Selasa, 17 Mei 2016



MELESTARIKAN DAN MEREVITALISASI KARAWITAN GAYA MADURA MELALUI UPAYA PENGEMBANGAN PROSES PEMBELAJARAN
DI PERGURUAN TINGGI SENI

Suyadi


Abstrak
Keberadaan seni tradisi dikhawatirkan mengalami kepunahan karena lemahnya minat masyarakat yang disebabkan oleh perkembangan jaman dan gencarnya perkembangan teknologi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta adalah melakukan tindakan preventif sesuai dengan visi-misi pelestarian dan pengembangan seni tradisi Jawa Timur, yang salah satunya adalah seni karawitan gaya Madura. Wujud dari upaya tersebut  diaplikasikan melalui upaya pengembangan  proses pembelajaran bertahap dan sistematik dan bertahap. 

Abstrack
The existence of the  traditional art is predicted to be lost its extinction due to weakness of the interest of the community caused by the changing of  times and the incessant technological developments. An effort made by Wilwatikta  high school of art is conducting preventive action in accordance with the vision and mission of preservation, and the development of the  traditional art of East Javal, one of which is Madura’s traditional music art style. The realization of the effort applied through a gradual process of learning development efforts, systematically, and gradually.

A.    Pendahuluan
Seni Karawitan (baca: seni gamelan) sebagai seni adiluhung, pada mulanya hidup dan berkembang di kalangan istana atau kaum bangsawan. Gamelan menjadi barang yang sangat mewah yang hanya mampu dimiliki oleh kaum Bangsawan kaya dan berpengaruh. Seiring dengan perjalanan waktu, karawitan bisa dimiliki dan dinikmati oleh kalangan masyarakat.
Dalam skala internasional seni gamelan telah diakui sebagai kekayaan intelektual dan kekayaan budaya yang sangat istimewa sehingga gamelan pun telah berkembang secara luas di belahan dunia. Banyak tokoh-tokoh karawitan telah melanglang buana ke berbagai negara untuk mengajarkan seni karawitan baik di kalangan masyarakat maupun di lembaga-lembaga pendidikan. Beberapa perguruan tinggi ternama di berbagai Negara seperti Amerika, Belanda, Jepang, telah mengembangkan seni karawitan melalui sistem pendidikan formal.
Seiring dengan perkembangan jaman, timbul kekhawairan di kalangan praktisi seni dan masyarakat pada umumnya tentang akan punahnya seni tradisi termasuk seni gamelan karena tergerus arus modernisasi. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan aktivitas kesenian tradisi yang mulai melemah. Kehidupan seni tradisi saat ini tergantung dari kekuatan komunitas-komunitas kecil yang masih beraktivitas meskipun sesungguhnya tidak lagi memiliki daya ketertarikan.  
Pesatnya perkembangan teknologi di berbagai bidang (informasi, komunikasi, transportasi) seakan telah menutup ruang dan waktu untuk perkembangan kesenian tradisi. Masyarakat cenderung disibukan dengan perangkat-perangkat teknologi, sehingga kurang memiliki kesempatan untuk beraktifitas dan berinteraksi secara langsung dengan seni tradisi. Tradisi masyarakat yang terbiasa dengan melibatkan kesenian pada setiap hajatan kini telah berubah dengan memanfaatkan produk teknologi sebagai media penggantinya. Situasi demikian tentunya berdampak pada eksistensi seni tradisi khususnya pada seni karawitan.
Melihat masalah tersebut di atas, kiranya diperlukan solusi untuk mencegah terjadinya kepunahan dan menurunnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap seni karawitan. Salah satu usaha yang memiliki dampak positif adalah dengan melakukan tindakan pelestarian dan revitalisasi seni karawitan melalui upaya pengembangan proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan semisal perguruan tinggi seni.
Konsep Pelestarian
Pelestarian merupakan satu pemikiran dalam bentuk konsep yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat semacam benda mati. bahkan bisa disebut sebagai pernyataan klasik. Namun sebagai sebuah konsekuensi, selanjutnya “mengapa” bisa menuntun menjadi pertanyaan baru: “bagaimana keadaan (budaya) kita sekarang?”. Pelestarian merupakan sebuah kepentingan untuk mengabadikan sebagai pertanda pengingat, memulihkan kembali sebuah pada peristiwa-peristiwa di masa lalu, dan tidak mandeg sebagai kata benda saja. Melalui kegiatan pelestarian ini, yaitu melalui pendaftaran kembali “peritiwa-peristiwa masa lampau” yang dimiliki oleh masyarakat, dapat dibaca kemungkinan-kemungkinan untuk dijadikan acuan dan diharapkan menjadi representasi peristiwa budaya. Pelestarian akan menjadi penting, ketika “sesuatu yang hilang dan terlupakan” sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat selanjutnya.
Pelestarian adalah langkah pertama untuk memulihkan ingatan agar masyarakat sebagai etnik, suku bangsa dan sebagai warga bisa menjadi diri sendiri sekalipun hidup di dalam sebuah dunia yang makin menjadi sebuah “desa kecil”. Tapi justru untuk menghadapi kehidupan di planet yang kian menyusut menjadi “desa kecil” itu, maka perlu disepakati untuk menjadi diri sendiri, agar bisa memberikan sumbangan bagi pembinaan kehidupan dunia manusia yang manusiawi melalui usaha-usaha nyata di kampung halaman sendiri.
Keragaman inilah yang menyebabkan terjadinya dialog dan mempunyai “bekal budaya” dan bekerja bagi budaya dunia. Karena keragaman merupakan sebuah keberuntungan dan keindahan. Dunia yang menyusut menjadi “sebuah desa kecil” ini juga menuntut agar tidak berhenti dan memang tidak bisa berhenti pada usaha-usaha pelestarian semata. Pelestarian hanya sebuah langkah awal untuk memulihkan ingatan dan ayunan langkah pertama guna melahirkan “budaya baru” kekinian yang tanggap zaman. Jika berhenti (dihentikan) hanya pada usaha pelestarian sama halnya dengan memuja masa lalu dan tidak menutup kemungkinan akan ditinggalkan oleh waktu.
Konsep Revitalisasi
Istilah  revitalisasi dalam seni tradisional adalah kegiatan yang memungkinkan seni tradisional itu mampu menjawab tantangan jaman, tantangan hidup hari ini dengan menjadikan gantang penakarnya memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Langkah ini merupakan tindak lanjut yang menyusul langkah pelestarian alias pendataan (pendaftaran) dan pengenalan hasil budaya angkatan-angkatan terdahulu guna melawan lupa dan memulihkan ingatan kolektif suatu komunitas masyarakat. Dengan demikian angkatan hari ini tidak menjadi angkatan lepas akar atau angkatan kosong. Jika terhenti hanya sebatas pelestarian dan menganggap seni tradisional sebagai buah karya angkatan-angkatan sebelumnya, maka dihawatirkan komunitas masyarakat akan hidup menyeret diri mundur ke masa silam sehingga kian tergenang di lumpur keterpurukan total. Dengan menganggap budaya silam itu yang paling sempurna dan berlaku di segala jaman.
Kenyataannya, karya-karya budaya masa silam tidak semuanya tanggap zaman dalam artian mempunyai daya guna untuk memecahkan masalah-masalah kekinian. Karena itu ia patut ditepis mana yang tanggap dan mana yang sudah kedaluarsa. Yang kedaluarsa cukup catat saja menjadi sejarah, simpan di museum sebagai bandingan dan pelajaran, sebagai bagian dari sejarah dari mana kelak bisa melihat perkembangan diri sebagai suatu komunitas. Untuk menilai kedaluarsa tidaknya suatu hasil budaya, tentu yang jadi ukurannya adalah kemampuan nilainya menjawab tantangan hari ini.
Suatu penampilan bentuk sampai hakikat sehingga bisa menyebutnya tanggap atau tidak, tentu perlu perangkat yang seimbang, perlu analisis dan kajian tingkat relevansinya, sehingga nantinya dalam menentukan sikap budaya, tidak terperangkap sikap apriori. Contoh misal; falsafah (budaya): bapa’ babu’ guru rato dapat dipahami sebagai wilayah yang disakralkan, karena didalamnya banyak mengajarkan nilai etika dan estetika dalam perilaku kehidupan di masyarakat. Namun dalam satu sisi, ada pihak menyebutnya sebagai bentuk pengebirian, karena akan membatasi keleluasaan melakukan tindakan dalam sebuah sistem di masyarakat.
Demikian pula dengan falsafah abantal omba’, asapo’ angen; lebih bagus pote tolang, etembang pote mata, dan seterusnya, semua mempunyai nilai dan makna, namun tidak semua pula dapat diterapkan dalam kondisi masyarakat sekarang ini. Lalu apa gerangan yang terjadi dari fenomena tersebut? Persoalannya sekarang, bagaimana dalam memilah sisi mana yang tanggap jaman, dan sisi mana pula sudah tidak patut lagi dikembangkan oleh masyarakat etnik Madura.
Nilai-nilai lokal tersebut dicari relevansinya dan diterapkan pada sarana baru kekinian. Perihal sarana inipun kiranya patut memperhatikan sarana yang sejak lama ada di dalam masyarakat, yaitu institusi masyarakat sebagai kekuatan masyarakat yang nantinya menjadi intrumen penggerak melalui kekuatan dasar piramida masyarakat. Dengan menggunakan (memanfaatkan) seni tradisional untuk menjawab tantangan kekinian dan keterpurukan, ini juga merupakan ujud kongkrit dari revitalisasi seni tradisional.
B.     Sekilas Tentangi Seni Karawitan Madura
Keragaman seni musik yang berkembang di kepalauan Madura tidak lepas dari hubungan antara seni sastra-puisi, seni tari, seni teater, seni beladiri. Pertunjukan seni musik sering dilakukan dalam kegiatan budaya seperti Karapan Sapi dan acara-acara kegiatan sosial lainnya (Zoelkarnain Mistortoify:2012.). Masyarakat Madura mengenal seni Karawitan identik dengan seni gamelan atau gending. Karawitan Madura juga sering disebut gamelan Madura atau gending gaya Madura.
Gending
Gending merupakan satu istilah yang secara umum dalam karawitan Jawa digunakan untuk menyebut komposisi musikal, (Santosa,2003:1) atau sering disamakan dengan istilah lagu. Kamus Baoesastra Djawa, gending diartikan lelagoning gndhing (lagu-lagu dalam gamelan Jawa) juga diartikan abdi dalem tukang gawe gamelan (abdi dalem tukang pembuat gamelan), (WJS, Purwadarminto1939:143) juga lihat pula Kamus Istilah dan karawitan Jawa “Laporan Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1977/1978:52).
Istilah gending juga pernah digunakan untuk menyebut instrument gesek dalam gamelan yang disebut rebab, (Jaap Kunts,1978:15).  Sedangkan Rahayu Supanggah memberikan pemahaman bahwa gending secara umum digunakan untuk menyebut komposisi musikal karawitan Jawa. Bagi masyarakat gamelan artinya orang yang berkecimpung dalam seni karawitan istilah gending hanya digunakan untuk menyebut komposisi musikal karawitan Jawa yang memiliki bentuk dan ukuran mulai dari kethuk 2 (loro) kerep (satu kenongan terdiri dari 16 tabuhan balungan) sampai dengan gending yang lebih besar, (Rahayu Supanggah,1990:115-154). Gending juga secara luas diartikan komposisi gamelan dan dalam arti sempit gending berarti komposisi gamelan yang selalu terdiri dua bagian. Bagian pertama disebut merong bersuasana khidmat, tenang atau regu,sedangkan bagian kedua, disebut inggah biasanya bersuasana lebih gairah (pernes), (Sumarsam,2002:71)
Berdasarkan dari beberapa pengertian tersebut maka dalam penelitian ini penggunaan istilah gending dibatasi pada sebutan komposisi musikal pada gamelan baik instrumental ataupun vokal yang dilakukan oleh manusia. Gending dimaksudkan di sini khususnya pada gending-gending Gaya Madura atau lagu-lagu daerah Madura, baik dalam sajian klenengan atau dalam pertunjukan kesenian Topeng Dalang.

Bentuk Gending

Susunan dari nada-nada yang diatur menimbulkan suara yang enak dan selanjutnya disebut lagu. Pengaturan nada-nada tersebut  mengarah pada satu bentuk. Berangkat dari berbagai bentuk inilah yang selanjtnya disebut bentuk gending. Bentuk gending dibedakan dibedakan menjadi dua golongan yaitu bentuk gending dalam arti balungan dasar gending dan bentuk sekar atau tembang. Bentuk gending yang dalam karawitan Madura mengadopsi dari bentuk gending yang ada di dalam istilah karawitan Jawa khususnya  karawitan gaya Jawa Timuran seperti misalnya, Sampak, Ayak, Lancaran dan sebagainya. Dalam setiap penyajian kendang berfungsi sebagai pamurba irama artinya sebagai penentu perjalanan irama ataupun berhentinya suatu sajian gending.
Unsur bahan dasar dalam gending adalah dhing-dhong dan gatra. Dhing – dhong merupakan satuan ukuran terkecil dalam karawitan yang terdiri atas dua nada, dhing bertekanan ringan sedangkan dhong bertekanan berat. Gatra adalah pola dasar gending yang terdiri dari empat nada satu rangkaian dan masing-masing memiliki nada satu ketukan. Gatra tersebut akan mempunyai arti apabila sudah dikembangkan menjadi menjadi dua gatra, empat gatra, delapan gatra, 16 gatra, 32 gatra dan seterusnya diberi irama dan nada-nadanya diolah dengan hanya satu nada dan pada tempat-tempat tertentu diberi aksen tabuhann Kethuk, kenong, kempol dan gong).Pemahaman serupa juga dijelaskan oleh Sumarsam gending ditentukan paa urutan satuan gatra/metric. Jumlah gatra/metric dalam tiap gending  ditandai (aksen-aksen) oleh tabuhan ketuk, kenong kempul dan gong.  Sebagai contoh pola bentuk gending yang banyak terdapat di daerah adalah sebagai berikut:
Skema Bentuk Gending Lancaran adalah sebagai berikut:

+
.

^

-
v
-
^

-
V
-
^

-
v
-
^

//
.
.
.
.

.
.
.
.

.
.
.
.

.
.
.
.
//

Dalam satu gongan terdiri dari delapan ketuk balungan (nada), empat tabuhan kenong (^)  dan tiga tabuhan kempul (v).
Kedua bentuk gending ketawang dan lancaran sebagai bentuk garap dari sajian gending ganggamina. Penentuan sajian bentuk ketawang atau lancaran tergantung dari fungsi atau selera penyaji. Bentuk ketawang labih banyak disajikan dalam acara klenengan, sedangkan bentuk Lancaran biasa disajikan dalam pergelaran Topeng dalang, Tayub atau yang lainnya.
Laras
Pengertian laras adalah urut-urutan suara mulai yang paling rendah sampai yang tertinggi, yang tetap serta teratur “swarantaranya” (Dewantara, KH., 1967:217). Istilah laras dalam etnis Madura secara umum dikenal adanya laras Pelog Timor pengertian laras demikian ini merupakan akibat dari akulturasi dua budaya yaitu laras dalam karawitan jawa yang terdiri dari laras slendro dan pelog dengan budaya etnis Madura yang akhirnya timbul laras Pelog Timor. Ditinjau dengan kacamata musikologi karawitan bahwa pelog Timur ini merupakan perpaduan dua laras seperti halnya dalam laras tebang gending menurut hasil pengamatan urutan nadanya terdiri dari 1, (ji) 2,(ro) 3 (lu) , 5 (ma),6 (nem) dan 1 (ji alit). Nada 1, (ji) 2,(ro) 3 (lu) , 6 (nem)  berlaraskan slendro sedangkan nada 5 berlaras pelog. Ketika bermain bersama nampak warna slendro dan pelognya apalagi dengan vokal, yang terkadang vokalnya terkesan laras pelog misalnya pada jenis kejungan. Sementara untuk laras yang ada pada vokal lebih dominan pada warna laras pelog. Dan dalam penyajian antara instrumen yang telah dipadukan akan terbentuk dua laras yang dilakukan secara bersama yaitu gendingnya berlaras slendro dan untuk vokalnya (khususnya kejungan) berlaraskan pelog. Inilah satu keunikan khas warna lagu-lagu etnis Madura yang membedakan dengan seni musik di daerah lain. Maka untuk mempermudah penulis dalam mengamati kesenian etnis madura menggunakan pendekatan pada laras slendro dan pelog yang ada pada karawitan Jawa dengan menyesuaikan orisinal nada yang ada pada laras slendro di daerah Madura.
Pada setiap pergelaran ada seorang yang bertugas khusus menyetem atau melaras terbang yaitu ki Suma selain sebagai pemaian terbang juga sebagai pelaras. Secara teori memang ki Sumo tidak bisa menjelaskan laras yang ada pada Terbang gending hal yang dilakukan berdasar pada kebiasaan yang telah turun  temurun.
Hasil perpaduan antara vokal berlaras pelog dan instrumen yang berlaras slendro memberikan inspirasi bahwa kesenian ini multifungsi yang dapat untuk memainkan jenis-jenis lagu-lagu atau gending jenis apapun. Berangkat dari inilah sebenarnya kesenian terbang gending untuk dikembangkan agar dapat menarik selera dari masyarakat tanpa memandang dari latar belakang budayanya.
C.    Pengembangan Proses Pembelajaran
Melestarikan dan mengembangkan seni tradisional merupakan salah satu tugas pokok lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya memiliki visi-misi dalam pengembangan dan pelestarian kesenian tradisional di Jawa Timur yang di dalamnya termasuk seni Karawitan Gaya Madura. Untuk mewujudkan visi-misi tersebut STKW (dalam hal ini prodi Karawitan) melakukan pengembangan dalam proses pembelajaran Karawitan Gaya Madura melalui beberapa tahap.
1.      Tahap Penggalian Materi
Penggalian materi diartikan sebagai proses dalam mencari data bakal calon materi pembelajaran. Kesulitan yang dialami adalah menentukan sumber materi, mengingat bahwa Karawitan Gaya Madura hanya berkembang dalam wilayah tertentu. Keberadaan Kraton Sumenep sebagai salah satu benteng dari kebudayaan tidak menyajikan data tentang karawitan Madura yang dirunut sebagai data sumber, apalagi aktivitas berkaitan dengan seni karawitan sangat terbatas.
            Sumber materi yang diperoleh dari pertunjukan Topeng Dhalang Sumenep, pertunjukan tayub atau pertunjukan Sandur.  Dalam pertunjukan Topeng Dhalang atau seni pertunjukan yang lainnya yang diiringi dengan gamelan dengan gending-gending Madura. Beberapa jenis gending inilah yang dijadikan sumber data dalam pemilihan materi pembelajaran. Pertimbangan dalam pemilihan materi dikaji dari berbagai aspek antara lain tingkat kesulitan, keunikan, kerumitan dan bobot materi sesuai dengan waktu pembelajaran. Serangkaian gending-gending dalam pertunjukan Topeng Dhalang dipilah-pilah menjadi beberapa sajian, atau juga melalui tetabuhan (klenengan) sebelum pertunjukan dimulai, sebagaimana tradisi dalam pertunjukan tradisi selalu menampilkan gending-gending pembuka sebelum pertunjukan dimulai, seperti dalam pertunjukan wayang kulit, wayang orang, ludruk, dan sebagainya.
Membutuhkan waktu yang panjang dalam menentukan pemilihan materi dan materi yang terpilih sesuai dengan ketentuan pembelajaran (capaian pembelajaran) maka ditentukan beberapa gending yang layak dan tepat untuk diangkat sebagai materi pembelajaran di tingkat jurusan. Materi-materi yang lainnya tentu saja dijadikan bang materi untuk proses pengembangan berikutnya. Pemilihan materi diambil dari bentuk gending yang sederhana dan apabila merunut dari teori larawitan yang berada di Jawa tengah dipilih dalam bentuk gending lancaran, ketawang sampai dengan bentuk gending ladrang. Hal ini dijadikan spesifikasi dalam penyampaian materi. Materi terpilih antara lain Gending Rarai, Talang dan beberapa lagu daerah.

2.      Tahap Pengujian Laboratorium / Studio
Sebagai langkah selanjutnya setelah ditentukan materi-materi terpiliah adalah proses laboratorium lebih tepat adalah proses studio. Kerja studio dipandu dengan nara sumber yang didatangkan dari seniman pelaku aslinya untuk memperoleh ketajaman tentang gending-gending Madura. Penanggung jawab dalam hal ini dibebankan kepada calon pengampu mata kuliah praktek karawitan Madura. Langkah yang dilakukan mempelajari tehnik tabuhan dari setiap instrument, garap gending, garap vocal, dan proses penyajian gending. Proses paling lama adalah mempelajari dari spesifikasi tiap-tiap instrument mengingat bahwa dalam satu perangkat gamelan terdiri dari berbagai jenis instrument yang memiliki tehnik yang berbeda dalam memainkannya. Proses tersebut dilakukan secara berulang-ulang sampai direkomendasikan dari nara sumber dari tingkat kelayakan dan penguasaan tehnik. Proses akhir dari studio adalah penyajian dari gending-gending terpilih untuk dikaji secara bersama dalam sebuah pementasan atau penyajian gending secara lengkap.
a.       Kelayakan Materi
Kelayakan materi diawali dari berakhirnya proses studio dengan pergelaran atau penyajian gending-gending yang terpilih sebagai materi pembelajaran praktek karawitan Madura. Diskusi semacam sarasehan dilakukan untuk mengadakan dialog dengan berbagai kalangan yang memiliki kemampuan baik secara praktek amupun pengetahuan relevansinya dengan gending gaya Madura. Kesimpulan dari diskusi dijadikan catatan-catatan dan uji kelayakan dari materi. Catatan-catatan tersebut untuk penyempurnaan materi karawitan gending-gending Madura.
b.        Transkrip Materi
Transkrip materi merupakan proses penotasian dalam bentuk tulisan dalam hal ini menggunakan font kepatihan yang spesifik untuk mentranskrip gending-gending dari karawitan. Notasi kepatihan secara umum telah digunakan diberbagai wilayah di Jawa untuk menulis atau membaca dari sebuah transkrip gending atau lagu-lagu daerah. Hasil transkrip digunakan sebagai media pembelajaran dan dokumentasi cetak dari gending-gending karawitan. Fungsi dari hasil transkrip sangat membantu mahasiswa atau siapapun dalam proses pembelajaran tentunya harus didasari oleh kemampuan membaca notasi dalam istilah karawitan harus menguasai titilaras gamelan.
Proses transkrip dilakukan beberapa tahapan yaitu: (1) Transkrip untuk nada baku (balungan gending); (2) transkrip untuk tabuhan ricikan boning babok dan penerus; (3) transkrip tehnik tabuhan ricikan kendang; (4) transkrip untuk vokal termasuk syair dan terjemahan dalam bahasa indonesia. 
Berbeda dengan membaca notasi pada music barat (diatonic) yang sudah memiliki standar baku. Dikatakan sebagai alat bantu atau media karena dalam karawitan atau memainkan gamelan itu banyak improvisasi dari pemain (niyogo) yang dari sinilah gamelan itu dapat dinikmati dengan rasa keindahan. 
3.      Tahap Uji Materi
Uji materi sama halnya dengan uji kelayakan materi yang melalui proses pengusaan tehnik, spesifikasi gending, penyajian gending dan rekomendasi dari beberapa hasil diskusi. Dalam sekelompok orang dapat saling bersinggungan yaitu belajar, sumbang pemikiran (brainstorming) dianggap cara yang umum untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif. Sehingga dapat ditentutakan bahwa materi tersebut telah memenuhi syarat untuk dijadikan materi pembelajaran pada praktek karawitan Madura. Hasil uji materi tersebut kemudian dijadikan bahan untuk penulisan modul sebagai sumber atau pegangan dalam proses pembelajaran. Melalui modul mahasiswa juga mampu belajar secara mandiri untuk memperdalam materi diluar jam latihan atau praktek. Modul berisi dari proses latihan materi sampai pada penyajian dan hasil dari transkrip gending.

4.      Tahap Pembelajaran
a.         Transformasi Keahlian
Dalam arti luas pendidikan baik di tingkat formal ataupun non formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia di mana mereka hidup (Ensiklopedia Indonesia, 1991:267. Dalam hal ini pendidikan diarahkan untuk kepentingan manusia dikarenakan manusia mempunyai sifat mono-dualis, seperti eksistensinya sebagai raga-jiwa dan sebagai individu dan warga masyarakat, maka pendidikan mempunyai fungsi individual dan sosial. Sasaran pendidikan sebagai individu, mengusahakan agar manusia dibimbing dan dibina dalam pengembangan kepribadiannya, supaya segala potensi kodratnya mendapat peluang untuk berkembang secara maksimal. Potensi cipta, rasa dan karsa manusia diharapkan akan bisa berkembang optimal, agar bisa berfungsi secara potensial.
Pembelajaran merupakan proses transformasi keahlian dari seorang pengajar kepada anak didiknya, beberapa indicator capaian dalam transformasi ditentukan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat hafalan, penguasaan tehnik memainkan instrument, penyajian atau disebut tabuh bersama sampai mampu menguasai spesifikasi dari karawitan gaya Madura. Proses transformasi keahlian dilakukan dengan metode latihan atau praktek  dan dengan media bantu pemutaran karawitan Madura sebagai bentuk pengenalan, sehingga mahasiswa tidak hanya mampu memainkan tetapi lebih khusus pada penguasaan pengetahuan sehingga mampu mengidentifikasi berbagai gaya karawitan yang berada di lingkungan masyarakat.
b.             Uji Kompetensi
Uji kelayakan sebagai proses akhir dari pembelajaran satu mata kuliah praktek dengan metode penyajian bersama. Mahasiswa wajib menguasai instrument pokok sebagai tuntutan dasar dan mampu menyajikan secara bersama dalam sebuah pergelaran karawitan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.  Uji kompetensi yang lain adalah proses pembawaan yaitu sebuah tuntutan untuk mahasiswa wajib menyajikan semua materi praktek yang telah diajarkan selama perkuliahan. Dalam hal ini mahasiswa betul-betul memiliki kompetensi dan ketika kembali ke masyarakat mahasiswa mampu mengembangkan lebih jauh lagi tentang seni karawitaan.
5.      Tahap Pengembangan Materi Pembelajaran
a.       Pengembangan materi dalam kreativitas Mahasiswa
Mahasiswa sebagai calon penggerak kebudayaan di masyarakat harus mampu berkreativitas untuk menghasilkan produk-produk baru sebagai daya tarik pengembangan kesenian melalui penciptaan. Istilah penciptaan berasal dari kata cipta yang mempunyai arti suatu kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, atau angan-angan kreatif, dan penciptaan merupakan bentuk dari proses perbuatan menciptakan. Kata kunci yang ketiga yaitu seni, dalam hal ini penulis mengambil definisi dari Susanne K. Langer, Philosophical Sketches, 1964, p. 74., yang dikutip oleh The Liang Gie (1996:14)  adalah sebagai berikut:
Any activity thus designedn to transform natural material into objects are useful or beautiful, or both, is arts. The product of this orderly intervention of the human hand and spirit is a work of art. (Sesuatu kegiatan yang demikian dirancang untuk mengubah bahan alami menjadi benda-benda yang berguna atau indah, ataupun kedua-duanya, adalah seni. Hasil campur tangan manusia dan roh manusia yang teratur ini adalah karya seni).
Dalam penciptaan karya seni seorang seniman mempunyai sumber inspirasi dari situasi alam dan lingkungan. Di mana lingkungan mempunyai peran dalam membangun inspirasi untuk mengembangkan kreatifitas bagi seniman (kreator seni). Daya pikir manusia dapat menghasilkan suatu gagasan atau ide yang tak terhingga macam dan ragamnya. Karena kemampuan ini pula setiap saat seseorang dapat “menciptakan” sesuatu yang baru dalam pikirannya, atau dalam kekaryaan. Setiap  orang dapat menemukan ide, namun tidak semua orang mampu untuk merealisasikannya. Bagi seseorang yang mampu menciptakan ide dan mengaplikasikannya dalam kekaryaan adalah mereka yang memang mempunyai buah pemikiran yang diperjuangkannya sehingga ide tersebut menjadi karya yang nyata.
Salah satu faktor penting yang memungkinkan kreativitas berkembang adalah adanya kebutuhan sosial yang menghendaki suatu bentuk, struktur, pola atau system baru. Karena apa yang telah ada dianggap tidak lagi memadahi atau tidak bisa memenuhi kebutuhan. Kebutuhan sosial ini dapat terwujud dalam pergaulan antara anggota masyarakat, ataupun hubungan-hubungan sosial yang lain. Terwujudnya keadaan demikian memungkinkan hasil daya cipta orang-orang yang bisa memenuhi kebutuhan sosial yang ada itu diterima baik, sehingga kreativitas yang menghasilkan daya cipta itu diterima baik, sehingga kreativitas yang menghasilkan ciptaan-ciptaan baru dapat berkembang. 
Kreativitas dalam hal ini dilakukan dalam bentuk aransemen lagu atau garap gending. Hasil dari aransement merupakan satu proses pengembangan dan memiliki daya rangsang pada maysrakat agar terhindar dari rasa kebosanan. Tawaran baru hasil inovatif menjadi alternative pengembangan untuk warna baru tanpa meninggalkan budaya tradisi atau etnisitasnya.
b.      Pengembangan Materi secara kelembagaan
Dalam kurun waktu tertentu materi praktek harus diupayakan pengembangannya atau istilah sekarang uptodate materi dengan proses mengganti materi atau penyesuaia materi berdasarkan pada perbendaharaan dan kelayakan materi di masyarakat. Menghindarkan dari hasil pembelajaran di pendidikan namun setelah kembali ke masyarakat ternyata materi itu sudah using atau masyarakat lebih dahulu meninggalkannya untuk materi yang lain. Pengembangan materi jelas menjadi kewajiaban dari institusi untuk selalu dilakukan pembaharuan sesuai dengan kondisi masyarakat sebagai pemilik kesenian secara umum.

6.      Tahap Penelitian keberlanjutan
Penelitian merupakan bagian Tridharma Perguruan Tinggi yang harus dilakukan oleh Dosen ataupun mahasiswa. Dalam hal ini penelitian memiliki beberapa keuntungan antara lain: sebagai publikasi dalam rangka informasi budaya dalam kajian ilmiah; pengembangan keilmuan; pengembangan materi. Strategi dalam penelitian dapat dilakukan oleh mahasiswa sebagai bahan skripsi. Kebutuhan dosen adalah pengembangan pengetahuan dan diarahkan sebagai diktat ajar, buku ajar. Prospek lebih jauh dapat dilakukan dengan tingkat kompetitif tingkat nasional melalui DP2M DIKTI untuk memeproleh pendanaannya.
Guna memperoleh pengembangan materi maka diperlukan sebuah penelitian khususnya karawitan gaya Madura. Hasil dari penelitian diharapkan sebagai bentuk pendokumentasian,  pengembangan bahan ajar, pengembangan materi studi pandang dengar. Metode dalam penelitian difokuskan pada penggalian data yang bersifat repertoar gending-gending karawitan Gaya Madura yang disajikan oleh masyarakat Madura sebagai bentuk osisinalitas gaya Madura. Melalui kerja pratikum beberapa materi yang telah terdokumentasi akan dikembangkan menjadi bahan ajar dalam bentuk diktat kuliah, buku ajar, hand out.  Hasil penelitian juga sebagai sarana publikasi melalui tulisan yang diterbitkan dalam jurnal  ilmiah untuk referensi dari semua pembaca.

DAFTAR  PUSTAKA


Daeng, Hans J. Dr.
2000             Manusia, Kebudayaandan Lingkungan. Pustaka Pelajar,Yogyakarta
Endraswara, Suwardi
         2003       Metode Penelitian Kebudayaan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
                        Hidayat, Robby, Drs., M.Sn.
         2008       WayangTopeng Malang. Penerbit: GantarGumelar Malang
Kartodirdjo, Suyatno.
1995    Penelitian Bidang Seni dan Metodologinya, makalah Penataran Tenaga Peneliti Madya Dosen STSI Surakarta.

Kaplan, David danManers, Albert A
2000          Teori Kebudayaan. (Penerjemah: L. Simatupang), Pustaka Pelajar Yogyakarta
Merriam, P.Alan, 1964. The Anthropology of Music,  Northwestern: University Press.

Prajapangrawit, R. Ng. (Penyunting Sri Hastanto, SugengNugroho).
          1990       WEDHAPRADANGGA SeratRiwayating Gamelan.   Penerbit: Kerjasama STSI Surakarta dab The Ford Foundation. 

Palgunadi, Bram
          2002       Serat Kandha Karwitan Jawi, penerbit: ITB

Sumarsam
          2003       GAMELAN Interaksi Budayadan Perkembangan Musikal di Jawa. Penerbit: Pustaaka Pelajar Yogyakarta. ISBN: 979-3237-71-6

Supanggah, Rahayu
          1995       Seni Tradisi Bagaimana Ia Berbicara, makalah Penataran Tenaga Peneliti Madya Dosen  STSI Surakarta.

Sutarto, AyudanSetyoYuwanaSudikan (editor)
          2008       Pemetaan Kebudayaan di JawarTimur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif. Penerbit: Biro Mental Spiritual Pemerintah Daerah Jawa Timur berkerjasama Kompyawisda Jatim-Jember.

Sutton, R. Anderson
          1991       Traditions of Gamelan Music in Java: musical pluralism and regional identity. Penerbit: Cambridge University Press.
Tim -------
          1987       “Ensiklopedi Seni Musik dan Tari Daerah Jawa Timur” penerbit: Proyek Pengembangan Dep. Dik Bud. Prop. JawaTimur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar