By:
Nandi Saefurrohman
*
Lompatan budaya bermusik
yang semakain lebar dan progresif, merupakan salah satu faktor penyebab “mencairnya”
persoalan dikotomis tentang bentuk dan kedudukan musik tradisi/etnik. Bentuk beberapa
jenis musik etnik saat ini telah banyak yang mengalami pergeseran dari suatu
tempat statis-pasif ke arah yang lebih dinamis-fleksibel, terbuka dan multi
wacana, seiring perkembangan industri musik global. Selebihnya adalah musik
etnik yang benar-benar sudah melompati pagar pembatas ke-baku-an dan pakem
ke-tradisiannya.
Banyak orang berargumen
bahwa musik tradisi adalah suatu warisan leluhur yang harus ditempatkan
di puncak-puncak kebakuan dan pakem dengan tidak mengganggu-gugat
kedudukannya sebagai produk budaya ‘adiluhung’ yang harus dirawat
orisinalitasnya. Sementara itu juga tak sedikit orang beranggapan bahwa musik
tradisi adalah ‘masa lalu’ yang harus diperbaharui menjadi ‘masa kini’. Mereka
menganggap bahwa ke-baku-an dan pakem hanyalah sebatas rambu-rambu agar
orang yang menguasai musik tradisi itu tidak berpikir terlalu jauh dalam menyusun
strategi pembaharuanya. Yang terpenting bagaimana, nilai/makna (bobot, isi), dan
nuansa ke-tradisi-an itu masih tetap melekat meskipun karakteristik bentuk dan struktur
musikalnya mengalami perubahan.
Apabila kita
mengamati, ruang-ruang pentas musik (baca: non tradisi) di berbagai tempat
kerap menghadirkan alat musik etnik (tradisional) yang digunakan atau dimainkan
dalam berbagai aliran. Penggunaan instrumen tradisional dalam pentas-pentas
musik popular, dangdut, jazz, baik dalam program acara-acara di media
elektronik maupun di panggung-panggung pertunjukan sebagai ajang hiburan massa,
saat ini bukanlah suatu yang asing lagi untuk kita jumpai. Bahkan sekarang ini
cenderung memperlihatkan adanya market tersendiri dalam memenuhi tuntutan
perkembangan budaya musik. Suatu alat musik tradisi yang dipandang kolot bahkan
kuna sekalipun begitu sangat digemari jika dimainkan dominan dalam suatu bentuk
atau aliran musik apapun, gaya apapun, dan dari budaya musik manapun. Sebagai
contoh, sebagaimana alat musik tradisional (semisal kendang, gong, saron, suling,
terompe/selompret, rebana, kul-kotekan, rebab, angklung/calung, dan
sebagainya) akan menjadi daya tarik dan mampu memberikan pesona tersendiri yang
menjadikan pertunjukan lebih komunikatif dan meriah. Dalam pentas dangdut
misalkan, hentakan irama ndang-ndut yang menjadi ciri dan karakter musik
tersebut seakan lebih dinamis jika iramanya diusung oleh bunyi gendang dan
ketipung khas Sunda atau gendang khas daerah Banyuwangi. Gendangnya pun
ditabuh/dimainkan secara atraktif seiring dengan sosok-sosok para biduanita
yang bernyanyi dan bergaya tanpa “beban” kualitas memadai, namun mampu menimbulkan
histeria dan antusias para penontonnya.
*
*
Perkembangan
teknologi alat musik memungkinkan terciptanya parameter system teknik permainan
yang lebih efisien. Sehingga merangsang setiap orang melakukan berbagai
terobosan kreatif baik dalam cara-cara bermusik maupun dalam penampilannya. Perkembangan
musik Campursari adalah contoh kongkrit dari yang paling situasional
saat ini. Ketika genre musik ini mulai muncul kepermukaan, kata sari
atau nyari bermakna untuk menunjuk bahwa jenis musik ini mampu
menunjukan keselarasan/ keserasian musikal yang lahir dari percampuran
permainan alat musik tradisi (seperangkat gamelan) dan non tradisi (semisal
organ/keyboard). Karakter nada-nada pentatonik berasimilasi dan bersinergi
dengan karakter nada-nada diatonik dalam batas-batas kompositorik tertentu.. Terdengar sangat indah paduan dua karakter itu. Sementara unsur musikal yang terbentuk di arahkan untuk
memenuhi ruang estetika lokal yang sesuai dengan ‘roso Jawa’ dan gaya (style) musik gamelan itu sendiri.
Sungguh pada
masa perkembangan “industri musik” popular saat ini, agak sulit atau
jarang menemukan kriteria musik campursari yang masih memiliki ciri-ciri
gaya bermusik lebih mengedepankan nuansa etnik, di mana nuansa musik gamelan Jawa
seharusnya lebih terasa dominan dibandingkan dengan nuansa lainnya. Musik campursari
dalam eksistensinya saat ini cenderung hanya sebuah terminologi yang menunjuk
pada jenis, warna, dan gaya musik semisal pop, dangdut, ndangdut-koplo dengan menggunakan bahasa nyanyian atau syair-syair lagu
berbahasa daerah (Jawa). Alhasil, warna musik apapun asalkan dalam lagu-lagu yang dinyanyikannya menggunakan
bahasa Jawa, orang dengan mudah menyebutnya sebagai musik campursari.
Bahkan dalam beberapa kasus lagu-lagu campursari yang pernah dan
sedang melejit sekalipun bukan pada garap musikalnya yang menjaidi
perhatian orang, namun lebih pada
aspek penggunaan sastra lagu dimana kadang-kadang
ada yang bertemakan agak “miring”. Kita tentu ingat bait-bait syair yang cenderung mengekspos
tema-tema seksual atau berbau porno
semisal dalam lagu cucak rawa yang terkenal itu, dan masih banyak
judul lagu-lagu “miring” lainnya yang
di buat. Akibatnya timbul persepsi
di masyarakat penikmat musik ini bahwa campursari identik dengan musik “campursaru”.
Selebihnya goyang ngebor ‘ala
Inul’ pun seolah-olah telah menjadi “pakem” pertunjukan yang wajib untuk tidak dilewatkan.
Semaraknya acara campursari di beberapa
stasiun televisi swasta pada beberapa tahun ke belakang, memunculkan image di masyarakat
bahwa pertunjukan musik campursari sangat kental dengan nuansa acara pentas musik ndang-ndut-koplo, dan kebanyakan tanpa sedikitpun melibatkan penggunaan alat-alat musik tradisonal. Meskpun ada, hanya dihadirkan sebatas pelengkap
mungkin juga hanya akal-akalan desain pentas semata karena peranannya tidak
terlalu tampak, terkalahkan oleh warna musik dangdut yang dominan. Bukankah
dalam pentas campursari seharusnya karakteristik etnik menjadi dominan
menyangkut segenap aspek pertunjukannya, baik dalam tata panggung, tata rias
dan penampilan penyanyi, maupun berbagai parameter yang mengarahkan pembentukan ruang estetik pertunjukan
musik etnik/tradisional.
Sedangkan warna musikal (ndang-ndut, pop, dan sebagainya) hanyalah
bagian terkecil yang masuk dalam ruang interpretasi garap musikal.
Terjadinya penyurutan bahkan perubahan karakteristik dan esensi estetik campursari, salah-satu penyebabnya
adalah terletak pada penyempitan orkestrasi yang menggejala menjadi lebih
efisien dan ekonomis. Selain itu teknik permainan dan bunyi instrumen gamelan digantikan dengan teknik
pemainan nada-nada keyboard, juga kerap menggunakan teknologi DPM
(Digital Music Program), yang
memungkinkan para penikmatnya secara tidak langsung terjebak oleh nuansa
musikal yang sebenarnya bukan lagi berada di wilayah campursari itu
sendiri. Bagaimana bisa dikatakan campursari seandainya nuansa musikal
yang hadir bukan lagi bersumber dari karakteristik etnik dalam takaran roso
Jowo. Penyajian musiknya tidak lagi berpijak pada kriteria-kriteria
keindahan dan cita-rasa musik
(gamelan satu misal) sesuai dengan konsep estetik rompog, rumit, banyumili, dan semeleh, bahkan mloho
pun menurut kriteria gayeng nya orang Jawa.
Memang di satu sisi campursari stagnan
dalam wacana etnik karena pengaruh dari aspek bentuk tampilan (performance),
dan lirik lagu yang dibuat “mentradisi”. Mulai tata
pentas/panggung yang Jawa, busana yang Jawa, dan aspek penggunaan bahasa
nyanyian yang masih banyak Jawa-nya juga. Namun di sisi lain, bentuk, struktur, dan unsur-unsur
musikalnya cenderung lebih banyak mengimitasi
aliran musik ‘kekini-kinian’ yang
lagi naik daun. Apakah dari aliran dangdut, pop, rock-dut, ndangdut-koplo, dan lain-lain. Sinden-nya
pun kadangkala nekad melantunkan lagu-lagu yang tidak lagi bersinggungan dengan
wilayah ‘rasa’ musik etnik. Ketrampilannya tidak terlihat dalam cengkok-cengkok
seperti langgam
‘Gending
Tawang Ana Lintang’ -nya Anjarani yang merana dan romantis.
Sebaliknya justru yang muncul lagu ‘Widuri’ -nya Bob Tutupoly yang misteri, ‘Jatuh Bangun’ -nya Kristina yang heroik, atau ‘Stasiun Balapan’ -nya Didi Kempot yang sedang mengenang kekasihnya
tak kunjung datang. Alhasil campursari bukan sekedar menawarkan gaya
baru, namun sedang –atau mungkin sudah– membentuk “jati diri baru” untuk diakui sebagai jenis musik yang ingin keluar dari kemapanan
sarangnya estetika lokal-tradisional
menjadi estetika-global yang meng-Indonesia. Suatu situasi keliru
setidak-tidaknya menurut pengamatan saya.
Melihat masalah-masalah tersebut, apakah sosok
musik campursari saat ini
telah berada pada titik nadir paradigma
perkembangan salah satu musik
etnik Jawa ?. Kiranya perlu adanya keterlibatan para praktisi, pengamat, dan kritikus
musik, untuk menjelaskan kembali kriteria-kriteria yang sebenarnya tentang
campursari. Kalau perlu membuat konsepsi mengenai apa itu campursari,
pop Jawa, ndang-dut Jawa, ngrok Jawa, atau
sebutan apa saja yang sekiranya dapat memperkaya khasanah budaya musik etnik. Karena
campursari bukanlah musik Pop Indonesia, bukan musik Dangdut-Melayu
Indonesia, dan bukan apa saja yang berlabel “musik Indonesia”. Indonesia tidaklah ditempatkan sebagai etnik-nya
Jawa meskipun diperbolehkan untuk memiliki urgenitas sebagai musik yang
meng-Indonesia. Wassalam.
MEMULAI DENGAN SEBUAH TULISAN KRITIK
BalasHapus