Selasa, 06 November 2012

Artikel 8

by: R. Djoko Prakosa
Pengantar
Pertunjukan wayang thengul adalah  tradisi pertunjukan wayang golek yang tubuh dan berkembang di kabupaten Bojonegoro. Kata Thengul dalam penuturan masyarakat berasal dari kata ”methentheng terus menthungul ”. Istilah ini menyiratkan makna spirit untuk selalu tampil dipermukaan ruang dan jaman. Wayang golek pada umumnya melakonkan ceritera Menak, Panji, dan Gedhog.   Wayang thengul Bojonegoro biasanya cenderung menggelar lakon-lakon wayang gedhog, bahkan beberapa lakon terkait dengan Serat Damarwulan yang sering dilakonkan dalam pertunjukan wayang klithik.
Tradisi pertunjukan wayang thengul di Bojonegoro nampaknya lebih dekat dengan ceritera Gedhog, Bangun Majapahit yaitu ceritera yang bersumber pada babad Majapahit, babad Demak. Dilihat dari perupaan dan visualisasi karakter tokoh dalam wayang thengul memiliki kedekatan karakter dengan tipologi yang tertuang dalam wayang gedhog dan wayang menak. Sehingga sangat wajar, wayang thengul lebih dekat dengan lakon wayang menak, lakon-lakon Panji, Damarwulan,  bahkan sampai pada ceritera para wali pada masa kerajaan Demak.
Dalam penuturan adatinya wayang thengul berkaitan erat dengan ritual rem-reman/melekan, hajat mantu dan kithan, ruwat dan nadzar. Sebagai sebuah tradisi pertunjukan wayang thengul secara significant masih erat dengan tradisi masyarakatnya. Sehingga mendapatkan support yang baik dari masyarakat, memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan, memilki kandungan nilai filsafat yang mendalam dalam budaya masyarakat pendukungnya.
Sampai pada saat ini di kabupaten Bojonegoro pertunjukan wayang thengul masih diduku oleh pewaris aktif 14 orang dalang yang tersebar di wilayah, Kapas, Balen, Padangan, Sumberrejo, Kedungadem, sukosewu, Bubulan, dan Margomulyo.  Para dhanlang memiliki wilayah tanggapan (wilayah pentas), harga tanggapan yang relatif memadai. Para dhalang belajar secara otodidak dengan cara nyantrik, dan saling mengapresiasi permainan sesama dhalang wayang thengul maupun dari pertunjukan wayang kulit pada umumnya.
Dalam kesempatan menyonsong tahun baru ditampilkan 3 dalang yang dinilai presentatif. Yaitu ki Sumarji (Marji Deglek), Ki Sudarno, dan Ki Ponidi.   Pada umumnya ketiga dalang memiliki gaya yang unik. Sehingga kualitas estetik pertunjukan dalam konteks  garap medium cukup handal. Namun demikian terdapat beberapa hal yang kurang mendapat perhatian dari dalang, mencakup beberapa hal yaitu, (1) penggarapan struktur dan alur dramatik, (2) garap lakon dan ketajaman sanggit lakon.
Penggarapan struktur dan alur dramatik berkaitan erat dengan penentuan klimak dan anti klimak melalui penggarapan suasana melalui garap unsur medium yaitu, antawacana, sabet, dan garap suasana gendhing. Garap lakon dan ketajaman sanggit lakon mencakup penggarapan plot adegan dan nilai yang digarap, menentukan ”lid” dan balungan lakon. Sanggit mencakup bagaimana dalang mengembangkan tafsir dalam Mbabar lakon dalam versi dan sisi yang khas dan terfokus.  Sehingga permasalahan yang digarap dalam alur seritera, dan struktur utuh pertunjukan terfokus, nilai yang ditawarkan juga nampak tajam dan mendalam

Esetika Ki Sumarji Deglek Dalam Lakon Sungging Prabangkara: filosofi dan estetika kerakyatan

            Ki Sumarji atau mbah Marto dijuluki marji deglek. Seorang buruh tani, tukang becak,  Membangun popularitasnya sebagai dalang wayang tehengul dengan pertunjukan amen. Ia berkeliling dengan kelompok kecil dengan mengendarai becak dan sepeda pancal. Dengan tradisi laku amen ki sumarji membangun estetika pertunjukan wayang thengul dalam bentuk yang sangat lekat dengan kehidupan sosial masyarakat.
            Dalam pergelaran tanggal 31 Desember disajikan lakon sungging murbengkara/ Prabangkara. Dikisahkan negeri Majapahit sedang dirundung duka banyak pageblug dan kerusuhan sosial, prabu Brawijaya (Giri Nata) dengan Patih Giri Sembagi untuk mengantas majapahit dari masalah tersebut. Permaisuri Dewi Pandansari meminta ijin pada prabu brawijaya untuk mencari petunjuk dengan jalan menjalani kungkum di kedhung srengenge dan diijinkan oleh prabu brawijaya. Hal tersebut memancing kecurigaan  patih Girisembagi, Dewi Pandansari dicurigai akan berselingkuh dengan Sungging Prabangkara (Girilaya). Patih Sembagi diperintahkan unuk mengawasi Dewi Pandasari menuju Kedhungsrengenge.
            Dewi Pandansari memasuki kedungsrengenge bertemu dengan bajul sengara dan bajul srani. Dewi pandasari ditangkap dan disembunyikan di dalam kedungsrengenge untuk diperistri oleh Bajul sengara. Alkisah patih Giri Sembagi tidak menemukan Dewi Pandasari di Kedungsrengenge langsung menuju pertapan Asem Bagus. Terjadilah perang antara giri laya (sungging prabangkara dengan patih giri sembagi. Giri sembagi kalah. Akhirnya Girilaya menuju kedungsrengenge untuk mencari dewi Pandansari. Terjadilah perang antara Bajul sengara dengan Girilaya. Bajul Sengara kalah akhirnya Dewi Pandasari kembali ke Majapahit.
            Lakon Sungging Prabangkara oleh Ki Sumarji Deglek dengan model pertunjukan yang sangat komunikatif. Ki Sumarji selalu menggali komunikasi dengan ruang publik/penonton melalui dialog interaktif, bahasa tubuh, pengolahan tata gerak wayang thengul dengan aksentuasi yang unik dan menarik. Ekspresi yang dibangun oleh ki Sumarji mencerminkan responbilititas yang tinggi terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Hal ini memiliki dampak yang baik bagi terbangunnya  estetika yang membumi dalam realitas hidup masyarakat. Pertunjukan yang dilakukan oleh ki Sumarji menjadi selalu segar, aktual.
            Nilai filosofi disajikan dengan mengalir ringan, menghibur (sesekali dengan guyonan, sindhiran, bahkan pada bagian-bagian tertentu ”lekoh” sehingga penonton terbahak-bahak dan terjadi dialog interaktif. Yang paling unik dari penampilan ki  Sumarji adalah bagaimana Ki Sumarji memainkan wayang thengul. Setiap gerakan wayang thengul merupakan bagian penting dari bahasa tubuh Ki Sumarji.  Setiap gerakan wayang yang dimainkan disertai  dengan gerakan tubuh. Setiap gerakan thengul menyatu dengan gerakan tubuh dhalang.  
            Pada prinsipnya lakon yang ditampilkan memiliki nilai filosofi mendalam yang berkaitan erat dengan sangkan paraning dumadi, kesempurnaan hidup, pencerahan hidup. Ini tersirat pada penokohan dan lakon. Simbol-simbol yang tampil dalam lakon ini merupakan pola yang secara significant dapat ditemukan pada sosial kemasyarakatan budaya agraris, wanita cantik merupakan simbol kemakmuran, kesuburan. Pola simbolik tersebut dapat disampiakan dalam tabel berikut,

No
Pemaknaan Simbol
Makna Wigati
Tokoh
Visualisasi/padanan
01
Giri Sejati
Pendeta/wali/guru
Pencerahan hidup
02
Giri Laya
Satriya/Sungging Prabangkara
Pengembaraan hidup, lakuning urip, kesempurnaan hidup
03
Pandansari
Pandansari
Pengorbanan dan pencapaian martabat hidup
04
Giri Nata
Brawijaya
Kekuasaan dan kemampanan sosial
05
Giri Sembagi (Sembaga?)
patih
Kekuatan dan pesona materiil

Dari sisi pengemasan isi dalam tontonan yang ditampilkan oleh ki Sumarji menunjukkan keberimbangan antara gagasan filosofi dengan medium-medium yang digarap pertunjukannya. Konsep tuntunan dan tontonan melebur dalam karakter dan model pertunjukan. Nilai filosofi disampaikan kepada penonton secara tersamar disisipkan lewat dialog, perilaku tokoh, sindiran, dan guyonan. Secara kritis ki Sumarji juga menyampaikan kritik moral melalui segmen-segmen tertentu yang tidak terikat pada ”lid”ing dongeng. Hal ini biasanya dikemas dalam segmen geyeran, atau disela-sekla adegan secara kreatif.
Model dan karakter pertunjukan wayang thengul gaya Ki Sumarji Deglek memiliki tekerbukaan menyampaikan visi dan misi kemanusian, kebijakan ekologi, atau sampai pada pitutur sejati. Kemasan  Pertunjukan terbangun oleh  model-model ekpresi yang natrural, lugas, tetapi dapat saangat aktual. 
Model pertunjukan ki Sumarji ini dapat dikembangkan kedalam kemasan wisata untuk berbagai kalangan dan lapisan masyarakat.  Model dan karakter pertunjukan gaya Ki Sumarji Deglek memiliki responbilitas yang baik untuk digelarkan dalam ruang pentas yang lebih beragam (panggung terbuka, arena, atau ruangan tertentu). Memiliki kepekaan ruang estetik yang menampung aspirasi realistis dan natural, dengan demikian pertunjukan dapat membangun ruang komunikasi yang dinamis. Antara penonton, permainan wayang thengul, pengrawit terjalin empati dan simpati sehingga sdangat memungkinkan berbagai visi dan misi dapat diserap oleh penonton secara maksimal. 
Untuk mengemas model dan gaya pertunjukan Ki Sumarji diperlukan pengarahan pencapaian ”lid” struktur inti pertunjukan, sehingga pertunjukan memiliki struktur urut dan utuh. Perlu penajaman desain dramatik sehingga memiliki pesona dan  daya pakau yang memikat penonton pada segmen adegan tertentu.

Ki Sudarno kemapanan model pertunjukan dan nilai adi luhung dalam lakon Sabdo Palon Naya Genggong gugat

            Ki Sudarno menyajikan lakon Sabdopalon Nayagenggong gugat. Diawali dengan Patih Logender menghasut prabu klanajaya untuk menyerbu Majapahit, karena majapahit dalam keadaan lemah. Dalam kedahaton majapahit sendiri prabu brawijaya gundah dalam memutuskan hukuman mati kepada Anjasmara karena dicurigai berpihak pada Logender. Sabdopalon Nayagenggong mengingatkan bahwa pengorbanan Dewi Anjarsmara kepada Prabu Brawijaya sangat besar. Tetapi tidak dihiraukan bahkan   Sabdopalon Nayagenggong diusir dari majapahit.
            Sementara itu anjarmara dibawa oleh menakkoncar untuk dibunuh tetapi karena tidak tega maka dewi anjasmara hanya ditinggalkan dihutan.  Sabdopalon Nayagenggong masuk hutan dan menceburkan diri di sumur upas keajaiban terjadi kedua berubah wujud menjadi dua ksatriya yang sakti. Maka kedua ksatriya tersebut bermaksud menyadarkan Prabu Brawijaya. Mereka menyerang majapahit seluruh prajurit dikalahkannya termasuk Prabu Brawijaya.
            Prabu Brawijaya akhirnya lari ke padepokan Paluamba meminta perlindungan kepada Maudara. Kedua ksatriya akhirnya kembali berubah wujud semula Sabdopalon Nayagenggong. Prabu Brawijaya sadar akan kekeliruannya akhirnya menjemput Dewi Anjasmara ke hutan.
            Pertunjukan wayang thengul yang disajikan memiliki struktur yang runtut, wijang, dan mapan. Ki Sudarno memainkan wayang thengul dengan pola gerak yang resik sehingga visualisasi karakter, dramatika peran dapat diserap secara maksimal.  Penampilan ki Sudarna didukung oleh kemapana garap medium, bentuk dan teknik yang intens selama pertunjukan berlangsung. Dengan demikian ”lid”ing lakon maupun tiap peristiwa adegan dapat memunculkan nilai wigati secara wijang. hal ini memungkinkan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa pertunjukan, karena dengan kemapan bentuk memungkinkan nilai dapat diserap, diolah, dan dikukuhkan sebagai acuan dan panduan terwujudnya kemapanan estetika.
            Nilai lebih dari penampilan Ki Sudarno dapat diamati tampilnya Trio Wahyu Aji. Ini merupakan salah satu langkah pewarisan yang positif.   Secara alamiah terjadi alih generasi yang didukung oleh tranformasi ketrampilan, wawasan, dan nilai dan sikap keseniman. Alih generasi yang demikian dirasakan efektif dan efisien membentuk pewaris aktif tradisi pertunjukan wayang thengul. Secara utruh penampilan Ki Sudarno menunjukan konsistensi bentuk, komitmen memilih dan menentukan model pertunjukan.  Kermasan pertunjukan menunjukan keberimbang nilai tuntunan dan tonton dalam sajian lakon dan alur pertunjukan. Kendati tyontonan  ini manis dan menghibur tetapi bentuk dan gaya pertunjukan tetap dalam kesadaran membangun ruang estetika pertunjukan secara prima. Model gaya pertunjukan ki Sudarno sangat tepat dikemas untuk sajian wisata yang diselenggarakan diruang-ruang formal misal pendapa, atau aula. Model ini juga relevan disajikan dalam pertemuan dan perjamuan formal.  Untuk itu kemasan dapat diarahkan pada pemadatan sajian pertunjukan wayang thengul, ini dimaksudkan agar bentuk sajian dapat menampilkan nilai, visi, dan misi sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Dengan kemapanan bentuk dan teknik pertunjukan Ki Sudarno dapat diarahkan pada pengembangan promosi dan pemasaran dengan tetap mempertahankan desain estetika lokal.

Ki Ponidi  Raden Fatah Winisuda:  refleksi desain pertunjukan wayang thengul spektakuler
           
            Ceritera ini mengungkapkan kisah Raden Hasan yang dinobatkan oleh para wali sebagai sultan pertama di kerajaan Demak.  Kisah ini dimulai dari Aryadamar adipati Palembang yang menyuruh anaknya Raden Kusen untuk mengabdi kepada raja majapahit. Mengetahui hal tersebut diktahui oleh Raden Hasan kemudian akan menyusul tetapi dilarang oleh Aryadamar. Raden Hasan bersikeras sehingga terjadi perselisihan. Ibu Raden Hasan yamng bijak akhirnya diam-diam menyerahkan cincin dari prabu brawijaya kepada Raden Hasan dan berterus terang Raden Hasan adalah putra prabu brawijaya, dengan diam-diam Raden Hasan pergi ke majapahit menghadap prabu brawijaya.
            Diperjalanan Raden Hasan dihadang oleh jaka wana dan jaka salam, karena sulit dikalahkan Raden Hasan mencari bantuan dan bertemu dengan sunan bonang. Atas petunjuk sunan bonang kedua orang tersebut dikalahkan salah satu dari perampok tersebut tewas. Akhirnya salah seorang dari perampok itu mengabdi kepada Raden Hasan. Raden Hasan akhirnya dihadapkan kepada Sunan Ampel agar dapat menghadap prabu brawijaya.
            Oleh sunan ampel Raden Hasan diambil menantu dinikahkan dengan anaknya yang bernama  Dewi Murtasiyah. Tak lama kemudian Raden Hasan menghadap prabu brawijaya dengan diiringi para wali. Prabu brawijaya terkejut menerima cincin dari Raden Hasan dan yakin raden hasan adalah anaknya. Kepada Raden Hasan brawijaya menyerahkan alas glagah wangi. Agar dibuka menjadi kota. Bersama para wali akhirnya berdirilah kota Demak, dan Raden Patah dinobatkan sebagai sultan di Demak.
Ki Ponidi menyajikan ceritera tersebut dalam durasi waktu 5 jam. Model pertunjukan yang ditampilkan menunjukan peluang yang besar bagi wayang thengul mengadopsi berbagai bentuk pertunjukan. Pada bagian geyeran Ki Ponidi lebih banyak membuka peluang bagi penonton untuk berpartisipasi dalam pertunjukannya. mereka boleh menari (nayub), memesan gendhing, atau melantunkan beberapa tembang jawa yang populer.  Dituturkan bahwa dengan mengadopsi bentuk pertunjukan yang disukai oleh penonton merupakan peluang untuk menambah pendapatan bagi pengrawit, sindhen, dan dalang.
Dalam konteks yang demikian Ki Ponidi tidak mengemas pertunjukan, sehingga secara proporsional belum nampak penggarapan ”Lid” secara terfokus. Sehingga ada kemungkinan durasi pertunjukan menjadi panjang, alur ceritera menjadi kurang terstruktur. Model dan gaya seperti sama dengan model pertunjukan yang seriong dilakukan pada pementasan dimasyarakat luas pada umumnya.
Dalam pertunjukan wayang thengul yang dimainkan oleh Ki Ponidi memungkinkan terjadinya silang peran, dan dialog interaktif. Peluang ini menjadi media hiburan bagi masyarakat. Penonton dapat berperan langsung sebagai pemain dalam panggung pertunjukan sebagai penari, penyanyi, bahkan dalam penuturan naturalnya, sering hadir figur petruk/geyer yang menyampaikan lawakan, sekaligus menjadi pramugari tayubnya.
Keterbukaan tersebut memungkinkan struktur pertunjukan tidak menemukan pola baku, tetapi lebih bersifat temporer dan eksperimental, wacana hiburan nampak lebih dominan dari pada nilai wigati dari lakon wayang thengulnya. ”Lid ”ing  lakon menjadi sampiran.  Ki ponidi lebih mengutamakan pelayanan hiburan kepada masyarakat, selera dan keinginan masyarakat adalah aset komersial, pendukung popularitas. Nampaknya Ki Ponidi berkeinginan menampilan penuturan tradisi pertunjukan wayang thengul sebagaimana berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Nilai lebih dari penampilan ki Ponidi pada usaha membangun struktur pertunjukan denngan teks, dan plot secara tertulis. Walaupun pada bagian tertentu pertunjukan menjadi panjang tetapi pada saat tertentu kembali pada lakon atau inti pertunjukan wayang thengul. Melihat model dan gaya pertunjukan Ki Ponodi, dapat diberikan peluang berkolaborasi dengan disiplin pertunjukan lainnya misal tayub, campuir sari, lawak, dan kethoprak.  Untuk paket ini dibutuhkan penyutradaraan yang serius, karena komponen pertunjukan semakin beragam.
Sebagai sebuah peluang pengembangan wisata yang menampung berbagai seni pertunjukan dalam sebuah etalase pertunjukan wisata. Model pertunjukan Wayang thengul yang kolaboratif  setidak-tidaknya dapat memberi ruang alternatif tampilnnya  kesenian khas Bojonegoro dalam satu etalase. (R. Djoko Prakosa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar