Selasa, 06 November 2012

Artikel 9


by: R. Djoko Prakosa

Abstract
The society’s cultural organization, state, and market are three big strengths that able to direct the ethnic dance development. The resistance of those three strengths grow the penetration proses, hegemony, homogeneity also heterogeneity in the ethnical choreography order. State in its political authority lead the ethnic dance development according to the state vision and mission, the cultural organizations try to maintain the existence of ethnic dance in order to be relevan with the society’s culture, while market directs the ethnic dance development for market share. The ethnic dance be the part of economic development assets. In the global discourse ethnic dances are demanded to reposition. In the context of particular development within the ethnic dance body born the actions characterized conservative, innovative, modification, even tendency to commodification. The responses of this development are sufficiently rational and relevan with the development of space and time.

Kata kunci: tari  etnik, tradisi, kesenian, Kebudayaan, masyarakat

Pengantar
            Wacana dunia global menyeret tradisi tari etnik pada paradigma mendunia dan eksotisme etnik. Dua sisi ini secara faktual harus dijawab pada konteks ruang dan waktu yang sama. Ada tiga kekuatan besar yang mengarahkan perkembangan tradisi dalam tari etnik, yaitu ideologi kultural, pasar, dan politik negara. Secara ideologis sistem nilai yang dilahirkan oleh kebudayaan etnik mendorong perkembangan tari etnik pada sifat-sifat khas konservatif.
            Eksotisme etnik dalam koreografi yang bersifat konservatif mencerminkan ideologi dan karakter lokal yang pekat. Ekstisme dalam tari etnik yang demikian merupakan sebuah pernyataan nilai filosofi tentang spiritualitas etnik. Hal ini menjadi penanda dalam komunikasi dalam masyarakat dunia yang global, dimana batas geografi dan  politik telah dihanguskan oleh kecanggihan teknologi komunikasi yang mampu melipat ruang dan waktu.
            Kekuatan ekonomi pasar yang kapitalistik mendorong perkembangan tari etnik mengadaptasi nilai dan bentuknya pada kemampuan responsif terhadap perkembangan ekonomi pasar. Sehingga selera, dan model kekinian menjadi acuan dalam melahirkan produk instan yang dapat diakses oleh massa dalam pelipatan ruang dan waktu. Masyarakat modern yang kapitalistik mengarahkan tari etnik—tradisionalitas subatansif dan significan—pada ideologi dan filosofi hukum pasar.
            Kekuatan politik negara secara hegemoni mengarahkan perkembangan tari etnik   pada visi dan misi politis negara. Tradisi tari etnik diarahkan pada pembentukan kebudayaan negara dengan standar baku. Secara pelahan kekuatan politik negara menggerus karakter etnik untuk membangun karakter bangsa. characater  buliding tari etnik secara linier diarahkan pada kepentingan nation state.
            Tiga kekuatan besar tersebut mengarahkan reposisi kultural dalam tubuh tari etnik. Perubahan-perubahan significan dalam tubuh tari etnik mulai dapat diamati diberbagai wilayah kebudayaan di dunia.  Di Indonesia gejala ini dapat diamati gejalanya sejak tumbuh dan berkembanganya negara resmi (kerajaan Hindu, kerajaan Islam dan pada akhirnya awal berdirinya negara republik Indonesia).


Daya Tarik Eksotime Etnik
            Dalam Wacana lokal maupun global tarian etnik memiliki pesona dan daya tarik yang khas. Dalam pewacanaan lokal, tari etnik berkaitan erat dengan peramasalahan filosofi, sistem nilai dan ideologi, serta hajat hidup masyarakat etniknya. Setiap Tarian merefleksikan sesuatu yang sering disebut sebagai karakter, cita rasa, dan ekspresi estetik. Dalam penuturan budaya etniknya, tarian merupakan pernyantaan tentang makna kehidupan yang dihayati bersama. Tari menjadi bagian penting  sebagai sistem pengetahuan, ketrampilan, dan nilai sikap hidup.
            Sebagai bagian dari sistem nilai tari etnik memiliki pencitraan khas melalui kemurnian bahasa tubuh. Irama dan dinamika tubuh yang diwacanakan lewat teknik dan bentuk gerak, merefleksikan dinamika hidup yang dihayati oleh masyarakat yang memilikinya.  Nilai dan karakter yang melekat pada citra tari etnik menyingkap selera, cita rasa, cita kehidupan yang dihayati dan dihajati oleh masyarakatnya.
Tarian srimpi dan bedaya yang lahir dari kebudayaan masyarakat keraton mencerminkan nilai kehalusan dan kerumitan, kemapanan hidup, serta nilai hidup yang dihayati dan dihajati oleh masyarakat pelaku dan penggguna tarian tersebut. Tari tayub yang berkembang pada sebagian besar masyarakat agraris mencerminkan kesuburan dan kemakmuran, dan kemapanan sosial. Melalui persepsi estetik gerak yang dihayati  pelaku tari tayub dapat diamati aspek keselarasan dan keseimbangan hidup.
Bajidoran, ketuk tilu, gandrung, ronggeng memiliki estetika yang berkaitann erat dengan nilai dan semangat hidup para pelakunya. Ekspresi yang meluap-luap lewat bahasa tubuh, persepsi visual yang muncul, bahkan getaran emosional yang virtual menggambarkan seksualitas menjadi bagian penting dan mendalam tersembunyi dalam simbol-simbol tubuh yang rumit dan halus.
Estetika gerak tubuh menjadi unsur significan dari kejujuran ekspresi dan merefleksikan  suatu nilai yang sedang berlaku dan dihayati bersama. Bahkan dari gerakan tubuh dapat diamati nilai yang diinginkan dan diidealkan bersama dalam suatu tatanan Sosial masyarakat.  Secara inderawi estetika gerak dan bahasa tubuh dibangun melalui kebudayaan  dan nilai-nilai yang disepakati pelaku tari. Struktur yang nampak pada pengamatan inderawi menuntun pada struktur yang lebih mendalam.
Spritualitas serta seksualitas yang terrefleksikan lewat gerak dan bahasa tubuh memiliki daya pikat yang memakau jiwa para pelaku tari. Penari, pengibing, penonton, pemain gamelan tenggelam dalam penikmatan emosional, khusuk dengan cita rasa yang dihayatinya.  Gerak dan bahasa tubuh menjadi citra eksotik yang dibangun melalui estetika, etika, dan hajat budaya yang insaniah dan humani. 
           
Karakter Bangsa dan Suku Bangsa
            Estetika tubuh Tari etnik yang dibangun oleh kepekatan ideologi, kedalaman spiritual, serta kerekatan sistem sosial merupakan manifestasi suatu karakter.    Dalam wacana politik kebudayaan negara baik dalam karakter ini dikaitkan dengan karakter bangsa. Persepsi ini menyimpan diwacanabandingkan lewat istilah karakter bangsa dengan karakater etnik (suku bangsa). Wacana multikulturalism di Nusantara secara hakiki menjadi dasar yang fundamental, keberagaman etnik dengan pernik-pernik nilai kebudayaannya mencerminkan karakter etnik. Ini menjadi persepsi dasar  bahwa pada hakekatnya bangsa Indonesia menyimpan pluralisme etnik.
            Fakta politis ini pada prinsipnya  merupakan adaptasi simbolik dari berbagai kekayaan budaya lokal yang berakar pada citra karakteristik tari etnik yang tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah geografis. Secara politis kekayaan tari etnik menjadi aspek kebangsaan yang multikultural. Ekspresi tarian etnik dengan citra lokal dipersepsikan sebagai bagian penting dari karakter bangsa.
            Citra tarian dari Yogyakarta yang  lembut dan masakulin, tarian gaya Surakarta yang halus dan lembut, tarian bali yang dinamis, tarian remo yang heroik, tarian etnik melayu rampak dan serentak merupakan kekayaan karakter bangsa. Fakta ini menuntun pemahaman yang mendasar bahwa kekuatan politis negara dalam menguasai seluruh wilayah geografis, puncak-puncak budaya lokal, merupakan kerangka legitimasi membangun bangsa.
            Dalam tatanan negara klasik feodal di Jawa (mungkin juga negara yang lain) karakter bangsa dibangun melaui ”kebudayaan alus” keraton. Kekuatan politik keraton  menghegemoni sehingga dterminan terhadap potensi kebudayaan yang lain. Kebudayaan rakyat selalu dipersepsikan sebagai kebudayaan kasar yang belum memiliki kemapanan standar baku. Tarian Rakyat hampir tidak masuk dalam wacana pembangunan bangsa.
Tari tayub, gandrung, jaranan, atau mungkin bentuk tarian etnis kerakyatan yang lain—yang tumbuh dan berkembang berbagai wilayah etnik--kurang mendapat penghargaan dalam kebudayaan negara sebagai faktor pembentuk karakltyer bangsa. Tarian istana  (keraton) diperspsikan sebagai nilai puncak yang ”adi luhung” menjadi manifestasi puncak dari nilai dan karakater bangsa. Tarian etnik sebagai bahasa tubuh merupakan bagian refleksi ekspresi estetik yang memiliki muatan lokal. Disadari atau tidak bahasa tubuh tarian etnik dibangun secara sosioantroplogis oleh lingkungan  geografis.
            Dalam konteks politik kebudayaan, tumbuh terminologi yang dilawankan. Kebudayaan keraton dilawankan dengan istilah kebudayaan rakyat, kesenian istana(yang borjuis) dilawankan dengan isitilah kesenian rakyat. Pada tahap perkembangan berikutnya istilah kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah; kesenian nasional dan kesenian daerah.       
            Keterbukaan untuk memposisikan subtansi kesenian nasional dan daerah sebagai unsur yang setara dalam membangun karakter bangsa baru tumbuh setelah isue multikulturalisme pada masa pasca orde baru. Otonomi daerah memberikan angin segar bagi tumbuhberkembangnya identitas lokal sebagai bagian dari identitas nasional. Secara faktual persepsi ini dipertanyakan oleh berbagai pihak, karena dengan munculnya otonomi daerah perkembangan kesenian daerah muncul paradigma baru[1].
            Sebagai pernyataan khas tari etnik memiliki basis bahasa tubuh sebagai unsur significan dalam membangun karakter. Bentuk gerak dan pengujaran tekniknya dibangun melalui proses alamiah sehingga mampu merefleksikan ekspresi, citra, dan karaketr lokal. Bentuk dan teknik gerakan tari gandrung dibangun oleh hasrat sensasional dalam mengkomunikasikan hajat hidup masyarakatnya. Bahasa tubuh penari kuda kepang memiliki daya out let yang meluap-luap sehingga mencapai trance yang imanent.
Penuturan yang melekat pada bahasa tubuh penari merupakan aspek serapan inderawi yang sangat efektif dan efisien dalam mengkomunikasikan hasrat dan hajat hidup yang dihayati secara personal maupun komunal. Tarian etnik dengan atribut bentuk,  teknik, maupun asesoris gerak yang dibangun merupakan titik kulminasi pernyataan alami. Citra dan karakter yang dimiliki menjadi bagian penting dari sebuah masyarakat lengkap denga sistem nilai yang dihayatinya secara humani.
           
Kontemplasi yang Religius
            Sifat khas tari etnik diberbagai wilayah kebudayaan diwarnai oleh spiritualitas. Beberapa tarian berakar dari upacara religi keagamaan, kesuburan, upacara ritual kenegaraan,  ritual peribadatan tertentu yang berdasar pada kepercayaan kuno.  Ekspresi yang muncul dalam konteks ini didasari oleh nilai dan semangat untuk mengabdi pada kekuatan-kekuatan ilahiah. Seblang, Sintren, lais, dan beberapa jenis tarian sakral lainnya diilhami oleh proses dialogis antara manusia dengan kekuatan ilahiah. Proses dialog sakral tersebut terefleksikan pada mitos pemujaan, pengorbanan, pemeliharaan kesuburan, kelestarian hidup, maupun  tolak balak.
            Penari seblang, sintren, lais   hadir ditengah-tengah masyarakat melalui mimpi gaib ataupun penunjukan melalui proses kesuruban untuk membangunkan hajat ritual demi kelestarian dan kelangsungan hidup. Dahyang/dhanyang, roh leluhur desa merupakan simbol kekuatan imanent yang mencekam masyarakat atau sekelompok masyarakat. Kekuatan imanent ini membimbing penari maupun masyarakat untuk menyerahkan dirinya. Atau setidak-tidaknya menuntun pemahaman manusia terhadap fenomena supranatural dan daya gaib yang menguasai kehidupan manusia dan lingkungannya.
            Shamannisme dan totemisme memiliki pengaruh yang sangat besar pada tarian-tarian sakral yang tumbuh dan berkembang pada berbagai belahan dunia dengan neka bentuk budaya religinya. Para shaman menjadi penuntun dan penutur yang berpengaruh dalam membangun mitos tentang daya-daya gaib. Tarian Sanghyang di Bali, Tarian jaranan/kuda kepang Jawa, seblang, sintren, maupun Lais dikendalikan sepenuihnya oleh daya kekuatan gaib yang bersifat magis.
Pertunjukan tari menjadi peristiwa sakral yang diwarnai oleh nilai dan sikap khusuk masyarakatnya. Penari maupun pelaku seni lainnya tenggelam dalam kekhusukan ritual, secara psikologis kelompok yang terlibat dalam peristiwa tarian sakral tenggelam dalam kontemplasi mendalam untuk membebaskan diri dari kekuatan yang menghantuinya. Kemeriahan ritual yang menyertainya merupakan refleksi cita rasa hajat hidup yang diinginkan dalam setiap batin pelaku ritual yang sakral tersebut.
            Tarian tayub, gandrung, bajidoran, tandhakan yang lahir dari kepercayaan kuno tentang sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup) merupakan mitos kelestarian dan kelangsungan hidup yang harus dibangun lewat spiritualitas kesuburan. Sentuhan unsur atau dzat yang melekat pada laki-laki dan dzat perempuan memiliki daya yang membangun kesuburan dan kelestarian hidup. Mitos bapa angkasa ibu pertiwi, lingga yoni merupanakan idiologi mendasar dari tarian     tayub, gandrung, bajidoran, tandhakan.  
            Perayaan panen,  sedhekah bumi, bersih dusun maupun ritual lainnya yang sejenis menjadikan peristiwa tari memiliki posisi penting dalam membangun simbol kemakmuran hidup. Semangat yang meluap-luap menjadi gambaran yang jelas tentang invbestasi kelastarian hidup ke depan. Bahasa tubuh para penari perempuan bersentuhan dengan semangat dan gairah pengibing merupakan refleksi integratif jagad lanang dan jagad wadon  yang menimbulkan daya magis bagi tumbuhnya kesuburan tanaman. Atau dalam pemikiran yang lebih rumit proses integrasi bahasa tubuh penari perempuan dan pengibing memberikan gambaran reflektif tentang semangat hidup dan hajat hidup yang meluap-luap.
            Masyuk dalam penikmatan bahasa tubuh dan menari  merupakan unsur kontemplatif. Ekstase yang dicapai lewat bahasa tubuh dsan sentuhan emosional penari perempuan terhadap pengibing memiliki dampak psikologis yang sangat halus dan mendalam. Seksualitas dan vitalitas hidup pelaku tradisi tayub, gandrung, bajidoran, tandhakan  dibangun melalui sentuhan-sentuhan bahasa tubuh penari perempuan dengan para pengibingnya. Secara utuh peristiwa tari tidak hanya pada wilayah fisikal yang bersifat inderawi tetapi juga merasuki wilayah batiniah yang bersifat psikiologis.
             
Ideologi Kultural, Kebudayaan Negara, dan Pasar
            Secara umum tumbuh dan berkembangnya tari dipengaruhi oleh tiga aspek yaitu ideologi kultural, kebudayaan negara, dan pasar. Ideologi kultural merupakan nilai ideologis yang berakar pada   hajat kebudayaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Kebudayaan negara memiliki kekuatan politik melalui jejaring birokrasi mengatur dan menghegemoni semua aset kebudayaan dibawah kuasaan politik dan  birokrasi. Pasar merupakan kekuatan yang dibentuk oleh kepentingan pengembangan ekonomi yang merangsang tumbuhnya komersialisasi seni.
                       
Lembaga Kebudayaan dan Desain Koreografi
Secara ideologis tari dalam kehidupan masyarakatnya memiliki kaitan mendalam dengan hajat hidup dalam rangka berkebudayaan. Lingkungan alam, kebudayaan, dan masyarakat selaku subyek menuntun tumbuh dan berkembangnya tari dalam memenuhi hajat hidup. Geobudaya menjadi ibu dari proses kreatif dalam membudayakan tari sebagai pemenuhan kebutuhan hidup berbudaya. Proses tumbuh dan kembang yang dituntun oleh faktor budaya, lingkungan, dan masyarakat secara perlahan dan rumit membangun sebuah desain koreografi.
            Secara garis besar geobudaya memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menumbuhkan keberagaman koreografi. Geobudaya membangun jaringan subkultur ke dalam desain residu budaya. Kondisi fisik dan demografi lingkungan  mendetruksi kebudayaan yang homogen menjadi hiterogen dan pluralistik. Kerumitan faktor perhubungan dan komunikasi maupun  batas administrasi hukum dan politik memberikan peluang yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya tari pada residu budaya tertentu.
            Tari memiliki sifat otonom dengan kebudayaan yang melingkupinya pada wilayah geografi tertentu. Citra khas, karakter, dan  Eksotisme tiap sub kultur menjadi membangun identitasnya melalui faktor genetisnya. Residu budaya secara alamiah mendesain koreografi etnik sesuai dengan hajat hidup para pelaku budaya. Wilayah pegunungan, lembah, maupun pantai memiliki desain koreografi yang otonom sesuai dengan subkultur yang memangkunya.
            Jawa Timur merupakan kasus yang rumit dan menarik bagi tumbuh dan berkembangnya koreografi etnik. Sungai brantas, selat madura, pegunungan tengger, atau wilayah blambangan tumbuh sebagai subkultur yang khas dan menjadi faktor genetik bagi koreografi di Jawa Timur. Sejumlah tarian memiliki  bahasa tubuh yang otonom dengan citra etnik yang eksotik.
Residu budaya jawa mataraman terbangun karena kekuatan politik kebudayaan keraton jawa (Mataram) menghegemoni kebudayaan pada wilayah geografis sebelah barat aliran sungai brantas, budaya mataraman sering pula disebut brang kulon dengan oreintasi budaya kulonan (mataram). Budaya tari yang tumbuh dan berkembang pada residu budaya mataram memiliki citra estetik yang beroerantasi pada kemapanan estetika keraton  jawa. Memegang teguh pola bakuan/pakem.
Tarian wayang orang mengacu pada pakem tari gaya surakarta dapat dijumpai diberbagai wilayah Madiun, Kediri, Nganjuk, Blitar dan sekitarnya. Bahkan beberapa segmen tari kuda kepang juga mengacu pola-pola yang melekat pada gerakan tari wayang orang. Tarian gambyong, golek, pethilan, bahkan tari srimpi ditengarai juga menjadi orentasi utama. Tarian srimpi Lima di Malang memberikan gambaran yang konkrit tentang kuatnya hegemoni budaya keraton dalam persepsi estetik kerakyatan.    
Sebelah timur aliran sungai brantas disebut dengan istilah brang wetan. Brang wetan membangun residu budaya dengan orentasi budaya arek. Memiliki citra dan sifat budaya yang marginal bentuk tarian rakyat dengan koreografi kelompok (komunal), berpasangan, dan koreografi tungggal. Mencerminkan kolektivitas, sportivitas personal, tata pergaulan yang egaliter. Kasus yang sangat menarik adalah tarian ngremo yang melekat pada berbagai bentuk pertunjukan rakyat (ludruk, tandhakan, wayang kulit, topeng).
Tarian remo mencerminkan refleksi kemapanan yang borjuis yang lekat dengan sportivitas personal dan sifat egaliter. Struktur gerakan formal memberikan gambaran tentang citra baku mengenai teknik dan bentuk gerak. Tarian Remo tumbuh dan berkembang ke dalam style personal (Remo Munali Fatah, Remo Bollet, remo Sutinah, Remo Tresnawati, Catamm, Sri Utami dll). Gerakan-gerakan dibangun melalui bahasa tubuh yang otonom sebagai gaya pribadi..
Gerakan baku dalam struktur tarian remo pada bagian-bagian tertentu berelaborasi dengan sikap dan gerak low tension yang melepaskan diri dari gerak yang memiliki bentuk formal/baku. Semangat marginal yang egaliter memberikan sentuhan dinamik yang sangat berarti bagi terbangunnya type dan karakter gerak tari.
Wilayah pegunungan Tengger yang membangun residu budayanya dengan spiritualitas yang religius. Budaya tari melekat dengan upacara ritual keagamaan dan adat istiadat yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Sodoran karo dan beberapa repertoar tari, memiliki fungsi yang significan dalam penuturan budaya adati Tengger. Kekhusukan masyarakat dalam menjalani hajat hidup melalui budaya adati dan upacara ritual keagamaan memberikan peneguhan bagi estetika tarian etniknya. Spiritualitas dan religiusitas menjadi faktor genetik yang mendasar bagi kelestarian bentuk dan nilai koreografi.
   Pulau Madura dan pulau-pulau kecil disekitarnya membangun kebudayaannya etnik sendiri. Residu budaya yang terbangun  dapat ditengarai melalui penggunaan bahasa madura. Koreografi etniknya melekat pada berbagai pertunjukan dan upacara ritual. Pertunjukan topeng memiliki kekayaan gerak tari yang sangat menonjol. Beberapa tarian dibangun oleh seni bela diri yang berkembang diberbagai wilayah madura. Ronding, sintung, sandur merupakan sebuah pameran bentuk-bentuk gerak yang memiliki bentuk dan teknik khas. Ayunan tubuh hentakan kaki, ataupun nyanyian yang dilagukan vokalis pria dengan nada yang sangat tinggi memberikan gambaran reflektif tentang situasi kejiwaan para pelakunya.
Langkah telok[2] yang melekat pada sebagian besar sikap dasar tari (juga pencak  silat tradisional)  memiliki kaitan filosofis dengan sikap hidup secara rumit. Beberapa bentuk tarian lekat dengan budaya Islam (tradisi pondok pesantren) yang juga menjadi bagian signifacant dalam budaya masyarakat madura. Spritualitas dan religiusitas masyarakat berakar pada ajaran agama Islam.
Penolakan terhadap hegemoni politik dan kebudayaan dari luar yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat blambangan (banyuwangi) melahirkan budaya osing. Memiliki citra budaya tari yang berbeda, spirit kreatif yang didasari oleh sikap eksotik melahirkan koreografi yang eksotik pula. Tarian gandrung yang penuh dengan spirit gerak sensasional, goyang pinggul, rentangan lengan, gerakan kepala yang menyengati wilayah-wilayah gerak sensasional memberikan karakter sigrak dan berag.
Tarian seblang yang sakral lebih mencerminkan pula religiusitas mendalam yang berkaitan erat dengan mitos kesuburan dan kebijakan ekologi. Tarian yang berakar pada shamannisme ini memberikan gambaran yang jelas tentang kepercayaan lama tentang roh leluhur.
Migrasi penduduk yang merebak sejak lama diwilayah Besuki, Jember, Situbanda, Bandawasa, Lumajang dan Probolinggo melahirkan residu budaya baru yang disebut dengan mandalungan. Akulturasi budaya masyarakat madura dengan jawa menjadi faktor genetik koreografi mandalungan. Teknik dan bentuk gerak  tarian glipang, lengger, kerteh, topeng merefleksikan marginalitas. Ruang dinamis gerak menggambarkan keterbukaan peran, pada beberapa gerak tari dapat diamati silang gaya yang dibangun oleh tranformasi type dan karakter.
Tarian saman, hadrah diberbagai wilayah pesisir bagian penting dari akumulasi berbagai budaya dan tradisi yang terbuka dan marginal.    Residu budaya pesisiran memiliki gerak sosial agresif dalam merospon setiap pengaruh yang datang dari budaya manapun. Koreografi yang mendasari tradisi tari merupakan elaborasi pandangan religius yang vertikal dan tatanan horisontal pada kehidupan masyarakat Pengaruh Islam lebih nampak dominan desain gerak yang tegas simetris merefleksikan tatanan harmoni garis horisontal dan vertikal.
Nilai dan semangat ukuwah (bermasyarakat) yang dipandu oleh syariat agama melahirkan desain-desain koreografi kelompok. Kepekatan ruang gerak tubuh dalam hadrah, harmoni saman, komunikasi kinetik japin menggambarkan keterikatan sosial yang ingin dibangun melalui bahasa tubuh.
Residu-residu budaya dan desain koreografi yang dilahirkannya merupakan citra plural. Citra tari etniknya selalu didukung lembaga-lembaga kebudayaan dan tradisi adatnya. Sedhekah bumi, sedhekah laut, sesaji dan upacara korban adalah hajat ritual yang menompang secara ideologois dan pada tataran paling praktis.
Pesta perkawinan, hajat khitan, tingkepan, melapas nadzar, kaul., dll merupakan lembaga yang dikuatkan oleh spiriritualitas dan religiusitas masyarakat. Hadrah yang selalu melekat pada pesta perkawinan, tayub, tandhakan, lengger yang selalu menyemarakan pesta perkawinan merupakan nilai hubungan yang bersifat fungsional yang memberikan jaminan bagi kelestarian dan berkembangnya koreografi etnik.
Kepatuhan masyarakat terhadap tradisi dan budaya adati memberikan peluang yang sangat besar bagi tari-tari etnik untuk tetap lestari untuk berkembang secara fungsional dalam kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Adat seblangan, rokat, hadrah, sholawatan, merti desa, larung agung dalam sedhekah laut merupakan budaya ritual yang didasari oleh nilai dan sikap religius. Ikatan emosi religi masyarakat terhadap ritual keagamaan tersebut merupakan bentuk pengukuhan bagi tarian etnik.
Tarian etnik dalam konteks tersebut menjadi media transformasi simbolis yang menggambarkan hubungan masyarakat, lingkungan alam dan kebudayaan, dengan sang pencipta. Hubungan horisontal dan vertikal yang sakral dan significant dalam struktur kehidupan yang memiliki sifat menggenarasi menjadi pautan yang sangat kuat bagi tari-tari etnik. Gambaran hubungan masyarakat, lingkungan, agama dan kebudayaan, tarian etnik dan sanga pencipta digambarkan sebagai berikut,

         
  
        
           








Negara:  Kekuatan Birokrasi Jejaring Infrastruktur Penguatan Hegemoni
   Kesenian
            Negara memiliki peranan yang sangat kuat dalam mengarahkan, membentuk, mengubah kebudayaan. Dengan perangkat administrasi dan birokrasi, bahkan dengan kekuatan politik dan militer  pemerintah membangun kebijakan untuk membina dan mengarahkan kesenian dan kebudayaan sebagai aset politik dan pembangunan negara. Dalam konteks ini negara menerapkan pola pendekatan politik dan pedekatan kultural yang berorentasi pada cognitif interest dan practice interest. Pendekatan mendasar yang dilakukan negara dalam membina dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan berpengaruh terhadap munculnya fenomena bentuk kesenian dan pradigma kehidupan kesenian.
            Pada tatanan negara klasik kesenian menjadi bagian penting dari legitimasi kekuasaan raja dan  simbol status sosial. Tarian bedaya mengukuhkan kebesaran raja sebagai penguasa negara beserta isinya. Konsep dewa raja membawa asumsi penguasaan tribawana. Konsep ini memberi peluang bagi raja mengatur dan menggunakan tari maupun bentuk kesenian yang lain sebagai perangkat legitimasi kekuasaan. Seni tari yang adi luhung dalam konteks penciptaan maupun bentuk kepemilikan tersirat lewat istilah yasa dalem maupun  kagungan dalem. Seni adi luhung menjadi orentasi dasar dari semua estetika keraton dan budaya jawa pada umumnya.
            Raja mengangkat seniman untuk bekerja di keraton pada bidang seni tertentu. Mereka mendapat gelar dan kedudukan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Seniman digaji, diberikan sawah, atau rumah bahkan diberikan putri triman[3]. Dengan demikian kualitas nilai dan bentuk kesenian menjadi mapan pada kualitas paling puncak sebagai standar estetika. Pengaruh kemapanan nilai dan bentuk tari yang berkembang di  istana  menyebar ke luar, melekat pada berbagai bentuk tari maupun bentuk pertunjukan lainnya.Bentuk tari pada wayang orang, pethilan, maupun beberapa bentuk tari diluar istana menunjukan kerumitan sebagimana tarian dalam keraton.     
Dalam perkembagan berikutnya kewibawaan raja dan kekuasaannya memudar. Kemerdekaan Republik Indonesia melahirkan kebijakan politik kebudayaan dan kesenian. Negara memiliki visi dan misi yang berbeda dalam mengembangkan kesenian. Secara implisit  tersirat pada PP. No. 65/1951 tentang “memimpin dan memajukan kesenian daerah” yang secara tegas membawa pemahaman bahwa kesenian daerah harus diarahkan dan dibina berdasarkan visi dan misi politis negara.
Dalam konteks ini lebih mengarah pada satu ideologi, keseragaman, mengarah pada nation building.  Kesenian dan kebudayaan daerah diarahkan pada culture state  yang akhirnya menjadi berangus bagi seniman dan beberapa bentuk kesenian, yang akhirnya menukik pada permasalahan “kreativitas dan kebekuan daya cipta”. Birokratisasi cenderung menyeragamkan derap kehidupan, mendorong emansipasi ke arah kebekuan daya cipta.
Wacana yang berkembang dalam sistem sentralistik memungkinkan tumbuhnya pendekatan yang bersifat politis dan  cenderung otoriter. Implementasi kebijakan pembinaan dan pengembangan kesenian bergantung pada determinasi kelompok atau personal yang kuat, paling dekat dengan birokrat dan wilayah pembinaannya. Dengan demikian pendekatan yang bersifat struktural, prosedural, maupun perilaku menjadi lemah dan kehilangan makna (Solichin, 1990:101-105).
Dalam konteks birokratisasi kebudayaan negara menggiring kesenian ke arah cultural engineering. Birokrat lebih bertujuan mengatur, mengawasi, dan mengarahkan kebudayaan masyarakat agar menunjang kebudayaan negara(Hotman Siahaan 2000:3-4). Setidak-tidaknya ada beberapa instansi yang berwewenang mengurus kesenian antara lain  Dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas pariwisata dan seni budaya[4], dan berbagai lembaga pendidikan kesenian.
Tumbuhnya lembaga pendidikan kesenian Kokar[5] (konservatori  dan karawitan) memiliki peranan yang mendasar dalam mengembangkan tari etnik. Lembaga ini cenderung pada pandangan konservasi terhadap kesenian yang tumbuh dan berkembang dilingkungannya. Orentasi ini membawa dampak perkembangan tari sangat dipengaruhi oleh out put.
Lulusan mengembangkan bekal yang diperoleh dari pendidikannya diberbagai wilayah.Model tari etnik (repertoar maupun model koreografi) kemudian berkembang dengan mengacu pada model-mode yang dikembangkan pada KOKAR/SMKI. Hal ini mempengaruhi perkembangan tari etnik diberbagai pelosok daerah.
Perguruan tinggi seni[6] yang berdiri diberbagai pusat indigeniuos cultur menyerap dan mengembangkan pengetahuan tentang koreografi dari barat ke dalam tubuh tari etnik. Sebagian dari tindakan ini dinilai sebagai pencanggihan terhadap model koreografi etnik, sehingga muncul teknik komposisi baru yang berakar pada tradisi yang sudah ada. Modifikasi dan inovasi tersebut melahirkan desain koreografi etnik yang berbeda dengan yang ada sebelumnya.
Dampak lain yang muncul dari tumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan--yang berakar pada ideologi pembangunan negara dan istilah ”pembangunan nasional” sebagai mitos kerja dalam membina kehidupan kesenian dan kebudayaan nasional--dikotomi kesenian rakyat dan keraton, kesenian nasional dan kesenian daerah semakin tajam. Kesenian rakyat dan kesenian daerah dipersepsikan sebagai kesenian yang lemah dan tidak berdaya sehingga harus dicanggihkan lewat model pengembangan kesenian versi perguruan tinggi maupun persepsi lembaga kesenian pemerintah.
Fenomena yang muncul dalam wacana koregrafi antara lain:  pertama, bahwa  estetika lokal semakin terabaikan bahkan terlindas westernisasi. Koreografi yang berakar dari nilai dan semangat lokal semakin menipis serta tercerabut dari akar kebudayaan dan lingkungannya. Ke dua, modifikasi bentuk, teknik, dan model koreografi etnik yang digarap dengan menggunakan teknik garap akademik dan teknik konvesional yang berlaku dalam budaya tari lokalnya.
Prasangka terhadap westernisasi sebagai perusak tatanan tradisi etnik adalah karena pengetahuan dari Barat (yang dipersepsikan sebagai akar budaya modern) telah merusak tradisionalitas yang substansif. Teknik dan pendekatan koreografi yang dikembangkan pada perguruan tingi seni telah menanam, banyak bentuk, atau gagasan-gagasan yang secara eksplisit atau implisit, langsung ataupun tidak langsung, merugikan tradisi substansif.  Teori-teori telah diajarkan dalam perguruan tinggi seni menjadi pisau yang tajam yang siap menjadi alat bedah yang dapat diterapkan semena-mena terhadap tari-tari etnik.
Out put lembaga pendidikan yang tersebar diberbagai daerah menjadi agen of change dalam kehidupan kesenian. Sarjana tari, Penari, Penata tari yang lahir dari pendidikan akademik mengembangkan visi dan misi akademik di lingkungan kerjanya. Alumni perguruan tinggi seni oleh masyarakat dipandang memiliki ilmu pengetahuan, ketrampilan dan profesionalisme seni yang layak dan kompeten. Hampir sebagian besar urusan teknik pengembangan seni termasuk didalamnya penggarapan tari etnik dipercayakan kepada mereka.
 Dalam berbagai peristiwa festival tari dapat diamati model dan desain koreografi yang mengacu pada berbagai pendidikan tinggi seni. Repertoar tari etnik menjadi medium karya-karya baruan. Inovasi dan modifikasi yang muncul dalam kasanah koreografi etnik ini membuka ruang pengembaraan dan penjelajahan baru yang lebih membumi. Beberapa karya baruan diprasangkai sebagai karya yang eksploitasi terhadap tari etnik.
Diskusi menarik pada dewan kesenian malang, koerografik etnik dibahas dengan perdebatan runcing.  Kualitas bentuk dan teknik  tari etnik semakin kabur dengan   munculnya berbagai bentuk pendekatan garap komposisi dan koreografi. Hal gejala yang sama sebenarnya telah ditengarai oleh AM Munardi pada tahun 1998, bahwa dalam konteks perkembangan,  koreografi etnik di Indonesia telah didominasi oleh pendekatan-pendekatan akademik dari perguruan tinggi seni. Dengan demikian koreografi etnik tidak muncul sebagai kualitas kesenian nasional yang multikultural.
Gejala homogenisasi bentuk dan gaya koreografi etnik diduga karena hegemoni politis negara dalam mengarahkan kesenian kepada persepsi kebudayaan negara. Keberagaman etnik sebagai sumber gagasan estetik maupun sumber garap dinilai kurang mengindahkan nilai dan bentuk koregrafi etnik. Beberapa karya yang muncul belum menunjukkan kolaborasi dan elaborasi yang mendalam sebagai bentuk pengujaran estetika.   
            Kebijakan pemerintah tentang seni budaya dan pariwisata mendorong uncul kemasan-kemasan tari etnik yang disajikan sebagai paket wisata. Kebijakan ini mendorong lahirnya koreografi etnik instan yang mengacu pada kebutuhan wisata. Kemasan wisata hanya memenggal atau mencukil sebagai dari ekspresi tari diprasangkai komodivikasi dangkal sebagai pemelacuran estetika tari etnik.   Sisi lain kebijakan ini memiliki dampak tumbuhnya kesadaran akan komersialisasi seni, seni dipandang sebagai salah satu aset pengembangan ekonomi.
            Tumbuhnya sikap profit sebenarnya tidak hanya didorong oleh kebijakan ekonomi negara tetapi didorong secara kultural. Budaya ngamen, tanggapan, maupun tobongan merupakan tradisi penting dalam pemasaran kesenian dalam kehidupan masyarakat. Tarian topeng barangan, pethilan,  jaranan dan reog amen, cokekan,maupun bentuk tontonan barangan[7] lainnya  tumbuh dikalangan masyarakat ekonomi bawah didorong oleh pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari.
Pada zaman Orde Baru semua kebijakan pemerintah diarahkan demi keberhasilan pembangunan.. Agar pembangunan berhasil pemerintah membutuhkan stabilitas politik. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah mencanangkan dua pendekatan yaitu prosperity approach (pendekatan kesejahteraan/kemakmuran)  dan security approach (pendekatan keamanan). Pendekatan yang kedua ini (security approach) sangat mempengaruhi langkah para pelaku kebijakan yang bergelut dalam bidang kesenian dan kebudayaan.
Dalam melakukan tugasnya, para pelaku kebijakan harus senantiasa sejalan dengan kehendak Pemerintah Pusat merujuk kepada apa yang tersurat dan tersirat dalam GBHN. Penguasa Orde Baru memanfaatkan kesenian sebagai alat propaganda politik dan alat untuk meyebarluaskan program-program utama pemerintah, seperti misalnya,  pemasyarakatan P4, Keluarga Berencana, dan pogram-program lain yang terkait dengan isu pembangunan nasional.
Gerak langkah para pelaku kebijakan harus sejalan dengan GBHN. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1978 terdapat kalimat yang berbunyi “ didalam rangka pembinaan kesenian perlu dikembangkan kebijaksanaan yang menopang kreativitas seniman yang sehat” Bunyi kalimat ini sangat mempengaruhi  para pelaku kebijakan yang berkecimpung dalam bidang pembinaan dan pengembangan kesenian. Mereka  sangat berhati-hati dalam menterjemahkan kalimat ini.
Kata “sehat” dimaknai sebagai upaya, langkah, atau kretaivitas yang “tidak bertentangan dengan pemerintah”. Oleh karena itu, syair-syair lagu, lakon, dan karya-karya lain yang mengandung kritik terhadap kebijakan pemerintah tidak memperoleh ijin untuk dipentaskan, baik diruang tertutup maupun di muka umum. Rendra, MH Ainun Najib, Iwan Fals, dan Oma Irama dipersulit ijin pentasnya karena syair lagu dan puisi-puisi mereka  dianggap sarat dengan kritik.
Kelompok-kelompok teater yang sangat kritis seperti Teater Gapit dan Gandrik dilarang muncul di ruang publik karena dialog dan tema yang dibawakan kurang sesuai dengan tema sentral “pembangunan” dan kebijakan pemerintah.  Pengarang dan penggubah  syair lagu baik dalam tingkat lokal maupun nasional yang diprasangkai terlibat dalam partai terlarang dan ormas-ormasnya tidak diberi peluang untuk berkarya dan tampil di depan publik karena dikawatirkan akan mengganggu stabiltas politik. 
Para pelaku kebijakan pemerintah di daerah pada umumnya sangat takut salah dan selalu khawatir dalam mengambil kebijakan karena jika sampai melakukan  kesalahan mereka akan menerima risiko politik (dianggap membangkang) dan kemudian  mendapatkan sanksi administratif, misalnya digeser dari jabatannya. Untuk itu, agar selamat, dalam  melakukan pembinaan dan pengembangan kesenian,  para pelaku kebijakan pembinaan kesenian di daerah selalu berkoordinasi dan berkonsultasi dengan aparat keamanan terutama dengan Laksusda dan Sospol serta Departemen Penerangan.
Departemen Penerangan yang menjadi corong utama Pemerintah  menyebarluaskan dan memasyarakatkan berbagai kebaijakan dan program pemerintah. Secara tersamar ada rambu-rambu yang tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar, misalnya mempersoalkan eksistensi UUD 1945, Pancasila, Dwi Fungsi ABRI dan kiprah keluarga penguasa tertentu, terutama yang terkait dengan kegiatan bisnis. Jika rambu-rambu tersebut dilanggar, para pelanggar akan dimasukkan dalam daftar hitam (black list) yang berakibat buruk terhadap karier kesenimanan mereka, misalnya tidak memperoleh izin pentas, tidak mendapatkan fasilitas,  atau bahkan diinterogasi.
Penyeragaman bukan hanya terjadi pada wacana tetapi juga pakaian dan berbagai atribut. Tetapi semuanya bermuara untuk kepentingan kekuasaan. Penataran dan pakaian seragam adalah dua teknik yang dipakai Orde Baru dengan teliti dan efektif. Pengetahuan sudah tidak lebih dari upaya penyeragaman pikiran yang secara fisik dilambangkan oleh pakaian seragam itu. Pakaian seragam adalah pakaian kekuasaan. Pegawai negeri harus mengenakan pakaian seragam dan dengan sendirinya berhubungan secara langsung dan kontan pada industri teksil yang pada tahap itu sudah mencapai kosentrasi tinggi di tangan para pejabat Orde Baru, dan konco-konconya  (Dhakidae, 2003: 352-253).
Negara Orde Baru memanfaatkan kekuasaan secara produktif. Ia menciptakan bahasanya sendiri, dalam berbagai kombinasi.  Tiga jenis bahasa yang menjadi diskursus politik penting di dalam bahasa Orde Baru adalah pemakaian singkatan-singkatan, akronim, dan eufemisme. Dalam gabungan yang menkjubkan ketiga genre berbahasa di atas  menjadi teknik dan teknologi kekuasaan yang sangat efektif (Dhakidae,  2003: 361).
Totalisme Orde Baru lebih sering terlihat dalam kontradiksi yang diciptakannya sendiri. Satu kata yang diusahakan dan diatur untuk menjadi musuh orde baru adalah “politik” dalam pengertian khas, “pertarungan kekuasaan”. Ilmu menjadi politikal alat pembenaran kebijaksanaan. Dalam satu tarikan,  semuanya menjadi bayang-bayang penuh dari penguasa tunggal Orde Baru,  sebagai the sovereign,  pemilik kedaulatan (Dhakidae, 2003:746-747).
Dampak dari pola kebijakan politis tersebut menjadikan hampir sebagain besar festival tari yang mengangkat citra etnik menjadi seragam. Cita rasa yang muncul adalah cita rasa kenikmatan visual. Muncul dalam bentuk karakter yang sensual. Beberapa gejala hasil festival menjadi acuan yang membelenggu kreativitas seni dapat diamati pada pelaksanaan lomba. Dampak negatif yang muncul dari festival karya menghasilkan keseragaman baik secara tema maupun bentuk visual auditifnya.  Desain karya tari yang lahir dari versi pembinaan birokrasi merebak pada sebagian besar karya tari baruan yang muncul pada pentas kompetitif (lomba dan  festival ). Pola keseragaman yang melekat pada hampir sebagian besar karya tari dalam festival karya tari juga dapat diamati pada beberapa bentuk pentas apresiasi tari.
          Faktor-faktor tersebut di atas secara dominan melekat pada garap tari yang muncul dalam festival karya tari. Lentho mengatakan bahwa hampir sebagian besar penata tari terjebak pada desain visual, yang bercitra sangat glamour sehingga kekuatan tari yang mestinya mengungkap nilai-nilai potensi lokal menjadi hampir tidak kentara (wawancara 8 Mei 2008). Pernyataan ini setara dengan ungkapan Munardi dan Hidayat bahwa hampir sebagian besar karya yang muncul memiliki desain menyerupai mosaik. Koreografi terdiri atas pertunjukan yang aneka rupa tanpa disertai pencapaian asas unity dan complexity yang mendalam. Busana yang ditampilkan terkesan sangat dramatis sehingga citra etnis kulturalnya memudar (jarianto 2006: 79).
            Karya-karya tersebut cenderung menawarkan kenikmatan visual sekilas, sehingga lebih tepat jika dikemas untuk sajian sesaat. Hal ini sangat erat dengan persepsi awal bahwa kesenian merupakan tontonan yang dapat menimbulkan kenikmatan inderawi dan kesenangan batin. Dalam konteks ini nampaknya kenikmatan inderawi lebih dominan dari pada kepuasan batin.
            Citra yang sangat mencolok dan  glamor sangat dominan melekat pada hampir sebagian besar karya tari yang berpredikat terbaik. Karya tari tersebut kemudian  cenderung menjadi model hampir sebagian besar pentas yang bersifat kompetitif maupun apresiatif. Lahirnya model dari festival karya seni merupakan hasil produk kebijakan yang cenderung menempatkan kesenian sebagian aset potensial yang sangat perlu didukung melalui ajang kompetitif.
Kreativitas maupun produktivitas sangat tergantung pada forum festival atau bentuk lain yang didukung oleh kebijakan birokrasi pemerintah dan jajaran kedinasannya. Hal itu menyebabkan iklim berkesenian menjadi sangat bergantung pada pemerintah. Priyono menyatakan hampir sebagian besar karya tari yang muncul pada festival karya tari merupakan produk kebijakan birokrasi (wawancara 16 Februari 2008). Arus kebijakan tersebut mengalir dari pusat ke daerah, atau lebih tepat dari pusat kekuasaan ke jajaran bawah, sehingga visi dan misi yang disampaikan selalu dimaknai sebagai perintah atasan. Keseragaman makna maupun bentuk menjadi gugus desain yang pasti sejak Orde Baru sampai pasca Orde Baru.

Otonomi Daerah dan Merebaknya Pasar Sebagai Lembaga Komersial  
Perubahan birokrasi dan administrasi berawal dari berubahnya tatanan pemerintahan dari sentralistik ke arah desentralistik yang dikukuhkan  dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Asas desentralistik memberikan ruang pengembangan potensi lokal merangsang tumbuhnya kemadirian daerah. Partisipasi masyarakat, elit masyarakat, maupun birokrasi meunjukan peningkatan. Otonomi daerah lebih memungkinkan tumbuhnya kesempatan yang seluas-luasnya bagi kelompok etnik untuk mengekspresikan kebudayaannya sehingga tumbuh sikap yang apresiatif terhadap pluralisme (Jatmika 2003:7).
Perkembangan tari etnik kerakyatan pada pasca orba dipengaruhi faktor,  sosial politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan sosial politik memberikan ruang yang merdeka bagai tari-tari etnik untuk berkembang lewat pengembangan ruang komersial. Pasar menjadi lembaga baru yang menjanjikan. Hal ini merangsang tumbuhnya perubahan bentuk estetik, cita rasa, moral dan etika.  Perubahan dapat diamati pada tayub, jaranan, gandrung, juga beberapa tarian etnik lainnya dapat hidup pada berbagai ruang publik, yaitu:  (1) ditengah budaya masyarakat agraris yang alami dan (2) berkembang kearah media rekam dan tayang.
            Perkembangan estetika tarian etnik lebih berorientasi pada selera pasar melahirkan kemasan bernuansa pop, kekinian lebih bersifat konsumtif dan instan..  Bentuk perubahan tersebut dapat diamati melalui peredaran  gendhing-gendhing tayuban, jaranan campursari, gandrung terob, dan lain-lain  dari berbagai gaya, dan corak kedaerahan. 
Kualitas artistik, rekaman kurang mempertimbangan estetika pertunjukan. Kualitas rekaman visual auditifnya rendah tanpa mempertimbangkan tata rupa pentas sehingga ekspresi dan karakter tampak sebagai pesona kilas. Hampir sebagian besar rekaman live show  belum disertai dengan  penataan skenario, dan ketrampilan teknis perekaman  yang belum memadai.
Intervensi Market oriented dalam penggarapan estetika semakin kuat. Anekaragam modifikasi bentuk gendhing secara dominan dengan berbagai gaya dan cita rasa.  Gubahan dan modifikasi tersebut didasarkan pada perkembangan bentuk-bentuk seni pop yang sedang laku di pasaran sehingga untuk produk rekaman VCD cenderung menyajikan lagu dan gendhing yang sedang populer. Pelaku seni bangga pementasannya direkam seorang produser VCD lokal, karena mendapat tambahan honor serta dapat merintis popularitas lewat  VCD yang akan beredar di pasaran
Memasuki periode reformasi,   ketika negara sedang dilanda krisis moneter, beberapa tarian etnik kerakyatan (jaranan) tetap bertahan hidup dengan caranya sendiri. Proses kreatif dan aktivitas mereka dikendalikan oleh spirit religi sembari mengeksplorasi fungsi  ekonomi kesenian yang ditekuni. Proses kreatif kelompok kesenian jaranan cenderung responsif terhadap bentuk-bentuk penawaran yang laku dan mudah dijumpai dalam realitas lingkungan.
Estetika lingkungan yang bersifat trend, populer, lugas, sederhana membuat penawaran kesenian jaranan selalu oleh diterima lingkungan.  Tidak jarang pula beberapa penari jaranan ngamen berkeliling kampung, dengan peralatan sekedarnya. Hal tersebut wajar terjadi karena dorongan ekonomi –mencari tambahan penghasilan-- dari pada berdiam diri di rumah.   
            Proses kreatif yang muncul melahirkan dua desain kemasan (1) bentuk tarian etnik yang berorentasi pada nilai klasik, (2) kemasan yang berorentasi aktualitas dan comersial time. Bentuk kemasan yang pertama menawarkan nilai normatif, romantisme, juga scholarship, lebih terikat pada eksotisme etnik, dan konservatif. Bentuk-bentuk ini berkembang pada wilayah pengembaraan dan penjelajahan nilai histories, keindahan klasik, sedikikit agak antropologis. Biasanya menyajikan tarian yang berakar pada tradisi  rakyat atau etnik, tarian tradisi kraton yang adi luhung.          Bentuk tarian yang dikemas dalam bentuk sajian yang singkat dalam durasi sajian yang sangat singkat. Pesona yang ditawarkan merupakan  kilasan-kilasan estetik yang mencuplik dari khasanah tari yang ada.
Merebaknya media hiburan elektris  VCD player yang harganya terjangkau oleh berbagai kelas masyarakat, mendorong Tumbuhnya usaha lokal memproduk kaset vcd dari berbagai sumber seni hiburan.  Jaranan, tayub, remo menjadi aset pengembangan ruang komersial. Beredarnya kaset VCD merangsang popularitas tari etnik. VCD bajakan yang sangat murah menjadi media promosi dan publikasi yang sangat efektif dan efisien.  Dampak pemakaian teknologi canggih memberikan peningkatan pendapatan, popularitas.

Pustaka Acuan
Abbas.
2001.          Peninggalan Sejarah dan kepurbakalaan di Jawa Timur. Surabaya: Dinas pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.

Ayu Sutarto,
     2002,          Menjinakkan Globalisasi : tentang Peran Strategis Produk-produk Budaya Lokal. Jember : Universitas Jember.

Barrucha, R.
     1999.           “Interkulturalisme dan Multikulturalisme di Era Globalisasi, Diskriminasi, Ketidakpuasan”, dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, No 4, Th. IX 1998 – 1999.

Budhisantosa.
1981           ”Kesenian dan Nilai-Nilai Budaya” dalam  Analisis Kebudayaan. Th II 2 Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI.

Fauzi Ridjal dan M. Rusli Karim.
1991.         Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara wacana.
Hotman, M. Siahaan.
2001.        Gerakan kebudayaan sebagai kounter gejolak sosial, makalah dialog budaya STK Wilwatikta Surabaya, Juli 2000.

Jarianto.
2004.          ”Globalisasi: Posisi Budaya Lokal dalam Konteks Kebudayaan dan Pariwisata” makalah dialog budaya pada Universitas Muhamadiyah Malang. Oktober 2004.

2006.          Kebijakan Budaya pada Masa orde baru dan pasca orde baru.
                        Jember: KompyawisdaJatim.

Jazuli.
2000.          Paradigma Seni pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta: Lantera

Kleden, Leo.
       1999.        Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran Paradigma Kebudayaan dalam Gelar, Journal Ilmu dan Seni. STSI Surakarta             No.3/Februari/1999.

Magnis Suseno.
       1992.        Filsafat kebudayaan politik : Butir-butir Pemikiran kritis. Jakarta : Gramedia.

Muji Sutrisno.
        1998.       Nuansa-nuansa Peradaban. Yogyakarta  : Kanisius.

Nimpoena, John.
         1992.      Mencari suatu kerangka acuan guna mengelola kaji proses perkembangan kebudayaan nasional dalam analisis kebudayaan th II No. 2 1981/1992.

R. Djoko Prakosa.
       2002.        Pengembangan Tari: Wacana Retorik Pengembangan Kesenian dalam Era Otonomi Daerah. Makalah diskusi Dewan Kesenian Malang 11 April 2002.

Sal Murgiyanto.
       1999.        Nasional, Lokal, Global : Beberapa masalah kesenian kita dalam Journal Ilmuwan seni STSI Surakarta No. 3 Februari/1999..

Selo Sumarjan
       1981.        “Kesenian dalam perubahan kebudayaan”, dalam Analisis Kebudayaan Th I No. 2 1980/1981.

Soedarsono.
      2003.         Seni Pertunjukan: dari Perspektif  politik, sosial, dan Ekonomi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers



Rohmat Djoko Prakosa, Dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya lahir di Sukoharjo 16 Mei 1965. Setelah lulus SPG Negeri Rembang  melanjutkan Kuliah S I Seni Tari pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. Menyelesaikan program pasca sarjana Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2006. Menulis kritik dan essay seni pertunjukan, tari, dan sastra pada berbagai media masa dan jurnal ilmiah seni antara lain: Majalah Gong, Jaya Baya, Panyebar Semangat,  Majalah Kidung, Jawa Pos, jurnal ilmiah seni Prasasti, Ekspresi, Padma, Bende, dan Cakrawala. Sekarang menjabat Ketua Jurusan Tari pada Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Timur, Ketua Jum’at Legi Art Nert Work.  Aktif dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya,  dan aktif sebagai penata tari. Beberapa karya tari yang dipublikasikan antara lain: Res, Rah 123, Mak, Lak, Lud, Luk,  Luh,  Sir, Wuk, Ndhog,



[1] Tarian etnik maupun bentuk kesenian yang lainnya dihadapkan pada tantang vertikal dan horisontal. Tantangan poltik dan jarajan birokrasi menjadi hambatan dalam membentuk jejaring kerja seni, dan kompetisi yang semakin ketat antar seniman dan pengguna jasa seni.

[2] Dalam beberapa penuturan narasumber langkahtelok merupakan symbol hubungan antara lingkungan alam, manusia dan tuhan. Pola pemikiran filosofis tersebut juga melekat pada bentuk musik kenongtelok.yang seringkali dapat melekat pada sajian musik etnik dan tarian madura.
[3] Selir raja yang kemudian diberikan kepada pegawainya untuk diperistri.
[4] Sebuah birokrasi baru yang memiliki peranan memposisikan kesenian sebagai asset ekonomi Negara.
[5]  SMKI didirikan pada beberapa pusat perkembangan seni di Indonesia antara lain, di Surakarta, Yogyakarta, Banyumas, Denpasar, Bandung, Padangpanjang, Surabaya.
[6] ASKI, ASTI, IKJ.
[7] Tontonan yang digelar dengan cara ngamen/barang ngamen adalah tradisi kuno yang berlanjut sampai sekarang dikalangan masyarakat umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar