By: Trinil Windrowati
ABSTRAK
ABSTRACT
Art and its spiritual values,
capitalism and its materials are the meeting of two entities frequently debated.
Paradoxical value given to them contributes the reasoning dynamics demanding
the both of them to have to integrate in a meeting point in order to get the mutualistic synergetic.
Student art event in the Surabaya
Youth Park is the meeting of two entities of the art values and the
capitalistic values. The existence of art in the aesthetic artistic softness
that meets with the noise of the marry-go-round play encourages the disconditioning situation to the
existence of art event staged. The noise of marry-go-round play, furthermore,
creates the neglectful attitude to the seriousness of performance want to be
built.
The strong wish of the
educational department of Surabaya city to build children characters by means
of art event by the competition system is the serious way. Nevertheless, the
minimum of fund sources causes that program should confront with the
difficulties in creating the conducive situation. PT Star is the best way at
this moment to run the good program. The facilities have been available, but
how to condition in order that the categorization, the clearness of art
materials, and the conducive situation, constitute the questions should be
found the answers in the next performances.
Key
words: Art, capitalism, and event
Peristiwa Seni Budaya
Pentas
Seni yang berlebel festival acapkali kita saksikan. Event gelar seni ini lazim dilaksanakan oleh lembaga-lembaga seni
seperti: Sanggar seni, Lembaga Sosial Masyarakat, Pendidikan Seni, dan lembaga
pemerintah. Di Surabaya, kita ketahui terdapat berbagai bentuk festival dengan
tema yang beragam. Ada festival Cak Durasim (FCD), Festival Seni Surabaya
(FSS), Festival Cross Cultural (FCC),
dan juga festival Majapahit Travel Fair (MTF). Berbagai bentuk gelar seni
tersebut mempunyai materi, sasaran, dan beragam tujuan yang ingin dicapai.
Tulisan
ini merupaka hasil analisis atas kegiatan pentas seni siswa tingkat sekolah
dasar dan menengah yang rutin diselenggarakan setiap tahun pada seputar bulan
September sampai bulan Januari akhir oleh dinas pendidikan kota Surabaya
bekerja sama dengan agen hiburan di kompleks Taman Remaja Surabaya. Pada tahun
2011, event ini sudah berada pada
dasa warsa ke dua. Gelar seni kompetitif yang dikemas dalam momen pembinaan
seni di tingkat pendidikan dasar dan menengah ini merupakan fenomena yang
menarik untuk dicermati.
Seni
yang estetik artistik bertemu dengan pasar hiburan anak yang kapitalistik. Seni
yang indah dalam kelembutan bertemu dengan berbagai jenis permainan dremolem dan
juga musik dangdut yang kesemuanya bising dan gaduh. Nilai yang batiniah
bertemu dengan sekedar hiburan yang orientasi akhirnya adalah nilai
kapitalistik. Keduanya dalam satu ruang keramaian maksimum. Bunyi dan atau
suara adalah kebutuhan setiap permainan dan tampilan ajang gelar seni datang secara
bersamaan untuk saling merebut simpati penonton dan nilai jual. Dari kebutuhan
masing-masing itu kesemuanya saling mengeraskan bunyi dan suaranya hingga
semakin tidak jelas apa yang ingin dicapai. Bertemunya dua entitas paradoks
pada titik tumpu ini merupakan fenomana menarik untuk segera diurai.
Dalam konteks eksistensi dan hakekat
kedua entitas ini memang debateble
ketika keduanya harus ketemu dalam satu keinginan. Sering terdengar bahasa
sinis mepertentangkan eksistensi seni dan kapital. Orang menyebut seni untuk
konsumsi rohani dan kapital mengimani material. Nilai seni bersifat humanis
gerakan kapital marginalkan moral spiritual. Seni mendidik budi pekerti kapital
menjual ingus dan pantat sintal. Seni mengasah dan memperhalus rasa kapital
menawarkan tayangan sadis dan brutal. Dan banyak lagi sebutan paradoksal
mempertajam jarak fungsi dan makna keduanya. Pendek kata orang tidak rela seni
jatuh pada dekapan kapital yang ideologinya dicemburui sebagai bolduser penghancur nilai-nilai.
Kapital dianggap sebagai monster
kaum imperialis. Semangat menjajah kaum inperialis diduga tidak berhenti pada
ranah fisik militeristik tetapi dipercayai merusak lewat sosial budaya.
Menjarah lewat pasar dan modal, menindas melalui kecantikan, kenikmatan,
kepuasan dan rayuan kekayaan. Itulah sebab sebagian pemerhati budaya seni dan
seni budaya bersitegang, tarik urat leher mempertanyakan dan menggugat seni
yang dianggap terjerumus dalam kubangan kapital. Indikator yang ditampilkan
adalah: 1) dangkalnya nilai seni, 2) hilangnya roh seni, 3) seni sekedar
propaganda, 4) seni pasar, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
Gejala-gejala kapitalisasi seni di Indonesia tidak lain berkembang melalui pasar
hiburan seni budaya. Itulah kecurigaan-kecurigaan para budayawan atas semakin
memudarnya nilai-nilai seni. Kemudian kapan dan kenapa pasar hiburan seni
budaya ini dikembangkan di Indonesia dan dampak yang dirasakan ?
Ketika eksport migas tak mampu lagi
memenuhi keuangan negara dan terjadi devaluasi rupiah terhadap dolar Amerika
(1986), maka produk-produk industri non migas dibangkitkan. Budaya dijadikan
aset penyambung keuangan negara. Ketika itu pemerintah menggalakkan program wisata
alam, dan budaya seni dikemas, dijual untuk menutup devisit negara. Terjadilah
perubahan besar dalam konteks meningkatnya kunjungan wisata domestik dan
mancanegara ke Indonesia. Wisata alam dibuka lebar, infrastruktur dan
suprastruktur dibangun, seni budaya ditampilkan untuk menyuguh wisatawan yang
datang. Pergelaran seni jadi semarak, panggung-panggung pertunjukan wisata seni
bertebaran dimana-mana. Di hotel-hotel, pura-pura, mall-mall, dan di
tempat-tempat hiburan disuguhkan pula seni budaya tradisional. Bali sebagai
pintu gerbang wisata budaya semakin menunjukkan geliatnya. Daerah-daerah yang
menjadi pusat-pusat budaya seperti Surakarta, Yogyakarta, Cirebon dan daerah
lain yang potensi seni budaya dengan berbagai bentuk sajian kesenian
pertunjukan, pameran kekayaan budaya keraton dijadikan sentra-sentra wisata.
Seiring bergulirnya waktu, dapat dirasakan
bagaimana wisata budaya seni memberikan kontribusi terhadap ekonomi dan
lingkungan. Apakah lingkungan alam, lingkungan sosial budaya masyarakat itu
sendiri, lingkungan kesenian, dan lingkungan seniman atau pelaku seni. Tidak
pernah terungkap sebelumnya bagaimana dampak ekonomi wisata budaya terhadap
pelaku seni. Masyarakat tradisional tidak atau belum mampu mempertanyakan atau
menggugat pihak-pihak yang menggunakan jasa seni mereka. Layak atau tidak layak, cukup atau kurang,
sedikit atau banyak, faktor ekonomi yang diperoleh dari jasa seni yang telah
mereka diberikan masih dianggap (dengan terpaksa atau tidak) sebagai bagian
dari proses berkesenian mereka. Padahal sebenarnya seniman atau pelaku seni
masih tercekik juga meskipun karya-karyanya seringkali dijual. Dari sisi
lingkungan sosial budaya, kemasan seni wisata seni budaya justru segera
mendapatkan tanggapan yang beragam. Para
budayawan di Bali jauh sebelum pencanangan wisata budaya kala itu (1971) telah memulai
untuk mepertanyakan dampak wisata budaya.
Apakah pariwisata akan menghancurkan kesenian Bali ? Akankan Bali
seperti Hawaii yang kehilangan orisinalitas kebudayaan karena larut dengan
selera wisata?. Polemik berkepanjangan ini akhirnya mendapatkan solusi ketika
dilaksanakan kongres kesenian Bali dengan terbaginya kesenian Bali menjadi: seni wali, seni bebali dan seni
balih-balihan. Nah seni Balih-balihan
ini yang dikategorikan sebagai seni wisata (Wayan dibia, 1997: 31)
Di Jawa tengah wayang kulit yang
dijadikan aset wisata mendapat tanggapan beragam. Sisi positif semakin maraknya
aktivitas pertunjukan wayang kulit. Para seniman yang terlibat mendapatkan
dampak ekonomi. Terciptanya lapangan kerja bagi penggiat wayang. Sisi negatif
terjadi komersialisasi dan pengartifisialan pertunjukan wayang. Modivikasi yang
tidak jarang mengabaikan estetika. Orientasi berubah ke arah pendangkalan
nilai-nilai dalam pertunjukan wayang (Soetarno, 2001:13). Dalam hubungan wisata
dan seni Irawan melihat seni hanya sebagai pelengkap penderita dari rangkaian
konsep, sistem dan tujuan industri wisata. Indikator yang disampaikan adalah 1)
posisi seni pertunjukan sekedar sebagai pelengkap dari perjalanan wisata, 2)
ketrampilan seni dalam pertunjukan wisata masih bersifat alamiah, 3)
penghargaan atas jasa seni sangat kecil, 4) posisi seni dan seniman bukan
sebagai partner tetapi sekedar sebagai faktor produksi. ( Irawan, 2001: 3-4)
Wisata hiburan bagaimanapun juga
orang melihat sebagai bagian dari sistem kapital. Orientasi utama adalah
bagaimana untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan finansial dengan modal
yang relatif kecil. Begitupun wisata seni budaya maka tampilan seni ditujukan
untuk mendapatkan kentungan finansial maka seni dikemas untuk membuat wisatawan
merasa puas. Untuk memuaskan klien
sudah barang tentu dengan berbagai cara.
Setidaknya seni yang dipertunjukkan harus menghibur padahal karakter
seni kita tidak selalu menghibur. Kalau wisatawan menginginkan yang asli dan
eksotik memang sebagaian besar seni budaya tradisi daerah bisa dibilang asli
dan eksotik tetapi pertunjukannya relatif panjang dan atau lama. Sementara
waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk menyaksikan pertunjukan relatif sedikit
atau pendek sehingga kesenian menjadi target yang dikalahkan. Bentuk kesenian
dipangkas, dipadatkan, diringkas. Akibat dari proyek ini seni kehilangan wahana
aslinya. Seni dicabut dari akarnya dipindah ditempat-tempat yang lebih bagus
tetapi belum tentu memenuhi karakter dari pertujukan seni itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena idiom seni budaya kita adalah lingkungan budaya masyarakat
yang membentuknya sehingga apabila pertunjukan dipindah dari habitatnya sudah
barang tentu kehilangan separuh dari nilainya. Dan dengan berbagai cara yang
lain seni menempati posisi dikalahkan
dan industri wisata tetap berpihak kepada klien.
Itulah moto kapital. Persoalan ini dijadikan landasan mengapa sebagaian
budayawan menggugat keterlibatan faktor kapital untuk mengurusi seni budaya.
Suara-suara sumbangpun berkeliaran ditelinga kita disamping banyak juga mereka
menyumbangkan suara untuk bagaimana seni dan wisata dicarikan jalan titik
temunya.
Pemerintah melalui Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata berupaya untuk memperlakukan seni dalam konteks
kekayaan local wisdom-nya tetap
dijadikan rujukan pengembangan dan pengemasan aset wisata budaya. Dengan
komitmen ini dirumuskan visi Departemen Kebudayan dan Pariwisata.
”Terwujudnya ketahanan budaya dan pariwisata yang
berbasis kerakyatan serta berwawasan lingkungan dalam meningkatkan peradaban,
persatuan, dan persahabatan antar bangsa”
Untuk mewujudkan
visi tersebut telah ditetapkan misi pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang
secara pokok berkaitan dengan:
1. Identifikasi dan
implementasi nilai-nilai budaya
2. Pelestarian dan
pemanfaatan sejarah dan purbakala
3. pengembangan
produksi wisata
4. peningkatan promosi
5. Pengembangan Sumber
Daya Manusia.
Salah satu aspek yang ditekankan
dalam pengembangan kesenian dalam konteks seni pariwisata adalah pengembangan
kesenian hendaknya menonjolkan keaslian, kekhasan, dan keunikan kesenian daerah
dengan cara yang informatif, atraktif, berdaya pikat tinggi, dan berdaya
jangkau segmen pasar yang luas baik untuk pangsa pasar domestik maupun pasar
mancanegara, melalui kerjasama atas dasar saling menguntungkan dengan sejumlah
pihak yang berkompeten secara bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai
dengan yang diharapkan. (Ardika, 2001: 8)
Rujukan ini spektakuler tetapi perlu
didalami dengan cermat dan jernih. Dalam rumusan pengembangan kesenian daerah
menggunakan istilah-istilah yang pengertiannya sangat debateble. Keaslian misalnya apakan istilah itu dimaknai
sebagaimana asli seperti dikenakan pada benda musium. Kurang bijaksana apabila
seni pertunjukan diperlakukan seperti barang purbakala yang tetap tak berubah.
Demikian juga istilah lainnya seperti: informatif, atraktif, berdaya pikat
tinggi, berdaya jangkau pasar domestik, pasar mancanegara dan lain sebagainya.
Nampak sekali seni diposisikan sebagai bahan produksi yang melalui proses
fabrikasi menjadi barang berkilau siap pakai. Bukan tidak baik tetapi perlu
dilihat lagi apabila itu terjadi kemudian dikembalikan pada istilah keaslian
apakah barang siap pakai itu sudah tepat dan sesuai dengan keaslian-nya. Nah
bagaimana dengan pengertian informatif, atraktif, dan istilah selanjutnya ?.
Pentas Seni Siswa di Taman Remaja Surabaya
Fenomena menarik dan pantas untuk
dicermati. Sebuah acara pergelaran berbagai jenis seni ditampilkan oleh anak
seusia sekolah di Taman Remaja Surabaya. Taman Remaja Surabaya adalah wahana hiburan yang di dalamnya berbagai
jenis permainan berskala anak-anak ditawarkan. Daya tarik yang cukup memikat
adalah dua arena pertunjukan kesenian (panggung garuda dan panggung Wijaya). Di
tempat itulah pentas seni siswa diselenggarakan. pertunjukan ini terelenggara
atas kerjasama yang baik antara Dinas Pendidikan Kota Surabaya dengan PT Star
Surabaya. Sudah sepuluh tahun lebih pentas seni siswa ini dilaksanakan dan pada
setiap tahunnya selalu berkembang jenis kesenian maupun peserta yang mengikuti.
Dua program berbeda dari dua
institusi ini kemudian dipadukan jadilah sebuah acara yang pantas untuk
dijadikan kajian, dan dijadikan acuan kebijakan. Dinas pendidikan kota Surabaya mempunyai
program pembinaan dan pengembangan kesenian untuk anak sekolah dari tingkat
Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan yang sederajat, Sekolah Lanjutan tingkat
Pertama SLTP dan yang sederajat, dan Sekolah Menengah (Umum) dan yang
sederajat. Di pihak lain PT Star adalah perusahaan yang mengelola hiburan di
Taman Hiburan Rakyat Khusus mengelola Taman Hiburan di Taman Remaja Surabaya.
Peserta pentas adalah
sekolah-sekolah dari tingkat TK sampai SLTA seluruh Kecamatan (terdapat 31
kecamatan) di wilayah Pemerintahan Kota Surabaya. Oleh karena bertajuk lomba
pentas seni ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dipandang dari banyaknya
peserta yang mengikuti. (apakah keikutsertaan peserta dengan terpaksa atau
dengan sukarela penulis belum meneliti lebih dalam).
Kegiatan pentas ini diselenggarakan
secara rutin setiap tahun dimulai bulan September sampai dengan bulan Desember
dan final lomba dilaksanakan pada bulan Januari tahun berikutnya. Tidak setiap
hari dilaksanakan tetapi pada hari-hari tertentu terjadwal dengan baik.
Pertunjukan dimulai pukul 15.00 selesai pukul 22.00 tetapi kadang-kadang pukul
00.00 bahkan lebih. Didahului peserta
dari tingkat TK dan berlangsung secara meningkat ke jenjang Sekolah yang lebih
tinggi. Peserta dari kecamatan mana saja tidak ditentukan jadwal tetapnya.
Sangat situasional tetapi pada tiap tahun penyelenggaraan tertata denga rapi.
Pada tahun 2012 ini jenis kesenian
yang dilombakan meliputi: laga dan busana, gerak dan lagu, menyanyi bersama dan
tari anak (untuk TK). Untuk Sekolah Dasar dan yang sederajat terdiri dari: puisi kelompok, geguritan kelompok, tari
Ngremo, tari kreasi, menyanyi pop tunggal, paduan suara, samroh, dan tembang
dolanan. Pada jenjang SLTP melombakan: Puisi kelompok, geguritan kelompok, Tari
Ngremo, tari daerah, tari kreasi, menyanyi tunggal (pop), menyanyi tunggal
(campursari), paduan suara, samroh, dan menyanyi tunggal (dangdut). Pada
jenjang SMU dan yang sederajat melombakan: puisi kelompok, tari modern, cheers leaders, menyanyi tunggal (pop), menyanyi
tunggal (campursari), menyanyi tunggal (dangdut). Kriteria pengamatan dan
penilaian disusun cukup ketat dan representatif disesuaikan dengan jenis
kesenian.
Tahap penjaringan dilalui dengan
mengambil satu sajian terbaik setiap jenis kesenian yang dilombakan setiap
kecamatan. Pemilihan kejuaran ini berlaku sama pada masing-masing jenjang
sekolah. Juara satu berhak untuk mengikuti babak final sementara juara
berikutnya (dua, tiga, dan juara harapan) cukup mendapatkan penghargaan berupa
tropi dan piagam dari dinas pendidikan kecamatan masing-masing. Pada babak
final dilaksanakan berdasarkan kelompok jenis kesenian dan kelompok jenjang
sekolah sehingga terkonsentrasi pada satu jenis kesenian dan satu jenjang
kelompok sekolah. Pada babak final ini dapat dilihat kualitas kesenian karena
peserta merupan finalis yang dihasilkan dari seleksi antar kecamatan.
Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti babak final dengan demikian upaya untuk
meraih juara satu tingkat pemerintahan kota cukup kompetitif. Usaha untuk tampil lebih baik merupakan moto
setiap finalis dan dapat dilihat setiap tampilan mencoba untuk menjadi yang
terbaik.
Ini merupakan fenomena yang menarik
untuk terus diikuti. Perkembangan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan
yang signifikan. Peserta semakin meningkat banyak, jenis kesenian yang
dilombakan selalu berkembang. Penyelenggaraan kegiatan semacam ini merupakan
modal yang baik untuk terus dikembangkan dan dapat di pakai acuan bagi wilayah
lain di daerah-daerah seluruh Indonesia. Yang sesungguhnya ingin disampaikan
pada tulisan ini adalah kerja sama yang baik antara dua institusi yang pada
awal tulisan ini disoroti oleh berbagai pihak dari sisi negatifnya saja. Seni
bermuatan nilai-nilai sementara taman hiburan sekedar ingin meraup keuntungan
uang saja tanpa melihat kepentingan yang lebih strategis bagi pembangunan
nilai-nilai masyarakat bangsa.
Pada kasus Pentas Seni Siswa di
Taman Remaja Surabaya ini sebuah fenomena yang dapat diketegorikan sebagai
pengecualian. Dinas Pendidikan Kota punya program pembinan kesenian sekolah,
pengelola hiburan mempunyai modal dengan manajemen yang cukup cemerlang. Kedua
program ternyata sinergi dengan baik dipandang dari penyelenggaraan yang selalu
sukses. Terjadi simbiosa antara dua kepentingan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak. Seni siswa oleh PT Star merupakan aset yang menguntungkan
dipandang dari sisi pelestarian, dan pendidikan nilai-nilai seni dan sekaligus
mendatangkan keuntungan finansial yang cukup besar. Kondisi yang cukup
strategis dilihat dari sudut pandang bisnis dan pembangunan nilai-nilai. PT
Star dengan cermat membaca gejala tesebut dan segera dijadikan program bisnis
hiburan. Dinas Pendidikan kota memandang dari kesempatan yang baik bagi
publikasi dan orientasi. Strategis dilihat dari kacamata bisnis dapat
dianalisis sebagai berikut: 1) Siswa dengan statusnya terikat dan harus patuh
pada guru dan sekolahnya, sehingga apa yang diperintahkan oleh guru dan
sekolahnya harus (dengan suka rela atau terpaksa) dilaksanakan, 2) adanya
ketergantungan hirarkhis diantara institusi yang terikat oleh birokrasi
pemerintah. Siswa harus patuh pada guru dan sekolah, sekolah melaksanakan
petunjuk dinas pendidikan tingkat kecamatan, Dinas pendidikan kecamatan harus
mematuhi kebijakan dari dinas pendidikan kota. Jadi program Dinas Pendidikan
kota harus dilaksanakan oleh institusi yang ada di bawahnya. Artinya kebijakan,
peraturan petunjuk pelaksanaan dan atau pekerjaan apapun bentuk yang
dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota adalah kitab suci bagi setiap sekolah yang
ada di wilayah kerja Dinas Pendidikan Kota.
Dari sisi kapital adalah bahwa untuk
masuk ke area Taman Remaja Surabaya harus dengan membeli tiket. Di dalam Taman
Remaja Surabaya disediakan berbagai jenis permainan hiburan untuk anak-anak
dari berbagai tingkat. Untuk bisa memanfaatkan permainan hiburan pengelola
memasang tarif tiket yang beragam pula. Rasionalnya adalah setiap warga yang
mempunyai keinginan untuk mendapatkan hiburan di taman Remaja Surabaya harus
mengeluarkan uang sebagai ganti jasa permainan dan hiburan yang dinikmati.
Asumsi realistis dari penyelenggaraan Pentas Seni Siswa adalah siswa tidak mungkin
dilepaskan begitu saja oleh orang tua dan guru untuk mengikuti pentas seni.
Karenanya orang tua (ibu, bapak, adik, kakak, om, tante, dan mungkin kakek,
nenek) atau seluruh keluarga dan guru turut menyertai anak, anak didik,
keponakan, atau cucu yang akan menunjukkak kebolehannya di atas pentas. Asumsi
ini ternyata benar dan dapat diamati bahwa setiap siswa yang mengikuti acara
pentas selalu disertai keluarganya. Dapat dihitung berapa tiket masuk, berapa
jenis permainan hiburan yang dinikmati, berapa rupiah dikeluarkan untuk jajan,
makan, minim yang dibeli di dalam area Taman Remaja Surabaya. Padahal harga
diatas rata-rata.
Berapa siswa yang mengikuti acara
pentas pada setiap sekolah sangat menentukan berapa pula pengiringnya.
Karenanya strategi penyelenggaraan pentas seni selalu menggunakan tampilan
kelompok pada setiap jenis kesenian. Strategi ini sangat menguntungkan baik
dari sisi pertunjukan maupun dampak dari jumlah yang banyak tersebut terhadap
perolehan nilai tukarnya. Orang tua, wali murid atau siapa saja yang
mengantarkan peserta Pentas Seni Siswa dengan sukarela atau terpaksa dengan
demikian harus mengeluar-kan uang setidaknya untuk mengganti tiket masuk. Dapat
dihitung pada setiap jadwal pelaksanaan Pentas Seni area Taman Remaja Surabaya
dibanjiri oleh selain peserta pentas Seni juga oleh para orang tua, saudara,
kakek dan nenek, para guru pembina perias dan mungkin teman-teman dekatnya.
Gambaran seperi inilah yang segera ditangkap oleh pengelola bisnis hiburan di
Taman Remaja Surabaya.
Substansi Kesenian
Momen yang baik dilihat dari
pengelola jasa hiburan maupun dari program Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
Pertanyaanya adalah bagaimana kesempatan yang baik ini bisa dimanfaatkan oleh
Dinas Pendidikan Kota Surabaya secara maksimal untuk pembinaan dan pengembangan
seni tingkat siswa. Kesempatan yang sangat baik pula bagi guru seni, dan
pembina seni binaan Dinas Pendidikn Kota Surabaya ini. Kendatipun bisa jadi ada
unsur paksaan untuk menanamkan nilai-nilai estetik melalui kebijakan politik tatapi
apabila digarap dengan baik dengan memberdayakan potensi-potensi kesenian
(mencakup, guru seni, pembina seni, pengamat seni yang potensial) untuk selain
mengungkap potensi seni daerah, seni kontemporer dari berbagai jenis seni akan
membuahkan tampilan seni dengan kualitasnya yang baik. Baik dilihat dari bentuk
keseniannya, nilai yang dikandung, maupun kesesuaian tema seni dengan kejiwaan
anak. Kesempatan baik pula karena nampaknya pihak PT Star tidak melibatkan
secara langsung memberikan pengaruh pada substansi seninya. PT Star menyediakan
menejemen pemasaran dengan baik.
Sementara ini tampilan kesenian oleh
peserta bukan prioritas pembinaan, yang dijadikan orientasi adalah bagaimana
membangun integritas bahwa seni merupakan ranah afektif dan motorik yang harus
mendapatkan perhatian yang sama dengan ranah kognitif. Mengenalkan kembali
nilai-nilai budaya bangsa melalui pendekatan teknis dan apresiatif yang
dijadikan landasan pelaksanaan kegiatan pentas seni siswa ini. Karenanya mana
yang baik dan mana yang tidak atau kurang layak disajiakan sudah barang tentu
mendapatkan penilaian dan seleksi semestinya. Nilai kompetitif memang masih
dibilang rendah tetapi penentuan status kejuaraan dengan berbagai strata
dimaksudkan sebagai pacu bagi setiap
peserta untuk peningkatan penyajian pada tahun-tahun berikutnya.
Dari berjenis materi dipilahkan
menjadi empat kelompok sajian. Sastra dengan tampilan puisi, geguritan dan
bercerita. Tari meliputi tari tradisional, modern, latar. Musik terdiri dari
musik pop, musik dangdut, paduan suara, nyanyi bersama, sampursari, samroh. Dan
yang ke empat peragaan busanan dan ceers
leaders. Ke empat kelompok ini seperti dipaparkan sebelumnya memang belum
mendapatkan pembinaan yang memadai. Rutinitas penyelenggaraan belum disertai
dengan evaluasi normatif bagaimana pentingnya kemandirian dalam bentuk dan
penyajiannya. Apa yang dapat disaksikan dari tahun ke tahun masih berorientasi
pada tahun sebelumnya utamanya pada sistem penjaringan, dan pengelompokan jenis
kesenian. Hal yang paling urgen seperti
kekhasan bentuk dan tampilan, kemandirian, orisinalitas belum mendapatkan
penekanan. Contoh yang paling dapat dirasakan adalah pada sajian laga
busana. Nomor ini antara tema, model
busana, gaya laga, musik belum menjadi bagian keutuhan tampilan. Secara umum
setiap peserta tampil dengan laga gaya yang sama dengan peserta lain meskipun
tema, busana berbeda. Artinya pemahaman tentang bentuk dan makna sajian seni
belum dipahami secara baik oleh pembina seni di sekolah-sekolah.
Demikian juga belum ada pemahaman
yang baik tentang istilah yang dapat dipakai sebagai ukuran nama jenis
kesenian. Sebagai kasus pada pertunjukan tari. Seringkali terdapat penyajian
suatu jenis tari yang masih rancu untuk dikelompokkan ke dalam kategori jenis
kelompok tertentu. Antara cheers leaders,
tari modern, tari latar, kadang bercampur aduk. Kasus-kasus ini merupakan
catatan tersendiri yang perlu mendapatkan penanganan. Ukuran kualitas
setidaknya harus dibangun terlebih dahulu dari sistem dan pemahaman yang baik
dari segala unsur-unsurnya. Mulai dari pemahaman kesenian, nilai-nilai
normatifnya, kemudian disusun pola dan strategi pengembangannya. Pentas adalah
aspek eksperimental yang memang dibutuhkan secara terus menerus. Ini sangat
penting karena nilai dari seni dapat dipahami, dihayati dan diterima sebagai
bagian dari nilai-nilai keseluruhan kebudayaan berangkat dari penampilan
ekspresi yang terus menerus.
Akumulasinya baru dapat ditentukan sebagai nilai keunggulan ketika benar-benar
mendapatkan seleksi dari dirinya sendiri, antar bentuk yang hadir bersamaan,
dan waktu yang dilaluinya secara terus menerus. Kategorisasi bentuk dan jenis
kesenian bisa jadi tidak penting ketika ia hadir dalam forum apresiasi bebas
tetapi untuk keperluan lomba ukuran jenis dan bentuk sangat penting sebagai
rambu-rambu dalam menetukan format penilaian isinya. Yang menjadi catatan
serius pada akhir tulisan ini adalah bagaimana situasi yang kondusif untuk bisa
segera dibangun utamanya kenyaman dalam mengapresiasi setiap tampilan, Jauh dari
kebisungan dan kegaduhan.
Penutup
Ketika Kesenian hadir dengan dirinya
sendiri maka ia akan mendapat aprsesiasi yang baik tetapi sangat mungkin
sosialisasinya terbatas pada lingkup komunitas pendukungnya saja dan relatif
rentang dengan aspek produksi. Sementara seni yang diusung oleh pihak yang
berkepentingan dengannya aspek produksi bisa jadi bukan masalah tetapi
kompensasi yang diharapkan darinya adalah keperpihakan pada nilai di luar
dirinya sendiri. Maka ada bagian dari seni yang dikorbankan.
Fenomena pentas seni siswa di Taman
Remaja Surabaya adalah contoh yang baik, penting untuk dicermati dan dikaji
lebih jauh. Simbiosis antar keduanya tidak menuntut pengorbanan substansi
kesenianya. Sinergi yang saling menguntungkan dari keduanya (nilai seni dan
kapital). Startegi sosialisasi, promosi, pembinaan dan pengembangan kesenian
sangat perlu melihat dari model ini. Kasus Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan
PT Star Surabaya bersama sama mengembangkan idenya masing-masing menguntungkan
dari aspek pembinaan dan apresiasi seni. Pertanyaanya adalah bagaimana Pembina
seni mampu secara kualitas meningkatkan nilai esensi seni itu sendiri melalui
wahana pergelaran yang diberikan seluas-luasnya oleh kesempatan itu yang tentu
saja memerlukan situasi yang kondusif.
KEPUSTAKAAN
Ardika, Drs. I Gede,
2001 Pengembangan dan pemberdayan Dalam Konteks
Kepariwisataan. Makalah Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2001.
STSI Surakarta.
Dibia, I Wayan
1997 ”Seni
Pertunjukan Touristik dan pergeseran Nilai-nilai Budaya Bali” Mudra
Jurnal Seni dan Budaya, no. 5, Th. V, UPT Penerbitan STSI Denpasar.
Irawan, BRM.
Bambang,
2001 Pariwisata
di Sana, Sini, Pertunjukan di Sini, Menuju Industri Seni Pertunjukan yang Mandiri. Makalah
Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2001. STSI Surakarta.
Soetarno
2001 Dampak
Pariwisata Terhadap Seni Pertunjukan. Makalah Serial Seminar Seni
Pertunjukan Indonesia 1998-2001. STSI Surakarta.
BIODATA
Nama
|
: Trinil Windrowati
|
Tempat Tanggal
Lahir
|
: Boyolali, 11 April 1967
|
Agama
|
: Islam
|
Pendidikan
|
: 1.
Lulus Sarjana S-1 tahun 1991 di STSI Surakarta
|
2.
Lulus Pascasarjana S-2 ISI Surakarta (2006)
Jurusan Seni tari, program Kajian Seni, minat Tari Nusantara.
|
|
Pekerjaan
|
: Dosen di
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya
|
Kegiatan
Profesi
|
Aktif dalam berkarya tari, dan aktif
mengikuti pertemuan-pertemuan
ilmiah
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar