Biasanya orang menilai keindahan suatu karya
seni berdasarkan ciri-ciri yang mampu
menunjukan bahwa karya seni tersebut memiliki kwalita (sifat) indah atau tidak
indah. Dalam sejarah teori keindahan seni dikenal –setidak-tidaknya– ada tiga ciri yang dapat menuntun apakah
suatu benda estetis dapat dikatakan
indah atau tidak, bahwa karya seni harus memiliki kesatuan (unity), kerumitan (complexity),
dan kesungguhan (intensity). [1] Begitu juga
di masyarakat karawitan Jawa dan Sunda terdapat beberapa kriteria atau
perangkat penilaian yang hampir sama mengenai kualitas sebuah penyajian gamelan
(gendhing), misalnya sebuah
penyajian akan dikatakan baik seandainya memenuhi tuntutan estetis rampak dan
rempeg.[2]
Konsep-konsep tersebut menjadi penting keberadaannya karena oleh masyarakat
sering dijadikan parameter dan rujukan yang menentukan dalam menilai baik dan
buruk, indah dan tidak indah suatu karya seni baik seni visual maupun seni
pertunjukan, dan biasanya ukuran-ukuran tersebut menjadi mapan sebagai suatu
kesepakatan (konvensi) yang berlaku di masyarakat.
Keindahan itu menurut Immanuel Kant dapat
diperlihatkan oleh benda-benda yang ditampilkan atas dasar konsep tertentu yang
mengikat (dependent beauty), atau bisa juga keindahan dilihat tanpa harus terikat (free
beauty) kepada konsep tentang perfeksi (kesempurnaan).3 Ketika keindahan seni dipandu atau atas dasar
suatu konsep, dan konsep keindahan tersebut tidak mungkin hadir dengan begitu
saja tanpa ada kriteria-kriteria yang melandasinya, maka kita perlu juga
memahami dan mengetahui dari mana, karena apa, serta apa yang menjadi
acuan/landasannya sehingga konsep-konsep dan kriteria-kriteria itu muncul dan
diperlukan.
Kajian ini mencoba untuk menemukan,
menjelaskan, serta menganalisis konsep-konsep lokal keindahan seni tembang Sunda Cianjuran yang kemungkinan
besar telah dirumuskan, dibentuk, dan disepakati bersama oleh masyarakat
pemiliknya, berdasarkan kriteria-kriteria yang muncul dan dipakai sebagai
ukuran dalam menilai tingkat kualitasnya.
Pada awalnya tembang Cianjuran
diciptakan oleh para bangsawan (menak) Cianjur, dan hanya disajikan dalam lingkungan
pendapa kabupatian saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Cianjuran
menyebar dan digemari oleh masyarakat Jawa Barat, khususnya oleh kalangan
menengah dan atas. Kenapa demikian, ada beberapa alasan, salah satunya mungkin
karena syairnya (rumpaka/guguritan) tidak begitu mudah untuk dapat
dimengerti dengan bentuk musik (vokal) yang cenderung rumit dibandingkan dengan
jenis karawitan lain,4 dan
kelihatannya hanya mereka-mereka dari kalangan tersebutlah yang
betul-betul mendalaminya dengan
sungguh-sungguh. Bagi masyarakat Jawa Barat, tembang Cianjuran dipandang sebagai kesenian yang menghadirkan totalitas
keindahan sebuah karya seni tradisional yang
memiliki citra keluwesan dan keanggunan. Pandangan seperti ini tampaknya
dilandasi oleh penafsiran umum bahwa tembang Cianjuran adalah
seni yang selalu terkait dengan pencitraan kaum ningrat Sunda, yang dalam
pandangan sebagian masyarakat Jawa Barat pencitraan tersebut masih melekat
dalam status sosial, adat-istiadat dan kebiasaan sehari-harinya, sehingga
keberadaan para menak Sunda dianggap masih mempunyai legitimasi
tersendiri dalam kontek sosial budaya masyarakat Sunda saat ini. Kaum ningrat Sunda identik dengan sosok yang
mempunyai kehalusan karakter, kelembutan sikap, keluwesan bertutur kata,
ketertiban dalam bertindak, disiplin, cendekia, selalu berbusana perlente
(rapih dan bersih), tidak kekurangan dalam segi ekonomi, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan
cita-rasa estetis kelompok masyarakat bangsawan pada umumnya.
Tembang Cianjuran digolongkan sebagai karawitan yang halus
(lemes) baik dilihat dari aspek sastra maupun aspek musikalnya. Kalau
dilihat dari sudut pandang sebagai seni musik, tembang Sunda Cianjuran memiliki bobot musikal yang tinggi dengan
lagu-lagu yang berat dan serius, selain itu dalam hal menyajikannyapun bagi
seorang juru mamaos tidak hanya dituntut hanya menguasai lirik dan
musiknya saja, namun lebih dari itu ia harus mampu menyentuh batin
pendengarnya.5 Lagu-lagunnya bersifat ‘ngagalindeng’
(mendayu-dayu, mengalir) menggambarkan suasana hati dalam untaian suara/nada yang penuh ornamen.6 Kehalusannya kemungkinan besar sangat
terkait dengan prilaku, cara berbicara, serta bahasa sehari-hari orang Cianjur
yang oleh para ahli bahasa dipandang
mempunyai dialek dan tutur kata paling terhalus dari tiga tingkatan (undak-usuk)
berbahasa Sunda: lemes, sedeng dan kasar, dan
masyarakat Cianjur dalam bertutur katanya dikenal dengan dialek dan tutur kata
yang lentong.7
Dalam prakteknya, penilaian tentang baik-buruk
atau indah dan tidak indah sebuah penyajian tembang Cianjuran sangat
tergantung pada persoalan teknis bernyanyi (berolah vokal) juru tembang,
yang mencakup pengolahan unsur-unsur musikal seperti nada, irama/ritme, melodi,
dinamika, disertai dengan pemahaman terhadap karakteristik/watak lagu dan
teknik pelapalan sastra atau bahasa nyanyian. Maka dengan strategi seperti
inilah kemungkinan besar sebuah lagu Cianjuran dapat memenuhi atau
memiliki kwalita (sifat) keindahan yang kemudian akan ditangkap dan dirasakan
oleh penikmatnya.
“Urang
Sunda nu mikaresep, mikanyaah, jeung mikacinta seni balarea sok mindeng
nyebutkeun yen tembang Cianjuran teh leubeut ku kaendahan keur
didengekeun jeung kaendahan keur pangupaya jiwa, ngariksa tur ngalemeskeun
rasa, asal anu nembangna nyaho kana selah-selah jeung titincakan dina
nyoarakeunana nu aya patula-patalina jeung ugeran-ugeran ngalagu, utamana dina
ngeuyeuban papaesna” (Orang Sunda yang menyenangi, menyayangi, dan
mencintai seni tradisi sering menyebutkan bahwa tembang Cianjuran
itu kaya dengan keindahan untuk didengarkan dan keindahan untuk memelihara
jiwa, menjaga serta menghaluskan perasaan, asalkan penembangnya mengetahui
pedoman dan langkah-langkah (teknik) bernyanyi terutama dalam memperkaya
hiasannya/ornamentasi).8
Sesorang ketika tengah menyimak sebuah
penyajian tembang Cianjuran, akan merasakan kesan estetis lagu
jika lagu tersebut memenuhi beberapa kriteria penilaian, seperti lagu harus
bersifat ngagalindeng dan ngagerendeng9,
ngaranggeuy, ngaruntuy dan ngarambat10, nyurup dan nyora11. Namun demikian kriteria-kriteria
tersebut dianggap bersifat tidak tetap dan temporer, artinya dalam mengamati
suatu penyajian tembang Cianjuran tidak semua orang menggunakan
kriteria-kriteria tersebut karena sangat tergantung pada asumsi setiap penikmat
dalam melihat situasi dan suasana yang bagaimana penyajian itu berlangsung.
Selain itu dalam berbagai situasi dan suasana penyajian adakalanya seorang
penikmat kerap memunculkan kriteria-kriteria
menurut pemahamannya sendiri.
Apabila ditelaah, kriteria-kriteria tersebut di
atas terkait dengan kecermatan dan cara-cara teknis juru tembang dalam
mengolah lagu. Maka sebenarnya dalam mengukur tingkat keindahan sebuah lagu tembang
Canjuran, salah satunya terletak pada bagaimana seorang juru tembang
mampu melakukan dan menguasai cara-cara teknis dengan baik berdasarkan
kriteria-kriteria yang sudah ada dan untuk selanjutnya akan mengarahkan pada
pembentukan konsep-konsep keindahan. Dengan demikian konsep keindahan
(estetik) muncul tidak hanya sekedar hasil dari proses mental audiens yang
cenderung bersifat subjektif dan beragam, namun karena ada proses pengolahan
dan pembentukan secara teknis yang dilakukan juru tembang secara
selektif, mapan, dan terarah. Dalam konteks ini hasil dari proses tersebut
dengan sendirinya akan melekat pada objek (tembang), sehingga
kemungkinan besar sebuah lagu akan dinilai ‘indah’ karena memang objeknya
dirasa benar-benar memenuhi maksud dari
kriteria-kriteria keindahan.
Sementara itu keindahan sebuah lagu Cianjuran
akan menjadi subjektif ketika pikiran dan perasaan seseorang secara ketat
sedang memberikan tanggapan-tanggapannya (penilaian estetik) berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, serta interpretasi dirinya terhadap bentuk, karakter,
unsur-unsur, dan struktur musik/lagu yang diamatinya. Maka dalam keindahan
subjektif, ukuran atau kriteria biasanya dibentuk oleh penikmat dalam
kapasitasnya sebagai pribadi yang melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan konsep
dan pengkriteriaan yang berlaku umum, dengan selalu mempertanyakan apakah
nyanyian itu selaras, harmonis, enak didengar, dan sebagainya, atau bahkan
sebaliknya tidak memberikan makna apa-apa yang dapat menyentuh perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar