Rabu, 26 September 2012

Artikel 4

By: Trinil Windrowati

ABSTRAK
ABSTRACT

Art and its spiritual values, capitalism and its materials are the meeting of two entities frequently debated. Paradoxical value given to them contributes the reasoning dynamics demanding the both of them to have to integrate in a meeting point in order to get the mutualistic synergetic.

Student art event in the Surabaya Youth Park is the meeting of two entities of the art values and the capitalistic values. The existence of art in the aesthetic artistic softness that meets with the noise of the marry-go-round play encourages the disconditioning situation to the existence of art event staged. The noise of marry-go-round play, furthermore, creates the neglectful attitude to the seriousness of performance want to be built.

The strong wish of the educational department of Surabaya city to build children characters by means of art event by the competition system is the serious way. Nevertheless, the minimum of fund sources causes that program should confront with the difficulties in creating the conducive situation. PT Star is the best way at this moment to run the good program. The facilities have been available, but how to condition in order that the categorization, the clearness of art materials, and the conducive situation, constitute the questions should be found the answers in the next performances.

Key words: Art, capitalism, and event


Peristiwa Seni Budaya
Pentas Seni yang berlebel festival acapkali kita saksikan. Event gelar seni ini lazim dilaksanakan oleh lembaga-lembaga seni seperti: Sanggar seni, Lembaga Sosial Masyarakat, Pendidikan Seni, dan lembaga pemerintah. Di Surabaya, kita ketahui terdapat berbagai bentuk festival dengan tema yang beragam. Ada festival Cak Durasim (FCD), Festival Seni Surabaya (FSS), Festival Cross Cultural (FCC), dan juga festival Majapahit Travel Fair (MTF). Berbagai bentuk gelar seni tersebut mempunyai materi, sasaran, dan beragam tujuan yang ingin dicapai.
Tulisan ini merupaka hasil analisis atas kegiatan pentas seni siswa tingkat sekolah dasar dan menengah yang rutin diselenggarakan setiap tahun pada seputar bulan September sampai bulan Januari akhir oleh dinas pendidikan kota Surabaya bekerja sama dengan agen hiburan di kompleks Taman Remaja Surabaya. Pada tahun 2011, event ini sudah berada pada dasa warsa ke dua. Gelar seni kompetitif yang dikemas dalam momen pembinaan seni di tingkat pendidikan dasar dan menengah ini merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati.
Seni yang estetik artistik bertemu dengan pasar hiburan anak yang kapitalistik. Seni yang indah dalam kelembutan bertemu dengan berbagai jenis permainan dremolem dan juga musik dangdut yang kesemuanya bising dan gaduh. Nilai yang batiniah bertemu dengan sekedar hiburan yang orientasi akhirnya adalah nilai kapitalistik. Keduanya dalam satu ruang keramaian maksimum. Bunyi dan atau suara adalah kebutuhan setiap permainan dan tampilan ajang gelar seni datang secara bersamaan untuk saling merebut simpati penonton dan nilai jual. Dari kebutuhan masing-masing itu kesemuanya saling mengeraskan bunyi dan suaranya hingga semakin tidak jelas apa yang ingin dicapai. Bertemunya dua entitas paradoks pada titik tumpu ini merupakan fenomana menarik untuk segera diurai.
            Dalam konteks eksistensi dan hakekat kedua entitas ini memang debateble ketika keduanya harus ketemu dalam satu keinginan. Sering terdengar bahasa sinis mepertentangkan eksistensi seni dan kapital. Orang menyebut seni untuk konsumsi rohani dan kapital mengimani material. Nilai seni bersifat humanis gerakan kapital marginalkan moral spiritual. Seni mendidik budi pekerti kapital menjual ingus dan pantat sintal. Seni mengasah dan memperhalus rasa kapital menawarkan tayangan sadis dan brutal. Dan banyak lagi sebutan paradoksal mempertajam jarak fungsi dan makna keduanya. Pendek kata orang tidak rela seni jatuh pada dekapan kapital yang ideologinya dicemburui sebagai bolduser penghancur nilai-nilai.
            Kapital dianggap sebagai monster kaum imperialis. Semangat menjajah kaum inperialis diduga tidak berhenti pada ranah fisik militeristik tetapi dipercayai merusak lewat sosial budaya. Menjarah lewat pasar dan modal, menindas melalui kecantikan, kenikmatan, kepuasan dan rayuan kekayaan. Itulah sebab sebagian pemerhati budaya seni dan seni budaya bersitegang, tarik urat leher mempertanyakan dan menggugat seni yang dianggap terjerumus dalam kubangan kapital. Indikator yang ditampilkan adalah: 1) dangkalnya nilai seni, 2) hilangnya roh seni, 3) seni sekedar propaganda, 4) seni pasar, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Gejala-gejala kapitalisasi seni di Indonesia tidak lain berkembang melalui pasar hiburan seni budaya. Itulah kecurigaan-kecurigaan para budayawan atas semakin memudarnya nilai-nilai seni. Kemudian kapan dan kenapa pasar hiburan seni budaya ini dikembangkan di Indonesia dan dampak yang dirasakan ?
            Ketika eksport migas tak mampu lagi memenuhi keuangan negara dan terjadi devaluasi rupiah terhadap dolar Amerika (1986), maka produk-produk industri non migas dibangkitkan. Budaya dijadikan aset penyambung keuangan negara. Ketika itu pemerintah menggalakkan program wisata alam, dan budaya seni dikemas, dijual untuk menutup devisit negara. Terjadilah perubahan besar dalam konteks meningkatnya kunjungan wisata domestik dan mancanegara ke Indonesia. Wisata alam dibuka lebar, infrastruktur dan suprastruktur dibangun, seni budaya ditampilkan untuk menyuguh wisatawan yang datang. Pergelaran seni jadi semarak, panggung-panggung pertunjukan wisata seni bertebaran dimana-mana. Di hotel-hotel, pura-pura, mall-mall, dan di tempat-tempat hiburan disuguhkan pula seni budaya tradisional. Bali sebagai pintu gerbang wisata budaya semakin menunjukkan geliatnya. Daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat budaya seperti Surakarta, Yogyakarta, Cirebon dan daerah lain yang potensi seni budaya dengan berbagai bentuk sajian kesenian pertunjukan, pameran kekayaan budaya keraton dijadikan sentra-sentra wisata.
            Seiring bergulirnya waktu, dapat dirasakan bagaimana wisata budaya seni memberikan kontribusi terhadap ekonomi dan lingkungan. Apakah lingkungan alam, lingkungan sosial budaya masyarakat itu sendiri, lingkungan kesenian, dan lingkungan seniman atau pelaku seni. Tidak pernah terungkap sebelumnya bagaimana dampak ekonomi wisata budaya terhadap pelaku seni. Masyarakat tradisional tidak atau belum mampu mempertanyakan atau menggugat pihak-pihak yang menggunakan jasa seni mereka.  Layak atau tidak layak, cukup atau kurang, sedikit atau banyak, faktor ekonomi yang diperoleh dari jasa seni yang telah mereka diberikan masih dianggap (dengan terpaksa atau tidak) sebagai bagian dari proses berkesenian mereka. Padahal sebenarnya seniman atau pelaku seni masih tercekik juga meskipun karya-karyanya seringkali dijual. Dari sisi lingkungan sosial budaya, kemasan seni wisata seni budaya justru segera mendapatkan tanggapan yang beragam.  Para budayawan di Bali jauh sebelum pencanangan wisata budaya kala itu (1971) telah memulai untuk mepertanyakan dampak wisata budaya.  Apakah pariwisata akan menghancurkan kesenian Bali ? Akankan Bali seperti Hawaii yang kehilangan orisinalitas kebudayaan karena larut dengan selera wisata?. Polemik berkepanjangan ini akhirnya mendapatkan solusi ketika dilaksanakan kongres kesenian Bali dengan terbaginya kesenian Bali menjadi: seni wali, seni bebali dan seni balih-balihan. Nah seni Balih-balihan ini yang dikategorikan sebagai seni wisata (Wayan dibia, 1997: 31)
            Di Jawa tengah wayang kulit yang dijadikan aset wisata mendapat tanggapan beragam. Sisi positif semakin maraknya aktivitas pertunjukan wayang kulit. Para seniman yang terlibat mendapatkan dampak ekonomi. Terciptanya lapangan kerja bagi penggiat wayang. Sisi negatif terjadi komersialisasi dan pengartifisialan pertunjukan wayang. Modivikasi yang tidak jarang mengabaikan estetika. Orientasi berubah ke arah pendangkalan nilai-nilai dalam pertunjukan wayang (Soetarno, 2001:13). Dalam hubungan wisata dan seni Irawan melihat seni hanya sebagai pelengkap penderita dari rangkaian konsep, sistem dan tujuan industri wisata. Indikator yang disampaikan adalah 1) posisi seni pertunjukan sekedar sebagai pelengkap dari perjalanan wisata, 2) ketrampilan seni dalam pertunjukan wisata masih bersifat alamiah, 3) penghargaan atas jasa seni sangat kecil, 4) posisi seni dan seniman bukan sebagai partner tetapi sekedar sebagai faktor produksi. ( Irawan, 2001: 3-4)
            Wisata hiburan bagaimanapun juga orang melihat sebagai bagian dari sistem kapital. Orientasi utama adalah bagaimana untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan finansial dengan modal yang relatif kecil. Begitupun wisata seni budaya maka tampilan seni ditujukan untuk mendapatkan kentungan finansial maka seni dikemas untuk membuat wisatawan merasa puas. Untuk memuaskan klien sudah barang tentu dengan berbagai cara.  Setidaknya seni yang dipertunjukkan harus menghibur padahal karakter seni kita tidak selalu menghibur. Kalau wisatawan menginginkan yang asli dan eksotik memang sebagaian besar seni budaya tradisi daerah bisa dibilang asli dan eksotik tetapi pertunjukannya relatif panjang dan atau lama. Sementara waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk menyaksikan pertunjukan relatif sedikit atau pendek sehingga kesenian menjadi target yang dikalahkan. Bentuk kesenian dipangkas, dipadatkan, diringkas. Akibat dari proyek ini seni kehilangan wahana aslinya. Seni dicabut dari akarnya dipindah ditempat-tempat yang lebih bagus tetapi belum tentu memenuhi karakter dari pertujukan seni itu sendiri. Hal ini disebabkan karena idiom seni budaya kita adalah lingkungan budaya masyarakat yang membentuknya sehingga apabila pertunjukan dipindah dari habitatnya sudah barang tentu kehilangan separuh dari nilainya. Dan dengan berbagai cara yang lain seni  menempati posisi dikalahkan dan industri wisata tetap berpihak kepada klien. Itulah moto kapital. Persoalan ini dijadikan landasan mengapa sebagaian budayawan menggugat keterlibatan faktor kapital untuk mengurusi seni budaya. Suara-suara sumbangpun berkeliaran ditelinga kita disamping banyak juga mereka menyumbangkan suara untuk bagaimana seni dan wisata dicarikan jalan titik temunya.
            Pemerintah melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berupaya untuk memperlakukan seni dalam konteks kekayaan local wisdom-nya tetap dijadikan rujukan pengembangan dan pengemasan aset wisata budaya. Dengan komitmen ini dirumuskan visi Departemen Kebudayan dan Pariwisata.

”Terwujudnya ketahanan budaya dan pariwisata yang berbasis kerakyatan serta berwawasan lingkungan dalam meningkatkan peradaban, persatuan, dan persahabatan antar bangsa”

Untuk mewujudkan visi tersebut telah ditetapkan misi pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang secara pokok berkaitan dengan:

1.      Identifikasi dan implementasi nilai-nilai budaya
2.      Pelestarian dan pemanfaatan sejarah dan purbakala
3.      pengembangan produksi wisata
4.      peningkatan promosi
5.      Pengembangan Sumber Daya Manusia.

            Salah satu aspek yang ditekankan dalam pengembangan kesenian dalam konteks seni pariwisata adalah pengembangan kesenian hendaknya menonjolkan keaslian, kekhasan, dan keunikan kesenian daerah dengan cara yang informatif, atraktif, berdaya pikat tinggi, dan berdaya jangkau segmen pasar yang luas baik untuk pangsa pasar domestik maupun pasar mancanegara, melalui kerjasama atas dasar saling menguntungkan dengan sejumlah pihak yang berkompeten secara bertahap, berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan. (Ardika, 2001: 8)
            Rujukan ini spektakuler tetapi perlu didalami dengan cermat dan jernih. Dalam rumusan pengembangan kesenian daerah menggunakan istilah-istilah yang pengertiannya sangat debateble. Keaslian misalnya apakan istilah itu dimaknai sebagaimana asli seperti dikenakan pada benda musium. Kurang bijaksana apabila seni pertunjukan diperlakukan seperti barang purbakala yang tetap tak berubah. Demikian juga istilah lainnya seperti: informatif, atraktif, berdaya pikat tinggi, berdaya jangkau pasar domestik, pasar mancanegara dan lain sebagainya. Nampak sekali seni diposisikan sebagai bahan produksi yang melalui proses fabrikasi menjadi barang berkilau siap pakai. Bukan tidak baik tetapi perlu dilihat lagi apabila itu terjadi kemudian dikembalikan pada istilah keaslian apakah barang siap pakai itu sudah tepat dan sesuai dengan keaslian-nya. Nah bagaimana dengan pengertian informatif, atraktif, dan istilah selanjutnya ?.

Pentas Seni Siswa di Taman Remaja Surabaya
            Fenomena menarik dan pantas untuk dicermati. Sebuah acara pergelaran berbagai jenis seni ditampilkan oleh anak seusia sekolah di Taman Remaja Surabaya. Taman Remaja Surabaya  adalah wahana hiburan yang di dalamnya berbagai jenis permainan berskala anak-anak ditawarkan. Daya tarik yang cukup memikat adalah dua arena pertunjukan kesenian (panggung garuda dan panggung Wijaya). Di tempat itulah pentas seni siswa diselenggarakan. pertunjukan ini terelenggara atas kerjasama yang baik antara Dinas Pendidikan Kota Surabaya dengan PT Star Surabaya. Sudah sepuluh tahun lebih pentas seni siswa ini dilaksanakan dan pada setiap tahunnya selalu berkembang jenis kesenian maupun peserta yang mengikuti.
            Dua program berbeda dari dua institusi ini kemudian dipadukan jadilah sebuah acara yang pantas untuk dijadikan kajian, dan dijadikan acuan kebijakan.  Dinas pendidikan kota Surabaya mempunyai program pembinaan dan pengembangan kesenian untuk anak sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan yang sederajat, Sekolah Lanjutan tingkat Pertama SLTP dan yang sederajat, dan Sekolah Menengah (Umum) dan yang sederajat. Di pihak lain PT Star adalah perusahaan yang mengelola hiburan di Taman Hiburan Rakyat Khusus mengelola Taman Hiburan di Taman Remaja Surabaya.
            Peserta pentas adalah sekolah-sekolah dari tingkat TK sampai SLTA seluruh Kecamatan (terdapat 31 kecamatan) di wilayah Pemerintahan Kota Surabaya. Oleh karena bertajuk lomba pentas seni ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dipandang dari banyaknya peserta yang mengikuti. (apakah keikutsertaan peserta dengan terpaksa atau dengan sukarela penulis belum meneliti lebih dalam).
            Kegiatan pentas ini diselenggarakan secara rutin setiap tahun dimulai bulan September sampai dengan bulan Desember dan final lomba dilaksanakan pada bulan Januari tahun berikutnya. Tidak setiap hari dilaksanakan tetapi pada hari-hari tertentu terjadwal dengan baik. Pertunjukan dimulai pukul 15.00 selesai pukul 22.00 tetapi kadang-kadang pukul 00.00 bahkan lebih.  Didahului peserta dari tingkat TK dan berlangsung secara meningkat ke jenjang Sekolah yang lebih tinggi. Peserta dari kecamatan mana saja tidak ditentukan jadwal tetapnya. Sangat situasional tetapi pada tiap tahun penyelenggaraan tertata denga rapi.
            Pada tahun 2012 ini jenis kesenian yang dilombakan meliputi: laga dan busana, gerak dan lagu, menyanyi bersama dan tari anak (untuk TK). Untuk Sekolah Dasar dan yang sederajat terdiri dari:  puisi kelompok, geguritan kelompok, tari Ngremo, tari kreasi, menyanyi pop tunggal, paduan suara, samroh, dan tembang dolanan. Pada jenjang SLTP melombakan: Puisi kelompok, geguritan kelompok, Tari Ngremo, tari daerah, tari kreasi, menyanyi tunggal (pop), menyanyi tunggal (campursari), paduan suara, samroh, dan menyanyi tunggal (dangdut). Pada jenjang SMU dan yang sederajat melombakan: puisi kelompok, tari modern, cheers leaders, menyanyi tunggal (pop), menyanyi tunggal (campursari), menyanyi tunggal (dangdut). Kriteria pengamatan dan penilaian disusun cukup ketat dan representatif disesuaikan dengan jenis kesenian.          
            Tahap penjaringan dilalui dengan mengambil satu sajian terbaik setiap jenis kesenian yang dilombakan setiap kecamatan. Pemilihan kejuaran ini berlaku sama pada masing-masing jenjang sekolah. Juara satu berhak untuk mengikuti babak final sementara juara berikutnya (dua, tiga, dan juara harapan) cukup mendapatkan penghargaan berupa tropi dan piagam dari dinas pendidikan kecamatan masing-masing. Pada babak final dilaksanakan berdasarkan kelompok jenis kesenian dan kelompok jenjang sekolah sehingga terkonsentrasi pada satu jenis kesenian dan satu jenjang kelompok sekolah. Pada babak final ini dapat dilihat kualitas kesenian karena peserta merupan finalis yang dihasilkan dari seleksi antar kecamatan. Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti babak final dengan demikian upaya untuk meraih juara satu tingkat pemerintahan kota cukup kompetitif.  Usaha untuk tampil lebih baik merupakan moto setiap finalis dan dapat dilihat setiap tampilan mencoba untuk menjadi yang terbaik.
            Ini merupakan fenomena yang menarik untuk terus diikuti. Perkembangan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peserta semakin meningkat banyak, jenis kesenian yang dilombakan selalu berkembang. Penyelenggaraan kegiatan semacam ini merupakan modal yang baik untuk terus dikembangkan dan dapat di pakai acuan bagi wilayah lain di daerah-daerah seluruh Indonesia. Yang sesungguhnya ingin disampaikan pada tulisan ini adalah kerja sama yang baik antara dua institusi yang pada awal tulisan ini disoroti oleh berbagai pihak dari sisi negatifnya saja. Seni bermuatan nilai-nilai sementara taman hiburan sekedar ingin meraup keuntungan uang saja tanpa melihat kepentingan yang lebih strategis bagi pembangunan nilai-nilai masyarakat bangsa.
            Pada kasus Pentas Seni Siswa di Taman Remaja Surabaya ini sebuah fenomena yang dapat diketegorikan sebagai pengecualian. Dinas Pendidikan Kota punya program pembinan kesenian sekolah, pengelola hiburan mempunyai modal dengan manajemen yang cukup cemerlang. Kedua program ternyata sinergi dengan baik dipandang dari penyelenggaraan yang selalu sukses. Terjadi simbiosa antara dua kepentingan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Seni siswa oleh PT Star merupakan aset yang menguntungkan dipandang dari sisi pelestarian, dan pendidikan nilai-nilai seni dan sekaligus mendatangkan keuntungan finansial yang cukup besar. Kondisi yang cukup strategis dilihat dari sudut pandang bisnis dan pembangunan nilai-nilai. PT Star dengan cermat membaca gejala tesebut dan segera dijadikan program bisnis hiburan. Dinas Pendidikan kota memandang dari kesempatan yang baik bagi publikasi dan orientasi. Strategis dilihat dari kacamata bisnis dapat dianalisis sebagai berikut: 1) Siswa dengan statusnya terikat dan harus patuh pada guru dan sekolahnya, sehingga apa yang diperintahkan oleh guru dan sekolahnya harus (dengan suka rela atau terpaksa) dilaksanakan, 2) adanya ketergantungan hirarkhis diantara institusi yang terikat oleh birokrasi pemerintah. Siswa harus patuh pada guru dan sekolah, sekolah melaksanakan petunjuk dinas pendidikan tingkat kecamatan, Dinas pendidikan kecamatan harus mematuhi kebijakan dari dinas pendidikan kota. Jadi program Dinas Pendidikan kota harus dilaksanakan oleh institusi yang ada di bawahnya. Artinya kebijakan, peraturan petunjuk pelaksanaan dan atau pekerjaan apapun bentuk yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota adalah kitab suci bagi setiap sekolah yang ada di wilayah kerja Dinas Pendidikan Kota. 
            Dari sisi kapital adalah bahwa untuk masuk ke area Taman Remaja Surabaya harus dengan membeli tiket. Di dalam Taman Remaja Surabaya disediakan berbagai jenis permainan hiburan untuk anak-anak dari berbagai tingkat. Untuk bisa memanfaatkan permainan hiburan pengelola memasang tarif tiket yang beragam pula. Rasionalnya adalah setiap warga yang mempunyai keinginan untuk mendapatkan hiburan di taman Remaja Surabaya harus mengeluarkan uang sebagai ganti jasa permainan dan hiburan yang dinikmati. Asumsi realistis dari penyelenggaraan Pentas Seni Siswa adalah siswa tidak mungkin dilepaskan begitu saja oleh orang tua dan guru untuk mengikuti pentas seni. Karenanya orang tua (ibu, bapak, adik, kakak, om, tante, dan mungkin kakek, nenek) atau seluruh keluarga dan guru turut menyertai anak, anak didik, keponakan, atau cucu yang akan menunjukkak kebolehannya di atas pentas. Asumsi ini ternyata benar dan dapat diamati bahwa setiap siswa yang mengikuti acara pentas selalu disertai keluarganya. Dapat dihitung berapa tiket masuk, berapa jenis permainan hiburan yang dinikmati, berapa rupiah dikeluarkan untuk jajan, makan, minim yang dibeli di dalam area Taman Remaja Surabaya. Padahal harga diatas rata-rata.
            Berapa siswa yang mengikuti acara pentas pada setiap sekolah sangat menentukan berapa pula pengiringnya. Karenanya strategi penyelenggaraan pentas seni selalu menggunakan tampilan kelompok pada setiap jenis kesenian. Strategi ini sangat menguntungkan baik dari sisi pertunjukan maupun dampak dari jumlah yang banyak tersebut terhadap perolehan nilai tukarnya. Orang tua, wali murid atau siapa saja yang mengantarkan peserta Pentas Seni Siswa dengan sukarela atau terpaksa dengan demikian harus mengeluar-kan uang setidaknya untuk mengganti tiket masuk. Dapat dihitung pada setiap jadwal pelaksanaan Pentas Seni area Taman Remaja Surabaya dibanjiri oleh selain peserta pentas Seni juga oleh para orang tua, saudara, kakek dan nenek, para guru pembina perias dan mungkin teman-teman dekatnya. Gambaran seperi inilah yang segera ditangkap oleh pengelola bisnis hiburan di Taman Remaja Surabaya.

Substansi Kesenian
            Momen yang baik dilihat dari pengelola jasa hiburan maupun dari program Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Pertanyaanya adalah bagaimana kesempatan yang baik ini bisa dimanfaatkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya secara maksimal untuk pembinaan dan pengembangan seni tingkat siswa. Kesempatan yang sangat baik pula bagi guru seni, dan pembina seni binaan Dinas Pendidikn Kota Surabaya ini. Kendatipun bisa jadi ada unsur paksaan untuk menanamkan nilai-nilai estetik melalui kebijakan politik tatapi apabila digarap dengan baik dengan memberdayakan potensi-potensi kesenian (mencakup, guru seni, pembina seni, pengamat seni yang potensial) untuk selain mengungkap potensi seni daerah, seni kontemporer dari berbagai jenis seni akan membuahkan tampilan seni dengan kualitasnya yang baik. Baik dilihat dari bentuk keseniannya, nilai yang dikandung, maupun kesesuaian tema seni dengan kejiwaan anak. Kesempatan baik pula karena nampaknya pihak PT Star tidak melibatkan secara langsung memberikan pengaruh pada substansi seninya. PT Star menyediakan menejemen pemasaran dengan baik.
            Sementara ini tampilan kesenian oleh peserta bukan prioritas pembinaan, yang dijadikan orientasi adalah bagaimana membangun integritas bahwa seni merupakan ranah afektif dan motorik yang harus mendapatkan perhatian yang sama dengan ranah kognitif. Mengenalkan kembali nilai-nilai budaya bangsa melalui pendekatan teknis dan apresiatif yang dijadikan landasan pelaksanaan kegiatan pentas seni siswa ini. Karenanya mana yang baik dan mana yang tidak atau kurang layak disajiakan sudah barang tentu mendapatkan penilaian dan seleksi semestinya. Nilai kompetitif memang masih dibilang rendah tetapi penentuan status kejuaraan dengan berbagai strata dimaksudkan sebagai  pacu bagi setiap peserta untuk peningkatan penyajian pada tahun-tahun berikutnya.    
            Dari berjenis materi dipilahkan menjadi empat kelompok sajian. Sastra dengan tampilan puisi, geguritan dan bercerita. Tari meliputi tari tradisional, modern, latar. Musik terdiri dari musik pop, musik dangdut, paduan suara, nyanyi bersama, sampursari, samroh. Dan yang ke empat peragaan busanan dan ceers leaders. Ke empat kelompok ini seperti dipaparkan sebelumnya memang belum mendapatkan pembinaan yang memadai. Rutinitas penyelenggaraan belum disertai dengan evaluasi normatif bagaimana pentingnya kemandirian dalam bentuk dan penyajiannya. Apa yang dapat disaksikan dari tahun ke tahun masih berorientasi pada tahun sebelumnya utamanya pada sistem penjaringan, dan pengelompokan jenis kesenian.  Hal yang paling urgen seperti kekhasan bentuk dan tampilan, kemandirian, orisinalitas belum mendapatkan penekanan. Contoh yang paling dapat dirasakan adalah pada sajian laga busana.  Nomor ini antara tema, model busana, gaya laga, musik belum menjadi bagian keutuhan tampilan. Secara umum setiap peserta tampil dengan laga gaya yang sama dengan peserta lain meskipun tema, busana berbeda. Artinya pemahaman tentang bentuk dan makna sajian seni belum dipahami secara baik oleh pembina seni di sekolah-sekolah. 
            Demikian juga belum ada pemahaman yang baik tentang istilah yang dapat dipakai sebagai ukuran nama jenis kesenian. Sebagai kasus pada pertunjukan tari. Seringkali terdapat penyajian suatu jenis tari yang masih rancu untuk dikelompokkan ke dalam kategori jenis kelompok tertentu. Antara cheers leaders, tari modern, tari latar, kadang bercampur aduk. Kasus-kasus ini merupakan catatan tersendiri yang perlu mendapatkan penanganan. Ukuran kualitas setidaknya harus dibangun terlebih dahulu dari sistem dan pemahaman yang baik dari segala unsur-unsurnya. Mulai dari pemahaman kesenian, nilai-nilai normatifnya, kemudian disusun pola dan strategi pengembangannya. Pentas adalah aspek eksperimental yang memang dibutuhkan secara terus menerus. Ini sangat penting karena nilai dari seni dapat dipahami, dihayati dan diterima sebagai bagian dari nilai-nilai keseluruhan kebudayaan berangkat dari penampilan ekspresi yang terus menerus.  Akumulasinya baru dapat ditentukan sebagai nilai keunggulan ketika benar-benar mendapatkan seleksi dari dirinya sendiri, antar bentuk yang hadir bersamaan, dan waktu yang dilaluinya secara terus menerus. Kategorisasi bentuk dan jenis kesenian bisa jadi tidak penting ketika ia hadir dalam forum apresiasi bebas tetapi untuk keperluan lomba ukuran jenis dan bentuk sangat penting sebagai rambu-rambu dalam menetukan format penilaian isinya. Yang menjadi catatan serius pada akhir tulisan ini adalah bagaimana situasi yang kondusif untuk bisa segera dibangun utamanya kenyaman dalam mengapresiasi setiap tampilan, Jauh dari kebisungan dan kegaduhan.

Penutup
            Ketika Kesenian hadir dengan dirinya sendiri maka ia akan mendapat aprsesiasi yang baik tetapi sangat mungkin sosialisasinya terbatas pada lingkup komunitas pendukungnya saja dan relatif rentang dengan aspek produksi. Sementara seni yang diusung oleh pihak yang berkepentingan dengannya aspek produksi bisa jadi bukan masalah tetapi kompensasi yang diharapkan darinya adalah keperpihakan pada nilai di luar dirinya sendiri. Maka ada bagian dari seni yang dikorbankan. 
            Fenomena pentas seni siswa di Taman Remaja Surabaya adalah contoh yang baik, penting untuk dicermati dan dikaji lebih jauh. Simbiosis antar keduanya tidak menuntut pengorbanan substansi kesenianya. Sinergi yang saling menguntungkan dari keduanya (nilai seni dan kapital). Startegi sosialisasi, promosi, pembinaan dan pengembangan kesenian sangat perlu melihat dari model ini. Kasus Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan PT Star Surabaya bersama sama mengembangkan idenya masing-masing menguntungkan dari aspek pembinaan dan apresiasi seni. Pertanyaanya adalah bagaimana Pembina seni mampu secara kualitas meningkatkan nilai esensi seni itu sendiri melalui wahana pergelaran yang diberikan seluas-luasnya oleh kesempatan itu yang tentu saja memerlukan situasi yang kondusif.



KEPUSTAKAAN

Ardika, Drs. I Gede,
            2001   Pengembangan dan pemberdayan Dalam Konteks Kepariwisataan. Makalah Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2001. STSI Surakarta.

Dibia, I Wayan
            1997   Seni Pertunjukan Touristik dan pergeseran Nilai-nilai Budaya BaliMudra Jurnal Seni dan Budaya, no. 5, Th. V, UPT Penerbitan STSI Denpasar.

Irawan, BRM. Bambang,
            2001   Pariwisata di Sana, Sini, Pertunjukan di Sini, Menuju Industri Seni          Pertunjukan yang Mandiri. Makalah Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2001. STSI Surakarta.

Soetarno
            2001   Dampak Pariwisata Terhadap Seni Pertunjukan. Makalah Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2001. STSI Surakarta.



BIODATA

Nama
:   Trinil Windrowati
Tempat Tanggal Lahir
:   Boyolali, 11 April 1967
Agama
:   Islam
Pendidikan
:  1.    Lulus Sarjana S-1 tahun 1991 di STSI Surakarta

2.       Lulus Pascasarjana S-2 ISI Surakarta (2006) Jurusan Seni tari, program Kajian Seni, minat Tari Nusantara.
Pekerjaan
: Dosen di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya
Kegiatan Profesi
  Aktif dalam berkarya tari, dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan  
  ilmiah






Tidak ada komentar:

Posting Komentar