Rabu, 26 September 2012

Artikel 5

By: Rohmat Djoko Prakosa

Pengantar

          Masa kerajaan Kadiri  merupakan masa “keemasan perkembangan kitab-kitab kesastraan atau kakawin” karya-karya sastra monumental Bharatayuddha, Hariwangsa, Harjuna Wiwaha Ghatotkacasraya, Sumanasantaka, Kresnayana, Smaradahana menjadi inspirasi tumbuh berkembangnya bentuk dan gaya penuturan sastra. Dari sumber-sumber ini diperoleh data seni pertunjukan masa itu terkait dengan masa sebelumnya yang berlanjut pada masa-masa berikutnya.
              Pada masa ini para pekerja seni dari keraton “mangilala drewya haji” yang dikelompokkan “warga i dalem” atau “watak i jro” yang secara intensif berperan sebagai “widu mangidung” dan “widwacarita”[1] menyajikan resitasi ceritera dengan nyanyian. Dalam sajian itu bentuk kakawin dituturkan kembali dalam pertunjukan tutur lisan dalam tataran awicarita . 
            Penutur sastra lainnya disebut sebagai “wulu-wulu” dan “ijo-ijo”.  Kelompok ini mengalihkan sastra tulis ke dalam bentuk seni pertunjukan antara lain awayang, men-men, ijo-ijo, amidu, amacangah, anggoda, araketan.[2] Melakukan pertunjukan amen dari wanua ke wanua (desa). Para penutur trampil memerankan tokoh wayang, menyanyikan kidung, melawak, menari, menari topeng, menceriterakan lakon-lakon yang ditulis dalam kakawin. “……..hinyunakan tontonan mamidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigal kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus mabanol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang……” (Van Naerssen, 1937 : 444 – 446). Artinya : “diadakan tontonan yaitu menyanyi  oleh sang Tangkil hyang, si Nalu menceritakan Bhima kumara menarikan Kicaka, si Jaluk menceritakan  Ramayana, si Mungmuk menari topeng dan melawak, si Galigi bermain wayang untuk pemujaan Hyang/roh nenek moyang (Timbul Haryono 2004: 4).


Seni Pertunjukan di Jawa Timur
Surut dan runtuhnya kerajaan-kerajaan hindu di Jawa Timur tradisi pertunjukan berkembang dilingkungan budaya adati kerakyatan. Jawa Timur akhirnya tumbuh dalam keragaman geobudaya, tatanan sosial kemasyarakatan lebih bersifat marjinal, egaliter.  Hal ini menumbuh suburkan bentuk, spiritualitas, etika, dan estetika seni pertunjukan di Jawa Timur  Secara ideologis seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakatnya memiliki kaitan mendalam dengan hajat hidup dalam rangka berkebudayaan. Lingkungan alam, kebudayaan, dan masyarakat selaku subyek menuntun tumbuh dan berkembangnya seni pertunjukan dalam memenuhi hajat hidup. Geobudaya menjadi ibu dari proses kreatif dalam membudayakan seni pertunjukan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup berbudaya. Proses tumbuh dan kembang yang dituntun oleh faktor budaya, lingkungan, dan masyarakat secara perlahan dan rumit membangun sebuah desain  pertunjukan.
            Secara garis besar geobudaya memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menumbuhkan keberagaman  pertunjukan. Geobudaya membangun jaringan subkultur ke dalam desain residu budaya. Kondisi fisik dan demografi lingkungan  mendetruksi kebudayaan yang homogen menjadi hiterogen dan pluralistik. Kerumitan faktor perhubungan dan komunikasi maupun  batas administrasi hukum dan politik memberikan peluang yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya seni pertunjukan pada residu budaya tertentu.
            Seni pertunjukan memiliki sifat otonom dengan kebudayaan yang melingkupinya pada wilayah geografi tertentu. Citra khas, karakter, dan  Eksotisme tiap sub kultur menjadi membangun identitasnya melalui faktor genetisnya. Residu budaya secara alamiah mendesain  pertunjukan etnik sesuai dengan hajat hidup para pelaku budaya. Wilayah pegunungan, lembah, maupun pantai memiliki desain  pertunjukan yang otonom sesuai dengan subkultur yang memangkunya.
            Jawa Timur merupakan kasus yang rumit dan menarik bagi tumbuh dan berkembangnya  pertunjukan etnik. Sungai brantas, selat madura, pegunungan tengger, atau wilayah blambangan tumbuh sebagai subkultur yang khas dan menjadi faktor genetik bagi  pertunjukan di Jawa Timur. Sejumlah seni pertunjukanan memiliki  bahasa tubuh yang otonom dengan citra etnik yang eksotik.
Residu budaya jawa mataraman terbangun karena kekuatan politik kebudayaan keraton jawa (Mataram) menghegemoni kebudayaan pada wilayah geografis sebelah barat aliran sungai brantas, budaya mataraman sering pula disebut brang kulon dengan oreintasi budaya kulonan (mataram). Budaya seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang pada residu budaya mataram memiliki citra estetik yang beroerantasi pada kemapanan estetika keraton  jawa. Memegang teguh pola bakuan/pakem.
Seni pertunjukanan wayang orang mengacu pada pakem seni pertunjukan gaya surakarta dapat dijumpai diberbagai wilayah Madiun, Kediri, Nganjuk, Blitar dan sekitarnya. Bahkan beberapa segmen seni pertunjukan kuda kepang juga mengacu pola-pola yang melekat pada gerakan seni pertunjukan wayang orang. Seni pertunjukanan gambyong, golek, pethilan, bahkan seni pertunjukan srimpi ditengarai juga menjadi orentasi utama. Seni pertunjukanan srimpi Lima di Malang memberikan gambaran yang konkrit tentang kuatnya hegemoni budaya keraton dalam persepsi estetik  rakyat.    
Sebelah timur aliran sungai brantas disebut dengan istilah brang wetan. Brang wetan membangun residu budaya dengan orentasi budaya arek. Memiliki citra dan sifat budaya yang marginal bentuk seni pertunjukanan rakyat dengan  pertunjukan kelompok (komunal), berpasangan, dan  pertunjukan tungggal. Mencerminkan kolektivitas, sportivitas personal, tata pergaulan yang egaliter. Kasus yang sangat menarik adalah seni pertunjukanan ngremo yang melekat pada berbagai bentuk pertunjukan rakyat (ludruk, tandhakan, wayang kulit, topeng).
Seni pertunjukanan remo mencerminkan refleksi kemapanan yang borjuis yang lekat dengan sportivitas personal dan sifat egaliter. Struktur gerakan formal memberikan gambaran tentang citra baku mengenai teknik dan bentuk gerak. Seni pertunjukanan Remo tumbuh dan berkembang ke dalam style personal (Remo Munali Fatah, Remo Bollet, remo Sutinah, Remo Tresnawati, Catamm, Sri Utami dll). Gerakan-gerakan dibangun melalui bahasa tubuh yang otonom sebagai gaya pribadi..
Gerakan baku dalam struktur seni pertunjukanan remo pada bagian-bagian tertentu berelaborasi dengan sikap dan gerak low tension yang melepaskan diri dari gerak yang memiliki bentuk formal/baku. Semangat marginal yang egaliter memberikan sentuhan dinamik yang sangat berarti bagi terbangunnya type dan karakter gerak seni pertunjukan.
Wilayah pegunungan Tengger yang membangun residu budayanya dengan spiritualitas yang religius. Budaya seni pertunjukan melekat dengan upacara ritual keagamaan dan adat istiadat yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Sodoran karo dan beberapa repertoar seni pertunjukan, memiliki fungsi yang significan dalam penuturan budaya adati Tengger. Kekhusukan masyarakat dalam menjalani hajat hidup melalui budaya adati dan upacara ritual keagamaan memberikan peneguhan bagi estetika seni pertunjukanan etniknya. Spiritualitas dan religiusitas menjadi faktor genetik yang mendasar bagi kelesseni pertunjukanan bentuk dan nilai  pertunjukan.
   Pulau Madura dan pulau-pulau kecil disekitarnya membangun kebudayaannya etnik sendiri. Residu budaya yang terbangun  dapat ditengarai melalui penggunaan bahasa madura.  pertunjukan etniknya melekat pada berbagai pertunjukan dan upacara ritual. Pertunjukan topeng memiliki kekayaan gerak seni pertunjukan yang sangat menonjol. Beberapa seni pertunjukanan dibangun oleh seni bela diri yang berkembang diberbagai wilayah madura. Ronding, sintung, sandur merupakan sebuah pameran bentuk-bentuk gerak yang memiliki bentuk dan teknik khas. Ayunan tubuh hentakan kaki, ataupun nyanyian yang dilagukan vokalis pria dengan nada yang sangat tinggi memberikan gambaran reflektif tentang situasi kejiwaan para pelakunya.
Langkah telok[3] yang melekat pada sebagian besar sikap dasar seni pertunjukan (juga pencak  silat tradisional)  memiliki kaitan filosofis dengan sikap hidup secara rumit. Beberapa bentuk seni pertunjukanan lekat dengan budaya Islam (tradisi pondok pesantren) yang juga menjadi bagian signifacant dalam budaya masyarakat madura. Spritualitas dan religiusitas masyarakat berakar pada ajaran agama Islam.
Penolakan terhadap hegemoni politik dan kebudayaan dari luar yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat blambangan (banyuwangi) melahirkan budaya osing. Memiliki citra budaya seni pertunjukan yang berbeda, spirit kreatif yang didasari oleh sikap eksotik melahirkan  pertunjukan yang eksotik pula. pertunjukanan gandrung yang penuh dengan spirit gerak sensasional, goyang pinggul, rentangan lengan, gerakan kepala yang menyengati wilayah-wilayah gerak sensasional memberikan karakter sigrak dan berag.
Pertunjukanan seblang yang sakral lebih mencerminkan pula religiusitas mendalam yang berkaitan erat dengan mitos kesuburan dan kebijakan ekologi. Seni pertunjukanan yang berakar pada shamannisme ini memberikan gambaran yang jelas tentang kepercayaan lama tentang roh leluhur.
Migrasi penduduk yang merebak sejak lama diwilayah Besuki, Jember, Situbanda, Bandawasa, Lumajang dan Probolinggo melahirkan residu budaya baru yang disebut dengan mandalungan. Akulturasi budaya masyarakat madura dengan jawa menjadi faktor genetik  pertunjukan mandalungan. Teknik dan bentuk gerak  seni pertunjukanan glipang, lengger, kerteh, topeng merefleksikan marginalitas. Ruang dinamis gerak menggambarkan keterbukaan peran, pada beberapa gerak seni pertunjukan dapat diamati silang gaya yang dibangun oleh tranformasi type dan karakter.
Pertunjukanan saman, hadrah diberbagai wilayah pesisir bagian penting dari akumulasi berbagai budaya dan tradisi yang terbuka dan marginal.    Residu budaya pesisiran memiliki gerak sosial agresif dalam merospon setiap pengaruh yang datang dari budaya manapun.  pertunjukan yang mendasari tradisi seni pertunjukan merupakan elaborasi pandangan religius yang vertikal dan tatanan horisontal pada kehidupan masyarakat Pengaruh Islam lebih nampak dominan desain gerak yang tegas simetris merefleksikan tatanan harmoni garis horisontal dan vertikal.
Nilai dan semangat ukuwah (bermasyarakat) yang dipandu oleh syariat agama melahirkan desain-desain  pertunjukan kelompok. Kepekatan ruang gerak tubuh dalam hadrah, harmoni saman, komunikasi kinetik japin menggambarkan keterikatan sosial yang ingin dibangun melalui bahasa tubuh.
Residu-residu budaya dan desain  pertunjukan yang dilahirkannya merupakan citra plural. Citra seni pertunjukan etniknya selalu didukung lembaga-lembaga kebudayaan dan tradisi adatnya. Sedhekah bumi, sedhekah laut, sesaji dan upacara korban adalah hajat ritual yang menompang secara ideologois dan pada tataran paling praktis.


DAFTAR ACUAN
Pustaka Acuan

Abbas, H.M.S..2001. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
Abdullah Ciptoprawiro.  1986. Filsfat Jawa.Jakarta: Balai Pustaka
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press

Berg, C.C.1953. Herkomst, Vorm en Functie der MiddelJawaanshce Rijksdelingstheorie. Amsterdam

Bernet kempers, A.J. 1954. Tjandi Kalasan dan Sari. Disalain oleh R. Soekmono. Jakarta: Dinas Purbakala Republik Indonesia Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.                    
Feinstein, alan (ed). 1986 lakon carangan. Jilid I,II,II. Proyek Dokumentasi Lakon Carangan ASKI Surakarta  

Hauser, Arnold. 1978. The Sosciology of Art. Chicago: The University of Chicago Press

Jarianto. 2004.”Globalisasi: Posisi Budaya Lokal dalam Konteks Kebudayaan dan Pariwisata” makalah dialog budaya pada Universitas Muhamadiyah Malang. Oktober 2004.

            2006.   Kebijakan Budaya pada Masa orde baru dan pasca orde baru.
                        Jember: KompyawisdaJatim.

Jazuli. 2000.    Paradigma Seni pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta: Lantera

Kleden, Leo.    1999.   Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran Paradigma Kebudayaan dalam Gelar, Journal Ilmu dan Seni. STSI Surakarta             No.3/Februari/1999.
Magnis Suseno.    1992.  Filsafat kebudayaan politik : Butir-butir Pemikiran kritis. Jakarta : Gramedia.
Muji Sutrisno.   1998. Nuansa-nuansa Peradaban. Yogyakarta  : Kanisius.
Mulyana, Slamet.  1979. Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya. Jakarta : Bhratara.

Piliang, YA. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.

Poerbatjaraka, RM. 1931 Smaradahana, Bibliotheca Javanica Jilid III. Bandoeng: Nix

Poerbatjaraka. RM. Ng. 1957. Kapustakaan Jawi.  Jakarta: Djambatan

Sri Mulyono. 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang . Jakarta: Gunung Agung

 Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.

Sutarto, A. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember: Kompyawisda.

Timbul Haryono, 2004. “Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Tinjauan Perspektif
Historis – Arkeologismakalah seminar budaya air Kediri 2004.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar