INTERPRETASI MAKNA DALAM PERTUNJUKAN JARAN KENCAK
Oleh: Suyadi, S.Sn.,M.Sn.
Abstrak
Rangkaian pertunjukan Jaran Kencak yang terdiri
atas beberapa tahapan serta durasi yang panjang bukanlah semata-mata sebagai
hiburan saja. Selama peristiwa pertunjukan berlangsung ditafsirkan beberapa
makna yang dapat dikaji berdasar melalui setiap tahapan adegan. Berbagai
tahapan atau adegan memiliki makna yang dapat dikategorikan makna sosial, makna
ritual dan makna pendidikan. Pertunjukan dalam kepentingan hajat khitanan
nampak bahwa dari keseluruhan bagian menggambarkan kasih sayang terhadap anak
yang disebut temangan yang memiliki
makna menimang anak dengan menaikkannya
ke atas kuda kencak dan selajutnya diarak untuk mengunjungi rumah-rumah sanak
keluarga sebagai perwujudan dalam permohonan doa restu yang disebut prosesi
arak-arakan. Nilai dalam hal ini memberikan pendidikan pada anak bagaimana
bersilaturahmi, bersosial dan penanaman kedewasaan pada anak setelah dikhitan.
Pertunjukan Jaran Kencak selain berfungsi hiburan juga memiliki muatan-muatan
makna dengan menganalogikan pada sebuah peristiwa dengan kepentingan
masyarakat, agama dan juga pendidikan.
Kata Kunci : interpretasi, nilai, tradisi
Pendahuluan
Pertunjukan
Jaran Kencak banyak ditemukan dalam masyarakat yang berada dalam wilayah
Kabupaten Lumajang, Probolinggo, Jember atau di sekitar daerah yang masuk dalam
wilayah Pendalungan. Khususnya di wilayah Lumajang kesenian Jaran Kencak sudah
menjadi salah sati icon masyarakat Lumajang. Pertunjukan Jaran Kencak tidak sebatas
pada kepentingan hajatan masyarakat tetapi dalam aktivitas seperti festival
kesenian Daerah Lumajang telah mempercayakan pada sekelompok kesenian Jaran
Kencak, melalui berbagai event itulah
kesenian Jaran Kencak mulai dikenal oleh masyarakat atau daerah lain. Jaran
Kencak juga sering menyemarakkan hajatan pemerintahan seperti pada hari Jadi Lumajang atau peringatan hari besar nasional, tentu saja
hal demikian semakin menambah semaraknya perkembangan kwalitas dan kwantitas
kesenian Jaran Kencak
Istilah “Jaran Kencak” sering juga disebut “Kuda Kencak”
hal tersebut terinspirasi dari seekor binatang yaitu kuda (jaran dalam bahasa jawa). Sebutan kuda kencak adalah istilah dalam
dialek untuk menyebut “kuda menari”.
Binatang Kuda dilatih untuk bisa menari, beratraksi mengikuti alunan
suara gamelan. Kuda berjoget (beratraksi) dengan mengangguk-anggukan kepalanya,
menggoyang-goyangkan pinggulnya, menghentak-hentakan kakinya mengikuti irama
gamelan yang dilantunkan oleh para penabuh
gamelan yang disebut Janis (niyaga, pengrawit atau panjak dalam istilah karawitan). Tempat
pementasan kesenian Jaran Kencak dapat digolongkan dalam bentuk arena yang
merupakan bentuk sederhana apabila dibandingkan dengan tempat pentas yang
lainnya. Beberapa bentuk pentas dalam seni pertunjukan seni tradisi di
Indonesia dikenal beberapa bentuk yaitu arena, prosenium dan campuran,
(Martiara, 2003:171). Dalam setiap gerak
dan langkah kaki kuda menimbulkan suara gemerincing yang berasal dari kostum
kuda, demikian juga halnya setiap gerakan kuda menimbulkan kekaguman dan
keunikan serta juga menggelikan bagi setiap orang yang melihatnya (penonton). Kuda
yang telah terlatih memperlihatkan keseksian serta kepiawaianya dalam setiap
pertunjukan yang juga diselingi dengan atraksi-atraksi dari kuda tersebut.
Keindahan
dari kuda juga nampak dari balutan kostum yang dikenakan, diibaratkan bagaikan
seorang bidadari cantik yang turun dari kahyangan, kuda tersebut dimanjakan
dengan warna-warna busana serta kerlap-kerlip warna keemasan yang menambah daya
tarik saat kuda menari. Sebagaimana diungkapkan dalam panyandra pada saat kuda akan memasuki arena pertunjukan yang
dilakukan oleh seorang dalang ketika kuda mulai berjalan memasuki arena
pertunjukan. Sesuai dengan nama pertunjukan Jaran Kencak maka kuda sebagai
tokoh sentral menjadi wajar jika sangat dimajakan dengan busana yang serba
elok. Adapun ostum Jaran Kencak terdiri
dari jamang (mahkota) yang merupakan pernik-pernik asesoris dengan warna-warna
yang mencolok, kemul (selimut)
bergambar leak, kalung dada, ulur
yang melekat sekaligus sebagai pembungkus seluruh tubuh kuda.
Setiap
pertunjukan kuda disertai oleh seorang pawang atau juragan yang sekaligus juga
sebagai penari yang berbusana sebagaimana penari remo yang disertai lantunan
atau kidungan. Melalui lantunan
kidungan yang dibawakan oleh penari remo dapat ditangkap sebagai berbagai makna
ungkapan. Secara runtut lantunan kidungan dapat dimaknai sebagai ungkapan
selamat datang untuk para tamu dan ucapan syukur serta ucapan terima kasih
bahkan tak jarang disertai dengan memperkenalkan diri asal dan nama grup Jaran
Kencak yang sedang bermain.
Iringan
yang digunakan dalam kesenian Jaran Kencak terdiri dari satu perangkat kenong
telok yang digunakan untuk iringan arak-arakan dan satu perangkat gamelan Jawa
untuk iringan kejungan. Gending atau lagu-lagu yang dimainkan sebagai
pembuka dengan gending Sarkaan, Giro Tamu atau lagu-lagu daerah Madura.
Urutan
Penyajian Jaran Kencak diawali dengan gending pembuka (instrumentalia),
dilanjutkan dengan tarian kuda kencak disertai dengan tarian pawangnya yang
diselingi dengan nyanyian atau kejungan
dengan bahasa Madura. Adegan berikutnya disertai dengan lawakan atau ludrukan. Sedangkan
untuk hajat khitanan dilakukan arak-arakan maksudnya untuk mengarak pengantin
sunat menuju ke rumah-rumah yang telah ditentukan oleh keluarga dengan tujuan
permohonan doa restu. Sebagai puncak pertunjukan dilanjutkan pada malam harinya
dengan jenis kesenian tayuban atau ludrukan sesuai dengan selera pemilik hajat.
Pertunjukan pada malam hari sebagai hiburan yang tidak lagi terkait lagi dengan
pelaksanaan tradisi masyarakat.
Interpretasi Makna berdasarkan Struktur
Pertunjukan
Rokatan/Ruwatan Jaran
Bersamaan dengan para
pengrawit mempersiapkan diri termasuk menata seluruh alat musik yang
dipergunakan sebagai iringan pertunjukan Jaran Kencak maka rombongan penari
termasuk kuda juga mempersiapkan diri di tempat yang telah dipersiapkan oleh
tuan rumah. Sebelum para penari merias diri termasuk menghias kuda maka juragan
Jaran Kencak minta kepada tuan rumah atau pemilik hajatan seperangkat sesaji
untuk melaksanakan ruwatan jaran (kuda). Tujuan dilaksanakannya ruwatan kuda merupakan suatu tradisi
sebelum pertunjukan berupa permohonan agar diberikan keselamatan, kelancaran
dan tidak menemukan hambatan dalam bentuk apapun selama pertunjukan. Permohonan
keselamatan juga ditujukan untuk tuan rumah agar mendapatkan berkah dari Tuhan
Yang Maha Esa. Begitu juga dengan anak yang dikhitan agar nantinya menjadi anak
yang sholeh, berakhlak baik, berbudi pekerti yang baik serta berbakti pada orang tuanya.
Ruwatan atau rokatan disebut juga dengan slametan, dalam hal ini acara slametan dipimpin oleh juragan Jaran
Kencak. Proses ruwatan diawali dengan
membakar kemenyan yang telah dipersiapkan tuan rumah bersama perangkat sesaji
yang lain. Kemenyan diletakkan di tengah-tengah sesaji dan sambil membaca
doa-doa atau mantra kemudian asap dari hasil pembakaran dibawa keliling dan
diarahkan ke seluruh pendukung pertunjukan Jaran Kencak. Terakhir bakaran kemenyan
dibawa ke luar ke tempat kuda dan pawang yang saat itu berada di luar rumah.
Jula Juli (Napel/ sumpingan)
Pertunjukan Jaran Kencak
diawali dengan masuknya dua kuda dikatakan oleh pembawa acara bagaikan dua
bidadari yang turun dari kahyangan (kalau kuda yang dipakai dua ekor). Kedua
kuda tersebut mengenakan busana dengan warna-warna yang serba mencolok dihiasi
dengan pernik-pernik dan kelihatan glamor. Kuda berpenampilan anggun dan suara gemerincing dari bagian kostumnya
saat berjalan menuju ke arena dan serta merta disambut tepuk tangan oleh
penononton dengan perasaan kagum. Diiringi oleh seperangkat gamelan Jawa, kuda
mengangguk-anggukan kepalanya, melenggak-lenggokan tubuhnya dan
mengibas-kibaskan ekornya sambil berputar-putar
mengelilingi arena pertunjukan.
Adegan dilanjutkan dengan
tarian remo yang dilakukan oleh pawang kuda dan ada kalanya jumlah penari
bertambah menjadi tiga orang hal ini agar lebih meriah. Tarian remo sekaligus
sebagai ungkapan ucapan selamat datang untuk para tamu yang dilanjutkan dengan kejungan. Syair dalam kejungan secara umum menggunakan bahasa
Madura tetapi ada juga yang dicampur dalam bahasa Jawa Tengahan di bagian awal
dan dilanjutkan syair dalam bahasa Madura. Rata-rata penari remo semua bisa
melakukan kejungan dan pada sajian
dilakukan secara bergantian. Makna syair dalam kejungan berdasar dari pengamatan dapat penulis simpulkan terdiri
dari beberapa inti yaitu ucapan selamat datang untuk para tamu, pengenalan pada
yang punya hajat dalam bentuk tembang dan pengenalan nama dari grup dan
pimpinan serta alamat Jaran Kencak yang sedang tampil, permohonan maaf dan
ucapan selamat menyaksikan.
Selama penyajian kejungan berjalan diselingi dengan
tradisi napel atau sumpingan yaitu pemberian uang dari
beberapa tamu juga saudara dan kerabat pemilik hajat. Tradisi napel atau sumpingan tersebut sebagai penghormatan pada tuan rumah dengan
pemberian uang, dan ada beberapa cara memberikannya, ada yang dilakukan
diberikan langsung kepada penari remo atau disediakan baki dan uang tersebut
nantinya diambil oleh penari remo. Dikatakan bahwa pemberian uang tersebut
sebagai penghormatan tuan rumah (pemilik hajat), dalam hal ini tergantung dari
bagaimana pemilik hajat sewaktu keluarga atau orang lain sedang memiliki hajat,
jika pemilik hajat awalnya sering memberikan uang tentu saja dalam kesempatan
ini sebagai balasannya.
Tradisi napel diawali oleh orang-orang yang memiliki status dalam
kemasyarakatan seperti, pamong desa, tokoh masyarakat baru diikuti oleh tamu
atau keluarga lain. Dalam hal inilah yang membedakan antara tamu yang datang
pada siang hari saat bersamaan pertunjukan Jaran Kencak. Kesimpulan dalam
adegan ini bahwa jaran kencak memiliki peran status sosial bagaimana orang lain
akan membalas apa yang telah dilakukan oleh pemilik hajat. Ibarat siapa menanam
tentu akan menunai hasilnya.
Lawakan dan Ruwatan Tuan Rumah
Lawakan yang dimaksud adalah
sajian dalam bentuk drama humoris yang dilakukan oleh pawang kuda bersama
kelompok lawak. Sajian tersebut sering mengambil tema untuk dijadikan alur
cerita untuk menuju klimaknya. Adegan lawak juga dijadikan sarana penyampaian
informasi dalam bentuk nasehat ataupun pendidikan yang dilakukan oleh pelawak,
dengan mengambil inti dari cerita yang disajikan.
Adegan lawak tidak semata-mata
adegan lelucon saja karena dalam peran lain adegan ini memiliki sampiran peran
yaitu temangan dalam bentuk ruwatan
tuan rumah bersama juragan kencak.
Adegan ini dilakukan setelah adegan lawakan selesai. Salah satu dari personil lawak dinaikkan ke
atas kuda sambil menggendong bakul yang berisi nasi, daging tusuk, cobek,
sendok nasi, kaca, sisir (bagian dari
sesaji) dan beberapa peralatan dapur yang lainnya. Tradisi tersebut dibawakan
dalam tembang macapat sebagai sarana
penyampai pesan dan beberapa alat yang digendong dijadikan semacam boneka
wayang dan diperagakan selayaknya seorang dalang yang sedang malakukan adegan
dialog di antara tokoh wayang. Cerita atau tokoh yang diambil yaitu tokoh
panakawan, Gareng, Petruk, bagong, ditambah para beberapa tokoh Pandhawa.
Setelah adegan tersebut selesai dilanjutkan dengan pembacaan doa atau pujian
untuk tuan rumah, anak yang dikhitan serta keluarga lain mendapatkan
perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan senantiasa dimurahkan rejekinya.
Selesai pembacaan doa atau
pujian anak yang dikhitan dinaikkan ke atas kuda ruwatan, dengan disaksikan
seluruh keluarga dan penonton berputar di arena pertunjukan yang sekaligus
sebagai tempat ruwatan. Selesai ruwatan semua barang-barang yang digendong
termasuk selendang yang digunakan untuk menggendong oleh peran lawak tersebut
dibagikan ke penonton. Selanjutnya diikuti oleh anak-anak yang lain
(peserta/pendamping arakan) dinaikan ke
atas kuda satu persatu dan dilanjutkan tradisi arak-arakan jaran
kencak.
Arak-arakan Jaran Kencak
Pelaksanaan arak-arakan dengan
menaikkan penganten sunat ke atas kuda sekaligus sebagai pelaksanaan pelepasan
nadzar atau koul, artinya dua kegiatan yang disatukan sehingga hal tersebut
memperkuat tradisi masyarakat khususnya di Kabupaten Lumajang.
Arak-arakan selain anak yang
akan dikhitan juga sering diikuti oleh keluarga lain yang sebaya dengan usia
anak yang dikhitan mengikuti arak-arakan bisa sebagai pendamping atau juga
sebagai pelepasan nadzar. Anak-anak yang
akan dikhitan yang disebut komantan toddu (Hermin,2000:66) dikenakan busana yang khusus
sehingga anak menjadi anggun (lihat busana). Arak-arakan juga sering diikuti
oleh anak dari keluarga lain meskipun anak tersebut tidak melaksanakan khitan
sebagai pelepas nadzar. Nazdar atau khoul merupakan ungkapan apabila terbebas
dari malapetaka yang menimpa atau maksud yang diharapkan dapat tercapai, maka
dilaksanakan oleh keluarga mengikrarkannya dengan menaikkan kuda kencak sebagai
pelepasnya.
Inti dari arak-arakan adalah
mengunjungi ke beberapa sanak famili atau para tokoh masyarakat. Waktu yang
dibutuhkan untuk arak-arakan tergantung dari tingkat sosial dan hubungan famili
yang telah dilakukan oleh orang tua atau keluarganya. Peristiwa dalam hal ini
adalah timbal balik dari apa yang telah
dilakukan selama ini. Permohonan doa restu menjadi tujuan utama selain
mengenalkan anak yang akan melakukan khitan atau sedang menebus nadzar.
Upacara Ngesakno Niat
Setelah rombongan arak-arakan
kembali ke rumah (pemilik hajat) dilanjutkan dengan upacara Ngeksano niat kalau diartikan dalam
bahawa Indonesia menegaskan niat artinya menegaskan kembali apa yang telah
menjadi nadzar dari orang tua dari anak yang dikhitankan. Nadzar bagi orang tua
dimaksudkan sebagai harapan-harapan orang tua pada masa anak-anak dalam kondisi
tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Ases (orang tua dari anak yang dikhitan)
mengatakan bahwa begitu anaknya lahir dengan sehat besuk kalau besar akan
dinaikkan jaran kencak. Ada juga sewaktu
anaknya sakit mengatakan kalau sembuh besuk dinakan kuda bahkan saking
berharapnya pada anak naik kelaspun orang tua nadzar akan dinaikkan kuda.
Pelaksanaan upacara dipimpin
oleh sesepuh Jaran Kencak yang sekaligus sebagai penegar kuda. Tempat
pelaksanaan di tengah-tengah arena pertunjukan Jaran Kencak dengan posisi awal
membelakangi arah panggung, jadi arah tergantung di mana panggung itu didirikan
Sarana dalam pelaksanaan upacara Ngesakna
Niat yaitu beras kuning yang ditaruh di atas tempeh secara merata dan di
atas beras ditumpangi dengan jenis makanan yang disebut tetelan. Selanjutnya
ditutup dengan kain kafan, anak yang dikhitan atau anak yang di nazdari
didudukan di atas tetelan yang telah
tertutupi kain kafan. Selanjutnya sesepuh Jaran Kencak membaca doa dan anak
yang dalam posisi duduk di putar menghadap empat arah penjuru. Secara kebetulan
penulis mengamati bahwa posisi awal anak menghadap ke arah barat sesuai dengan
panggung yang didirikan menghadap ke arah barat, kemudian anak diputar ke arah
utara, ke arah timur, ke arah selatan dan kembali ke arah barat yaitu kembali
pada posisi awal yaitu menghadap ka arah barat. Putaran tersebut mengambil arah
kanan atau searah dengan arah berputarnya jarum jam. Arah kanan menunjukkan
pada suatu arah kebaikan.
Makna yang terkandung dalam
tradisi tersebut yaitu beras kuning sebagai simbul tolak balak artinya agar
anak dijauhkan dari segala macam bentuk gangguan dan selalu mendapatkan
keselamatan. Jenis tetelan dimaksudkan agar rejeki yang diterima nantinya netel
(berlimpah). Sedangkan kain putih adalah melambangkan kesucian dari anak yang
telah dikhitan dan dilaksanakan upacara. Makna yang terkandung dalam posisi
berputar ke empat arah penjuru melambangkan bahwa anak dibimbing oleh orang tua
untuk melihat hal-hal yang baik dan
buruk, sehingga dalam menjalani kehidupan nantinya dapat memilih mana yang baik
dan mana yang buruk. Pada posisi duduk di putar kembali ke posisi awal
melambangkan bahwa perjalanan kehidupan manusia itu akan kembali lagi artinya
manusia hidup berawal dari kelahiran dan berakhir pada kematian. Kematian
manusia adalah awal memasuki pada alam kelanggengan, sehingga manusia selama di
dunia harus mencari bekal untuk menuju ke alam kelanggengan. Anak yang telah
diputar menggambarkan bahwa dalam kehidupan akan menghadapi segala persoalan
dan seyogyanya mencari hal-hal kebenaran
sebagai amal perbuatan yang baik.
Sesaji terdiri dari :
1. beras kuning sebagai simbul tolak balak ,
agar anak yang dikhitan terhindar dari segala marabahaya terlepas dari hal-hal
yang sifatnya dapat mencelakakan
2. Tetelan sebagai simbol dimurahkannya
rejekinya
3. kain putih/kafan sebagai simbol
kesucian/kebenaran
Penutup
Beberapa aktivitas yang
terkait dalam pelaksanaan hajatan dan pertunjukan jaran kencak antara lain,
bersih kubur, slametan, upacara
ruwatan Jaran, ruwatan tuan rumah dan
upacara ngesakna niat merupakan
ciri-ciri kegiatan bermakna ritual. Indikator dalam makna ritual dapat dilihat
pada beberapa aspek yaitu spiritual, tata laku dan material prosesi upacara
yang dilaksanakan. Dalam hal tata laku dan aspek-aspek material dapat diamati
spesifikasinya sebagai kegiatan tujuan ritual. Aspek spiritualnya memang sulit
untuk diukur kemujarabannya dalam kehidupan praktis. Seperti dalam pelaksanaan
pelepasan nadzar atau juga ngesakna niat.
Hal tersebut hanya bisa dilihat dari keseriusan para pelaku (tuan rumah) dalam pelaksanaan hajat.
Aspek spiritual yang menonjol
dalam hal ini adalah pertunjukan Jaran Kencak dipakai sarana pelepas nadzar.
Bagi seseorang yang telah melaksanakan upacara pelepasan nadar atau khoul
mempunyai sesuatu kekuatan atau kepuasan batin karena telah membayar atau
menebus apa yang pernah diucapkan sebagai bentuk ucapan nadzar. Keyakinan
inilah yang telah menghilangkan rasa was-was atau kekhawatiran selama menjalani
kehidupan. Ibaratnya lunas tidak punya lagi beban hutang yang harus
diselesaikan.
Makna sosial yang dapat
dilihat dari rangkaian pelaksanaan pertunjukan jaran kencak adalah aspek
kegotong royongan, kebersamaan. Aspek kegotongroyongan dapat dilihat dari
pelaksanaan sebuah hajat dilakukan bersama
para sanak saudara dan tetangga. Kegiatan demikian disisi lain akan
mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan. Kebersamaan dapat dilihat dari
aspek persaudaran, dalam bentuk pelaksanaan slametan yang diwujudkan kenduri.
Selain slametan sebagai ungkapan permohonan keselamatan pada Yang Maha Kuasa
juga sebagai bentuk kerukunan di antara sesama anggota masyarakat di sekitar,
barangkali yang semula ada perselisihan dimungkinkan dengan pelaksanaan tradisi
kenduri akan menjadi sebuah perantara untuk kerukunan.
Arak-arakan merupakan bagian
tradisi dari pelaksanaan hajat sunatan. Arak-arakan dimaksudkan mengunjungi
rumah sanak saudara atau sesepuh/tokoh masyarakat merupakan satu bentuk
menghormati para tokoh masyarakat, di sisi lain sebagai bentuk permohonan (doa
restu) atas anak yang akan disunat. Akan tetapi juga sebagai bentuk nilai
sosial, saling mengunjungi dan kebersamaan karena pelaku adalah sebagai bentuk
perilaku sosial yang tidak dimotivasi secara material. Dalam kegiatan sosial
akan berlaku hukum timbal balik, bagi siapa atau warga masyarakat yang tingkat
kepeduliannya terhadap lingkungan rendah, maka ketika mempunyai hajat maka akan
menerima tingkat kepedulian yang rendah dari sanak saudara atau dari masyarakat
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hermin, Kusmayati, A.M.,
2000. Arak-arakan Seni Pertunjukan dalam
Upacara Tradisional diMadura. Yogyakarta, Yayasan Untuk Indonesia.
Herusatoto, Budiono, 2003. Simbolisme
Dalam Budaya Jawa, Joko Suryanto (ed.) Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya.
Kaplan David dan Robert A.
Manners. 2002. Teori Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Martiara, Rina. 2003,
“Pengaruh Timbal Balik Antara Arena Pertunjukan dan yang Dipresentasikan”,
dalam Kembang Setaman Persembahan untuk
Sang Maha Guru (Ed. Hermien Kusmayati), BP ISI Yogyakarta.
Yuswadi, Hery. 2008.
“Budaya Pendalungan: Bentuk Multikulturalitas dan Hibriisasi Budaya Antaretnik
dalam Pemetaan Kebudayaan di
Provinsi Jawa Timur, Pemprov Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar