By: Rohmat
Djoko Prakosa
Pengantar
Masa kerajaan Kadiri merupakan masa “keemasan perkembangan
kitab-kitab kesastraan atau kakawin” karya-karya sastra monumental Bharatayuddha,
Hariwangsa, Harjuna Wiwaha Ghatotkacasraya, Sumanasantaka, Kresnayana,
Smaradahana menjadi inspirasi tumbuh berkembangnya bentuk dan gaya penuturan
sastra. Dari sumber-sumber ini diperoleh data seni pertunjukan masa itu terkait
dengan masa sebelumnya yang berlanjut pada masa-masa berikutnya.
Pada masa ini para pekerja seni
dari keraton “mangilala drewya haji” yang dikelompokkan “warga i
dalem” atau “watak i jro” yang secara intensif berperan sebagai “widu
mangidung” dan “widwacarita”[1] menyajikan resitasi
ceritera dengan nyanyian. Dalam sajian itu bentuk kakawin dituturkan kembali dalam
pertunjukan tutur lisan dalam tataran awicarita .
Penutur sastra lainnya disebut
sebagai “wulu-wulu” dan “ijo-ijo”. Kelompok
ini mengalihkan sastra tulis ke dalam bentuk seni pertunjukan antara lain awayang,
men-men, ijo-ijo, amidu, amacangah, anggoda, araketan.[2] Melakukan
pertunjukan amen dari wanua ke wanua (desa). Para penutur trampil
memerankan tokoh wayang, menyanyikan kidung, melawak, menari, menari topeng,
menceriterakan lakon-lakon yang ditulis dalam kakawin. “……..hinyunakan
tontonan mamidu sang tangkil hyang sinalu macarita bhima kumara mangigal kicaka
si jaluk macarita ramayana mamirus mabanol si mungmuk si galigi mawayang buat
hyang……” (Van Naerssen, 1937 : 444 – 446). Artinya : “diadakan tontonan
yaitu menyanyi oleh sang Tangkil hyang,
si Nalu menceritakan Bhima kumara menarikan Kicaka, si Jaluk menceritakan Ramayana, si Mungmuk menari topeng dan
melawak, si Galigi bermain wayang untuk pemujaan Hyang/roh nenek moyang
(Timbul Haryono 2004: 4).
Seni Pertunjukan di Jawa Timur
Surut dan runtuhnya kerajaan-kerajaan hindu di Jawa Timur tradisi
pertunjukan berkembang dilingkungan budaya adati kerakyatan. Jawa Timur
akhirnya tumbuh dalam keragaman geobudaya, tatanan sosial kemasyarakatan lebih
bersifat marjinal, egaliter. Hal ini
menumbuh suburkan bentuk, spiritualitas, etika, dan estetika seni pertunjukan
di Jawa Timur Secara ideologis seni
pertunjukan dalam kehidupan masyarakatnya memiliki kaitan mendalam dengan hajat
hidup dalam rangka berkebudayaan. Lingkungan alam, kebudayaan, dan masyarakat
selaku subyek menuntun tumbuh dan berkembangnya seni pertunjukan dalam memenuhi
hajat hidup. Geobudaya menjadi ibu dari proses kreatif dalam membudayakan seni
pertunjukan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup berbudaya. Proses tumbuh dan
kembang yang dituntun oleh faktor budaya, lingkungan, dan masyarakat secara
perlahan dan rumit membangun sebuah desain
pertunjukan.
Secara garis besar geobudaya
memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menumbuhkan keberagaman pertunjukan. Geobudaya membangun jaringan
subkultur ke dalam desain residu budaya. Kondisi fisik dan demografi
lingkungan mendetruksi kebudayaan yang
homogen menjadi hiterogen dan pluralistik. Kerumitan faktor perhubungan dan
komunikasi maupun batas administrasi
hukum dan politik memberikan peluang yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya
seni pertunjukan pada residu budaya tertentu.
Seni pertunjukan memiliki sifat
otonom dengan kebudayaan yang melingkupinya pada wilayah geografi tertentu.
Citra khas, karakter, dan Eksotisme tiap
sub kultur menjadi membangun identitasnya melalui faktor genetisnya. Residu
budaya secara alamiah mendesain pertunjukan
etnik sesuai dengan hajat hidup para pelaku budaya. Wilayah pegunungan, lembah,
maupun pantai memiliki desain
pertunjukan yang otonom sesuai dengan subkultur yang memangkunya.
Jawa Timur merupakan kasus yang
rumit dan menarik bagi tumbuh dan berkembangnya
pertunjukan etnik. Sungai brantas, selat madura, pegunungan tengger,
atau wilayah blambangan tumbuh sebagai subkultur yang khas dan menjadi faktor
genetik bagi pertunjukan di Jawa Timur.
Sejumlah seni pertunjukanan memiliki
bahasa tubuh yang otonom dengan citra etnik yang eksotik.
Residu budaya jawa mataraman terbangun karena kekuatan politik kebudayaan
keraton jawa (Mataram) menghegemoni kebudayaan pada wilayah geografis sebelah
barat aliran sungai brantas, budaya mataraman sering pula disebut brang kulon
dengan oreintasi budaya kulonan (mataram). Budaya seni pertunjukan yang tumbuh
dan berkembang pada residu budaya mataram memiliki citra estetik yang
beroerantasi pada kemapanan estetika keraton
jawa. Memegang teguh pola bakuan/pakem.
Seni pertunjukanan wayang orang mengacu pada pakem seni pertunjukan gaya
surakarta dapat dijumpai diberbagai wilayah Madiun, Kediri, Nganjuk, Blitar dan
sekitarnya. Bahkan beberapa segmen seni pertunjukan kuda kepang juga mengacu
pola-pola yang melekat pada gerakan seni pertunjukan wayang orang. Seni
pertunjukanan gambyong, golek, pethilan, bahkan seni pertunjukan srimpi
ditengarai juga menjadi orentasi utama. Seni pertunjukanan srimpi Lima di
Malang memberikan gambaran yang konkrit tentang kuatnya hegemoni budaya keraton
dalam persepsi estetik rakyat.
Sebelah timur aliran sungai brantas disebut dengan istilah brang wetan.
Brang wetan membangun residu budaya dengan orentasi budaya arek. Memiliki citra dan sifat budaya yang marginal bentuk
seni pertunjukanan rakyat dengan
pertunjukan kelompok (komunal), berpasangan, dan pertunjukan tungggal. Mencerminkan
kolektivitas, sportivitas personal, tata pergaulan yang egaliter. Kasus yang
sangat menarik adalah seni pertunjukanan ngremo yang melekat pada berbagai
bentuk pertunjukan rakyat (ludruk, tandhakan, wayang kulit, topeng).
Seni pertunjukanan remo mencerminkan refleksi kemapanan yang borjuis yang
lekat dengan sportivitas personal dan sifat egaliter. Struktur gerakan formal
memberikan gambaran tentang citra baku mengenai teknik dan bentuk gerak. Seni
pertunjukanan Remo tumbuh dan berkembang ke dalam style personal (Remo Munali
Fatah, Remo Bollet, remo Sutinah, Remo Tresnawati, Catamm, Sri Utami dll).
Gerakan-gerakan dibangun melalui bahasa tubuh yang otonom sebagai gaya
pribadi..
Gerakan baku dalam struktur seni pertunjukanan remo pada bagian-bagian
tertentu berelaborasi dengan sikap dan gerak low tension yang melepaskan diri dari gerak yang memiliki bentuk
formal/baku. Semangat marginal yang egaliter memberikan sentuhan dinamik yang
sangat berarti bagi terbangunnya type dan karakter gerak seni pertunjukan.
Wilayah pegunungan Tengger yang membangun residu budayanya dengan
spiritualitas yang religius. Budaya seni pertunjukan melekat dengan upacara
ritual keagamaan dan adat istiadat yang dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Sodoran karo dan beberapa repertoar seni pertunjukan, memiliki fungsi yang
significan dalam penuturan budaya adati Tengger. Kekhusukan masyarakat dalam
menjalani hajat hidup melalui budaya adati dan upacara ritual keagamaan
memberikan peneguhan bagi estetika seni pertunjukanan etniknya. Spiritualitas
dan religiusitas menjadi faktor genetik yang mendasar bagi kelesseni
pertunjukanan bentuk dan nilai
pertunjukan.
Pulau Madura dan pulau-pulau kecil
disekitarnya membangun kebudayaannya etnik sendiri. Residu budaya yang terbangun dapat ditengarai melalui penggunaan bahasa
madura. pertunjukan etniknya melekat
pada berbagai pertunjukan dan upacara ritual. Pertunjukan topeng memiliki
kekayaan gerak seni pertunjukan yang sangat menonjol. Beberapa seni
pertunjukanan dibangun oleh seni bela diri yang berkembang diberbagai wilayah
madura. Ronding, sintung, sandur merupakan sebuah pameran bentuk-bentuk gerak
yang memiliki bentuk dan teknik khas. Ayunan tubuh hentakan kaki, ataupun
nyanyian yang dilagukan vokalis pria dengan nada yang sangat tinggi memberikan
gambaran reflektif tentang situasi kejiwaan para pelakunya.
Langkah telok[3] yang
melekat pada sebagian besar sikap dasar seni pertunjukan (juga pencak silat tradisional) memiliki kaitan filosofis dengan sikap hidup
secara rumit. Beberapa bentuk seni pertunjukanan lekat dengan budaya Islam
(tradisi pondok pesantren) yang juga menjadi bagian signifacant dalam budaya
masyarakat madura. Spritualitas dan religiusitas masyarakat berakar pada ajaran
agama Islam.
Penolakan terhadap hegemoni politik dan kebudayaan dari luar yang dilakukan
oleh sekelompok masyarakat blambangan (banyuwangi) melahirkan budaya osing.
Memiliki citra budaya seni pertunjukan yang berbeda, spirit kreatif yang
didasari oleh sikap eksotik melahirkan
pertunjukan yang eksotik pula. pertunjukanan gandrung yang penuh dengan
spirit gerak sensasional, goyang pinggul, rentangan lengan, gerakan kepala yang
menyengati wilayah-wilayah gerak sensasional memberikan karakter sigrak dan
berag.
Pertunjukanan seblang yang sakral lebih mencerminkan pula religiusitas
mendalam yang berkaitan erat dengan mitos kesuburan dan kebijakan ekologi. Seni
pertunjukanan yang berakar pada shamannisme ini memberikan gambaran yang jelas
tentang kepercayaan lama tentang roh leluhur.
Migrasi penduduk yang merebak sejak lama diwilayah Besuki, Jember,
Situbanda, Bandawasa, Lumajang dan Probolinggo melahirkan residu budaya baru
yang disebut dengan mandalungan. Akulturasi budaya masyarakat madura dengan
jawa menjadi faktor genetik pertunjukan
mandalungan. Teknik dan bentuk gerak
seni pertunjukanan glipang, lengger, kerteh, topeng merefleksikan
marginalitas. Ruang dinamis gerak menggambarkan keterbukaan peran, pada
beberapa gerak seni pertunjukan dapat diamati silang gaya yang dibangun oleh
tranformasi type dan karakter.
Pertunjukanan saman, hadrah diberbagai wilayah pesisir bagian penting dari
akumulasi berbagai budaya dan tradisi yang terbuka dan marginal. Residu budaya pesisiran memiliki gerak
sosial agresif dalam merospon setiap pengaruh yang datang dari budaya
manapun. pertunjukan yang mendasari
tradisi seni pertunjukan merupakan elaborasi pandangan religius yang vertikal
dan tatanan horisontal pada kehidupan masyarakat Pengaruh Islam lebih nampak
dominan desain gerak yang tegas simetris merefleksikan tatanan harmoni garis
horisontal dan vertikal.
Nilai dan semangat ukuwah (bermasyarakat) yang dipandu oleh syariat agama
melahirkan desain-desain pertunjukan
kelompok. Kepekatan ruang gerak tubuh dalam hadrah, harmoni saman, komunikasi
kinetik japin menggambarkan keterikatan sosial yang ingin dibangun melalui
bahasa tubuh.
Residu-residu budaya dan desain
pertunjukan yang dilahirkannya merupakan citra plural. Citra seni
pertunjukan etniknya selalu didukung lembaga-lembaga kebudayaan dan tradisi
adatnya. Sedhekah bumi, sedhekah laut, sesaji dan upacara korban adalah hajat
ritual yang menompang secara ideologois dan pada tataran paling praktis.
DAFTAR ACUAN
Pustaka Acuan
Abbas, H.M.S..2001. Peninggalan
Sejarah dan Kepurbakalaan. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Jawa Timur.
Abdullah Ciptoprawiro. 1986. Filsfat Jawa.Jakarta: Balai
Pustaka
Ahimsa Putra, Heddy
Shri. 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press
Berg, C.C.1953. Herkomst, Vorm en Functie der MiddelJawaanshce Rijksdelingstheorie.
Amsterdam
Bernet kempers, A.J. 1954. Tjandi
Kalasan dan Sari. Disalain oleh R. Soekmono. Jakarta: Dinas Purbakala
Republik Indonesia Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
Feinstein, alan (ed). 1986 lakon
carangan. Jilid I,II,II. Proyek Dokumentasi Lakon Carangan ASKI
Surakarta
Hauser, Arnold. 1978. The Sosciology of Art. Chicago :
The University of
Chicago Press
Jarianto. 2004.”Globalisasi: Posisi Budaya Lokal dalam Konteks Kebudayaan
dan Pariwisata” makalah dialog budaya pada Universitas Muhamadiyah Malang.
Oktober 2004.
2006. Kebijakan Budaya pada Masa orde baru dan
pasca orde baru.
Jember: KompyawisdaJatim.
Jazuli. 2000. Paradigma Seni
pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta:
Lantera
Kleden, Leo. 1999.
Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran
Paradigma Kebudayaan dalam Gelar, Journal Ilmu dan Seni. STSI Surakarta No.3/Februari/1999.
Magnis Suseno. 1992. Filsafat kebudayaan politik : Butir-butir
Pemikiran kritis. Jakarta : Gramedia.
Muji Sutrisno.
1998. Nuansa-nuansa Peradaban.
Yogyakarta : Kanisius.
Mulyana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya. Jakarta : Bhratara.
Piliang, YA. 1998. Sebuah
Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Millenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Poerbatjaraka. RM. Ng. 1957. Kapustakaan Jawi. Jakarta: Djambatan
Sri Mulyono. 1983. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang . Jakarta:
Gunung Agung
Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual
Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.
Sutarto, A. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan
Indonesia. Jember: Kompyawisda.
Timbul Haryono, 2004. “Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Tinjauan Perspektif
Historis – Arkeologis “ makalah seminar
budaya air Kediri 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar