By: Sabar, M.Sn
I. PENDAHULUAN
Dalam mengamati musik sebagai objek
material kaitannya dengan kondisi sosio masyarakat pendukungnya dapat dilihat
dalam dua aspek. Pertama, melihat musik sebagai jaringan teks; Kedua, mencari pembuktian yang mendasar
terkait konstelasi norma musikal dengan psikologi masyarakatnya. Sebagai
teks dianalisa hingga mendapatkan
pemahaman yang detail terkait konstelasi atau hubungan musikal dengan karakter
pelaku dalam menciptakan musik tersebut. Dalam konteks, dapat diamati dengan melakukan studi etnografis pada
budayanya. Mengamati sebuah
masyarakat tertentu tidak dapat dilakukan dengan menganalisa musik sebagai teks
semata, namun harus didapatkan gambaran yang detail terkait kondisi budaya
masyarakat tersebut.
Begitu
juga di Madura, guna mendapatkan gambaran detail terkait konstelasi musik
dengan serat-serat budaya masyarakat pengkultusnya, kiranya jalan kedua di atas
menjadi penting, yakni mendeskripsikan atau mengetnografikan budaya Madura
secara umum. Etnografi Madura dalam konteks ini hanya akan dibatasi pada Madura
bagian timur yakni Sumenep dan sekitarnya.
Alam dan Musim Panen
Iklim di Madura ditandai dengan dua musim,
seperti halnya di Indonesia pada umumnya, yakni musim kemarau dan musik hujan
yang masing-masing berlangsung dari bulan Mei sampai pertengahan Oktober dan
dari pertengahan Nopember sampai permulaan April. Dapat diketahui bahwa seting wilayah Madura cukup
dekat dengan laut, hal ini membawa dampak pada suhu yang relatif lebih tinggi,
sehingga terkesan lebih panas jika di bandingkan dengan wilayah Jawa pada
umumnya. Walaupun Madura dikenal sebagai
sosok pulau yang panas, tandus dan gersang, sehingga tidak menguntungkan dalam
bermata pencaharian sebagai petani, namun di berbagai wilayah Madura termasuk
Sumenep di samping sebagai nelayan justru bertani merupakan sektor mata
pencaharian utama. Bagi masyarakat Madura, tanah sebagai warisan leluhur
mengikatnya untuk tetap mempertahankan kodratnya bahwa tanah dimaksud
selayaknya sebagai lahan pertanian.
Pada musim hujan, masyarakat setempat
menanam padi, bawang dan lain sebagainya. Musim kemarau juga menjadikan musim
yang menggairahkan. Di musim ini masyarakat setempat berlomba-lomba menanam
tembakau sejak tembakau di pasaran nasional memiliki posisi tawar tinggi. Panen
tembakau selain membawa berkah tersendiri bagi masyarakat Madura, juga membawa
dampak yang menyegarkan bagi kesenian tradisional setempat, seperti saronèn. Menurut Atrawi,(wawancara, 13 Juni 2009) musim panen tembakau adalah musim di mana pesta
hajatan banyak dikumandangkan diberbagai tempat di Madura. Antara lain tradisi
pernikahan, khitanan, bersih desa, dan lain sebagainya. Dampaknya semakin
memberi pengaruh bagi kelompok kesenian saronèn.
Agama dan Adat
Kegiatan observasi dan pengamatan pada
kelompok musik saronèn di Desa Banasare, Sumenep, penulis dikejutkan
dengan begitu banyaknya masyarakat sekitar yang menonton kesenian tersebut.
Masyarakat berbondong-bondong, hal ini membuktikan bahwa saronèn memiliki
hubungan yang impresif dengan masyarakat setempat. Saat itu perhatian penulis
tertuju pada kaum perempuan. Hampir semuanya perempuan memakai jilbab atau
kerudung. Hal ini mengarahkan perhatian penulis untuk melihat lebih jauh
konstelasi agama dengan sendi kehidupan bermasyarakat, termasuk kesenian.
Beberapa nara sumber, Bu Nurma dan Bu
Arman dan diperkuat oleh Darus memaparkan
bahwa agama Islam merupakan agama utama di Madura. Mayoritas penduduk Madura,
khususnya Sumenep memeluk agama Islam. Implementasi ajaran agama Islam dapat
dilihat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Madura, umumnya kaun wanita.
Menurut Bu Nurma dan Bu Arman terdapat kategori
di mana seorang wanita Madura harus mempertebal sisi agamisnya. Wanita Madura,
memakai kerudung atau jilbab ketika dirinya memiliki suami, sementara
diperbolehkan tidak memakai ketika masih lajang. (Menurut penulis praktik dan
implementasinya dapat saja berubah tergantung dari seberapa agamis dan tidaknya
orang tersebut). Dalam takaran konseptualnya dijelaskan bahwa, dalam menarik
perhatian kaum laki-laki, wanita Madura diperbolehkan tidak memakai kerudung
ataupun pakaian tertentu yang menutupi semua tubuhnya, agar si laki-laki dapat
dengan jelas memperhatikan aura yang ada. Setelah sama-sama tertarik, setelah
keduanya menikah dan berikutnya si wanita diharuskan memakai jilbab dan pakaian
yang menutupi aurat. Hal ini mengisyaratkan bahwa dia telah bersuami dan tabu
apabila digoda oleh laki-laki lain. Agama sebagai benteng terdepan dalam
melegitimasinya. Segala apa yang ada pada tubuh wanita hanyalah untuk suami.
Pada konteks ini kesetiaan terhadap suami begitu dijunjung tinggi.
Selain mengatur legalisasi
perjodohan, agama bagi masyarakat Madura dalam konsteks yang lebih luas juga
membawa pengaruh bagi perkembangan kesenian setempat, misalnya saronèn. Perpaduan
antara implementasi keagamaan dan adat begitu kental. Upacara selamatan atau
memohon sesuatu melalui pertolongan kekuatan atau kharisma seorang tokoh yang
telah meninggal masih dijalankan. Terbukti di beberapa wilayah bertebaran makam
keramat, walau terpencil sekalipun sering didatangi orang dari berbagai
penjuru. Masyarakat tradisional mempercayai bahwa setiap perubahan yang
fundamental dalam hidup seseorang atau lingkungannya perlu diselamati agar
perubahan-perubahan itu mendapat keberkahan, keselamatan dan kebahagiaan,
terlindung dari malapetaka. (Depdikbud, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Monografi
Daerah Jawa Timur, jilid III. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, p. 50).
Di Sumenep agama juga memberi pengaruh signifikan
bagi perkembangan kesenian yang ada. Tidak jarang masyarakat di dalam memohon keberkahan, kesuksesan dalam
bekerja, ataupun untuk melepas nadzar, datang ke makam keramat seorang tokoh
agamis religius. Ketika kegiatan ini dilakukan, di makam tersebut menjadi
sangat ramai oleh tetabuhan musik saronèn. Hal ini disebabkan karena
hampir setiap rombongan peziarah lokal membawa musik prosesi untuk mengarak
rombongannya. Menurut Darus dan Atrawi, suasana
menjadi gaduh karena setiap kelompok gamelan saronèn yang berada di
balai-balai itu saling membunyikan musiknya. Hal itu menjadi menarik ketika
belakangan diketahui bahwa musik yang dimainkan juga diyakini ada kaitannya
dengan persembahan yang dilakukan. Semakin
lama dimainkan dengan baik, disugestikan semakin sempurna suatu hajatan. Namun
demikian di lain pihak, tidak jarang pula terdapat golongan masyarakat
yang begitu kental dengan sisi agamanya, yang dengan serta-merta menolak
kehadiran kesenian yang bukan bernuansa Islami. Mereka biasanya menyukai bentuk
kesenian seperti: gambus, hadrah, dan lain-lain.
II.
SARONEN, MUSIK
KERAKYATAN
Apabila kita menyimak musik
saronèn dari
Sumenep-Madura dapat memberikan
kesan yang menggambarkan ekspresi kuat dan keras dengan pola permainan irama musik yang cepat dan menghentak.
Kesan kekerasan musikal dalam
pembahasan ini tidak terkait dengan stigmatisasi budaya masyarakat Madura yang dipandang temperamental, namun untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar dan
detail terhadap serat-serat hubungan seni
musik tersebut dalam konteks budayanya.
Musik saronèn menurut mereka dikenal
dengan sebutan “sronèn, sroninan, tabbhuãn sronèn”. Istilah Saronèn
itu sendiri merupakan ricikan melodis satu-satunya yang dominan menguasai dalam penyajian musikalnya. Kemungkinan dari kesan inilah dapat
dijadikan alasan mengapa orang Madura cukup menyebut musik ini dengan sebutan "sronèn
atau sroninan".
Dari banyak keterangan, dapat dimengerti
bahwa nama pertunjukan musik rakyat saronèn ternyata mengacu pada nama
salah satu ricikan pengiring yang secara musikal memberi kesan sangat dominan,
yaitu saronèn. Ricikan sejenis saronèn tersebut sesungguhnya banyak terdapat di sebagian
besar tempat di Nusantara, bahkan lebih jauh bertebaran di jajaran etnis dari
belahan dunia yang lain. Ricikan sejenis saronèn itu memiliki nama yang
beragam. Di Jawa Timur, ricikan tersebut dinamakan selompret atau slomprèt;
Kunst juga menjelaskan bahwa selompret/saronèn berasal dari kebudayaan
Persi-Arab (kata surnai [bahasa Arab], di Nusantara berubah menjadi serunai
atau sarune (di Sumatra) dan saronèn (di Madura dan Jawa Timur).
Namun, sebagaimana diketahui dari rangkaian peristiwanya selama periode
Jawa-Hindu, baik di Jawa, Bali dan juga di Batak, fenomena sebutan tersebut
telah diadopsi pula oleh kelompok-kelompok kebudayaan non Islami. Hal serupa
juga terjadi pada beberapa pengadopsian istilah lainnya, seperti: rebab,
terbang (rebana) dan gambus(Jaap Kunst, Music in Java, 1973)
Agar pembahasan terkait (musik saronèn) tidak melebar, penulis akan membatasi
wilayah kajian dalam dua variabel, tekstual dan kontestual. Wilayah tekstual
akan meletakkan musik saronèn dalam ruang pembahasan: ensambelisasi,
pelarasan, dan keberadaan
gending-gendingnya. Sementara untuk wilayah kontekstualnya, penulis akan
meletakkan musik saronèn dalam ruang pembahasan: kehidupan sang musisi dan fungsi
musik saronèn dalam masyarakat Madura khususnya Sumenep.
A. Saronèn dalam Kajian Tekstual
1. Ricikan.
Nama-nama ricikan yang ada dalam gamelan saronèn tidaklah baku. Menurut pengakuan beberapa
nara sumber, Atrawi dan Puasan, antara satu daerah dengan daerah lain, satu
kelompok dengan kelompok lainnya, memiliki klasifikasi kosakata yang berbeda
dalam menyebut berbagai ricikan musik saronèn. Untuk memudahkan dalam
memaparkan ricikan yang ada pada musik saronèn tersebut, penulis mencoba
menggunakan pendekatan etnomusikologis, yakni pendeskripsian suatu fenomena
kesenian (termasuk di dalamnya nama ricikan) berdasar atas kacamata sang
pemilik kebudayaan (emik). Perhatikan dua metode etik dan emik (pada Heddy Shri Ahimsa Putra “Ethnoart: Fenomenologi
Seni Untuk Indiginasi Seni dan Ilmu” dalam Waridi (ed). Menimbang
Pendekatan: Pengkajian & Penciptaan Musik Nusantara). (Surakarta:
Jurusan Karawitan bekerjasama dengan Program Pendidikan Pascasarjana dan STSI
Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. 2005). Guna memudahkan
dalam membaca dan meraih gambaran agar tidak terkesan ‘asing’, penulis di sisi
lain akan melakukan pendeskripsian dengan metode etik, yakni dengan menempatkan
kosakata asli setempat didampingi dengan kosakata lain yang lebih umum sebagai
analoginya. Adapun ricikan musik saronen
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Ricikan struktural
Adalah ricikan yang dalam gamelan saronèn
fungsinya sebagai penanda pada tingkatan apa gending yang bersangkutan
dimainkan (pembentuk struktur), lancar,
lamba, rangkep dan lain sebagainya. Indikasinya dapat dilihat dari pengaruh
waktu yang dibutuhkan untuk membunyikan instrumen struktural ini, semakin
panjang jarak pukulan, berarti semakin lebar wilayah irama gending, dan berarti
pula gending tersebut berada dalam kisaran irama lambat atau rangkep,
begitu juga sebaliknya. Adapun ricikan struktural tersebut meliputi:
- ghung
raja = seukuran gong suwuk’an
- ghung
kènè = seukuran kempul
-
pendung = kenong raja
= seukuran bonang barung
-
panenga = kenong kènè’
= seukuran bonang penerus
- panyolcol =kotekan = seukuran bonang penerus tetapi
lebih kecil dari panenga
Jenis ricikan
struktural tersebut di atas sangat lazim dijumpai pada bentuk kesenian
prosesional yang ada di Jawa. Beberapa kesenian tersebut diantaranya seperti jaran bumbung, jaran pogogan,
jaran breng, jaran kencak dan lain-lain, serta bentuk pertunjukannya hampir
selalu sama. Biasanya pertunjukan diawali dengan penyajian gending-gending
untuk mengumpulkan orang, kemudian melakukan pertunjukan prosesional dan
sesekali berhenti di tempat-tempat strategis untuk melakukan atraksi. Tentu saja
tidak totalitas sama, setiap daerah yang memiliki status lokalitas berbeda akan
berbeda/berubah berdasar atas kultureis
(lingkaran budaya) yang mereka miliki. Sehingga sangat dimungkinkan instrumen-instrumen
tersebut di atas berasal dari satu rumpun kebudayaan. Tidak pernah diketahui
wilayah mana yang memberi stimulan awal dalam mempengaruhi yang lain. Dengan
demikian konsep awal yang dibangun oleh Merriam yang menekankan bahwa “musik
adalah budaya” dalam konteks ini telah terbukti.
b.
Pemimpin irama
(pamurba irama)
Sama dengan budaya
karawitan di Jawa, ricikan pemimpin irama dalam konteks gamelan saronèn
adalah kendang. Masyarakat setempat biasa menyebutnya dengan ghendhang raja
dan gendhang gedhe. Ukurannya hampir serupa dengan kendang kosek
wayangan (Jawa Tengah), namun distem (tuning) dengan lebih kecang,
sehingga suara yang dihasilkan lebih keras dan melengking. Ghendhang raja
merupakan membranoponik yang dipukul dengan menggunakan tangan secara
langsung tanpa alat pemukul lain. Dipukul dengan digendong atau digantungkan ke
badan pada prosesi berjalan, diletakkan pada plangkan pada posisi duduk.
c. Pemimpin lagu (pamurba lagu)
Dalam konteks ini satu-satunya ricikan musik saronèn
yang memiliki fungsi utamanya sebagai pemimpin lagu adalah ricikan saronèn .
Ricikan Saronèn Madura termasuk alat musik tiup. Cara
membunyikannya dengan ditiup vertikal (end-blown flute). Menuut
bentuknya ricikan saronèn
seperti corong yang merupakan jenis aeroponik yakni sumber bunyinya dihasilan
melalui getaran udara. Cara membunyikannya dengan mengaliri udara melalui mulut
secara langsung dan terus-menerus (sirkuler), kemudian masuk ke dalam celah
yang tipis (cleret), nada-nada diatur melalui lubang-lubang kecil dengan
menggunakan ujung jari.
d. Ricikan Pendukung
Ricikan pendukung dalam
musik saronèn fungsinya memberikan warna bunyi pada sajian
gending-gendingnya. Ricikan ini meliputi korsa = korca = kèrca = cèrcèr = kecer dan ghendhang gedhé serta ecek-ecek (tambourin). Kecer
merupakan instrumen idioponik semacam piring mini (lepek) yang cara
membunyikannya dengan diadu diantaranya, sedangkan ghendhang gedhé merupakan ricikan yang dirangkap oleh
pemain ghendhang raja..
Dengan melihat
ensambelisasi gamelan saronèn di atas, sangat nampak bahwa secara
musikal jenis musik ini memberi kesan yang ritmik, walaupun di dalamnya
terdapat pengaturan instrumen melodis yang menonjol yakni saronèn. Salah satu ciri penyajian musik saronèn
adalah setiap ricikannya dibunyikan masing-masing oleh satu orang (kecuali
kendang saat berhenti). Hal ini tentu berkaitan dengan keleluasaan pemain yang
harus memainkan musik sekaligus memegangi ricikan dengan sambil berjalan.
Alasan kedua, agar setiap pemain lebih leluasa melakukan performance-nya.
Sedang untuk ricikan gong dan kempul, dibuatlah gayor yang kuat beban,
dirancang seringan mungkin, serta tidak terlalu mengganggu posisi menabuhnya.
2.
Pelarasan
Menurut penuturan Achmad Darus, kebanyakan
musik saronèn untuk kategori
ricikan strukturalnya terbuat dari besi (tong) yang biasanya digunakan untuk
mengemas minyak dan oli. Bahan besi digunakan karena musik saronèn
merupakan musik prosesi, membutuhkan beban ringan, fleksibel dan se-efisien
mungkin, yang akan memberikan satu kenyamanan dalam acara prosesi, yang tidak
jarang harus dengan jalan kaki hingga ber jam-jam. Bandingkan jika terbuat dari
perunggu yang jauh lebih berat.
Pemain musik saronèn sangat menyadari bahwa bahan
dari plat besi membuat ricikan tersebut mudah terkontaminasi oleh kelembaban
suhu udara yang mengakibatkannya berkarat (teyengen), berubahnya
konsistensi gaungnya, jika dipukul mudah lentur (penyok) hingga
berubahnya laras yang ada. Sementara seperti apa laras dalam kategori musik
saronèn? Darus dan beberapa pemain saronèn seperti Atrawi, Puasan, Asnawai, Darsono, Ahmad,
Moyo, Sumarwi dan Lianto. memaparkan
bahwa dalam perangkat musik yang mereka miliki tidak ada ketentuan khusus bahwa
ricikan (struktural) terkait harus dilaras dengan nada berapa. Hal tersebut
tergantung dari kesukaan tiap-tiap kelompok gamelan.
Namun bukan berarti pelarasan musik saronèn
terkesan asal. Pelarasan ricikan dilakukan dengan jalan dipukul dan dikikir. Pelarasan
musik saronèn berbeda-beda. Pelaras umumnya memakai ukuran-ukuran
tertentu dalam memastikan apakah nada gaungnya sudah layak atau belum. Untuk
kepentingan klenengan (in door) dibutuhkan suara yang lembut, sedangkan
untuk prosesi (arak-arakan, out door) membutuhkan materi bunyi
yang nyaring.
Umumnya laras
dalam musik saronèn adalah slendro. Ketika diamati laras yang ada pada kelompok musik saronèn
Sumber Baru, ukuran interval ricikan
saronèn dan ricikan struktural sangat berbeda. Untuk ghung raja (gong
suwukan) dilaras dalam nada 5 (slendro) dan ghung kènè
(kempul) dalam nada 6 (slendro), hampir mendekati nada 5 dan 6 yang ada pada ricikan
saronèn, walaupun jarak intervalnya (menurut penulis) relatif jauh.
Sementara untuk ricikan saronèn sendiri, karena dilagukan pula dalam
laras slendro sehingga jarak interval antar nadanya hampir sama.. Sedangkan
menurut Darus, Samarwi dan Yasin untuk ricikan
struktural lainnya (pendung, panenga, panyolcol) dan ricikan
pelengkap (kecer), tidak harus dilaras, asalkan masih memiliki
keserasian dengan nada gong dan kempul, jadi nadanya dapat saja 2 untuk pendung, 6 untuk panenga dan 3 untuk panyolcol,
semua dalam intervensi wilayah slendro.
3.
Gending-Gending pada musik Saronèn
Dalam pandangan Linda Burman-Hall, dalam
tulisannya “Madurese Music: Currents of Continuity and Change, 1926-1990",
(University of California, Santa Cruz. Makalah untuk International Workshop
on Indonesian Studies yang diselenggarakan The Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV). Leiden, 7-11 Oktober 1991), Madura
terwujud dan berada dalam suatu variasi budaya musik yang begitu kaya dari
persinggungannya dengan budaya yang lebih besar yakni Jawa. Dengan demikian
penulis mengindikasikan bahwa sebenarnya musik/gamelan saronèn merupakan penyederhanaan dari gamelan
lengkap, seperti di Jawa pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari ragam nama
gendingnya yang banyak menyadur dari beberapa gending Jawa seperti Puspowarno,
dari gending-gending Sumenepan seperti Rarari,Tallang, dan lain
sebagainya.
Selanjutnya kita simak
bentuk gending yang disajikan oleh kelompok musik saronèn Sumber Baru di Sumenep,
yaitu gending lorongan dan sarka.
Gending lorongan dan sarka merupakan
bentuk gending prosesi, memiliki pola sebagai jenis gending yang hampir sama.
Menurut Achmad darus dan beberapa pemain, gending lorongan digunakan untuk acara prosesi yang membutuhkan
jarak tempuh relatif lama atau panjang. Sedangkan gending sarka yang
dalam pertunjukannya membutuhkan waktu terbatas atau sempit. Pada aplikasinya dapat
berubah, semua tergantung dari kencan para pemainnya. Perbedaan dua jenis
gending tersebut dapat dilihat dengan jelas melalui analisis musikalnya. Gending
lorongan dan sarka untuk ‘buka’ (introduksi) dilakukan
oleh ricikan saronèn. Kedudukan saronèn dalam konteks ini
layaknya rebab atau gender di Jawa, ia yang akan menentukan jenis gending apa
yang akan dibawakan. Dengan demikian para musisi diharapkan tanggap oleh
orkestrasi musikal yang dilakukan pemain ricikan saronèn.
Dalam
gending lorongan, ricikan saronèn dapat dengan leluasa berimprovisasi dan
melakukan loncatan nada dari laras slendo ke pelog, dengan teba wilayah seleh
yang sama. Pemain saronèn, dalam konteks gending lorongan
dituntut memiliki kreativitas dan kepekaan orkestrasi musikal yang tinggi dibanding
dengan gending sarka. Adapun sebabnya, gending lorongan dibawakan
pada irama lamba atau tanggung. Karena dibawakan dengan irama tanggung,
setidaknya ricikan melodius saronèn, dapat dengan leluasa mengembangkan
pola permainannya, karena tersedianya ruang yang cukup. Sedangkan pada gending
sarka karena dibawakan pada irama lancar, peran ricikan melodi saronèn, terbentur
dengan tempo dan ritme yang relaif cepat sehingga ruang untuk mengembangkan
orkestrasi musikalnya menjadi sempit dan terbatas. Akan tetapi apabila kita amati
secara sepintas, tanpa didasarkan atas analisis yang dalam, gending lorongan
terkesan lebih cepat dan rapat dibandingkan dengan gending sarka. Hal
ini disebabkan oleh frekuensi pukulan ricikan struktural lebih banyak pada
gending lorongan sehingga terkesan lebih cepat dari pada gending sarka.
Gending sarka dalam satu gongan terdapat dua pukulan kenong dan satu
pukulan kempul, sedangkan dalam lorongan terdapat dua kali pukulan
kempul dan empat kali pukulan kenong. Hal tersebutlah yang melatari gending lorongan
terkesan lebih padat dan cepat.
Musik saronèn tampak fleksibel dan seolah begitu terbuka
dalam dialek persentuhan dengan kebudayaan yang berbeda. Hal ini terlihat dalam
penyajiannya juga dapat membawakan musik-musik berirama dangdut. Menurut
Atrawi, (sang penabuh kendang), percampuran dengan musik dangdut terjadi sudah
sejak lama yakni pada dekade tahun 70-an ketika musik saronèn ramai
dibawa dari panggung prosesi untuk acara sape sono dan karapan sapi.
Dalam acara-acara tersebut, musik saronèn tidak hanya diperuntukkan
sebagai musik prosesi saja namun juga sebagai media hiburan, dalam konteks
inilah pola-pola dangdut dalam setiap gendingnya mulai dimasukkan.
B. Saronèn dalam Kontekstual
1. Kehidupan
pemain musik saronèn
Madura berada
dalam ruang lingkup budaya agraris, pertanian merupakan sektor utama. Selain
sebagai petani, sebagian kecil pemain musik saronèn juga seorang tukang
bangunan. Kebanyakan mereka berasal dari satu desa, lingkungan dengan satu
corak yang sama. Dalam kehidupannya pelaku musik saronèn
mengenal adanya dua mata pencaharian pokok, yakni bertani dan sebagai
seniman. Mereka umumnya merupakan golongan dengan kadar perekonomian menengah
ke bawah.
Pada musim
hujan, seniman musik saronen rata-rata seorang petani yang sibuk menanam padi. Entah
hanya sebagai buruh tani ataupun menggarap sawahnya sendiri. Hasil pertanian
sebagian besar dijual dan sisanya dimakan sendiri. Ketika panen melimpah,
selain untuk kebutuhan hidup sehari-hari, hasil jual yang mereka dapatkan juga digunakan
membeli barang-barang yang dianggapnya berharga seperti emas, televisi, dan
lain sebagaiya. Agaknya konsep perbank-kan di Madura khususnya pedalaman
layaknya desa Banasare, belum dikenal secara baik. Kondisi ini tampaknya tidak
jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa. Ketika kondisi perekonomiannya
sulit, maka barang-barang berharga yang telah dibeli tersebut kemudian dijual
lagi..
Ketika musim
kemarau, para seniman yang notabene petani padi beralih ragam tanam yakni
tembakau. Seperti yang telah dipaparkan di muka, musim kemarau menjadi
menggairahkan. Pada posisi inilah seniman musik saronèn sangat
diuntungkan. Masa panen tembakau yang rata-rata tiga bulan, membuat para pemain
musik saronèn merasa paling sibuk dibanding petani yang lain. Selain
panen yang melimpah, job dan frekuensi manggung musik saronèn pun banyak
permintaan.
Di satu sisi
mereka terlibat dalam kesibukan panen tembakau, di sisi lainnya mereka saat itu
sedang “kebanjiran” tanggapan. Mereka harus pandai-pandai mengatur waktu.
Menurut Darus dan beberapa pemain musik saronèn, jika waktu itu tiba,
mereka lebih memprioritaskan posisinya sebagai seorang seniman daripada petani.
Hal tersebut terlihat dari sikap mereka yang senantiasa menyanggupi jika ada
permintaan pentas. Bagi Atrawi, Yasin dan Moyo, sebenarnya pertimbangan prioritas
sebagai seorang seniman daripada petani bukan berdasarkan materi atau uang semata.
Melainkan karena keterikatan komitmen individu dengan kelompok mereka, di
samping mereka menghargai kelompok orang yang nanggap.
Dalam
konteks menerima dan menolak permintaan tanggapan, kelompok musik saronèn
memiliki sorang pemimpin. Pemimpin dalam konteks ini biasanya juga menjadi
pemain. Posisi seorang pemimpin menjadi begitu vital pada saat negosiasi
menjalin kontrak, misalnya ketika pihak penanggap tidak menyediakan
mobil jemputan maka di sini peran pemimpin yang harus mengusahakan transportasi
untuk para anggotanya. Begitu pula untuk hal-hal yang lain seperti pengaturan
pembagian gaji, pengorganisasi waktu latihan, dan lain sebagainya. Manyadari
bahwa diri mereka adalah penjual jasa, maka kelompok tersebut senantiasa
bersikap ramah dalam menerima maupun menolak permintaan pentas.
2. Proses Latihan
Ketika musim kemarau telah usai dan panen
tembakau mulai surut, di musim hujan, para pemain dalam satu kelompok menyempatkan
untuk berkumpul dan latihan. Berkumpulnya mereka pemain gamelan saronèn Sumber Baru, Desa Pabrasan Kec. Kota,
Kab. Sumenep disebutnya dengan acara arisan. Melalui acara tersebut mereka,
kelompok saronèn dapat
berkumpul, berembug dan pada akhirnya melakukan proses latihan. Latihan
biasanya diadakan di tempat pimpinan (ketua). Hal ini dipandang efektif karena,
mereka (para anggota) merasa sungkan jika tidak datang, karena sangsinya harus
berhadapan dengan pimpinan langsung.
Pada acara
arisan tersebut, selain digunakan sebagai ajang evaluasi, proses latihan yang
ada dipandang penting untuk membenahi kelemahan-kelemahan yang selama ini
muncul, baik dari segi penyajian, referensi gending, hingga yang paling terpenting
adalah pembenahan sistem organisasi yang ada. Dalam setiap arisan tersebut,
semua anggota diwajibkan datang. Anggota biasanya berasal dari satu kelompok,
keluarga, atau bahkan satu desa, dengan demikian koordinasi dapat berjalan
mudah.
Proses latihan biasanya terfokus pada ricikan-ricikan
yang dianggap memiliki tingkat kesulitan tinggi, yaitu saronèn, kendang serta panyolcol. Dalam
memainkan ricikan saronèn ini seorang pemain harus memiliki ketrampilan
khusus, bagaimana cara meniupnya, teknik apa yang digunakan. Hal ini menjadi
penting karena hampir setiap komposisi gending-gending musik saronèn, ricikan
saronèn memiliki peran penting dan kehadiran musikalnya hampir memenuhi
setiap bagian komposisi. Kedua adalah kendang, ricikan ini tugasnya dalam
mengatur tempo, dan pemain diharapkan mampu melakukan improvisasi dalam mengisi
setiap komposisi gendingnya. Terakhir adalah panyolcol (bonang
terkecil), pemain diharapkan mampu mempertahankan tempo dan ritme dan mampu
mempertahankan ketepatan pukulan dalam berbagai irama. Lebih tepatnya kombinasi
ketiga ricikan tersebut menjadi tumpuhan utama sajian musik ini. Pelatih
biasanya adalah yang benar-benar memiliki kompetensi, dan tidak jarang saling
memberi masukan materi. Cara pembelajarannya dengan lisan, yakni bertutur,
didengarkan dan kemudian dipraktekkan. Hal semacam ini sering pula disebut
oral, yakni transfer ilmu melalui medium suara dan penglihatan.
Kesimpulan
Dari sudut pandang antropologi musik,
kesenian musik saronèn
bukanlah suatu fenomena material, tetapi berupa pengorganisasian dari hal-hal
yang berkait dengan benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi. Kemudian dalam
perjalanannya, kesenian ini merupakan suatu model dari pelaku untuk
mempersepsikan, menghubungkan dan menginterpretasikan segala hal yang berkait
dengan kehidupan yang dialaminya (termasuk juga lingkungan). Oleh karena itu
setidaknya dengan memahami rentan perjalanan musik saronèn kita dapat mempresepsikan seperti apa
psikologis pelaku dari masyarakat pendukungnya. Bukankah dalam studi
etnomusikologis sering kali meletakkan pemahaman bahwa karya seni (termasuk di
dalamnya adalah musik saronèn) dalam perjalanannya selalu memiliki
konstelasi yang erat dengan masyarakatnya.
Dengan demikian berbagai penjelasan yang
telah diuraikan di atas menunjukkan, bahwa perjalanan musik saronèn
sebagai pengakuan entitas tradisi lokal adalah wadah mikro yang mampu
menunjukkan secara makro budaya masyarakat Madura, khususnya Sumenep. Akhirmya,
sudah selayaknya musk saronèn tidak hanya dilihat sebagai pencapaian
estetis musikal semata, lebih dari itu musik saronèn sebagai sebuah
‘entitas lokal’ sudah seharusnya dilihat sebagai “alat ukur objektif” budaya
yang apabila dikaji dan dianalisis secara lebih mendalam dapat digunakan untuk
membedah dan mengetahui determinasi budaya masyarakat pengkultusnya.
yes...
BalasHapuspengetahuan ini untuk kita semua...thanks.
BalasHapus