengan vokal atau nyanyian. Dalam
karawitan Sunda, yang secara khusus membawakan repertoar gendingan terdapat dalam seni Kiliningan, Degung Kawih, Degung Buhun (degung klasik), Goong Rêntêng, seni Jentrêng, seni Tembang
Cianjuran, Kendang Pencak, dan lain-lain.
3. Sekar-gending
Secara
harafiah istilah sekar-gending
digunakan untuk menunjuk seni karawitan yang berupa perpaduan antara sekar (vokal) dan gending (instrumental). Dalam karawitan Sunda repertoar sekar-gending dibawakan dengan menggunakan
seperangkat gamelan maupun non gamelan.
Ada dua jenis
gamelan yang paling dikenal oleh masyarakat Sunda yakni: (1) Gamelan pelog-slendro
yang dipercaya berasal dari kebudayaan masyarakat Jawa. Gamelan ini digunakan
dalam seni Kiliningan, Wayang Golek Purwa, Ketuk tilu, Jaipongan, Celempungan.
(2) Gamelan degung yang dianggap sebagai produk budaya masyarakat Sunda sendiri.
Gamelan ini dipakai dalam penyajian seni degung buhun (degung klasik) yang membawakan
lagu-lagu instrumental, dan penyajian degung
kawih yang membawakan lagu-lagu sekar-gending. Gamelan pelog-slendro dan
gamelan degung juga kerap digunakan dalam penyajian kawih wandaanyaran yang
dianggap sebagai gendre baru dalam
karawitan Sunda.
Adapun repertoar
sekar-gending yang dibawakan tidak
menggunakan gamelan biasanya terdapat dalam seni pantun Sunda
(menggunakan kecapi pantun), seni tembang Cianjuran (menggunakan kecapi tembang), seni
calung jingjing (seperangkat calung), seni gemyung, seni kuda
rênggong, seni rudat, seni
terbang buhun, seni kendang pencak,
dan lain-lain.
C. Penerapan Konsep Musikal
1.
Wirahma (irama)
Irama
merupakan kata benda dan kata sifat. Sebagai kata sifat irama memiliki
kandungan makna estetis yang kira-kira mirip dengan (kata sifat) laras, yaitu harmonis, selaras, tertata,
teratur. Irama dalam praktek karawitan terkait dengan dua hal yaitu ruang dan
waktu. Ruang menunjuk pada masalah volume (isi) suatu lagu, sedangkan waktu
menunjuk pada persoalan kecepatan (tempo) suatu lagu. Irama dalam konteks ruang
dapat bersifat imajiner, memiliki makna aplikatif yang lebih pasti (fiked)
bahkan absolut. Sedangkan irama dalam konteks waktu aplikasinya lebih relatif,
lokal, bahkan kadang-kadang bisa subyektif (Supanggah, 2003: 123). Irama adalah
napas gendhing, dengan irama sebuah gending atau lagu menjadi hidup
(Supanggah, 2003: 129).
Kedudukan
irama menjadi amat penting agar suatu lagu terasa keindahannya (memilki nilai estetis). Di berbagai praktek karawitan Sunda persoalan irama sering dipahami oleh
seorang pengrawit sebagai sesuatu yang bersifat subyektif-interpretatif ketika
membawakan sebuah lagu sekar, gending, dan sekar
gending. Hal ini terkait dengan faktor kepekaan, penghayatan, dan
interpretasi musikal seorang
pengrawit ketika membangun kesan estetik (rasa) sebuah
lagu. Dalam konteks membangun kesan estetis tersebut, penekanan
irama cenderung lebih bersifat non teknis (Sukanda, 2005), sehingga suatu lagu
dapat memiliki kekuatan
musikal yang dapat
disampaikan kepada orang lain.
Irama
dapat memunculkan dan menguatkan ‘rasa lagu’. Ibarat seseorang yang sedang
berjalan akan beda rasa dan kekuatan melangkahnya apabila dilakukan dengan
cepat, sedang, atupun pelan. Seorang
pengrawit ataupun vokalis (juru kawih, juru tembang) dalam memunculkan rasa lagu tersebut harus mampu
mensinergikan antaa irama
dan melodi agar suatu lagu yang dinyanyikan memenuhi kriteria estetis: ngalagu. Menurut para praktisi seni vokal Sunda ngalagu
mengandung maksud yaitu dalam membawakan atau mengeluarkan nada-nada harus
ditata turun-naik dan panjang-pendeknya, berirama, dan tepat dalam menyuarakannya
sehingga terasa memiliki keindahan bagi yang menyimaknya (Sobirin, 2005). Menyebut
turun-naik dan panjang-pendek nada-nada dalam ngalagu, bahwa dalam
pergerakan lagu, antara aspek melodis dan irama merupakan satu kesatuan.
Persoalan irama (wirahma)
di kalangan praktisi karawitan Sunda kerap dijadikan rujukan untuk
menentukan kategori atau
jenis sebuah lagu. Hal
ini berawal ketika seorang tokoh karawitan Sunda yaitu Raden Machyar Angga
Koesoemadinata (RMAK) menggolongkan lagu-lagu Sunda ke dalam dua jenis irama,
yaitu lagu-lagu irama tetap yang disebut wirahma tandak, dan lagu-lagu
irama bebas disebut wirahma merdika (1950: 6). Pemikiran RMAK tersebut
kemudian menjadi pemahaman yang sampai sekarang menjadi acuan dalam menentukan
jenis suatu lagu. Sebagian besar praktisi karawitan Sunda memandang bahwa
lagu-lagu vokal irama tetap (sekar wirahma tandak) identik atau
dikategorikan sebagai jenis kawih,
dan lagu-lagu vokal irama bebas (sekar wirahma merdika) sebagai jenis tembang.
Sekar wirama tandak adalah
nyanyian yang dibawakan dengan irama konstan, dimana jarak antara setiap ketukan
sama nilainya.
Sementara sekar wirama merdika adalah
nyanyian yang dibawakan dengan irama tidak tetap, jarak antara setiap ketukan
tidak sama (Hasan Su’eb, 1977b: 42). Pada lagu-lagu sekar wirama tandak, baik ketukan, irama, gerakan cepat-lambat, dan
panjang-pendek nada, semua bisa ditentukan ukurannya sehingga dapat ditulis
dengan pasti. Sementara pada lagu-lagu sekar wirama merdika
masalah panjang-pendek nada tergantung pada kehendak vokalis. Biasanya mereka
yang sedang belajar lagu-lagu tembang
kepada seorang guru, dalam menguasai panjang-pendek nada dari suatu lagu
dilakukan dengan cara meniru guru yang mengajarkan langsung dengan lisan
(Natapradja, 2003:72).
Wilet / Ugeran Wiletan Lagu: Konsep praktis pembentukan lagu-lagu sekar
dan gending
Kata wilet diduga berasal
dari istilah wiletan atau ngawilet yang merupakan sifat dari suatu lagu (sekar, gending, maupun sekar-gending) ketika sedang dimainkan. Kata
wilet sering diucapkan di lingkungan
praktisi karawitan Sunda, terutama oleh para pengrawit gamelan pelog-slendro
dan gamelan degung. Para pengrawit ketika
sedang membawakan suatu lagu (gending dan sekar-gending), sering melontarkan kalimat-kalimat interaktif antar
sesama pengrawit. Dalam suasana interaktif tersebut kadangkala terjadi lontaran
kalimat seru dari seorang pengrawit –biasanya dilakukan oleh juru rebab–
yang ditujukan kepada juru kendang,
di dalam kalimat tersebut terucap istilah wiletan dan ngawilet,
misalkan kalimat: “sing pas wiletannana nya !” (yang pas wiletannya ya!) atau “ lagu têh kurang ngawilet euy!” (lagunya kurang ngawilet).
Lontaran kalimat tersebut mengandung maksud untuk mengingatkan kepada juru kendang
karena dalam mengolah dan membawakan irama lagu yang dimainkan terasa kurang
pas. Apabila dalam membawakan suatu lagu dikatakan terasa ngawilet, artinya pada alur lagu terjadi kesetabilan ketukan (ajeg) menunjukan tingkat konsistensi irama.
Perbincangan
tentang konsep wilet dalam wacana
praktek berkarawitan Sunda dipersepsi sebagai aturan praktis dalam membuat dan memainkan lagu-lagu kawih. Sopandi mengatakan, wilet
adalah ukuran tingkatan embat atau
irama lagu: sawilet, dua wilet, opat wilet (Sopandi, 1988: 211). Wilet menyangkut tentang periode
struktural antara dua gong dalam suatu lagu, yang pada dasarnya sama dengan konsep
kolotomik dalam gamelan Jawa (Hermawan, 1990: 101). Dalam lagu-lagu sekar-gending gamelan, aturan wilet merupakan alas (landasan)
melangkahnya lagu-lagu dalam satu kenongan
dan satu gongan, apakah langkahnya
harus pelan atau cepat, apakah dipendekan atau dipanjangkan. Kalau dipendekan isinya lagu hanya
terdiri beberapa kalimat, sedangkan kalau dipanjangkan, kalimatnya lebih banyak (Tarya, 2005).
Panjang-pendeknya lagu dalam sa(satu)kenongan dan sa(satu)goongan terkait dengan
pergerakan lagu menuju nada kenong dan nada gong. Memang dalam praktek
memainkan lagu-lagu sekar-gending
gamelan pelog-slendro, terdapat wilayah tabuh kenong dan wilayah tabuh gong.
Oleh sebagian pengrawit gamelan kedua wilayah tersebut dianggap sebagai bingkai
(pigura) yang
membatasi pergerakan lagu yang secara teknis merupakan pembatas ketika
terjadi peralihan ‘rasa’ lagu, dari
rasa kenongan ke rasa goongan.
Sebuah pergerakan lagu dalam
satu kenongan dan satu gongan berkenaan dengan pengolahan irama
lagu dilihat dari
aspek waktu dan ruang. Irama dari aspek waktu menyangkut pada kecepatan
(tempo), sedangkan irama dari aspek ruang menyangkut pada besaran atau ukuran
lagu. Maka persoalan waktu dan ruang sering menjadi patokan untuk menentukan kerangka
(arkuh) lagu yang didalamnya mencerminkan
adanya pola irama dan ukuran panjang-pendek suatu lagu.
Dalam
berbagai catatan tentang lagu-lagu kawih,
pada umumnya gending-gending gamelan sering ditulis kerangka lagunya saja. Dalam kerangka lagu tersebut mencerminkan
pemakaian pola irama dan ukuran/besaran panjang-pendek lagu dalam sakenongan
sampai sagoongan. Dengan demikian dalam aturan wilet, suatu bentuk kerangka lagu secara otomatis menggambarkan
adanya kesatuan hubungan antara pola irama dan ukuran panjang-pendek lagu.
Pola Wirahma
Dalam
repertoar lagu-lagu sekar-gending gamelan
(kawih kapesindenan), pola irama merupakan
patokan pergerakan lagu di wilayah tabuh kenong dan di wilayah tabuh gong. Pergerakan
lagu di wilayah tabuh kenong menuju nada pusat (inti) kenong, dan di wilayah
tabuh gong menuju nada pusat gong sebagai akhir periode lagu. Kedua wilayah
tersebut digambarkan dengan bentuk
pendek (satuan kecil) sebuah kerangka lagu, yakni:
| .
. . N
| . .
. G |
. . . N
= wilayah tabuh kenong, . . . G =
wilayah tabuh gong
Dalam
memainkan lagu-lagu kawih, terdapat
pola irama satengah wilet (setengah wilet), sawilet (satu wilet),
dua wilet, opat wilet (empat wilet),
dalapan wilet (delapan wilet). Secara teknis pola-pola irama
tersebut apabila ditulis dalam bentuk kerangka lagu akan menggambarkan ukuran
ruang lagu dalam sagoongan. Kerangka lagu setiap pola irama terdiri dari
sejumlah wiletan (metrum, birama), setiap wiletan dibatasi
garis yang disebut gurat wiletan (garis metrum), dan masing- masing wiletan terdiri dari empat perangan wiletan (ketukan). Banyaknya wiletan dalam suatu kerangka lagu akan memberi
kemudahan bagi para pengrawit dalam menafsirkan dan atau penggunaan pola irama
yang akan dimainkan, apakah pola irama satengah wilet, sawilet, dua
wilet, opat wilet, atau dengan pola irama dalapan wilet. Untuk memperjelas keterangan
tentang pola-pola irama, digambarkan sebagai berikut:
Pola irama satengah wilet:
| · ·
· · |
· · ·
(g)
|
| : gurat wiletan, · : perangan wiletan,
· · · · : wiletan, (g): nada gong,
Pola
irama sawilet:
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · · (g) |
Pola
irama dua wilet:
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
(g) |
Pola irama opat wilet:
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
(g) |
Pola irama dalapan wilet:
| · ·
·
· | ·
· · ·
|
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· ·
· · |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · · ·
· | ·
· · ·
|
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
· |
| · ·
· · |
· · ·
(g) |
Ukuran Lagu
Pada umumnya masyarakat karawitan Sunda menggunakan kata ‘lagu’
ditujukan terhadap musik vokal (sekaran), musik instrumental (gendingan),
maupun campuran ke duanya (sekar-gending). Para
pengrawit (niyaga) gamelan Sunda dalam menyebut sebuah gending atau sekar-gending sering mengganti dengan istilah lagu. Gending Banjaran disebut lagu
banjaran; gending Kulu-Kulu disebut lagu kulu-kulu;
gending Catrik disebut lagu
catrik, gending Macan Ucul disebut
lagu macan ucul, gending Bêndrong
disebut lagu bêndrong, dan sebagainya. Selain
itu dalam menyebut bentuk suatu lagu dikaitkan dengan
masalah besaran atau ukuran lagu, apakah lagu-lagu tersebut berukuran pendek,
sedang, atau panjang. Menurut Sopandi ukuran lagu dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, yaitu dari tingkatan embat, panjang-pendek dan banyaknya
kalimat lagu, serta banyaknya gongan
dalam tiap lagu (Sopandi, 1977: 7).
RMA.
Koesoemadinata menyebutkan bahwa lagu-lagu Sunda terdiri dari tiga bentuk
ukuran lagu yaitu lagu alit, lagu tengah, dan lagu gede
atau lagu ageung. (Kuns, 1973: 408). Namun ada juga yang
menyebut bahwa pada karawitan Sunda terdapat empat bentuk lagu yaitu bentuk gurudugan,
bentuk rênggong, bentuk tengahan, dan bentuk ageung
(Sopandi dan kawan-kawan,1976: 25). Dari penelitian yang dilakukan Maman Suaman
tentang pola-pola lagu sekar-gending gamelan pelog-slendro,
pada dasarnya lagu-lagu Sunda terbagai
menjadi tiga bentuk, yaitu: sekar alit atau sering disebut renggong
alit, sekar tengahan atau sering disebut lenyepan, dan sekar
ageung atau sering disebut lalamba (Suaman, 1991: 11). Kemudian
Natapradja dalam bukunya yang membahas tentang sekar-gending dalam karawitan Sunda, membagi lagu-lagu sekar dan gending menjadi tiga bentuk, yaitu: rênggong alit, rênggong
macapat, dan rênggong ageung (Natapradja,2003:76). Para pengrawit gamelan yang diminta keterangannya mengatakan, untuk
menentukan panjang pendek sebuah lagu sekar-gending
tergantung dari tingkatan irama yang dimainkan. Lagu panjang atau disebut juga lagu lalamba (dari kata lamba: lambat atau panjang) menggunakan irama opat wilet
dan dalapan wilet, sedangkan lagu pendek menggunakan irama satengah wilet, sawilet,
dan dua wilet (Tarya, 2005).
Berangkat
dari ugeran wiletan lagu yang di dalamnya terkait dengan pembentukan
pola-pola irama lagu, lagu alit merupakan bentuk sekar,
gending, dan sekar-gending yang
dalam sa(satu) goongan relatif pendek. Kerangka lagu dalam sagoongan
memiliki empat sampai delapan wiletan,
dan pada lagu ageung dalam sagoongan memiliki wiletan sebanyak enambelas ke atas. Para pengrawit gamelan mengatakan bahwa lagu-lagu ageung
merupakan lagu panjang yang dimainkan dengan tempo relatif pelan.
Berikut
contoh kerangka lagu alit dan ageung yang mengacu aturan wilet tersebut:
1). Lagu alit irama satu wilet (contoh : Macan Ucul, laras slendro)
Kerangka
lagu: | .
. . 5 |
. . .
1 | .
. . 5 | .
. . (4)
|
Pola irama: | · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · (g) |
Lagu-lagu dengan
pola irama satu wilet dimainkan pada
penyajian gamelan pelog-slendro dan gamelan degung, baik berupa lagu gending (gendingan) maupun lagu sekar-gending. Khusus berupa gendingan
biasanya sering digunakan untuk gending tari.
2). Lagu alit irama dua wilet (contoh: Catrik Dua wilet, laras slendro)
Kerangka
lagu: | .
. . 3
| . .
. 5 |
. . .
3 | .
. . 2 |
| .
. . 3
| . .
. 5 |
. . .
3 | .
. . (4) |
Pola irama: | · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · · |
| · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · (g)
|
3). Lagu ageung empat wilet
(contoh lagu: Rênggong Gedê, laras slendro,)
Kerangka
lagu: | .
. . 3
| . .
. 2 |
. . .
3 | .
. . 5 |
| .
. . 3
| . .
. 2 |
. . .
3 | .
. . 4 |
| .
. . 3
| . .
. 4 |
. . .
3 | .
. . 5 |
| .
. . 3
| . .
. 5 |
. . .
3 | .
. . (2) |
| .
. . 3
| . .
. 5 |
. . .
3 | .
. . 2 |
| .
. . 3
| . .
. 5 |
. . .
3 | .
. . 2 |
| .
. . 3
| . .
. 4 |
. . .
3 | .
. . 5 |
| .
. . 3
| . .
. 2 |
. . .
3 | .
. . (4) |
| .
. . 3
| . .
. 2 |
. . .
3 | .
. . 4 |
| .
. . 3
| . .
. 2 |
. . .
3 | .
. . 2 |
| .
. . 3
| . .
. 4 |
. . .
3 | .
. . 5 |
| .
. . 3
| . .
. 4
| . .
. 3 |
. . . (5) |
Pola irama:
| · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · · |
| · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · · |
| · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · · |
| · · · ·
| · · · · | · · · ·
| · · · (g)
|
2. Runtuyan Sora (melodi)
Sebutan melodi dalam karawitan Sunda diberi istilah runtuyan sora atau ranggeuyan sora4 yang searti dengan rangkaian nada. Runtuyan sora (melodi) dalam implementasi praktek karawitan Sunda berbentuk
sebuah susunan nada-nada yang diatur sedemikian rupa berdasarkan kaidah-kaidah
penggarapan sebuah lagu. Aspek keteraturan dari rangkaian nada-nada
tersebut berdasarkan dari nilai
panjang-pendeknya nada-nada yang disusun.
Panjang-pendek nada dalam karawitan Sunda
disebut ambekan sora, dan nilai panjang-pendek nada disebut dami.
Dalam notasi lagu-lagu Sunda –pada
umumnya ditulis dengan notasi angka–,
tanda yang dipakai untuk ambekan
sora adalah titik (.) dan nol (0). Tanda titik untuk pangulur
sora (memperpanjang nada), dan tanda nol untuk pamandeg sora
(berhenti). Nilai panjang-pendek nada (dami) dibatasi ketukan-ketukan
yang disebut perangan wiletan. Pada penulisan lagu-lagu sekar-gending wirama tandak
(irama tetap), setiap wiletan terdiri dari empat perangan wiletan. Wiletan dalam karawitan
Sunda berarti metrum, birama. RMA. Koesoemadinata memberi istilah lain yaitu wiramantara
(1950: 30).
Untuk
memperjelas keterangan tentang nilai nada-nada dalam satu wiletan, digambarkan dengan contoh berikut:
· · · · = 4 perangan wiletan
1 2 3 4 =
panjang tiap nada 1dami
12 23 34 45 =
“ ½ dami
123 234 345 451
=
“ 1/3 dami
1234 2345 3451 4512
=
“ ¼ dami
Pada
proses pembuatan sekaran (lagu vokal) Sunda baik lagu-lagu jenis kawih maupun tembang, terdapat cara-cara yang dipakai para pencipta lagu ketika
membuat sebuah runtuyan sora (melodi).
Pada umumnya para pencipta lagu-lagu vokal jenis kawih membuat runtuyan sora
dengan menuliskan galeuhna lagu
(nada-nada pokok) yang tidak dibubuhi sora-sora reureueus (nada-nada hiasan/ornamentasi lagu). Sebagai contoh runtuyan sora
berikut:
____ ____
____
____ ____ ____
| 0 5
4 5 4
4 4 |
4 4 5
1 1 1
1 |
o- ray
o- ray- an
lu- ar lê-
or ma– pay
sa- wah
____ ____
____ ____ ____
____
| 0 1
3 4 4
4 4 |
4 4 3
2 2 2
2 |
en- tong ka
sa- wah pa-
re- na keur ceu-deum beu-kah
Runtuyan sora pada lagu-lagu vokal jenis tembang ditulis nada-nada atau tanda-tanda yang menggambarkan
sebagai sebuah reureueus/hiasan, runtuyan sora demikian sering disebut galayarna lagu. Para pencipta
lagu-lagu vokal tembang membubuhkan
nada-nada hiasan sebagai petunjuk penggunaan jenis-jenis reureueus
agar tidak keliru dalam menyanyikannya meskipun ditulis sebatas anceran (petanda)
atau kulit luarnya saja. Sebagai contoh runtuyan sora berikut:
5 5
5 5 5
54 5 4545
2
Pa-ja-ja-ran ka -ri nga----------ran
2 1 5
5 555 435 5 51
2 2 15 5 2 2
2 2 1
Pang-ra-ngo---------------geus na-rik
ko--------lot
Dalam catatan-catatan yang memuat kumpulan lagu-lagu kawih, memang jarang menemukan sebuah notasi lagu vokal yang
lengkap dengan gambaran pemakaian berbagai reureueus. Apabila notasi tersebut dibaca atau dinyanyikan apa adanya, akan
tergambar suatu bentuk nyanyian yang disebut polosan. Notasi semacam ini
dipakai untuk menuliskan lagu-lagu vokal pada kawih kaulinan barudak lembur (lagu-lagu permainan anak
kampung), kawih kapesindenan, kawih degung. kawih wandaanyaran, dan lain-lain.
Pergerakan
melodi pada lagu-lagu vokal baik vokal jenis kawih maupun tembang terkait
langsung dengan pengucapan kata-kata dari lirik lagu (rumpaka) yang
dinyanyikan. Secara metrikaswara (jumlah nada dalam setiap suku kata) pada lagu-lagu vokal kawih
–dimana bersifat metris melodis, terikat ketukan, nilai nada, dan
aturan pola irama– setiap nada-nada yang
dirangkai mencerminkan kata-kata dari lirik lagu (rumpaka). Runtuyan sora pada lagu-lagu kawih
termasuk golongan monometraschematika, artinya setiap suku kata mengandung satu nada pokok (silabis)
meskipun banyak ornamentasi dan liku-likunya tetapi nadanya itu-itu juga (Wiraatmadja, 1964: 29), penerapan reureueus (hiasan lagu) pada lagu-lagu jenis kawih tergantung dari kemampun tafsir
setiap juru kawih. Sedangkan runtuyan
sora pada lagu-lagu tembang bersifat ritmis melodies, tidak terikat
ketukan, nilai nada, dan aturan pola irama. Dalam penulisan lagu jarang
menggunakan wiletan-wiletan (metrum), sehingga tersedia ruang yang lebih
luas untuk mencantumkan nada-nada yang menggambarkan berbagai reureueus/hiasan lagu (melismatis). Dalam
penulisan notasi lagu-lagu tembang, penerapan reureueus pada sebuah lagu
sudah dibakukan.
Sebuah
lagu yang bersifat metris melodis (jenis kawih)
dari aspek runtuyan sora harus
mencerminkan adanya beungkeutan sora, padalisan-padalisan lagu, dan
leunjeuran padalisan, sebagai kriteria
yang biasa dipakai sebagai dasar atau langkah-langkah praktis untuk menyusun
sebuah lagu. Dalam beungkeutan sora
antara aspek nada dan aspek rumpaka (lirik lagu) membentuk padalisan-padalisan lagu, baik padalisan yang berupa cangkang
maupun berupa jeroan.5 Kemudian padalisan-padalisan
tersebut tersusun sedemikian rupa membentuk leunjeuran
padalisan.
Beungkeutan
sora menunjuk terciptanya kesatuan antar nada yang
saling mengikat (ngabeungkeut). Bengkeutan
sora ditandai dengan adanya lilitan sora, yaitu dalam perangan wiletan (ketukan-ketukan)
nada-nada yang ditempatkan memiliki hubungan dan fungsi yang sama sebagai
pembentuk lekak-liku lagu atu sering disebut liukan lagu. Pada
praktek gamelan Sunda, lilitan sora
merupakan kesatuan nada dari pola
tabuhan instrumen yang satu dengan pola tabuhan instrumen lainnya. Misalnya
pola tabuhan saron satu dengan pola tabuhan saron dua, jika digabungkan secara
simetris akan menghasilkan suatu pola melodi, biasanya pola melodi tersebut
menjadi pola tabuhan instrumen peking. Begitu juga antara pola tabuhan bonang
barung dengan pola tabuhan bonang panerus (bonang rincik).
Padalisan
lagu atau sering disebut runtuyan sora sapadalisan
–secara harafiah padalisan artinya kalimat– menunjuk terciptanya suatu kalimat musikal berupa cangkang
(kulit) maupun jeroan (isi). Kemuda antara kalimat musikal dan kalimat lirik membentuk harmonisasi sebagai kalimat pertanyaan dan kalimat jawaban.6
Dalam lagu-lagu vokal jenis kawih, cangkang dan jeroan merupakan padalisan
lagu yang masing-masing dapat dipenggal atau dipisahkan seperti sebuah kalimat
pertanyaan dan kalimat jawaban. Cangkang
akan berdiri kokoh sebagai kalimat pertanyaan apabila ada jeroan sebagai kalimat lanjutan atau sebagai jawabannya. Begitu
juga sebaliknya, jeroan akan berdiri
kokoh sebagai kalimat jawaban jika ada cangkang
sebagai pertanyaannya.
Leunjeuran
padalisan atau sering disebut runtuyan sora saleunjeuran
menunjuk terciptanya wujud suatu lagu secara utuh. Leunjeuran padalisan merupakan
gabungan padalisan lagu yang tersusun secara bertahap dan
harmonis (ngaleunjeur), mulai dari awal keberangkatan (ngawalan),
bagian tengah (tengahan), dan bagian akhir lagu (selehan).
Ukuran satu leunjeuran padalisan dalam
lagu-lagu kawih identik dengan sa(satu)goongan.
Padalisan-padalisan lagu dalam satu leunjeran
padalisan digambarkan seperti
berikut:
bs:
(a) (b) (c) (d)
pl:
1 2 1 2
lp: abcd/G
bs: bengkeutan sora pl: padalisan
lagu 1: cangkang/kulit
2: jeroan/isi lp: leunjeuran padalisan G: gongan
Dalam
lagu-lagu jenis kawih ukuran satu padalisan lagu sekar (satu kalimat vokal) sebanding
dengan satu padalisan lagu gending (satu kalmat gending). Pada lagu-lagu
pendek, satu kalimat vokal sebanding dengan jalannya gending dalam satu kenongan
dan jalannya gending dari kenongan
menuju satu goongan. Antara
sekar dan gending pergerakannya sejalan saat terjadi peralihan-peralihan
irama tabuh (alih nabeuh) yang diatur oleh juru pandêga (juru kendang). Dalam orientasi
pergerakan melodi lagu, juru sekar harus cermat mengikuti alur gending jangan sampai keliru dalam
membunyikan nada akhir di setiap padalisan
lagu, baik pada saat labuh kenong
maupun saat labuh gong. 7 Labuh dalam perbendaharaan bahasa Sunda
berarti tiba atau jatuh. Istilah labuh kenong dan labuh gong
menunjuk pada ketepatan jatuhnya nada kenong dan gong ketika sedang memainkan
suatu lagu gending. Istilah ini
sering diucapkan oleh para pengrawit gamelan pelog-slendro –terutama oleh para
pengrawit sepuh (setarap empu gending)– yang bertindak sebagai lurah gending.
Seringkali
para pengrawit gamelan menganggap salah jika sindên kurang tepat atau keliru menyuarakan nada akhir kenong atau
gong pada lagu yang dinyanyikannya. Namun menurut beberapa ahli karawitan Sunda
persepsi tersebut kurang begitu tepat karena dalam penyajian sekar-gending gamelan antara vokal dan gending sama-sama berada dalam satu atap
yang disebut pola lagu sebagai patokan pergerakan arah lagu. Dalam hal ini
pergerakan vokal dan gending di
setiap padalisan lagu sama-sama
menuju nada pusat kenong dan gong. Dalam membawakan sekar-gending Sunda, pola lagu atau sering juga disebut posisi
lagu, dianggap sebagai ‘rumus’ dalam penentuan nada pusat kenong dan gong.
Pola lagu-pola lagu yang biasa digunakan khususnya pada lagu-lagu sekar-gending gamelan
(kawih kapesindenan), antara lain: pola lagu Gendu,
Panglima, Renggong, Belenderan, Banjaran, Kulu-kulu, Karangnunggal, dan sebagainya.
CATATAN
1.
Sekar merupakan kata halus (lemes)
untuk menunjuk ‘bunga’ atau ‘kembang’. Para orang tua di Pasundan sering
menyebut sekar dari pada kembang. Kembang melati disebut sekar malati,
bunga mawar disebut sekar mawar, bunga yang sedang mekar disebut sekar
ligar, rangkaian bunga disebut sekar rinoncê, bunga yang dipakai
sebagai sarana dalam upacara ngaruwat disebut sekar pangruwat,
dan lain-lain. Pada tradisi nazdran (berziarah ke makam) di masyarakat Pasundan, salah satu
kebiasaan yang sampai sekarang masih berlaku yaitu tradisi nyekar
artinya menabur bunga di makam yang dikunjungi.
2.
Ditambul
dari kata dasar nambul
merupakan kata kerja yang sering digunakan sebagai bahasa sehari-hari
masyarakat Sunda. Biasanya kata ini diterapkan atau dipakai terhadap orang yang
sedang makan nasi tanpa ada lauk-pauknya, atau terhadap orang yang sedang
mengerjakan sesuatu secara sendirian tanpa dibantu orang lain
3.
Menurut
Rahayu Supanggah, gamelan merupakan seperangkat ricikan yang sebagian
besar terdiri dari alat musik pukul atau
perkusi, yang dibuat dari bahan utama logam (perunggu, kuningan, besi atau
bahan yang lain), dilengkapi dengan ricikan-ricikan dengan bahan kayu dan /
atau kulit maupun campuran dari dua atau ketiga bahan tersebut. (lihat Bothekan
Karawitan I, 2002. p.12-13).
4. Dalam bahasa Sunda,
kata ‘runtuyan’ atau ‘ngaruntuy’
, ‘ranggeuyan’ atau ‘ngaranggeuy menunjuk pada keteraturan
dalam menyusun atau merangkai benda-benda, kata-kata, kalimat-kalimat, atau
suatu cerita.
5. Kata ‘cangkang’ dipakai untuk menunjuk kulit buah-buangan dan
ubi-ubian, sedangkan kata ‘jeroan’
untuk menunjuk isi suatu benda atau isi perut mahluk hidup, juga sering dipakai
sebagai kata untuk menunjuk maksud atau kedalaman hati seseorang.
6.
Aspek lirik
merupakan bagian penting dalam proses penciptaan lagu-lagu jenis kawih. Sudah menjadi sesuatu yang lumrah
bagi para pencipta lagu-lagu jenis kawih
biasanya mereka terlebih dahulu membuat lirik kemudian baru membuat melodinya.
Lirik-lirik lagu yang dibuat bentuknya bisa berupa puisi terikat maupun puisi
bebas. Bentuk puisi terikat dalam lirik-lirik lagu kawih banyak menggunakan kaidah-kaidah (aturan) pupuh dan pantun.
Sedangan pada lirik-lirik lagu yang berbentuk puisi bebas (prosa) pada intinya
terdiri dari lirik-lirik lagu yang tidak
terikat oleh aturan-aturan pupuh
maupun pantun. Pada lirik-lirik lagu yang menggunakan kaidah pupuh (terikat guru lagu dan guru
wilangan), setiap bait lirik terdiri dari baris-baris yang dapat
berdiri sebagai kalimat. Begitu juga dalam puisi pantun, misalkan bentuk sisandiran,
dimana dalam satu bait lirik terdiri dari kalimat pertanyaan atau disebut
sebagai cangkang (kulit) dan kalimat jawaban atau disebut sebagai jeroan
(isi).
7.
Dalam praktek
karawitan Sunda terdapat anggapan yang sering
dilontarkan oleh para praktisi karawitan Sunda tentang posisi dan kedudukan sekar dan gending dalam penyajian karawitan sekar-gending. Pada penyajian sekar-gending
gamelan pelog-slendro (kawih kapesidenan), posisi sekar dianggap ada “di belakang” gending, sekar harus mengikuti gending.
Pernyataan ini tersirat dalam ungkapkan: sekar nuturkeun gending atau
sekar milu gending (vokal
mengikuti gending). Ungkapan sekar nuturkeun gending dianalogikan
bahwa dalam penyajian sekar-gending
gamelan, kedudukan gending lebih kuat
dibandingkan vokal, vokal. harus ‘taat’ pada gending.Sementara dalam penyajian seni tembang Cianjuran posisi vokal dianggap ada “di depan” gending, atau sering dinyatakan dengan
ungkapan: gending nuturkeun sekar atau gending milu sekar (gending mengikuti vokal).
DAFTAR PUSTAKA
Danasasmita, Makmur. 1983. Sastra Lagu dalam Tembang Sunda. Bandung:
ASTI.
Depdikbud, (ed). 1987a. Ungkapan
Beberapa Bentuk Kesenian. Jakarta: Dirkes.
1987b. Kondisi dan masalah Budaya Sunda Dewasa ini.
Bandung: P & K
Djelantik, A. A. M. 1999. Estetik:
Sebuah Pengantar. Bandung:
MSPI,
Endang, S. 1979. Pangajaran Tembang Sunda. Bandung: Pelita Masa.
Hardjana, Suka. 2003. Corat-coret Musik Kontemporer
Dulu dan Kini. Jakarta: MSPI.
Hermawan, Deni. 2002. Etnomusikologi.
Beberapa Permasalahan dalam Musik
Sunda.
Bandung: STSI Press.
Jayakusumah, Ali. 1983. Tutungkusan
Rumpaka Buhun. Cianjur: Mimitran Tembang
Sunda.
Koesoemadinata, R.M.A. 1969. Ilmu
Seni Raras. Djakarta: Pradnja
Paramita.
1950. Ringkesan
Pangawikan Rinenggaswara. Djakarta:
Noordhoff-Kolff.
Koswara, Tatang. 1990. Kawih
Kaulinan. Bandung: Mitra Buana.
Martadinata, Juju Sain. 1976. Sekar
Gending Degung. Bandung: Mitra
Buana.
Natapradja, Iwan. 2003. Sekar Gending. Bandung: Karya Cipta
Lestari.
.
Sopandi, Atik. 1977. Penuntun Pengajaran Karawitan Sunda. Bandung: ASTI.
Supanggah, R., (ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
2001. Bothekan
Karawitan I. Jakarta: MSPI.
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Pustaka
Tamaswara, Amas. 1991. Kawih
Sunda Pralagan. Bandung; Pustaka Buana.
Van Zanten, Wim. 1988. Sundanese Music in The Cianjuran Style:
Anthropological and
Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht: Foris Publications.
Wiratmaja, Apung S. 1994. Sumbangan
Asih Kana Tembang Sunda. Bandung: Purnamasari.
Satjadibrata, R. 1954. Kamus Basa Sunda. Djakarta: Perpustakaan
Perguruan
Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Soepandi, Atik. 1987. Kamus
Istilah Karawitan Sunda. Bandung: Pustaka Buana
Rahayu Supanggah. 1994 “Gatra, Inti Dari Konsep Gending Tradisi
Jawa”, dalam
Jurnal Wiled, tahun I (Juli 1994), STSI Surakarta.
1983.
“Beberapa Pokok Pikiran Tentang Garap”. Makalah
Disajikan dalam diskusi dosen dan mahasiswa ASKI Surakarta.
Suaman, Maman. 1992. “Pola-Pola
Lagu-Lagu Tradisional Sunda di dalam Gamelan Pelog dan
Slendro,
Jenis-jenis Lagu Sekar Alit pada Embat Sawilet dan Dua
Wilet”.Laporan
Penelitian, ASTI Bandung.
Wiardi, Didi. 1994. “Tinjauan
Musikologis Lagu Gede dalam Sejak Kiliningan”.
Skripsi, STSI Surakarta.
Biodata penulis:
Lahir di Bandung, 4 Mei 1965. Pernah
kuliah mendalami ilmu karawitan di ASTI Bandung, STSI Surakarta. Menyelesaikan
studi Pascasarjana Prodi Pengkajian Musik Nusantara di ISI Surakarta tahun
2006. Sejak tahun 1992 sampai sekarang menjadi tenaga pengajar di STKW
Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar