by: R. Djoko Prakosa
Pengantar
Pertunjukan
wayang thengul adalah tradisi
pertunjukan wayang golek yang tubuh dan berkembang di kabupaten Bojonegoro. Kata Thengul dalam penuturan masyarakat
berasal dari kata ”methentheng terus
menthungul ”. Istilah ini menyiratkan makna spirit untuk selalu tampil
dipermukaan ruang dan jaman. Wayang golek pada umumnya melakonkan ceritera Menak,
Panji, dan Gedhog. Wayang thengul
Bojonegoro biasanya cenderung menggelar lakon-lakon wayang gedhog, bahkan
beberapa lakon terkait dengan Serat Damarwulan yang sering dilakonkan dalam
pertunjukan wayang klithik.
Tradisi pertunjukan wayang thengul di
Bojonegoro nampaknya lebih dekat dengan ceritera Gedhog, Bangun Majapahit yaitu
ceritera yang bersumber pada babad Majapahit, babad Demak. Dilihat dari perupaan
dan visualisasi karakter tokoh dalam wayang thengul memiliki kedekatan karakter
dengan tipologi yang tertuang dalam wayang gedhog dan wayang menak. Sehingga
sangat wajar, wayang thengul lebih dekat dengan lakon wayang menak, lakon-lakon
Panji, Damarwulan, bahkan sampai pada
ceritera para wali pada masa kerajaan Demak.
Dalam penuturan adatinya wayang thengul
berkaitan erat dengan ritual rem-reman/melekan,
hajat mantu dan kithan, ruwat dan nadzar. Sebagai sebuah tradisi
pertunjukan wayang thengul secara significant masih erat dengan tradisi
masyarakatnya. Sehingga mendapatkan support yang baik dari masyarakat, memiliki
nilai ekonomi yang dapat dikembangkan, memilki kandungan nilai filsafat yang
mendalam dalam budaya masyarakat pendukungnya.
Sampai pada saat ini di kabupaten
Bojonegoro pertunjukan wayang thengul masih diduku oleh pewaris aktif 14 orang
dalang yang tersebar di wilayah, Kapas, Balen, Padangan, Sumberrejo,
Kedungadem, sukosewu, Bubulan, dan Margomulyo.
Para dhanlang memiliki wilayah tanggapan (wilayah pentas), harga
tanggapan yang relatif memadai. Para dhalang belajar secara otodidak dengan
cara nyantrik, dan saling mengapresiasi permainan sesama dhalang wayang thengul
maupun dari pertunjukan wayang kulit pada umumnya.
Dalam kesempatan menyonsong tahun baru
ditampilkan 3 dalang yang dinilai presentatif. Yaitu ki Sumarji (Marji Deglek), Ki Sudarno, dan Ki
Ponidi. Pada
umumnya ketiga dalang memiliki gaya yang unik. Sehingga kualitas estetik
pertunjukan dalam konteks garap medium
cukup handal. Namun demikian terdapat beberapa hal yang kurang mendapat
perhatian dari dalang, mencakup beberapa hal yaitu, (1) penggarapan struktur
dan alur dramatik, (2) garap lakon dan ketajaman sanggit lakon.
Penggarapan struktur dan alur dramatik
berkaitan erat dengan penentuan klimak dan anti klimak melalui penggarapan
suasana melalui garap unsur medium yaitu, antawacana, sabet, dan garap suasana
gendhing. Garap lakon dan ketajaman sanggit
lakon mencakup penggarapan plot adegan dan nilai yang digarap, menentukan ”lid” dan balungan lakon. Sanggit
mencakup bagaimana dalang mengembangkan tafsir dalam Mbabar lakon dalam versi dan sisi yang khas dan terfokus. Sehingga permasalahan yang digarap dalam alur
seritera, dan struktur utuh pertunjukan terfokus, nilai yang ditawarkan juga
nampak tajam dan mendalam
Esetika Ki Sumarji Deglek Dalam Lakon Sungging
Prabangkara: filosofi dan estetika kerakyatan
Ki Sumarji atau mbah Marto dijuluki marji deglek.
Seorang buruh tani, tukang becak,
Membangun popularitasnya sebagai dalang wayang tehengul dengan
pertunjukan amen. Ia berkeliling dengan kelompok kecil dengan mengendarai becak
dan sepeda pancal. Dengan tradisi laku amen ki sumarji membangun estetika
pertunjukan wayang thengul dalam bentuk yang sangat lekat dengan kehidupan
sosial masyarakat.
Dalam
pergelaran tanggal 31 Desember disajikan lakon sungging murbengkara/
Prabangkara. Dikisahkan negeri Majapahit sedang dirundung duka banyak pageblug
dan kerusuhan sosial, prabu Brawijaya (Giri Nata) dengan Patih Giri Sembagi
untuk mengantas majapahit dari masalah tersebut. Permaisuri Dewi Pandansari
meminta ijin pada prabu brawijaya untuk mencari petunjuk dengan jalan menjalani
kungkum di kedhung srengenge dan diijinkan oleh prabu brawijaya. Hal tersebut
memancing kecurigaan patih Girisembagi, Dewi
Pandansari dicurigai akan berselingkuh dengan Sungging Prabangkara (Girilaya).
Patih Sembagi diperintahkan unuk mengawasi Dewi Pandasari menuju
Kedhungsrengenge.
Dewi
Pandansari memasuki kedungsrengenge bertemu dengan bajul sengara dan bajul
srani. Dewi pandasari ditangkap dan disembunyikan di dalam kedungsrengenge
untuk diperistri oleh Bajul sengara. Alkisah patih Giri Sembagi tidak menemukan
Dewi Pandasari di Kedungsrengenge langsung menuju pertapan Asem Bagus.
Terjadilah perang antara giri laya (sungging prabangkara dengan patih giri
sembagi. Giri sembagi kalah. Akhirnya Girilaya menuju kedungsrengenge untuk
mencari dewi Pandansari. Terjadilah perang antara Bajul sengara dengan
Girilaya. Bajul Sengara kalah akhirnya Dewi Pandasari kembali ke Majapahit.
Lakon
Sungging Prabangkara oleh Ki Sumarji Deglek dengan model pertunjukan yang
sangat komunikatif. Ki Sumarji selalu menggali komunikasi dengan ruang
publik/penonton melalui dialog interaktif, bahasa tubuh, pengolahan tata gerak
wayang thengul dengan aksentuasi yang unik dan menarik. Ekspresi yang dibangun
oleh ki Sumarji mencerminkan responbilititas yang tinggi terhadap permasalahan
sosial kemasyarakatan sehari-hari. Hal ini memiliki dampak yang baik bagi
terbangunnya estetika yang membumi dalam
realitas hidup masyarakat. Pertunjukan yang dilakukan oleh ki Sumarji menjadi
selalu segar, aktual.
Nilai
filosofi disajikan dengan mengalir ringan, menghibur (sesekali dengan guyonan,
sindhiran, bahkan pada bagian-bagian tertentu ”lekoh” sehingga penonton terbahak-bahak dan terjadi dialog
interaktif. Yang paling unik dari penampilan ki
Sumarji adalah bagaimana Ki Sumarji memainkan wayang thengul. Setiap
gerakan wayang thengul merupakan bagian penting dari bahasa tubuh Ki
Sumarji. Setiap gerakan wayang yang
dimainkan disertai dengan gerakan tubuh.
Setiap gerakan thengul menyatu dengan gerakan tubuh dhalang.
Pada
prinsipnya lakon yang ditampilkan memiliki nilai filosofi mendalam yang
berkaitan erat dengan sangkan paraning dumadi, kesempurnaan hidup, pencerahan
hidup. Ini tersirat pada penokohan dan lakon. Simbol-simbol yang tampil dalam
lakon ini merupakan pola yang secara significant dapat ditemukan pada sosial
kemasyarakatan budaya agraris, wanita cantik merupakan simbol kemakmuran,
kesuburan. Pola simbolik tersebut dapat disampiakan dalam tabel berikut,
No
|
Pemaknaan Simbol
|
Makna Wigati
|
|
Tokoh
|
Visualisasi/padanan
|
||
01
|
Giri Sejati
|
Pendeta/wali/guru
|
Pencerahan hidup
|
02
|
Giri Laya
|
Satriya/Sungging Prabangkara
|
Pengembaraan hidup, lakuning urip, kesempurnaan
hidup
|
03
|
Pandansari
|
Pandansari
|
Pengorbanan dan pencapaian martabat hidup
|
04
|
Giri Nata
|
Brawijaya
|
Kekuasaan dan kemampanan sosial
|
05
|
Giri Sembagi (Sembaga?)
|
patih
|
Kekuatan dan pesona materiil
|
Dari sisi pengemasan isi dalam tontonan yang
ditampilkan oleh ki Sumarji menunjukkan keberimbangan antara gagasan filosofi
dengan medium-medium yang digarap pertunjukannya. Konsep tuntunan dan tontonan
melebur dalam karakter dan model pertunjukan. Nilai filosofi disampaikan kepada
penonton secara tersamar disisipkan lewat dialog, perilaku tokoh, sindiran, dan
guyonan. Secara kritis ki Sumarji juga menyampaikan kritik moral melalui
segmen-segmen tertentu yang tidak terikat pada ”lid”ing dongeng. Hal ini biasanya dikemas dalam segmen geyeran,
atau disela-sekla adegan secara kreatif.
Model dan karakter pertunjukan wayang
thengul gaya Ki Sumarji Deglek memiliki tekerbukaan menyampaikan visi dan misi
kemanusian, kebijakan ekologi, atau sampai pada pitutur sejati. Kemasan Pertunjukan terbangun oleh model-model ekpresi yang natrural, lugas,
tetapi dapat saangat aktual.
Model pertunjukan ki Sumarji ini dapat
dikembangkan kedalam kemasan wisata untuk berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat. Model dan karakter
pertunjukan gaya Ki Sumarji Deglek memiliki responbilitas yang baik untuk
digelarkan dalam ruang pentas yang lebih beragam (panggung terbuka, arena, atau
ruangan tertentu). Memiliki kepekaan ruang estetik yang menampung aspirasi
realistis dan natural, dengan demikian pertunjukan dapat membangun ruang
komunikasi yang dinamis. Antara penonton, permainan wayang thengul, pengrawit
terjalin empati dan simpati sehingga sdangat memungkinkan berbagai visi dan
misi dapat diserap oleh penonton secara maksimal.
Untuk mengemas model dan gaya pertunjukan
Ki Sumarji diperlukan pengarahan pencapaian ”lid” struktur inti pertunjukan, sehingga pertunjukan memiliki
struktur urut dan utuh. Perlu penajaman desain dramatik sehingga memiliki
pesona dan daya pakau yang memikat
penonton pada segmen adegan tertentu.
Ki Sudarno kemapanan model pertunjukan dan nilai
adi luhung dalam lakon Sabdo Palon Naya Genggong gugat
Ki Sudarno menyajikan lakon
Sabdopalon Nayagenggong gugat. Diawali dengan Patih Logender menghasut prabu
klanajaya untuk menyerbu Majapahit, karena majapahit dalam keadaan lemah. Dalam
kedahaton majapahit sendiri prabu brawijaya gundah dalam memutuskan hukuman
mati kepada Anjasmara karena dicurigai berpihak pada Logender. Sabdopalon
Nayagenggong mengingatkan bahwa pengorbanan Dewi Anjarsmara kepada Prabu
Brawijaya sangat besar. Tetapi tidak dihiraukan bahkan Sabdopalon Nayagenggong diusir dari
majapahit.
Sementara itu anjarmara dibawa oleh
menakkoncar untuk dibunuh tetapi karena tidak tega maka dewi anjasmara hanya
ditinggalkan dihutan. Sabdopalon
Nayagenggong masuk hutan dan menceburkan diri di sumur upas keajaiban terjadi
kedua berubah wujud menjadi dua ksatriya yang sakti. Maka kedua ksatriya
tersebut bermaksud menyadarkan Prabu Brawijaya. Mereka menyerang majapahit
seluruh prajurit dikalahkannya termasuk Prabu Brawijaya.
Prabu Brawijaya akhirnya lari ke
padepokan Paluamba meminta perlindungan kepada Maudara. Kedua ksatriya akhirnya
kembali berubah wujud semula Sabdopalon Nayagenggong. Prabu Brawijaya sadar akan
kekeliruannya akhirnya menjemput Dewi Anjasmara ke hutan.
Pertunjukan wayang thengul yang
disajikan memiliki struktur yang runtut,
wijang, dan mapan. Ki Sudarno memainkan wayang thengul dengan pola gerak yang resik sehingga visualisasi karakter,
dramatika peran dapat diserap secara maksimal.
Penampilan ki Sudarna didukung oleh kemapana garap medium, bentuk dan
teknik yang intens selama pertunjukan berlangsung. Dengan demikian ”lid”ing lakon maupun tiap peristiwa
adegan dapat memunculkan nilai wigati secara wijang. hal ini memungkinkan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam peristiwa pertunjukan, karena dengan kemapan bentuk memungkinkan nilai
dapat diserap, diolah, dan dikukuhkan sebagai acuan dan panduan terwujudnya
kemapanan estetika.
Nilai lebih dari penampilan Ki
Sudarno dapat diamati tampilnya Trio Wahyu Aji. Ini merupakan salah satu
langkah pewarisan yang positif. Secara
alamiah terjadi alih generasi yang didukung oleh tranformasi ketrampilan,
wawasan, dan nilai dan sikap keseniman. Alih generasi yang demikian dirasakan
efektif dan efisien membentuk pewaris aktif tradisi pertunjukan wayang thengul. Secara utruh penampilan Ki Sudarno
menunjukan konsistensi bentuk, komitmen
memilih dan menentukan model pertunjukan.
Kermasan pertunjukan menunjukan keberimbang nilai tuntunan dan tonton
dalam sajian lakon dan alur pertunjukan. Kendati tyontonan ini manis dan menghibur tetapi bentuk dan
gaya pertunjukan tetap dalam kesadaran membangun ruang estetika pertunjukan
secara prima. Model gaya pertunjukan ki Sudarno sangat
tepat dikemas untuk sajian wisata yang diselenggarakan diruang-ruang formal
misal pendapa, atau aula. Model ini juga relevan disajikan dalam pertemuan dan
perjamuan formal. Untuk itu kemasan
dapat diarahkan pada pemadatan sajian pertunjukan wayang thengul, ini
dimaksudkan agar bentuk sajian dapat menampilkan nilai, visi, dan misi sesuai
dengan konteks ruang dan waktu. Dengan kemapanan bentuk dan teknik pertunjukan
Ki Sudarno dapat diarahkan pada pengembangan promosi dan pemasaran dengan tetap
mempertahankan desain estetika lokal.
Ki Ponidi
Raden Fatah Winisuda: refleksi
desain pertunjukan wayang thengul spektakuler
Ceritera
ini mengungkapkan kisah Raden Hasan yang dinobatkan oleh para wali sebagai
sultan pertama di kerajaan Demak. Kisah
ini dimulai dari Aryadamar adipati Palembang yang menyuruh anaknya Raden Kusen untuk
mengabdi kepada raja majapahit. Mengetahui hal tersebut diktahui oleh Raden
Hasan kemudian akan menyusul tetapi dilarang oleh Aryadamar. Raden Hasan
bersikeras sehingga terjadi perselisihan. Ibu Raden Hasan yamng bijak akhirnya
diam-diam menyerahkan cincin dari prabu brawijaya kepada Raden Hasan dan
berterus terang Raden Hasan adalah putra prabu brawijaya, dengan diam-diam Raden
Hasan pergi ke majapahit menghadap prabu brawijaya.
Diperjalanan
Raden Hasan dihadang oleh jaka wana dan jaka salam, karena sulit dikalahkan Raden
Hasan mencari bantuan dan bertemu dengan sunan bonang. Atas petunjuk sunan
bonang kedua orang tersebut dikalahkan salah satu dari perampok tersebut tewas.
Akhirnya salah seorang dari perampok itu mengabdi kepada Raden Hasan. Raden
Hasan akhirnya dihadapkan kepada Sunan Ampel agar dapat menghadap prabu
brawijaya.
Oleh
sunan ampel Raden Hasan diambil menantu dinikahkan dengan anaknya yang
bernama Dewi Murtasiyah. Tak lama
kemudian Raden Hasan menghadap prabu brawijaya dengan diiringi para wali. Prabu
brawijaya terkejut menerima cincin dari Raden Hasan dan yakin raden hasan
adalah anaknya. Kepada Raden Hasan brawijaya menyerahkan alas glagah wangi.
Agar dibuka menjadi kota. Bersama para wali akhirnya berdirilah kota Demak, dan
Raden Patah dinobatkan sebagai sultan di Demak.
Ki Ponidi menyajikan ceritera tersebut
dalam durasi waktu 5 jam. Model pertunjukan yang ditampilkan menunjukan peluang
yang besar bagi wayang thengul mengadopsi berbagai bentuk pertunjukan. Pada
bagian geyeran Ki Ponidi lebih banyak membuka peluang bagi penonton untuk
berpartisipasi dalam pertunjukannya. mereka boleh menari (nayub), memesan
gendhing, atau melantunkan beberapa tembang jawa yang populer. Dituturkan bahwa dengan mengadopsi bentuk
pertunjukan yang disukai oleh penonton merupakan peluang untuk menambah
pendapatan bagi pengrawit, sindhen, dan dalang.
Dalam konteks yang demikian Ki Ponidi tidak
mengemas pertunjukan, sehingga secara proporsional belum nampak penggarapan
”Lid” secara terfokus. Sehingga ada kemungkinan durasi pertunjukan menjadi
panjang, alur ceritera menjadi kurang terstruktur. Model dan gaya seperti sama
dengan model pertunjukan yang seriong dilakukan pada pementasan dimasyarakat
luas pada umumnya.
Dalam pertunjukan wayang thengul yang
dimainkan oleh Ki Ponidi memungkinkan terjadinya silang peran, dan dialog
interaktif. Peluang ini menjadi media hiburan bagi masyarakat. Penonton dapat
berperan langsung sebagai pemain dalam panggung pertunjukan sebagai penari,
penyanyi, bahkan dalam penuturan naturalnya, sering hadir figur petruk/geyer
yang menyampaikan lawakan, sekaligus menjadi pramugari tayubnya.
Keterbukaan tersebut memungkinkan struktur
pertunjukan tidak menemukan pola baku, tetapi lebih bersifat temporer dan
eksperimental, wacana hiburan nampak lebih dominan dari pada nilai wigati dari
lakon wayang thengulnya. ”Lid ”ing lakon menjadi sampiran. Ki ponidi lebih mengutamakan pelayanan hiburan
kepada masyarakat, selera dan keinginan masyarakat adalah aset komersial,
pendukung popularitas. Nampaknya Ki Ponidi berkeinginan menampilan penuturan
tradisi pertunjukan wayang thengul sebagaimana berlaku dalam kehidupan
masyarakat.
Nilai lebih dari penampilan ki Ponidi pada
usaha membangun struktur pertunjukan denngan teks, dan plot secara tertulis.
Walaupun pada bagian tertentu pertunjukan menjadi panjang tetapi pada saat
tertentu kembali pada lakon atau inti pertunjukan wayang thengul. Melihat model
dan gaya pertunjukan Ki Ponodi, dapat diberikan peluang berkolaborasi dengan
disiplin pertunjukan lainnya misal tayub, campuir sari, lawak, dan
kethoprak. Untuk paket ini dibutuhkan
penyutradaraan yang serius, karena komponen pertunjukan semakin beragam.
Sebagai sebuah peluang pengembangan wisata
yang menampung berbagai seni pertunjukan dalam sebuah etalase pertunjukan
wisata. Model pertunjukan Wayang thengul yang kolaboratif setidak-tidaknya dapat memberi ruang
alternatif tampilnnya kesenian khas
Bojonegoro dalam satu etalase. (R. Djoko Prakosa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar