By: Nandi Saefurrohman
Pada mulanya arena tiban ojung sada lanang merupakan
upacara ritual persembahan untuk memohon berkah turunnya hujan, kesuburan, dan
kesejahteraan, ketika krisis kekeringan melanda. Seiring berkembangnya zaman yang ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan di setiap
dimensi kehidupan, kelanggengan bentuk upacara ritual tersebut tergeser dengan
pola pikir masyarakatnya yang semakin
maju. Adaptasi masyarakat terhadap realitas kemajuan teknologi pengairan dan
tersedianya pengetahun tentang metode-metode pemberdayaan potensi alam,
menyebabkan tiban beralaih fungsi dari ritual ke pertunjukan. Maka yang tampak saat ini, tiban
hanya sebuah seni pertunjukan rakyat yang lebih mengedepankan aspek hiburan
yang kadang-kadang dikemas sedemikian rupa untuk keperluan pariwisata, namun
masih menyimpan makna-makna yang masih relevan untuk dijadikan ritus kehidupan
dalam situasi kebudayaan manusia saat ini.
Tradisi Uji Nyali dan Pengorbanan
Purwokerto, itulah nama sebuah desa di
kecamatan Ngadiluwih kabupaten Kediri.
Siang itu 19 Mei 2004. Di halaman luas sebuah rumah pinggir jalan raya yang menuju ke areal wisata Gunung Kelud, sosok-sosok
pria perkasa bertelanjang dada siap
maju ke medan “laga” uji nyali dan
kekuatan. Di usia yang tampak sudah tak muda lagi mereka adalah pemberani-pemberani yang menghargai
dan dihargai sebagai pewaris budaya generasi sebelumnya.
Mbah Milan namanya, maju ke tengah arena pertunjukan
sebelum pertandingan uji nyali dimulai. Beliau yang akan bertindak sebagai
wasit, dan sekaligus yang akan memimpin doa mohon keselamatan dari segala
kemungkinan yang tidak diharapkan. Ia duduk di tengah arena menghadap asap
kemenyan yang menyebarkan daya
magis dan aroma mistik yang
tiba-tiba menyelimuti arena dan mungkin perasaan dan pikiran orang-orang di
sekitarnya.
Setelah selesai doa, seorang pemain berpostur
besar dengan gaya menantang, menenteng cambuk yang terbuat dari lilitan batang
lidi daun pohon aren siap mencari lawan tanding yang bernyali. Ia berjoget,
mirip dengan gaya tarian warok reog Ponorogo. Kedua tangan berotot
membentangkan cambuk yang ujungnya
lancip. Kaki-kaki kokoh bergerak bergeser perlahan seiring bunyi musik
dari perpaduan instrumen kendang, terompet, kenong, gong, dan sepasang saron yang terbuat dari besi. Ia
menggebrak penonton bersorak. Ia menyalak musikpun menghentak. Kuat dan berwibawa, simetris dengan ritme
musik yang cenderung tidak memperlihatkan adanya perubahan.
Ketika lawan tanding didapat keduanya saling
berhadapan, suasanapun langsung meriah
karena cambukan dan “sadisme”
akan berlangsung. Tidak ada
batas-batas formal antara ruang penonton dan pelaku pertunjukan karena garis
arena adalah para penonton itu sendiri. Anak-anak, orang dewasa, orang tua,
laki-laki dan perempuan, larut menjadi satu dengan suasana atraksi di ruang
pentas yang hidup dan komunikatif.
Tiban
penuh aturan. Wasit sebagai pemimpin pertandingan mulai menerapkan
aturan-aturan ketat, namun ia tidak akan
memutuskan mana yang kalah dan mana yang
menang, yang ada hanya menjungjung tinggi sportivitas, persaudaraan, dan
tentunya harga diri dan kejantanan. Dengan bimbingan wasit, setiap termin (satu
pertandingan) masing-masing pemain menyepakati jumlah atau banyaknya cambukan
yang diberikan dan diterima. Misalnya
setelah seorang pemain mencambuk lawannya secara berturut-turut sebanyak
lima kali, ia pun harus siap dicambuk sebanyak lima kali pula.
Letupan
bunyi cambuk menghantam badan semi telanjang. Teriakan penonton, musik,
pengeras suara, tepuk tangan dan blitz camera, seolah-olah menumbuhkan
semangat, agresifitas, dan kepuasan
tersendiri bagi mereka yang sedang bertanding. Tarian mereka adalah
gerakan-gerakan yang bergairah untuk menghantam lawan. Musik mereka
adalah pekikan suara-suara miris, dan
decak kagum para penonton. Semangat
mereka adalah luka cambukan di badan.
Itulah Tiban,
seni pertunjukan yang berakar dari upacara ritual memohon turunnya hujan
sebagai berkah yang tak terhingga, karena kesuburan yang didambakan akan segera
terwujud. Bagi mereka yang masih memaknainya,
rasa sakit dan tetesan darah bukan hanya sekedar tumbal atau simbol
persembahan dan pengorbanan, namun juga sebagai bentuk ungkapan kesadaran kaum
lelaki akan tanggung jawabnya yang besar. Kaum lelaki harus memiliki sikap
satria, jantan, dan perkasa dalam menghadapi tantangan alam dan kehidupan yang
semakin berat. Maka para pemain tiban ojung sada lanang sangat bangga
bila badannya terkoyak dan darah menetes oleh sabetan cambuk, tutur seorang
pemain Pak Jiman namanya. Menurutnya, saling mencambuk bukanlah untuk saling
menyakiti, akan tetapi bermakna kebersamaan untuk saling merasakan penderitaan,
senasib dan sepenanggungan. Tak ada yang menang dan kalah. Mereka sepakat tiada
dendam dan sentimen meskipun ada luka yang menganga. Semua berakhir dengan
bersalaman dalam satu ikatan keluarga dan satu tujuan: semata-mata untuk hiburan dan kesenangan, bahkan mungkin
mengharap akan turunnya hujan. Believe or not, sore itu setelah
pertunjukan, hujanpun turun menyirami panasnya udara kota Kediri.
Arena Pembelajaran
Para Elit Politik
Mungkin ini
tontonan di pentas politik bangsa kita saat ini. Ada kekerasan, intimidasi,
provokasi, fitnah, pembunuhan karakter,
penggembosan, perseteruan antar kelompok, kampanye, adu argumen,
orasi-orasi, dan sogok-menyogok. Atas nama demokrasi segalanya menjadi sah.
Atas nama politik semuanya boleh dilakukan. Atas nama pengabdian kepada bangsa
dan negara rakyat dibiarkan sengsara meskipun “para jago” berkata ini hanya
sementara., jika besok saya jadi presiden negara subur rakyat makmur. Ironis memang.
Pentas seni
dan pentas politik adalah dua ruang yang berbeda, meskipun pentas politik suka
ikut-ikutan dalam pentas seni. Seni sebagai salah satu unsur dari
kebudayaan dapat mewarnai cultural
identity suatu masyarakat. Seni mampu merepresentasikan makna-makna
mendalam tentang kehidupan, ritus, jati
diri, dan kebersamaan.
Tengoklah
sepirit pertunjukan tiban. Para pemainnya hadir bukan untuk pentas
politik. Tujuan mereka bukan kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka berkorban
demi tanggung jawabnya terhadap kehidupan. Tidak ada realitas pertarungan yang
sebenarnya, mencambuk dan rela dicambuk semata-mata untuk menciptakan damai dan
sejahtera, sehingga tidak tampak antara yang kalah dan menang. Permainan
“politik” mereka bermakna kesuburan bukannya sentimen dan dendam. “Saya yakin
mas, kalau para elit politik belajar pada falsafah tiban, Indonesia ini
akan damai dan sejahtera tidak ada lagi kerusuhan”, tegas pak Jiman dengan
wajah dan nada penuh harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar