MELESTARIKAN DAN MEREVITALISASI KARAWITAN GAYA MADURA MELALUI UPAYA PENGEMBANGAN
PROSES PEMBELAJARAN
DI PERGURUAN TINGGI SENI
Suyadi
Abstrak
Keberadaan seni tradisi dikhawatirkan
mengalami kepunahan karena lemahnya minat masyarakat yang disebabkan oleh
perkembangan jaman dan gencarnya perkembangan teknologi. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta adalah melakukan tindakan
preventif sesuai dengan visi-misi pelestarian dan pengembangan seni tradisi
Jawa Timur, yang salah satunya adalah seni karawitan gaya Madura. Wujud dari
upaya tersebut diaplikasikan melalui
upaya pengembangan proses pembelajaran
bertahap dan sistematik dan bertahap.
Abstrack
The existence of the traditional art is predicted to be lost
its extinction due
to weakness of the
interest of the community
caused by the changing of times and the incessant technological
developments. An
effort made by Wilwatikta high school of art is conducting preventive action
in accordance with the vision and mission of
preservation,
and the development
of the traditional
art of East Javal, one of which is Madura’s
traditional music art style.
The realization
of the effort applied through a gradual process of learning development efforts, systematically, and gradually.
A.
Pendahuluan
Seni Karawitan (baca: seni gamelan) sebagai
seni adiluhung, pada mulanya hidup
dan berkembang di kalangan istana atau kaum bangsawan. Gamelan menjadi barang
yang sangat mewah yang hanya mampu dimiliki oleh kaum Bangsawan kaya dan
berpengaruh. Seiring dengan perjalanan waktu, karawitan bisa
dimiliki dan dinikmati oleh kalangan masyarakat.
Dalam skala internasional seni gamelan telah
diakui sebagai kekayaan intelektual dan kekayaan budaya yang sangat istimewa
sehingga gamelan pun telah berkembang secara luas di belahan dunia. Banyak
tokoh-tokoh karawitan telah melanglang buana ke berbagai negara untuk
mengajarkan seni karawitan baik di kalangan masyarakat maupun di
lembaga-lembaga pendidikan. Beberapa perguruan tinggi ternama di
berbagai Negara seperti Amerika, Belanda, Jepang, telah mengembangkan seni karawitan melalui sistem pendidikan formal.
Seiring dengan perkembangan jaman, timbul
kekhawairan di kalangan praktisi seni dan masyarakat pada umumnya tentang akan punahnya
seni tradisi termasuk seni gamelan karena tergerus arus modernisasi. Hal
tersebut didasarkan pada kenyataan aktivitas kesenian tradisi yang mulai
melemah. Kehidupan seni tradisi saat ini tergantung dari kekuatan
komunitas-komunitas kecil yang masih beraktivitas meskipun sesungguhnya tidak
lagi memiliki daya ketertarikan.
Pesatnya perkembangan teknologi di berbagai
bidang (informasi, komunikasi, transportasi) seakan telah menutup ruang dan
waktu untuk perkembangan kesenian tradisi. Masyarakat cenderung disibukan
dengan perangkat-perangkat teknologi, sehingga kurang memiliki kesempatan untuk
beraktifitas dan berinteraksi secara langsung dengan seni tradisi. Tradisi
masyarakat yang terbiasa dengan melibatkan kesenian pada setiap hajatan kini
telah berubah dengan memanfaatkan produk teknologi sebagai media penggantinya. Situasi
demikian tentunya berdampak pada eksistensi seni tradisi khususnya pada seni
karawitan.
Melihat
masalah tersebut di atas, kiranya diperlukan solusi untuk mencegah terjadinya
kepunahan dan menurunnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap seni karawitan.
Salah satu usaha yang memiliki dampak positif adalah dengan melakukan tindakan
pelestarian dan revitalisasi seni karawitan melalui upaya pengembangan proses
pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan semisal perguruan tinggi seni.
Konsep Pelestarian
Pelestarian
merupakan satu pemikiran dalam bentuk konsep yang dianggap sebagai sesuatu yang
tidak bermanfaat semacam benda mati. bahkan bisa disebut sebagai pernyataan
klasik. Namun sebagai sebuah konsekuensi, selanjutnya “mengapa” bisa menuntun
menjadi pertanyaan baru: “bagaimana keadaan (budaya) kita sekarang?”.
Pelestarian merupakan sebuah kepentingan untuk mengabadikan sebagai pertanda
pengingat, memulihkan kembali sebuah pada peristiwa-peristiwa di masa lalu, dan
tidak mandeg sebagai kata benda saja. Melalui kegiatan pelestarian ini, yaitu
melalui pendaftaran kembali “peritiwa-peristiwa masa lampau” yang dimiliki oleh
masyarakat, dapat dibaca kemungkinan-kemungkinan untuk dijadikan acuan dan
diharapkan menjadi representasi peristiwa budaya. Pelestarian akan menjadi
penting, ketika “sesuatu yang hilang dan terlupakan” sangat bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat selanjutnya.
Pelestarian adalah
langkah pertama untuk memulihkan ingatan agar masyarakat sebagai etnik, suku
bangsa dan sebagai warga bisa menjadi diri sendiri sekalipun hidup di dalam
sebuah dunia yang makin menjadi sebuah “desa kecil”. Tapi justru untuk
menghadapi kehidupan di planet yang kian menyusut menjadi “desa kecil” itu,
maka perlu disepakati untuk menjadi diri sendiri, agar bisa memberikan
sumbangan bagi pembinaan kehidupan dunia manusia yang manusiawi melalui
usaha-usaha nyata di kampung halaman sendiri.
Keragaman inilah
yang menyebabkan terjadinya dialog dan mempunyai “bekal budaya” dan bekerja
bagi budaya dunia. Karena keragaman merupakan sebuah keberuntungan dan
keindahan. Dunia yang menyusut menjadi “sebuah desa kecil” ini juga menuntut
agar tidak berhenti dan memang tidak bisa berhenti pada usaha-usaha pelestarian
semata. Pelestarian hanya sebuah langkah awal untuk memulihkan ingatan dan
ayunan langkah pertama guna melahirkan “budaya baru” kekinian yang tanggap
zaman. Jika berhenti (dihentikan) hanya pada usaha pelestarian sama halnya
dengan memuja masa lalu dan tidak menutup kemungkinan akan ditinggalkan oleh
waktu.
Konsep Revitalisasi
Istilah revitalisasi dalam seni tradisional adalah
kegiatan yang memungkinkan seni tradisional itu mampu menjawab tantangan jaman,
tantangan hidup hari ini dengan menjadikan gantang penakarnya memanusiawikan
manusia, kehidupan dan masyarakat. Langkah ini merupakan tindak lanjut yang
menyusul langkah pelestarian alias pendataan (pendaftaran) dan pengenalan hasil
budaya angkatan-angkatan terdahulu guna melawan lupa dan memulihkan ingatan
kolektif suatu komunitas masyarakat. Dengan demikian angkatan hari ini tidak
menjadi angkatan lepas akar atau angkatan kosong. Jika terhenti hanya sebatas
pelestarian dan menganggap seni tradisional sebagai buah karya
angkatan-angkatan sebelumnya, maka dihawatirkan komunitas masyarakat akan hidup
menyeret diri mundur ke masa silam sehingga kian tergenang di lumpur
keterpurukan total. Dengan menganggap budaya silam itu yang paling sempurna dan
berlaku di segala jaman.
Kenyataannya,
karya-karya budaya masa silam tidak semuanya tanggap zaman dalam artian
mempunyai daya guna untuk memecahkan masalah-masalah kekinian. Karena itu ia
patut ditepis mana yang tanggap dan mana yang sudah kedaluarsa. Yang kedaluarsa
cukup catat saja menjadi sejarah, simpan di museum sebagai bandingan dan
pelajaran, sebagai bagian dari sejarah dari mana kelak bisa melihat
perkembangan diri sebagai suatu komunitas. Untuk menilai kedaluarsa tidaknya
suatu hasil budaya, tentu yang jadi ukurannya adalah kemampuan nilainya
menjawab tantangan hari ini.
Suatu penampilan
bentuk sampai hakikat sehingga bisa menyebutnya tanggap atau tidak, tentu perlu
perangkat yang seimbang, perlu analisis dan kajian tingkat relevansinya,
sehingga nantinya dalam menentukan sikap budaya, tidak terperangkap sikap
apriori. Contoh misal; falsafah (budaya): bapa’ babu’ guru rato dapat dipahami
sebagai wilayah yang disakralkan, karena didalamnya banyak mengajarkan nilai
etika dan estetika dalam perilaku kehidupan di masyarakat. Namun dalam satu
sisi, ada pihak menyebutnya sebagai bentuk pengebirian, karena akan membatasi
keleluasaan melakukan tindakan dalam sebuah sistem di masyarakat.
Demikian pula
dengan falsafah abantal omba’, asapo’ angen; lebih bagus pote tolang, etembang
pote mata, dan seterusnya, semua mempunyai nilai dan makna, namun tidak semua
pula dapat diterapkan dalam kondisi masyarakat sekarang ini. Lalu apa gerangan
yang terjadi dari fenomena tersebut? Persoalannya sekarang, bagaimana dalam
memilah sisi mana yang tanggap jaman, dan sisi mana pula sudah tidak patut lagi
dikembangkan oleh masyarakat etnik Madura.
Nilai-nilai lokal
tersebut dicari relevansinya dan diterapkan pada sarana baru kekinian. Perihal
sarana inipun kiranya patut memperhatikan sarana yang sejak lama ada di dalam
masyarakat, yaitu institusi masyarakat sebagai kekuatan masyarakat yang
nantinya menjadi intrumen penggerak melalui kekuatan dasar piramida masyarakat.
Dengan menggunakan (memanfaatkan) seni tradisional untuk menjawab tantangan
kekinian dan keterpurukan, ini juga merupakan ujud kongkrit dari revitalisasi
seni tradisional.
B.
Sekilas Tentangi Seni Karawitan Madura
Keragaman seni musik yang
berkembang di kepalauan Madura tidak lepas dari hubungan
antara seni sastra-puisi, seni tari, seni teater,
seni beladiri. Pertunjukan seni musik sering dilakukan
dalam kegiatan budaya seperti Karapan Sapi dan acara-acara kegiatan sosial lainnya (Zoelkarnain Mistortoify:2012.). Masyarakat Madura mengenal seni Karawitan identik
dengan seni gamelan atau gending. Karawitan Madura juga sering disebut gamelan
Madura atau gending gaya Madura.
Gending
Gending merupakan satu istilah yang secara umum dalam karawitan Jawa
digunakan untuk menyebut komposisi musikal, (Santosa,2003:1) atau sering
disamakan dengan istilah lagu. Kamus Baoesastra
Djawa, gending diartikan lelagoning
gndhing (lagu-lagu dalam gamelan Jawa) juga diartikan abdi dalem tukang gawe gamelan (abdi dalem tukang pembuat gamelan),
(WJS, Purwadarminto1939:143) juga lihat pula Kamus Istilah dan karawitan Jawa
“Laporan Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1977/1978:52).
Istilah gending juga pernah digunakan untuk menyebut
instrument gesek dalam gamelan yang disebut rebab, (Jaap Kunts,1978:15). Sedangkan Rahayu Supanggah memberikan
pemahaman bahwa gending secara umum digunakan untuk menyebut komposisi musikal
karawitan Jawa. Bagi masyarakat gamelan artinya orang yang berkecimpung dalam
seni karawitan istilah gending hanya digunakan untuk menyebut komposisi musikal
karawitan Jawa yang memiliki bentuk dan ukuran mulai dari kethuk 2 (loro) kerep (satu kenongan terdiri dari 16 tabuhan balungan) sampai
dengan gending yang lebih besar, (Rahayu Supanggah,1990:115-154). Gending juga secara luas diartikan
komposisi gamelan dan dalam arti sempit gending berarti komposisi gamelan yang
selalu terdiri dua bagian. Bagian pertama disebut merong bersuasana khidmat,
tenang atau regu,sedangkan bagian kedua, disebut inggah biasanya bersuasana lebih gairah (pernes), (Sumarsam,2002:71)
Berdasarkan dari beberapa pengertian tersebut maka dalam
penelitian ini penggunaan istilah gending dibatasi pada sebutan komposisi
musikal pada gamelan baik instrumental ataupun vokal yang dilakukan oleh
manusia. Gending dimaksudkan di sini khususnya pada gending-gending Gaya Madura
atau lagu-lagu daerah Madura, baik dalam sajian klenengan atau dalam
pertunjukan kesenian Topeng Dalang.
Bentuk Gending
Susunan dari nada-nada yang diatur menimbulkan suara yang enak dan
selanjutnya disebut lagu. Pengaturan nada-nada tersebut mengarah pada satu bentuk. Berangkat dari
berbagai bentuk inilah yang selanjtnya disebut bentuk gending. Bentuk gending
dibedakan dibedakan menjadi dua golongan yaitu bentuk gending dalam arti
balungan dasar gending dan bentuk sekar atau tembang. Bentuk gending yang dalam
karawitan Madura mengadopsi dari bentuk gending yang ada di dalam istilah
karawitan Jawa khususnya karawitan gaya
Jawa Timuran seperti misalnya, Sampak, Ayak, Lancaran dan sebagainya. Dalam
setiap penyajian kendang berfungsi sebagai pamurba irama artinya sebagai
penentu perjalanan irama ataupun berhentinya suatu sajian gending.
Unsur bahan dasar dalam gending adalah dhing-dhong
dan gatra. Dhing – dhong merupakan
satuan ukuran terkecil dalam karawitan yang terdiri atas dua nada, dhing bertekanan ringan sedangkan dhong bertekanan berat. Gatra adalah
pola dasar gending yang terdiri dari empat nada satu rangkaian dan
masing-masing memiliki nada satu ketukan. Gatra tersebut akan mempunyai arti
apabila sudah dikembangkan menjadi menjadi dua gatra, empat gatra, delapan
gatra, 16 gatra, 32 gatra dan seterusnya diberi irama dan nada-nadanya diolah dengan
hanya satu nada dan pada tempat-tempat tertentu diberi aksen tabuhann Kethuk,
kenong, kempol dan gong).Pemahaman serupa juga dijelaskan oleh Sumarsam gending
ditentukan paa urutan satuan gatra/metric. Jumlah gatra/metric dalam tiap
gending ditandai (aksen-aksen) oleh
tabuhan ketuk, kenong kempul dan gong.
Sebagai contoh pola bentuk gending yang banyak terdapat di daerah adalah
sebagai berikut:
Skema Bentuk Gending Lancaran adalah sebagai berikut:
|
+
|
.
|
|
^
|
|
-
|
v
|
-
|
^
|
|
-
|
V
|
-
|
^
|
|
-
|
v
|
-
|
^
|
|
//
|
.
|
.
|
.
|
.
|
|
.
|
.
|
.
|
.
|
|
.
|
.
|
.
|
.
|
|
.
|
.
|
.
|
.
|
//
|
Dalam satu gongan terdiri dari delapan ketuk balungan
(nada), empat tabuhan kenong (^) dan
tiga tabuhan kempul (v).
Kedua bentuk gending ketawang dan lancaran sebagai bentuk garap dari sajian
gending ganggamina. Penentuan sajian bentuk ketawang atau lancaran tergantung
dari fungsi atau selera penyaji. Bentuk ketawang labih banyak disajikan dalam
acara klenengan, sedangkan bentuk
Lancaran biasa disajikan dalam pergelaran Topeng dalang, Tayub atau yang
lainnya.
Laras
Pengertian laras adalah urut-urutan suara mulai yang paling rendah sampai
yang tertinggi, yang tetap serta teratur “swarantaranya” (Dewantara, KH.,
1967:217). Istilah laras dalam etnis Madura secara umum dikenal adanya laras Pelog
Timor pengertian laras demikian ini merupakan akibat dari akulturasi dua
budaya yaitu laras dalam karawitan jawa yang terdiri dari laras slendro dan
pelog dengan budaya etnis Madura yang akhirnya timbul laras Pelog Timor.
Ditinjau dengan kacamata musikologi karawitan bahwa pelog Timur ini merupakan
perpaduan dua laras seperti halnya dalam laras tebang gending menurut hasil
pengamatan urutan nadanya terdiri dari 1, (ji) 2,(ro) 3 (lu) , 5 (ma),6 (nem)
dan 1 (ji alit). Nada 1, (ji) 2,(ro) 3 (lu) , 6 (nem) berlaraskan slendro sedangkan nada 5 berlaras
pelog. Ketika bermain bersama nampak warna slendro dan pelognya apalagi dengan
vokal, yang terkadang vokalnya terkesan laras pelog misalnya pada jenis kejungan.
Sementara untuk laras yang ada pada vokal lebih dominan pada warna laras pelog.
Dan dalam penyajian antara instrumen yang telah dipadukan akan terbentuk dua
laras yang dilakukan secara bersama yaitu gendingnya berlaras slendro dan untuk
vokalnya (khususnya kejungan) berlaraskan pelog. Inilah satu keunikan
khas warna lagu-lagu etnis Madura yang membedakan dengan seni musik di daerah
lain. Maka untuk mempermudah penulis dalam mengamati kesenian etnis madura
menggunakan pendekatan pada laras slendro dan pelog yang ada pada karawitan
Jawa dengan menyesuaikan orisinal nada yang ada pada laras slendro di daerah
Madura.
Pada setiap pergelaran ada seorang yang bertugas khusus menyetem atau
melaras terbang yaitu ki Suma selain sebagai pemaian terbang juga sebagai
pelaras. Secara teori memang ki Sumo tidak bisa menjelaskan laras yang ada pada
Terbang gending hal yang dilakukan berdasar pada kebiasaan yang telah
turun temurun.
Hasil perpaduan antara vokal berlaras pelog dan instrumen yang berlaras
slendro memberikan inspirasi bahwa kesenian ini multifungsi yang dapat untuk
memainkan jenis-jenis lagu-lagu atau gending jenis apapun. Berangkat dari
inilah sebenarnya kesenian terbang gending untuk
dikembangkan agar dapat menarik selera dari masyarakat
tanpa memandang dari latar belakang budayanya.
C.
Pengembangan Proses Pembelajaran
Melestarikan dan mengembangkan seni tradisional merupakan
salah satu tugas pokok lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Sekolah
Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya memiliki visi-misi dalam pengembangan dan
pelestarian kesenian tradisional di Jawa Timur yang di dalamnya termasuk seni
Karawitan Gaya Madura. Untuk mewujudkan visi-misi tersebut STKW (dalam hal ini
prodi Karawitan) melakukan pengembangan dalam proses pembelajaran Karawitan Gaya Madura melalui beberapa
tahap.
1.
Tahap
Penggalian Materi
Penggalian materi diartikan sebagai proses dalam mencari
data bakal calon materi pembelajaran. Kesulitan yang dialami adalah menentukan
sumber materi, mengingat bahwa Karawitan Gaya Madura hanya berkembang dalam
wilayah tertentu. Keberadaan Kraton Sumenep sebagai salah satu benteng dari
kebudayaan tidak menyajikan data tentang karawitan Madura yang dirunut sebagai
data sumber, apalagi aktivitas berkaitan dengan seni karawitan sangat terbatas.
Sumber materi yang diperoleh dari
pertunjukan Topeng Dhalang Sumenep, pertunjukan tayub atau pertunjukan
Sandur. Dalam pertunjukan Topeng Dhalang
atau seni pertunjukan yang lainnya yang diiringi dengan gamelan dengan
gending-gending Madura. Beberapa jenis gending inilah yang dijadikan sumber
data dalam pemilihan materi pembelajaran. Pertimbangan dalam pemilihan materi
dikaji dari berbagai aspek antara lain tingkat kesulitan, keunikan, kerumitan
dan bobot materi sesuai dengan waktu pembelajaran. Serangkaian gending-gending
dalam pertunjukan Topeng Dhalang dipilah-pilah menjadi beberapa sajian, atau
juga melalui tetabuhan (klenengan) sebelum pertunjukan dimulai, sebagaimana
tradisi dalam pertunjukan tradisi selalu menampilkan gending-gending pembuka
sebelum pertunjukan dimulai, seperti dalam pertunjukan wayang kulit, wayang
orang, ludruk, dan sebagainya.
Membutuhkan waktu yang panjang dalam menentukan pemilihan
materi dan materi yang terpilih sesuai dengan ketentuan pembelajaran (capaian
pembelajaran) maka ditentukan beberapa gending yang layak dan tepat untuk
diangkat sebagai materi pembelajaran di tingkat jurusan. Materi-materi yang
lainnya tentu saja dijadikan bang materi untuk proses pengembangan berikutnya.
Pemilihan materi diambil dari bentuk gending yang sederhana dan apabila merunut
dari teori larawitan yang berada di Jawa tengah dipilih dalam bentuk gending
lancaran, ketawang sampai dengan bentuk gending ladrang. Hal ini dijadikan
spesifikasi dalam penyampaian materi. Materi terpilih antara lain Gending
Rarai, Talang dan beberapa lagu daerah.
2.
Tahap
Pengujian Laboratorium / Studio
Sebagai langkah selanjutnya setelah ditentukan
materi-materi terpiliah adalah proses laboratorium lebih tepat adalah proses
studio. Kerja studio dipandu dengan nara sumber yang didatangkan dari seniman
pelaku aslinya untuk memperoleh ketajaman tentang gending-gending Madura.
Penanggung jawab dalam hal ini dibebankan kepada calon pengampu mata kuliah
praktek karawitan Madura. Langkah yang dilakukan mempelajari tehnik tabuhan dari
setiap instrument, garap gending, garap vocal, dan proses penyajian gending.
Proses paling lama adalah mempelajari dari spesifikasi tiap-tiap instrument
mengingat bahwa dalam satu perangkat gamelan terdiri dari berbagai jenis
instrument yang memiliki tehnik yang berbeda dalam memainkannya. Proses
tersebut dilakukan secara berulang-ulang sampai direkomendasikan dari nara
sumber dari tingkat kelayakan dan penguasaan tehnik. Proses akhir dari studio
adalah penyajian dari gending-gending terpilih untuk dikaji secara bersama
dalam sebuah pementasan atau penyajian gending secara lengkap.
a.
Kelayakan
Materi
Kelayakan materi diawali dari berakhirnya proses studio
dengan pergelaran atau penyajian gending-gending yang terpilih sebagai materi
pembelajaran praktek karawitan Madura. Diskusi semacam sarasehan dilakukan
untuk mengadakan dialog dengan berbagai kalangan yang memiliki kemampuan baik
secara praktek amupun pengetahuan relevansinya dengan gending gaya Madura.
Kesimpulan dari diskusi dijadikan catatan-catatan dan uji kelayakan dari
materi. Catatan-catatan tersebut untuk penyempurnaan materi karawitan gending-gending
Madura.
b.
Transkrip
Materi
Transkrip materi merupakan proses penotasian dalam bentuk
tulisan dalam hal ini menggunakan font kepatihan yang spesifik untuk
mentranskrip gending-gending dari karawitan. Notasi kepatihan secara umum telah
digunakan diberbagai wilayah di Jawa untuk menulis atau membaca dari sebuah
transkrip gending atau lagu-lagu daerah. Hasil transkrip digunakan sebagai
media pembelajaran dan dokumentasi cetak dari gending-gending karawitan. Fungsi
dari hasil transkrip sangat membantu mahasiswa atau siapapun dalam proses
pembelajaran tentunya harus didasari oleh kemampuan membaca notasi dalam
istilah karawitan harus menguasai titilaras gamelan.
Proses transkrip dilakukan beberapa tahapan yaitu: (1)
Transkrip untuk nada baku (balungan gending); (2) transkrip untuk tabuhan
ricikan boning babok dan penerus; (3) transkrip tehnik tabuhan ricikan kendang;
(4) transkrip untuk vokal termasuk syair dan terjemahan dalam bahasa
indonesia.
Berbeda dengan membaca notasi pada music barat (diatonic)
yang sudah memiliki standar baku. Dikatakan sebagai alat bantu atau media
karena dalam karawitan atau memainkan gamelan itu banyak improvisasi dari
pemain (niyogo) yang dari sinilah
gamelan itu dapat dinikmati dengan rasa keindahan.
3.
Tahap
Uji Materi
Uji materi sama halnya dengan uji kelayakan materi yang melalui proses
pengusaan tehnik, spesifikasi gending, penyajian gending dan rekomendasi dari
beberapa hasil diskusi. Dalam sekelompok orang dapat saling bersinggungan yaitu
belajar, sumbang pemikiran (brainstorming)
dianggap cara yang umum untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif.
Sehingga dapat ditentutakan bahwa materi tersebut telah memenuhi syarat untuk
dijadikan materi pembelajaran pada praktek karawitan Madura. Hasil uji materi
tersebut kemudian dijadikan bahan untuk penulisan modul sebagai sumber atau pegangan
dalam proses pembelajaran. Melalui modul mahasiswa juga mampu belajar secara
mandiri untuk memperdalam materi diluar jam latihan atau praktek. Modul berisi
dari proses latihan materi sampai pada penyajian dan hasil dari transkrip
gending.
4.
Tahap
Pembelajaran
a.
Transformasi
Keahlian
Dalam arti luas pendidikan baik di tingkat formal ataupun non formal
meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri
dan tentang dunia di mana mereka hidup (Ensiklopedia
Indonesia, 1991:267. Dalam hal ini pendidikan diarahkan untuk kepentingan
manusia dikarenakan manusia mempunyai sifat mono-dualis, seperti eksistensinya
sebagai raga-jiwa dan sebagai individu dan warga masyarakat, maka pendidikan
mempunyai fungsi individual dan sosial. Sasaran pendidikan sebagai individu,
mengusahakan agar manusia dibimbing dan dibina dalam pengembangan
kepribadiannya, supaya segala potensi kodratnya mendapat peluang untuk
berkembang secara maksimal. Potensi cipta, rasa dan karsa manusia diharapkan
akan bisa berkembang optimal, agar bisa berfungsi secara potensial.
Pembelajaran merupakan proses transformasi keahlian dari
seorang pengajar kepada anak didiknya, beberapa indicator capaian dalam transformasi
ditentukan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat hafalan, penguasaan tehnik
memainkan instrument, penyajian atau disebut tabuh bersama sampai mampu
menguasai spesifikasi dari karawitan gaya Madura. Proses transformasi keahlian
dilakukan dengan metode latihan atau praktek
dan dengan media bantu pemutaran karawitan Madura sebagai bentuk
pengenalan, sehingga mahasiswa tidak hanya mampu memainkan tetapi lebih khusus
pada penguasaan pengetahuan sehingga mampu mengidentifikasi berbagai gaya
karawitan yang berada di lingkungan masyarakat.
b.
Uji
Kompetensi
Uji kelayakan sebagai proses akhir dari pembelajaran satu
mata kuliah praktek dengan metode penyajian bersama. Mahasiswa wajib menguasai
instrument pokok sebagai tuntutan dasar dan mampu menyajikan secara bersama
dalam sebuah pergelaran karawitan baik di dalam kelas maupun di luar
kelas. Uji kompetensi yang lain adalah
proses pembawaan yaitu sebuah tuntutan untuk mahasiswa wajib menyajikan semua
materi praktek yang telah diajarkan selama perkuliahan. Dalam hal ini mahasiswa
betul-betul memiliki kompetensi dan ketika kembali ke masyarakat mahasiswa
mampu mengembangkan lebih jauh lagi tentang seni karawitaan.
5.
Tahap
Pengembangan Materi Pembelajaran
a.
Pengembangan
materi dalam kreativitas Mahasiswa
Mahasiswa sebagai calon penggerak kebudayaan di
masyarakat harus mampu berkreativitas untuk menghasilkan produk-produk baru
sebagai daya tarik pengembangan kesenian melalui penciptaan. Istilah penciptaan
berasal dari kata cipta yang mempunyai arti suatu kemampuan pikiran untuk
mengadakan sesuatu yang baru, atau angan-angan kreatif, dan penciptaan
merupakan bentuk dari proses perbuatan menciptakan. Kata kunci yang ketiga
yaitu seni, dalam hal ini penulis mengambil definisi dari Susanne K. Langer, Philosophical Sketches, 1964, p. 74.,
yang dikutip oleh The Liang Gie (1996:14)
adalah sebagai berikut:
Any activity thus designedn to
transform natural material into objects are useful or beautiful, or both, is
arts. The product of this orderly intervention of the human hand and spirit is
a work of art. (Sesuatu
kegiatan yang demikian dirancang untuk mengubah bahan alami menjadi benda-benda
yang berguna atau indah, ataupun kedua-duanya, adalah seni. Hasil campur tangan
manusia dan roh manusia yang teratur ini adalah karya seni).
Dalam penciptaan karya seni seorang seniman mempunyai
sumber inspirasi dari situasi alam dan lingkungan. Di mana lingkungan mempunyai
peran dalam membangun inspirasi untuk mengembangkan kreatifitas bagi seniman
(kreator seni). Daya pikir manusia dapat menghasilkan suatu gagasan atau ide
yang tak terhingga macam dan ragamnya. Karena kemampuan ini pula setiap saat
seseorang dapat “menciptakan” sesuatu yang baru dalam pikirannya, atau dalam
kekaryaan. Setiap orang dapat menemukan
ide, namun tidak semua orang mampu untuk merealisasikannya. Bagi seseorang yang
mampu menciptakan ide dan mengaplikasikannya dalam kekaryaan adalah mereka yang
memang mempunyai buah pemikiran yang diperjuangkannya sehingga ide tersebut
menjadi karya yang nyata.
Salah satu faktor penting yang memungkinkan kreativitas berkembang adalah
adanya kebutuhan sosial yang menghendaki suatu bentuk, struktur, pola atau
system baru. Karena apa yang telah ada dianggap tidak lagi memadahi atau tidak
bisa memenuhi kebutuhan. Kebutuhan sosial ini dapat terwujud dalam pergaulan
antara anggota masyarakat, ataupun hubungan-hubungan sosial yang lain.
Terwujudnya keadaan demikian memungkinkan hasil daya cipta orang-orang yang
bisa memenuhi kebutuhan sosial yang ada itu diterima baik, sehingga kreativitas
yang menghasilkan daya cipta itu diterima baik, sehingga kreativitas yang
menghasilkan ciptaan-ciptaan baru dapat berkembang.
Kreativitas dalam hal ini dilakukan dalam bentuk aransemen lagu atau garap
gending. Hasil dari aransement merupakan satu proses pengembangan dan memiliki
daya rangsang pada maysrakat agar terhindar dari rasa kebosanan. Tawaran baru
hasil inovatif menjadi alternative pengembangan untuk warna baru tanpa
meninggalkan budaya tradisi atau etnisitasnya.
b.
Pengembangan
Materi secara kelembagaan
Dalam kurun waktu tertentu materi praktek harus
diupayakan pengembangannya atau istilah sekarang uptodate materi dengan proses
mengganti materi atau penyesuaia materi berdasarkan pada perbendaharaan dan
kelayakan materi di masyarakat. Menghindarkan dari hasil pembelajaran di
pendidikan namun setelah kembali ke masyarakat ternyata materi itu sudah using
atau masyarakat lebih dahulu meninggalkannya untuk materi yang lain.
Pengembangan materi jelas menjadi kewajiaban dari institusi untuk selalu
dilakukan pembaharuan sesuai dengan kondisi masyarakat sebagai pemilik kesenian
secara umum.
6.
Tahap
Penelitian keberlanjutan
Penelitian merupakan bagian Tridharma Perguruan Tinggi
yang harus dilakukan oleh Dosen ataupun mahasiswa. Dalam hal ini penelitian
memiliki beberapa keuntungan antara lain: sebagai publikasi dalam rangka
informasi budaya dalam kajian ilmiah; pengembangan keilmuan; pengembangan
materi. Strategi dalam penelitian
dapat dilakukan oleh mahasiswa sebagai bahan skripsi. Kebutuhan dosen adalah
pengembangan pengetahuan dan diarahkan sebagai diktat ajar, buku ajar. Prospek
lebih jauh dapat dilakukan dengan tingkat kompetitif tingkat nasional melalui
DP2M DIKTI untuk memeproleh pendanaannya.
Guna memperoleh pengembangan materi maka diperlukan
sebuah penelitian khususnya karawitan gaya Madura. Hasil dari penelitian
diharapkan sebagai bentuk pendokumentasian,
pengembangan bahan ajar, pengembangan materi studi pandang dengar.
Metode dalam penelitian difokuskan pada penggalian data yang bersifat repertoar
gending-gending karawitan Gaya Madura yang disajikan oleh masyarakat Madura
sebagai bentuk osisinalitas gaya Madura. Melalui kerja pratikum beberapa materi
yang telah terdokumentasi akan dikembangkan menjadi bahan ajar dalam bentuk
diktat kuliah, buku ajar, hand out.
Hasil penelitian juga sebagai sarana publikasi melalui tulisan yang
diterbitkan dalam jurnal ilmiah untuk
referensi dari semua pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Daeng,
Hans J. Dr.
2000
Manusia,
Kebudayaandan Lingkungan. Pustaka Pelajar,Yogyakarta
Endraswara, Suwardi
2003 Metode Penelitian Kebudayaan. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta
Hidayat, Robby,
Drs., M.Sn.
2008 WayangTopeng Malang. Penerbit:
GantarGumelar Malang
Kartodirdjo, Suyatno.
1995 Penelitian Bidang Seni dan Metodologinya,
makalah Penataran Tenaga Peneliti Madya Dosen
STSI Surakarta.
Kaplan, David danManers, Albert A
2000 Teori Kebudayaan. (Penerjemah:
L. Simatupang), Pustaka Pelajar
Yogyakarta
Merriam, P.Alan, 1964. The
Anthropology of Music, Northwestern:
University Press.
Prajapangrawit, R. Ng.
(Penyunting Sri Hastanto, SugengNugroho).
1990 WEDHAPRADANGGA SeratRiwayating
Gamelan. Penerbit: Kerjasama STSI
Surakarta dab The Ford Foundation.
Palgunadi, Bram
2002 Serat Kandha Karwitan Jawi,
penerbit: ITB
Sumarsam
2003 GAMELAN Interaksi Budayadan Perkembangan Musikal
di Jawa. Penerbit: Pustaaka Pelajar Yogyakarta. ISBN:
979-3237-71-6
Supanggah, Rahayu
1995 Seni Tradisi Bagaimana Ia Berbicara,
makalah Penataran Tenaga Peneliti Madya Dosen
STSI Surakarta.
Sutarto, AyudanSetyoYuwanaSudikan
(editor)
2008 Pemetaan Kebudayaan di
JawarTimur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif.
Penerbit: Biro Mental Spiritual Pemerintah Daerah Jawa Timur berkerjasama Kompyawisda Jatim-Jember.
Sutton, R. Anderson
1991 Traditions
of Gamelan Music in Java: musical pluralism and regional identity.
Penerbit: Cambridge University Press.
Tim -------
1987 “Ensiklopedi Seni Musik dan Tari
Daerah Jawa Timur”
penerbit: Proyek Pengembangan Dep. Dik
Bud. Prop. JawaTimur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar