Sabtu, 03 November 2012

Artikel 6


By: Nandi Saefurrohman



Pada mulanya arena tiban ojung sada lanang merupakan upacara ritual persembahan untuk memohon berkah turunnya hujan, kesuburan, dan kesejahteraan, ketika krisis kekeringan melanda. Seiring  berkembangnya zaman yang ditandai dengan  terjadinya perubahan-perubahan di setiap dimensi kehidupan, kelanggengan bentuk upacara ritual tersebut tergeser dengan pola pikir masyarakatnya  yang semakin maju. Adaptasi masyarakat terhadap realitas kemajuan teknologi pengairan dan tersedianya pengetahun tentang metode-metode pemberdayaan potensi alam, menyebabkan tiban beralaih fungsi dari ritual ke  pertunjukan. Maka yang tampak saat ini, tiban hanya sebuah seni pertunjukan rakyat yang lebih mengedepankan aspek hiburan yang kadang-kadang dikemas sedemikian rupa untuk keperluan pariwisata, namun masih menyimpan makna-makna yang masih relevan untuk dijadikan ritus kehidupan dalam situasi kebudayaan manusia saat ini.    

Tradisi Uji Nyali dan Pengorbanan  

Purwokerto, itulah nama sebuah desa di kecamatan Ngadiluwih  kabupaten Kediri. Siang itu 19 Mei 2004.  Di halaman  luas sebuah rumah   pinggir jalan raya yang menuju  ke areal wisata Gunung Kelud, sosok-sosok pria perkasa bertelanjang dada   siap maju ke medan “laga”  uji nyali dan kekuatan. Di usia yang tampak sudah tak muda lagi  mereka adalah pemberani-pemberani yang menghargai dan dihargai sebagai pewaris budaya generasi sebelumnya.   
Mbah Milan namanya, maju ke tengah arena pertunjukan sebelum pertandingan uji nyali dimulai. Beliau yang akan bertindak sebagai wasit, dan sekaligus yang akan memimpin doa mohon keselamatan dari segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Ia duduk di tengah arena menghadap asap kemenyan yang menyebarkan daya  magis  dan aroma mistik yang tiba-tiba menyelimuti arena dan mungkin perasaan dan pikiran orang-orang di sekitarnya.
Setelah selesai doa, seorang pemain berpostur besar dengan gaya menantang, menenteng cambuk yang terbuat dari lilitan batang lidi daun pohon aren siap mencari lawan tanding yang bernyali. Ia berjoget, mirip dengan gaya tarian warok reog Ponorogo. Kedua tangan berotot membentangkan cambuk yang ujungnya  lancip. Kaki-kaki kokoh bergerak bergeser perlahan seiring bunyi musik dari perpaduan instrumen kendang, terompet, kenong, gong, dan  sepasang saron yang terbuat dari besi. Ia menggebrak penonton bersorak. Ia menyalak musikpun menghentak.  Kuat dan berwibawa, simetris dengan ritme musik yang cenderung tidak memperlihatkan adanya perubahan.
Ketika lawan tanding didapat keduanya saling berhadapan, suasanapun langsung meriah  karena cambukan dan “sadisme”  akan berlangsung.  Tidak ada batas-batas formal antara ruang penonton dan pelaku pertunjukan karena garis arena adalah para penonton itu sendiri. Anak-anak, orang dewasa, orang tua, laki-laki dan perempuan, larut menjadi satu dengan suasana atraksi di ruang pentas yang hidup dan komunikatif.
 Tiban penuh aturan. Wasit sebagai pemimpin pertandingan mulai menerapkan aturan-aturan  ketat, namun ia tidak akan memutuskan mana yang kalah  dan mana yang menang, yang ada hanya menjungjung tinggi sportivitas, persaudaraan, dan tentunya harga diri dan kejantanan. Dengan bimbingan wasit, setiap termin (satu pertandingan) masing-masing pemain menyepakati jumlah atau banyaknya cambukan yang diberikan  dan diterima. Misalnya setelah  seorang pemain  mencambuk lawannya secara berturut-turut sebanyak lima kali, ia pun harus siap dicambuk sebanyak lima kali pula.

Letupan bunyi cambuk menghantam badan semi telanjang. Teriakan penonton, musik, pengeras suara, tepuk tangan dan blitz camera, seolah-olah menumbuhkan semangat, agresifitas, dan  kepuasan tersendiri bagi mereka yang sedang bertanding. Tarian  mereka adalah  gerakan-gerakan yang bergairah untuk menghantam lawan. Musik mereka adalah  pekikan suara-suara miris, dan decak kagum para penonton.  Semangat mereka adalah luka cambukan di badan.
Itulah Tiban, seni pertunjukan yang berakar dari upacara ritual memohon turunnya hujan sebagai berkah yang tak terhingga, karena kesuburan yang didambakan akan segera terwujud. Bagi mereka yang masih memaknainya,  rasa sakit dan tetesan darah bukan hanya sekedar tumbal atau simbol persembahan dan pengorbanan, namun juga sebagai bentuk ungkapan kesadaran kaum lelaki akan tanggung jawabnya yang besar. Kaum lelaki harus memiliki sikap satria, jantan, dan perkasa dalam menghadapi tantangan alam dan kehidupan yang semakin berat. Maka para pemain tiban ojung sada lanang sangat bangga bila badannya terkoyak dan darah menetes oleh sabetan cambuk, tutur seorang pemain Pak Jiman namanya. Menurutnya, saling mencambuk bukanlah untuk saling menyakiti, akan tetapi bermakna kebersamaan untuk saling merasakan penderitaan, senasib dan sepenanggungan. Tak ada yang menang dan kalah. Mereka sepakat tiada dendam dan sentimen meskipun ada luka yang menganga. Semua berakhir dengan bersalaman dalam satu ikatan keluarga dan satu tujuan:  semata-mata untuk  hiburan dan kesenangan, bahkan mungkin mengharap  akan turunnya hujan.  Believe or not, sore itu setelah pertunjukan, hujanpun turun menyirami panasnya udara kota Kediri.

Arena  Pembelajaran  Para Elit Politik
Mungkin ini tontonan di pentas politik bangsa kita saat ini. Ada kekerasan, intimidasi, provokasi, fitnah, pembunuhan karakter,  penggembosan, perseteruan antar kelompok, kampanye, adu argumen, orasi-orasi, dan sogok-menyogok. Atas nama demokrasi segalanya menjadi sah. Atas nama politik semuanya boleh dilakukan. Atas nama pengabdian kepada bangsa dan negara rakyat dibiarkan sengsara meskipun “para jago” berkata ini hanya sementara., jika besok saya jadi presiden negara subur rakyat makmur.  Ironis memang.
Pentas seni dan pentas politik adalah dua ruang yang berbeda, meskipun pentas politik suka ikut-ikutan dalam pentas seni. Seni sebagai salah satu unsur dari kebudayaan  dapat mewarnai cultural identity suatu masyarakat. Seni mampu merepresentasikan makna-makna mendalam tentang kehidupan, ritus,  jati diri, dan kebersamaan.
Tengoklah sepirit pertunjukan tiban. Para pemainnya hadir bukan untuk pentas politik. Tujuan mereka bukan kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka berkorban demi tanggung jawabnya terhadap kehidupan. Tidak ada realitas pertarungan yang sebenarnya, mencambuk dan rela dicambuk semata-mata untuk menciptakan damai dan sejahtera, sehingga tidak tampak antara yang kalah dan menang. Permainan “politik” mereka bermakna kesuburan bukannya sentimen dan dendam. “Saya yakin mas, kalau para elit politik belajar pada falsafah tiban, Indonesia ini akan damai dan sejahtera tidak ada lagi kerusuhan”, tegas pak Jiman dengan wajah dan nada penuh harapan.
 Pertunjukan tiban mempunyai makna mendalam untuk melihat dan belajar substansi pertaruangan “adu jago” dalam tataran yang bermutu di pentas politik berkualitas. Persoalannya, mampukah para elit politik kita belajar danbercernin pada  tradisi ini ?                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar