Selasa, 03 Mei 2016

Istilah gamelan merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Jawa. Gamelan dengan suku kata (kata kerja) gamel mengandung arti memukul atau menabuh. Gamelan dalam karawitan sunda sering disebut dengan istilah tatabeuhan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk seluruh instrument (waditra) baik alat yang ditiup, digesek, di pukul maupun digoyangkan.
                Menurut mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa dan memiliki istana di gunung Mahendra di wilayah Medangkamulan (sekarang sekitar wilayah Gunung Lawu), pada tahun Saka. Pertama-tama Sang Hyang Guru menciptakan satu buah gong untuk memanggil para dewa, kemudian menciptakan dua buah gong, dan seterusnya menciptakan sebuah orkestrasi  gamelan. Siapa saja yang mengenal sebutan gamelan sudah pasti ditujukan pada sekelompok alat musik (orkestrasi) tradisional/klasik yang sebagian besar terbuat dari bahan dasar logam, umumnya dibuat dari  perunggu dan besi. Tidak terbantahkan bahwa gamelan merupakan warisan berharga budaya bangsa Indonesia yang menjadi kebanggaan sebagai produk budaya adiluhung.
                Dalam catatan sejarah kebudayaan Indonesia, musik gamelan muncul sejak perkembangan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Gambaran tersebut dapat diamati pada relief Candi Borobudur yang diyakini dibangun sejak abad ke-8. Pada relief tergambar berbagai alat musik seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi/siter. Meskipun sedikit ditemukan alat musik yang terbuat dari logam, namun relief-relief tersebut setidak-tidaknya dapat memberi penegasan tentang sejarah asal mula gamelan diciptakan.
Proses penalaan gamelan amat kompleks, memerlukan ketelitian dan ketekunan yang serius. Ditinjau dari aspek musikologis, secara umum gamelan menggunakan tangga nada pentatonis pelog dan slendro. Di wilayah Jawa Barat, selain gamelan slendro-pelog terdapat semacam gamelan yang bernama Gamelan Degung yang bertangga nada mirip pelog (disebut laras degung), dan tangga nada yang mirip diatonis (disebut laras madenda) berskala minor yang banyak dipakai di dataran negara-negara Eropa.
Interaksi musikal yang sarat dengan melodi, irama, dinamika, dan warna suara, telah menjadikan musik gamelan sebagai produk budaya bangsa Indonesia yang amat menakjubkan. Sehingga berbagai kajian tentang karakteristik, estetik, dan musikal, telah banyak dilakukan oleh para etnomusikolog di seluruh dunia. Bahkan para pakar sosiologi dan antropologi pun sangat menaruh minat, menjadikan budaya gamelan sebagai subjek atau pun objek penelitian dari latar belakang dan sudut pandang (paradigma) yang berbeda.
                Keberadaan gamelan khususnya tersebar di wilayah pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Sungguh kita patut memiliki kebanggaan, karena musik gamelan kini sudah menyebar luas ke pelosok dunia. Di kawasan benua Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan tentunya Asia, musik gamelan banyak diminati sebagi materi pokok berbagai kegiatan kesenian bersifat akademik maupun perfoming art di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga-lembaga pendidikan tinggi/universitas, komunitas seni atau individu-individu. Dalam perkembangan selanjutnya, yang luar biasa kini musik gamelan telah diakui oleh sebagian besar pakar etnomusikologi dunia sebagai world music atau musik-nya dunia. Festival-festival gamelan pun kini telah menjadi sebuah rutinitas yang kerap digelar di seantero jagat. Bahkan Festival Gamelan Internasional yang dianggap cukup sukses dan fenomenal untuk yang pertama kalinya diselenggarakan di luar negeri, yaitu di Vancouver-Canada, pada tahun 1986. 

1.       Pengelompokan Instrumen Dalam Karawitan Sunda
                Instrumen/waditra-waditra pada karawitan Sunda dikelompokan berdasarkan: sifat-sifat bahan; sumber bahan; cara membunyikan; bentuk bahan yang berbunyi.
a.       Sifat-sifat bahan
   Sifat-sifat atau keadaan bahan menentukan kualitas alat yang dibuat, sebab sifat-sifat inilah yang membentuk warna (timbre) dan kekuatan (frekuensi) bunyi. Berdasarkan sifat-sifat bahan inilah kita melaras (mengatur tinggi-rendah nada) suatu alat bunyi. Adapun sifat-sifat itu adalah:
1.  Sifat basah kering, hampa-padat, ringan-berat akan menentukan warna bunyi.
2.  Sifat tipis-tebal, panjang-pendek, datar-lengkung, tegang-kendur, dsb, menentukan frekuensi bunyi (tinggi-rendahnya nada).  Contoh:   suatu alat yang mempunyai sifat pendek-tebal dan padat, maka suara yang dihasilkan akan nyaring dan bernada tinggi.
 
b.      Sumber bahan
        Segala macam bahan dapat dipakai untuk membuat alat bunyi-bunyian, dengan  syarat dapat menimbulkan bunyi yang bergantung kepada kondisi dari bahan itu sendiri.
1)    Instrumen-instrumen dari bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, baik daun, pelepah, serat maupun batang 
       kayu.  Misalnya yang dibuat dari:
        -  Bambu: angklung, calung, suling, karinding, dsb.             
        -  Kayu: gambang, kul, kolotok, dsb. 
2)    Instrumen yang berasal dari binatang, baik dari bulunya, kulit, selaput, usus tulang, dan tanduk. Misalnya yang 
       dibuat:
        -  Kulit: dogdog, kendang, tanjidor, dsb.
        -  Selaput: rebab.
3)    Instrumen yang berasal dari logam, baik logam murni, logam cor, logam campuran, maupun logam tempa atau 
       logam kepingan (lembaran). Salah satu logam campuran yang paling banyak dipakai sebagai bahan dalam 
       pembuatan gamelan adalah perunggu. Perunggu merupakan logam campuran antara tembaga dengan timah dalam 
       perbandingan 3:10. Perunggu semacam ini disebut gasa. Istilah ini digunakan sebagai tanda bahwa perbandingan 
      campuran tiga berbanding dasa (sepuluh). Contoh instrument dari logam: bonang, saron, demung, selentem, gong, 
      kenong.

c.       Cara membunyikan
          Cara membunyikan instrumen-instrumen dapat dibedakan menjadi beberapa teknik :
                1)    Dipukul/ditepuk (percusion instrument): gambang, bonang, saron, demung, peking, selentem, gender, selento,  
                       kenong, gong, kendang, dogdog, bajidor.
2)    Dipetik (string instrument) : kecapi, celempung, siter.
3)    Digesek (string instrument) : rebab, tarawangsa.
4)    Ditiup (aerophone instrument): suling, terompet, taleot.
d.      Bentuk bahan yang berbunyi
                Berdasarkan kepada bentuk bahan yang berbunyi, dapat dikelompokkan menjadi:
1)    Alat berdawai (chordophone): kecapi, celempung, tarawangsa.
2)    Alat berwangkis (membranophone): rebab, kendang, dogdog, dsb.
 3)     Alat berarus udara (aerophone): suling, terompet.
 4)     Alat berwilahan: gambang, saron, peking, demung, selentem, bonang.
 5)     Alat berpenclon: bonang, kenong, kethuk, kempul, goong.
2.       Ragam Gamelan Sunda
a.       Macam-macam gamelan
                Di daerah Jawa Barat ada 4 macam gamelan yang biasa dipakai dalam karawitan di mana gamelan yang satu dengan gamelan yang lainnya berbeda laras dan susunan waditranya. Keempat gamelan tersebut adalah : Gamelan Salendro, Gamelan Pelog, Gamelan Degung, dan Gamelan Renteng / Gong Renteng. Sebelum kita menabuh atau mempelajari cara menabuh, haruslah terlebih dahulu mengetahui laras atau jumlah waditra-waditra yang ada pada perangkat gamelan, sehingga kita dapat menyusunnya dengan tepat.
Gamelan  Degung, salah satu jenis gamelan Sunda
Perlu di ketahui bahwa tidak semua gamelan dapat mengingi suatu lagu yang berbeda larasnya, atau mungkin pula ada laras yang bisa diiringi dengan gamelan yang tidak sama larasnya. Misalnya, gamelan selendro bisa juga dipakai untuk mengiringi lagu yang berlaras madenda dan degung. Hal ini memungkinkan karena adanya nada-nada yang tumbuk. Namun perlu diingat pula bahwa gamelan salendro tidak bisa dipakai untuk mengiringi lagu-lagu yang berlaras pelog, begitu pula sebaliknya gamelan pelog tidak bisa mengiringi lagu-lagu yang berlaras salendro.
Gamelan Pelog-slendro
b.      Nama-nama waditra pada gamelan Sunda
                Gamelan yang ada dan biasa dipakai di Jawa Barat, susunan dan jumlahnya tidaklah sama. Ada gamelan yang lengkap waditranya, ada pula yang minim.  Dalam gamelan pelog atau salendro untuk membedakan hal tersebut maka dipakai istilah Gamelan Ageung untuk gamelan yang lengkap, dan Gamelan Alit untuk gamelan yang tidak lengkap. Selain susunan dan jumlahnya yang menentukan sebutan gamelan, juga  dapat diamatai dari ukuran dan bentuk gamelan, misalnya ukuran kenong, bonang, saron, dan gong yang mempunyai garis tengah 90 cm, bisa dikelompokan pada waditra Gamelan Ageng.
                Adapaun nama-nama waditra pada gamelan Pelog/Salendro yang lengkap adalah : 
-          Dua buah saron (saron 
           1dan 2)
-          Demung
-          Peking
-          Bonang
-          Rincik
-          Gambang
-          Selentem
-          Kecrek/Cecempres,
-          Toroktok/Keprak    
-          Ketuk/kompyang
-          Kulanter
-          Kendang
-          Bedug
-          Ketuk/Kempyang
-          Kemanak
-           Rebab
-           Gender
-           Suling.
-           Celempung/siter
-           Kempul Kenong
-           Beri
-           Kenong
-           Gong
               
Di dalam praktiknya sekarang ini jarang mempergunakan gamelan dengan waditra selengkap diatas. Dan perlu diketahui bahwa dalam praktek menabuh gamelan Sunda, waditra gender, kemanak, celempung, biasanya tidak dipergunakan, baik pada gamelan pelog maupun gamelan salendro. Pada umumnya yang biasa dipakai pada pergelaran, baik pergelaran wayang golek, kliningan, pergelaran tari, cukup dengan gamelan yang terdiri dari waditra-waditra:
-         Dua Saron,
-         Demung
-         Peking
-         Bonang
-         Rincik
-          Gambang
-          Rebab
-          Seperangkat Kendang
-          Kempul dan Gong
Instrument Rebab dalam gamelan pelog-slendro  

c.       Fungsi masing-masing instrumen/waditra  
Fungsi masing-masing waditra tergantung pada jenis gamelan yang digunakan serta lagu yang dibawakan. Tugas-tugas waditra sedemikian rupa jalinanya, sehingga keharmonisan akan terasa apabila kita mengamati  secara seksama. Jalinan komposisi tercipta secara teratur menurut  kerangka dan bentuk gending yang dimainkan. Secara teknik mereka hanya bertemu dengan nada yang sama (tumbuk) di wilayah kenongan dan goongan. Sedangkan sebelumnya mereka berjalan teratur secara menyendiri menurut fungsi dan tugasnya masing-masing.
Pada prinsipnya fungsi dan tugas masing-masing waditra dalam Gamelan Pelog-salendro, dapat diuraikan sebagai berikut :
1)      Balung gending (cantus firmus)  atau Arkuh Lagu, merupakan rangka dasar dari gending, diisi oleh waditra Selentem;
2)      Anggeran wilentan (inter punctie) di isi oleh waditra : kempul, kenong, goong ;
3)      Melodi lagu, biasanya dibawakan oleh waditra Rebab atau Gambang;
4)      Pengatur Irama, biasa dibawakan oleh waditra oleh kendang
5)      Lilitan melodi, diisi oleh Rincik
6)      Lilitan balunganing gending, diisi oleh waditra : Saron, Demung, Peking Bonang.

3.       Ciri-ciri Umum Gending Gamelan Sunda 
          Ciri-ciri gending /lagu pada gamelan pelog-salendro adalah :
a.       Memuai
                Gending-gending tradisi sebenarnya sederhana. Tetapi dari pola-pola yang sederhana itu, dapat dikembangkan secara teknis dalam praktek penyajiannya. Sebagai contoh sebuah kenongan tabuh dalam satu wilet, bisa dikembangkan menjadi dua wilet atau diciutkan menjadi setengah wilet (kering/gurudugan) dengan kenongan dan goongan masih tetap jatuh pada nada-nada yang semula. Dengan demikian irama bisa berubah menurut kehendak dari penabuhnya. Hal ini akan terlihat pada posisi tabuh yang dimainkan dalam  gamelan pelog/salendro atau dalam ensambel non gamelan/waditra lain. perbedaan-perbedaan kadangkala hanya terletak pada nama saja, atau patet yang dipergunakan. Sifat memuai dalam gending sunda, dapat menjangkau beberapa hal, antara lain : pengembangan wiletan, pengembangan papatet, pengembangan laras dan lagu, dan Pengembangan dinamika.
b.      Kedudukan patet lagu sangat kuat
                Dilihat dari tekhnis memainkan gending gamelan pelog-selendro, kedudukan patet sangat kuat/kokoh dalam ketetapan nada-nada yang sudah ditentukan. Meskipun terjadi perpindahan laras (biasanya dalam  melodi rebab), sama sekali tidak menggoyahkan papatet yang digunakan dalam gending yang sedang dimainkan. Begitu pula jika terjadi improvisasi-mprovisasi permainan waditra, gending tetap teguh atau konsisten pada kedudukannya terutama saat jatuh pada nada-nada kenongan dan goongan. Kuatnya kedudukan patet dalam gending Sunda, dapat terlihat dalam dari segi: Kedudukan nama lagu dan posisinya;   Sifat polyphonis yang jatuh pada arah nada yang sama dalam kenongan dan  goongan; Kedududkan tiap wiletan dalam jalanya lagu gending.

c.    Tugas waditra bersifat fleksible                                                                                                          
Kelengkapan jumlah waditra yang digunakan dalam gending Sunda tidak terlalu ketat, kecuali waditra-waditra yang menjadi pokok misalnya waditra kendang, rebab, gong. Ketidak ketatan itu membawa pengaruh terhadap waditra-waditra lain sehingga pergantian tugas antar waditra sering terjadi, dengan tidak mempengaruhi tugas pokok waditra yang bersangkutan. Sebagai contoh: secara teknis waditra bonang barung bisa dipakai untuk pola tabuhan rincik (bonang penerus), atau waditra saron 1 merangkap tabuhan saron 2. Hal ini dapat dilakukan  ketika terjadi kekosongan dikarenakan ada waditra yang tidak ditabuh.
Oleh karena itu mungkin di daerah Sunda, tidak menjadi masalah apakah gamelan itu lengkap atau tidak. Suatu contoh misalnya dalam suatu pergelaran tari, pengiringanya cukup hanya dengan dua buah saron, bonang, rebab, kendang dan gong saja. Sifat  fleksibel waditra pada gamelan Sunda sebenarnya tidak terlepas dari sifat-sifat alat yang lebih individu sehingga sebuah gending Sunda dapat dimainkan oleh hanya beberapa pengrawit saja.
d.    Fungsi kendang dan rebab sangat menonjol
Kendang dan rebab merupakan alat individu yang mempunyai variasi tabuh yang banyak sekali. Kemampuan teknis memainkan kendang dan rebab seringkali dianalogikan dengan ukuran keahlian atau ketrampilan tingkat tinggi seorang nayaga (pengrawit). Sifat dari kedua waditra ini dalam teknis membawakan gending antara lain menjadi pembingbing atau sebagai pamurba irama terhadap waditra-waditra lain; memiliki karakteristik atau warna suara yang berbeda dengan waditra lain terutama waditra-waditra pukul;
Selain vokal, waditra kendang sangat dominan dalam penyajian gending-gending tari dan wayang untuk menonjolkan karakteristik gerak tarian. Demikian berfungsinya permainan tepukan kendang dalam tarian, sampai-sampai kendang itu menjadi alat yang tidak dapat dihilangkan dalam teknis pergelarannya. Sedangkan waditra rebab banyak dijadikan dasar-dasar lagu dan dijadikan pula patokan dalam tarian yang dibawakan. Pada tari lalamba misalnya, akan terasa hambar bila waditra rebab ini tidak ada.

e.  Memiliki gaya, teknik, dan nilai-nilai tersendiri dalam motif tabuh
Gaya (lagam) permainan waditra gamelan dalam suatu komposisi masing-masing mempunyai motif-motif tabuh yang berlainan. Dalam gamelan dikenal bermacam–macam gaya atau teknik tabuh waditra, yaitu: dicaruk, dikemprang, dipancer, digumek, dicacag, dan sebagainya. Lagam carukan biasanya pada permainan saron, demung, bonang, gambang. Walaupun ada persamaan-persamaan motif di dalamnya, namun di dalam teknik menabuh berlainan.   
        Demikian sekilas tentang pengetahuan karawitan Sunda terutama informasi yang berkaitan dengan pengetahuan gamelan Sunda yang masih hidup keberadaannya sampai saat ini di masyarakat di Jawa Barat. Semoga menjadi pengetahuan yang berguna.                                



Tidak ada komentar:

Posting Komentar