Selasa, 13 November 2012

Artikel 10

By:  Nandi Saefurrohman

Pendahuluan

          Di Jawa Timur khususnya di Wilayah Surabaya benyak seniman-seniman ludruk yang terkenal baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan (1945-sekarang). Sebelum kemerdekaan dikenal seorang tokoh ludruk yang sampai hari ini namanya tetap diabadikan karena keberaniannya dalam membawakan syair-syair (parikan) dan kidungan dalam pertunjukan ludruk yang mengkritik pemerintahan Jepang yang sedang menjajah dan berkuasa di Indonesia pada saat itu. Taman Budaya Cak Durasim di Surabaya adalah nama yang diambil dari tokoh ludruk tersebut. Sezaman dengan masa perjuangan Dokter Soetomo di bidang politik yang mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya) pada tahun 1933, seniman ludruk, Durasim, telah mendirikan perkumpulan Ludruk Organisatie (LO). Ludruk itu amat terkenal pada zaman Jepang karena dengan kidungannya berani menyindir pemerintah Jepang. Kidungan jula-juli,yang dimaksud berbunyi sebagai berikut :  Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara (Pegupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara). Akibat kidungan di atas, Durasim dan kawan-kawan sewaktu mengadakan pertunjukan di Desa Mojorejo (Kabupaten Jombang) di tangkap oleh pihak penguasa Jepang yang selanjutnya mereka di masukan ke dalampenjara. Sesudah dikeluarkan dari penjara, Durasim meninggal dunia pada bulan Agustus tahun 1944.1
          Pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945, seni ludruk tumbuh pesat di kota Surabaya. Dari sekian banyak grup ludruk yang berdiri pada waktu itu salah satunya yang terkenal adalah grup Ludruk Marhaen dengan tokoh-tokohnya seperti  Rukun Astari, Cak Wibowo, dan Cak Samsudin. Menurut data statistik di Kanwil kebudayaan Departemen PPDK Tingkat I Surabaya, pada tahun 1963 di Jawa Timur terdaftar ada 549 organisasi atau perkumpulan ludruk.2
          Seiring dengan perkembangan jaman dan situasi  politik di Indonesia, ludruk di Jawa Timur khususnya di wilayah Surabaya mengalami pasang surut dalam pertumbuhannya. Seni ludruk di Surabaya sempat mengalami kepakuman pada  tahun 1965-1968 (masa peralihan pemerintahan dari ORLA ke ORBA), dan baru kelihatan bangkit kembali setelah situasi politik dan ekonomi dapat dikendalikan secara penuh oleh pemerintahan ORBA  walaupun grup-grup yang muncul selalu melalui proses seleksi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah, dengan alasan pembinaan dan menghindari dari timbulnya kembali bahaya laten Komunis yang masuk kedalam grup-grup ludruk tersebut. Pada masa ORBA inilah tercatat beberapa grup Ludruk terkenal di Kota Surabaya di antaranya Ludruk Trisakti dengan pentolannya Cak Meler, Ludruk RRI dengan pentolanya Cak Markuat, Cak Markaban, Cak  Sidik, dan Cak Kartolo, Ludruk Gema Tribrata dengan pentolannya Cak S. Tawa.3
          Keberadaan Sidik Wibisono yang tergabung dalam Ludruk RRI ternyata membawa angin segar bagi pertumbuhan ludruk di Surabaya. Pada awal tahun 70-an kidungan lawakan Sidik Wibisono mulai digemari oleh masyarakat Jawa Timur khususnya di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Parikannya yang tegas dan lugas penuh kata-kata humor (guyonan) yang segar. Kidungannya kaya akan cengkok-cengkok. Pembawaannya di panggung pertunjukan mampu membuat penonton tertawa dan betah untuk mentonton sampai pertunjukannya  selesai. 4          
          Namun mulai tahun 90-an keberadaan seni ludruk khususnya di Surabaya  cenderung menampakan penurunan, baik dalam prosentasi pertunjukannya  maupun dari segi peminatnya (masyarakat penonton), apresiasi masyarakat terhadap ludruk terutama generasi muda terus merosot. Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk merupakan salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang menjadi “korban” perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan. Berbeda dari era tahun 1950-an dan 1960-an ketika kesenian tradisional masih berjaya, saat ini ludruk tidak lagi mendapatkan tempat di hati publik. Hati dan kantong masyarakat telah dirampas hampir licin tandas oleh produk-produk kesenian modern atau pop.5  Menurut Sidik Wibisono, meskipun grup-grup kesenian ludruk sampai sekarang tercatat masih banyak yang tetap berdiri, tetapi mereka hampir tidak pernah pentas karena tidak ada yang menanggap.6 
Dalam judul tulisan ini, “Sidik Wibisono Pelestari Kidungan Jawa Timur Gaya Surabaya”,  intinya akan mengemukakan bagaimana sosok dan perjalanan  Sidik Wibisono dalam kesenian ludruk, serta peranan dan konsistensinya dalam usaha melestarikan kidungan jula-juli gaya Surabaya  sehingga mampu bertahan dalam situasi perkembangan jaman yang serba maju dan modern ini.  Sebenarnya selain Sidik Wibisono, masih ada tokoh-tokoh ludruk di Surabaya yang seangkatan dengannya seperti Cak Kartolo (periode tahun 70-an sampai sekarang), yang peranan dan kehadirannya  sangat banyak memberikan kontribusi positif dalam menjaga serta memelihara kesenian ludruk di Jawa Timur, terutama dalam melestarikan kidungan jula-juli gaya Surabayaan.  Kata lestari menurut Kamus Bahasa Indonesia Populer mengandung pengertian:  kekal,  menunjukan suatu perjalanan waktu dari masa ke masa yang tidak mempengaruhi keadaan dan kelangsungan hidup suatu wujud atau bentuk yang bersifat kebendaan atau bukan. Suatu benda yang lestari artinya benda tersebut tetap ada dan nampak dalam keadaannya yang tetap seperti sedia kala,  cenderung tidak ada perubahan, bertahan dari waktu ke waktu. Sedangkan Pelestari adalah orang  yang dengan sungguh-sungguh telah mencurahkan pikiran serta  segala daya upayanya dalam  menjaga, memelihara,   serta mempertahankan  kelangsungan hidup sesuatu yang bersifat kebendaan atau bukan dari terjadinya kepunahan. 6  
Sebelum menjelaskan inti dari judul tulisan ini terlebih dahulu akan dikemukakan sedikit tentang kidungan dalam keterkaitannya dengan pertunjukan ludruk.

Kidungan dalam Pertunjukan Ludruk

Pengertian kidungan secara umum adalah seni membaca puisi atau kisah dalam sastra lisan Jawa yang dilagukan serta bisa diiringi tetabuhan.7  Pengertian lain, kidungan  adalah istilah dalam membawakan seni suara vokal gaya khas Jawa Timuran yang sudah umum dikenal di  masyarakat Jawa Timur, termasuk Surabaya dan daerah sekitarnya. Bentuknya adalah lagu  yang menggunakan laras slendro, liriknya merupakan syair-syair pantun atau yang lebih dikenal dengan sebutan parikan, bersifat spontan dan improvisatoris.8
 Dalam pertunjukan ludruk, kidungan  dibawakan oleh seorang penari Ngremo (kidungan tari Ngrema)  dan sejumlah tandak (sejumlah travesti yang menari dan menyanyi di atas panggung) pada bagian pembukaan atau pendahuluan dalam pertunjukan Ludruk, atau pada saat akan dimulainya adegan  lawakan (kidungan lawak) yang dibawakan oleh seorang pelawak  sebagai selingan sebelum masuk pada cerita inti. Ada empat tahapan yang biasa dilalui dalam setiap pertunjukan ludruk yaitu atraksi pembukaan (tari Ngrema), Bedayan/thandakan, Adegan dagelan/lawak, dan penyajian cerita inti atau lakon. Tema dari syair kidungan umumnya berkisar pada masalah kemasyarakatan menurut situasi jamannya. Sifatnya merupakan koreksi, sindiran, ajakan, anjuran, pendidikan moril, dan sebagainya. Kesemuanya ini dibawakan dalam gaya bahasa daerah Jawa Timuran. Dalam kidungan tari ngrema, berisikan ucapan selamat datang, perkenalan dengan nama perkumpulan sandiwara ludruk, serta ucapan permintaan maaf bila terjadi kekeliruan dalam pementasan tersebut. Sedangkan dalam kidungan lawakan merupakan kidungan yang bersifat humor dengan membawakan syair-syair pantun berkait  yang isinya berupa sindiran atau kritik sosial. Kidungan dalam pertunjukan ludruk  biasanya diiringi oleh gamelan  dalam gendhing Jula-juli, yaitu suatu corak gendhing khas Jawa Timur yang berlaraskan slendro. Karena diiringi oleh gendhing Jula-juli ini maka kidungan dalam ludruk  disebut juga Kidungan Jula-Juli.  Secara garis besar dapat ditarik pengertian bahwa Kidungan dalam pertunjukan ludruk adalah lagu-lagu yang berbentuk pantun khas Jawa Timur yang didendangkan oleh tandhak (penari) atau badut (pelawak), diirngi oleh gendhing jula-juli, serta isi syairnya mengandung  pesan-pesan dan kritik.9  
 Sedangkan menurut penuturan Sidik Wibisono sendiri bahwa kidungan merupakan salah satu unsur pokok dalam sandiwara ludruk berupa penuturan syair-syair bercorak pantun atau parikan yang dilagukan, dinyanyikan oleh penari (ngremo) atau tandhak, dibawakan dengan ciri khas daerahnya masing-masing dimana ludruk itu berada, jika diiringi oleh gamelan cocoknya dengan gamelan slendro dalam gending jula-juli. Jadi kidungan yang ada di Surabaya identik dengan kidungan jula-juli gaya Surabaya, identik juga dengan bahasa Surabaya-an. Ciri dari kidungan jula-juli Surabaya yaitu lagunya bebas dan banyak mengandalkan improvisasi, iramanya tidak selalu ajeg dan  sangat tergantung dari pengidung untuk mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata dalam lagu, banyak sedikitnya suku kata tidak berpengaruh pada kidungannya,  yang penting adanya kesesuaian yang terasa enak antara jatuhnya lagu dengan seleh atau gong.10  Seperti diketahui bahwa di Jawa Timur terdapat beberapa gaya kidungan seperti kidungan jula-juli gaya Jombangan, gaya Surabayan, gaya Malangan, dan gaya Maduraan.  
Menurut penuturan Luwar, S.Sn., M.Sn. (salah seorang yang sering meneliti dan  ahli dalam seni macapat Jawa Timur khususnya Surabaya dan Kedjungan / kidungan Madura), mengatakan bahwa gendhing jula-juli pada kidungan gaya Surabaya yang dibawakan oleh para seniman karawitan di Jawa Timur cenderung dominan menggunakan pathet wolu (jatuh pada gong 5 dan 1) dan pathet sanga (jatuh pada gong 6 dan 2) yang akhirnya merupakan ciri khas khusus dalam kidungan jula-juli Surabayaan, dan kidungan Sidik Wibisono  yang diiringi oleh gamelan biasanya dengan gendhing jula-juli pada pathet sanga. Ciri khas lain dari kidungan jula-juli gaya Surabaya, terletak pada laku atau langkah awal kidungan dalam gendhing yang tidak diikat dengan batasan ritmis yang ketat, artinya setiap penyanyi bebas dalam menentukan dari arah mana (angkatan dan seleh/gong) dia memulai kidungannya  dengan tafsirnya sendiri. Tafsir yang dimaksud sangat berhubungan dengan kesan kemantapan yang dirasakan oleh penyanyi dalam menyelaraskan dengan laku  gendhing. 11
Gambaran notasi  gendhing Jula-Juli pada repertoar karawitan Jawa Timur  berdasarkan dari berbagai sumber, seperti yang tertulis di bawah ini :       

Jula-Juli

Slendro, patet wolu 
                                       Buka  :      .       2      .       1     
                        .      2       .       1      .       6      .      (5)G

                        .      6       .       5      .       6      .       2       
                        .      6       .       5      .       2      .   (1)G      
                        .      2       .       1      .       2      .       6     
                        .      2       .       1      .       6      .      (5)G

Slendro,  pathet sanga 
                                       Buka :       .       1       .      3      
                       .       1       .       6      .       1       .     (2)G
            
                       .      5        .       2      .       5       .      1  
                       .      5        .       2      .       5       .     (6)G
                       .      5        .       6      .       5       .      3
                       .      5        .       6      .       5       .     (2)G
  
Kiprah  Sidik  Wibisono  Sebagai Pelestarai Kidungan Gaya Surabaya  
Sidik Wibisono atau lebih akrab dipanggil Cak Sidik lahir di daerah Jagiran-Tambaksari Surabaya pada tanggal 6 November 1942 dari pasangan Termosari dan Kartimah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang akrab dengan  kesenian, ayahnya adalah seorang pemain kethoprak dan ludruk sedangkan beberapa orang saudaranya  menjadi penyanyi keroncong.  Masa kecilnya ia lalui dengan penuh perhatian dari kedua orang tuanya yang selalu mengarahkan dan mengajarkan akan hidup yang bersahaja, rukun dan tentram. Sebagai keluarga yang mencinta kesenian dan kebersahajaan, hari-hari di masa kecilnya sudah sering diperkenalkan dengan beragam macam kesenian tradisonal di Surabaya pada masa itu.  Pada usia tujuh tahun ia dan saudara-saudaranya sering diajak oleh sang ayah untuk menonton berbagai  ragam kesenian tradisional yang ada pada masa itu di antaranya  ludruk, kehtoprak,  gamelan (uyon-uyon), wayang kulit,  dan sebagainya. Saking seringnya di ajak melihat ragam macam kesenian terutama kethoprak dan ludruk, maka Sidik kecilpun tertarik untuk menirukan nyanyian (kidungan) yang sering dilihatnya tersebut dan sang ayahpun selalu  mengajarinya.
Kesenangannya menonton ludruk terutama pada adegan atau bagian yang ada lawakan mengharuskan ia pergi menonton sendirian tanpa pamit ketika sang ayah tidak bisa mengantarkannya karena ada pentas kethoprak yang kebetulan bersamaan dengan pertunjukan ludruk di tempat lain. Meskpun berada dalam lingkungan dan situasi pergolakan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kedua orang tuanya tetap mendidiknya dengan memasukannya pada sebuah Sekolah Dasar di bilangan Tambaksari Surabaya dan sempat terhenti karena situasi perjuangan kala itu yang memaksa untuk keluar dari wilayah tempat tinggalnya. Pada usia sepuluh tahun, ia telah pandai bermain ludruk dan masuk dalam perkumpulan ludruk anak-anak yang ada di kampungnya sendiri maupun di sekolahannya,  serta  sering diikut sertakan dalam lomba ludruk anak-anak.
Hidup dalam keluarga yang selalu segar dengan canda-tawa dan  pembawaan sang Ayah yang pandai melucu  namun selalu menanamkan sikap disiplin dan keterbukaan terhadap anak-anaknya, membentuk karakter Sidik kecil sebagai seorang anak yang pandai bergaul, ramah, terbuka, serta senang membuat guyonan. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Nur Alim (salah seorang yang pernah menjadi teman sepermainan Sidik dan pernah bersama-sama  dalam bermain ludrukan anak-anak di kampungnya) mengatakan bahwa, “seingat saya waktu itu umur dua belasan atau lebih di antara teman-teman sepermainannya di kampung, Sidik merupakan anak yang selalu gembira dan pandai membuat lawakan, omongan dan tingkah lakunya selalu membuat orang tertawa, dan saya bersama Sidik sama-sama senang nonton ludrukan, kalau pergi nonton ludruk atau wayang di daerah Kapasan Surabaya, kadang-kadang pergi bersama-sama atau Sidik ngontel (naik sepeda pancal) sama ayahnya”.13
  Kesenangannya terhadap kesenian tradisonal tidak menyurutkannya untuk belajar jenis kesenian lainnya. Ketika menginjak usia remaja dan telah duduk di bangku SMA, ia mengembangkan potensi suaranya dengan belajar dan berlatih dalam bernyanyi lagu-lagu pop dan keroncong.  Atas dorongan sang kakak yang telah lebih dahulu menjadi penyanyi, Sidik remaja sering ikut serta pada setiap perlombaan  nyanyian pop dan keroncong. Sampai setelah lulus SMA pun hobi menyanyi tetap dia pertahankan  apalagi pada saat itu suaranya sudah payu (laku) dengan seringnya dia tampil memenuhi undangan masyarakat. Tekadnya untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bukan semata-mata tidak adanya faktor dorongan dari keluarga terutama kedua orang tuanya, sebagai ayahnya,  Pak Mertosari selalu mendorong dan mengusulkan  kepada Sidik agar menjadi seniman yang  menyandang  gelar kesarjanaan, namun  Sidik lebih memilih jalur kesenimanannya sebagai pilihan hidup yang harus dijalani. Baginya kesenian merupakan sesuatu yang mampu membuat dia hidup lebih bersahabat, bersahaja, dan penuh dinamika. Dengan kesenian ia dapat melihat, merasakan, dan mendengarkan apa-apa yang menjadi persoalan masyarakat, apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Kecintaannya terhadap kesenian tradisional (terutama ludruk dan kidungan) tidak pernah surut sampai ia  mengarungi bahtera rumah tangga, bahkan kecintaan dan kemampuanya dalam bidang seni tersebut Cak Sidik terapkan dan ajarkan kepada lima orang putranya, namun  tidak ada seorangpun yang meneruskan jejak langkahnya dalam menekuni kesenian.
Cak Sidik sangat bersukur dan berbangga hati, keinginan ayahnya  yang tidak terwujud agar dirinya  menjadi seorang sarjana, telah ia buktikan  dengan memenuhi permintaan kelima putranya untuk melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, dan sekarang putra-putrinya itu  telah menyandang gelar kesarjanaan serta semua sudah bekerja dan berumah tangga. Di rumahnya yang asri di kawasan Semampir Selatan-Sukolilo Surabaya, di sela-sela kegiatan dan kesibukannya yang masih padat, kakek dari tujuh orang cucu yang masih kelihatan awet enom ini  menikmati usia senjanya bersama sang isti tercnta Ning Surya Dewi yang juga seorang seniwati ludruk.
Mulai pada tahun 1960-an,  Sidik Wibisono aktif dalam kegiatan kesenian dengan menjadi seorang pemain Band pada Grup band  Damri dan BAT sebagai vokalis dan pemain gitar. Pada waktu itu  kebetulan di Surabaya ada seorang pemain ludruk (pelawak) yang terkenal dengan kidungannya yaitu  yang bernama Cak Meler yang tergabung dalam grup Ludruk Trisakti miliknya THR Surabaya, dan ia sangat menyukai bahkan mengidolakan Cak Meler karena kidungannya jelas, periodik, dan cengkokannya sangat bagus.  Sampai-sampai kalau dalam sebuah pertunjukan ludruk Trisakti jika Cak Meler tidak tampil untuk ngidung, Sidik lebih baik pulang.  Ketertarikannya terhadap kidungan Cak Meler itu dia buktikan dengan selalu menghapalkan parikan atau syair-syair kidungan yang dibawakan oleh Cak Meler  sampai syairnya benar-benar hapal dan mampu menyanyikannya  seperti kidungan yang dibawakan Cak Meler.
Merasa punya kemampuan dalam bermain gitar dan menyanyi, suatu ketika  Sidik mencoba untuk melamar nyanyi di Gedung Srimulat yang letaknya  di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, namun ternyata lamarannya ditolak dengan alasan bahwa para penyanyi Band yang ada di THR terutama laki-laki sudah terlalu banyak. Kebetulan pada saat yang bersamaan Ludruk Trisakti sedang mengadakan pertunjukan, dan Sidik mencoba untuk melamar menjadi anggota ludruk tersebut. Setelah dicoba dan dites ternyata Cak Meler sangat tertarik dengan kemampuan  Sidik dalam membawakan kidungan, dan akhirnya diterima menjadi anggota grup Ludruk Trisakti, meskipun kala itu sebagai anggota yang paling muda usianya  serta dianggap belum mempunyai pengalaman dibandingkan anggota-anggota lainnya. Atas dorongan dan bimbingan senior-seniornya di grup tersebut (Cak Meler, Cak Parmo, Cak Ari, Cak Kluntang, dan Cak Rukun), Sidik terus berlatih mengembangkan kemampuannya terutama dalam membawakan kidungan dan lawakan. Pada Suatu kesempatan ia diajak untuk mengikuti pementasan pertama di luar Surabaya tepatnya di daerah Blora serta ditunjuk untuk tampil membawakan kidungan dan lawakan, dan oleh Cak Meler pementasannnya tersebut dianggap berhasil serta membawa sebuah kesegaran tersendiri bagi Ludruk Trisakti. Ternyata pertunjukannya tersebut menjadi awal bagi Sidik untuk dipercaya sebagai pemain tetap (selain senior-seniornya) dalam membawakan kidungan dan lawakan di setiap pertunjukan Ludruk Trisakti baik di gedung THR  sendiri maupun di luar wilayah Surabaya. Hari demi hari kidungan dan lawakan Cak Sidik semakin terkenal di masyarakat Surabaya dan sekitarnya terutama bagi mereka yang menyenangi kesenian ludruk.          
Setelah selama dua tahun (1966-1968) bergabung dengan Ludruk Trisakti, dan atas ijin dari sang guru yaitu Cak Meler akhirnya Sidik direkrut oleh RRI Surabaya untuk memperkuat Ludruk RRI bersama-sama dengan Cak Markuat, Cak Said, Cak Munali, dan Cak Markaban yang sudah terlebih dahulu berada di Ludruk RRI. Sedangkan yang bersama-sama masuk berbarengan dengan  Sidik yaitu  Cak Kancil Sutikno dan Cak Kartolo. Maka melalui  tempat inilah Kidungan dan lawakan  Sidik dan kawan-kawan  begitu meluas di masyarakat Jawa Timur khususnya di Surabaya, seiring dengan seringnya RRI Surabaya yang tiap malam hari selalu menyiarkan  Kidungan dan lawakannya.  Setelah  lima tahun bergabung dengan RRI Surabaya, pada tahun 1973 akhirnya  Sidik keluar dengan alasan ingin mendirikan grup Ludruk (kidungan Lawakan) sendiri, maka setahun kemudian (1974) berdirlah  Grup ludruk yang diberi nama Ludruk Sidik Cs. dengan merekrut anggota sebanyak 40 orang. Khusus untuk adegan kidungan dan lawakan selain Cak Sidik sendiri dipilih beberapa anggotannya seperti  Cak Klowor, Cak Basman, Cak Khajat, Cak Sukron, Cak Solikin, dan Ning Surya Dewi  yang sampai sekarang setia menjadi pendamping hidupnya.
Pada tahun-tahun pertama pendiriannya, selain giat berlatih dan mengadakan proses pembenahan di sana-sini, ludruk Sidik Cs. memulai pertunjukannya di wilayah Surabaya tepatnya di gedung Dinoyo selama satu bulan penuh. Kemudian setahun berkiutnya ludruk Sidik Cs. melebarkan sayapnya dengan mengadakan serangkaian pertunjukan keliling baik di wilayah Surabaya dan sekitarnya maupun di luar Surabaya seperti Pasuruan, dan Malang. Dari satu tempat pindah ke tempat yang lain, dari satu gedung pertunjukan pindah ke gedung pertunjukan  lainnya yang berada di wilayah  Jawa Timur, sehingga dalam perjalanan pertunjukan keliling tersebut sampai memakan waktu kurang lebih selama dua tahun. Banyak hal-hal yang dilalui serta dirasakan selama perjalanan keliling ini, sedikit suka dan banyak duka ia hayati dan pahami sebagai bagian dari perjuangannya dalam melestarikan kesenian tradisional ludruk, bagi Cak Sidik  pahit getirnya perjalanan kelilingnya itu sungguh tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan perjuangan senior-seniornya (tokoh-tokoh ludruk sebelumnya) dalam masa-masa penjajahan dulu. Kebebasan ekspresi berkesenian melalui ludrukan untuk menyampaikan kritik yang intinya dalam melawan kaum penjajah, harus dibayar mahal dengan penyiksaan di terali besi seperti yang dialami seniman legendaris Cak Durasim. Menurutnya, cara ia menghargai perjuangan Cak Durasim  adalah dengan terus berusaha agar seni ludruk dan kidungannya tetap eksis di masyarakat, tidak hilang digerus jaman karena kalah bersaing. 
Para seniman ludruk seperti Cak Sidik, Cak Kartolo, Kancil Sutikno, dan Agus Kuprit, serta yang lainnya,  menyadari betul bahwa seni ludruk dan kidungan jula-juli suatu saat mungkin tidak akan di perhatikan dan diminati lagi oleh masyarakat luas,  maka dengan dugaan seperti ini Cak Sidik mulai bergerak untuk mencari terobosan dan cara-cara baru dalam menyikapinya sehingga diharapkan kidungan jula-juli dapat tetap hadir di tengah-tengah masyarakat yang semakin maju dan modern ini. Dalam usahanya tersebut Cak Sidik lebih banyak melihat bahwa dalam adegan lawakan ludruk sebetulnya sangat efektif dan leluasa untuk sebanyak-banyaknya membawakan kidungan, atau sebaliknya bahwa  dalam  kidungan sebetulnya sangat efektif untuk memasukan unsur lawakan dengan syair-syair yang lucu (parikan lawak) dan menggelitik orang untuk tertawa. Kualitas sandiwara ludruk sering diukur dari kualitas pelawak dan humor yang diciptakannya. Sehubungan dengan hal itu, maka parikan lawak bagaikan ujung tombak sebuah perkumpulan ludruk yang sedang berpentas. Kidungan lawak yang bermutu adalah lawak yang berkemampuan menyajikan daya tarik kritik sosial yang tajam, tetapi masih berada dalam norma-norma budaya Jawa. Parikan lawak juga berisi pesan-pesan tertentu misalnya untuk keberhasilan pembangunan desa atau juga menyangkut tentang propaganda dan menyampaikan informasi program-program pembangunan dari pemerintahan.  Peranan lawak pada sandiwara ludruk tidak hanya sekedar menyajikan adegan humor/lucu, tetapi mempunyai peranan menentukan jalannya cerita. Latar belakang peranan  pelawak dalam ludruk bagaikan peranan punakawan pada wayang purwa.14
Merasa sebagai murid dari Cak Meler yang sangat berjasa dalam mengarahkan kemampuannya, serta peranan  sang ayah yang sejak kecil selalu memberi dorongan untuk tidak ragu atas apa yang dilakukanya asalkan itu bermanfaat, maka dalam perjalanan kesenimanannya sosok Cak Sidik selalu tidak terpisahkan dari kidungan dan lawakannya  yang dirasakan bahwa inilah suatu jalur yang harus ditekuni dan disikapi secara profesional.
 Pegerakan  Cak Sidik  tidak berhenti di situ saja, sekitar tahun 1978 ia mengajukan  tawaran untuk mengadakan rekaman dan siaran harian dalam acara kidungan dan lawakan pada salah satu stasiun radio di Surabaya yang cukup terkenal saat itu yaitu Radio Suzana, dan kebetulan fihak radio  menyanggupinya. Munculnya ide seperti itu dilatar belakangi oleh pemikiran dan pengamatannya tehadap minat masyarakat kota (khususnya di wilayah Surabaya dan sekitarnya) yang tahun ketahun menampakan ketidak peduliannya terhadap seni ludruk dan Kidungan Jula-Juli gaya Surabayaan. Dalam tahun-tahun setelah kembalinya dari perjalanan pertunjukan keliling di Jawa Timur (1976-1978), memperlihatkan adanya penurunan pertunjukan padahal masih banyak grup-grup ludruk yang ada pada waktu itu. Selain itu,    berdasarkan pengalaman selama lima tahun ketika ia masih  bergabung dengan ludruk RRI, bahwa menurutnya dengan melalui siaran radio ternyata sebagian besar  masyarakat lebih merespon dan menyukainya,  sehingga Grup Ludruk RRI dikenal sangat luas dan sangat sering pentas atas undangan masyarakat. Namun dengan begitu harus ada suatu cara atau terobosan baru dalam kemasan acaranya dengan didukung oleh sebuah model penyiaran yang membuat pemirsa (pendengar) tidak mengalami kejenuhan.
Dari pemikiran tersebut, Cak Sidik Cs. mulai melirik pada selera masyarakat pada saat itu  yang cenderung menyenangi ludruk dari sisi kretifitas lawakannya saja. Maka selanjutnya setiap siaran di radio atau membuat rekaman untuk  disiarkan,  Sidik dan kawan-kawan lebih mengutamakan pada pembuatan dan pengolahan syair-syair dan lagu (pantun/parikan dan kidungan jula-juli gaya Surabayan) yang bercorak guyonan (humor) selain bagian lawakan itu sendiri, dalam gaya bahasa Surabayaan.  Rata-rata dalam satu bulan Cak Sidik Cs. menghasilkan sekitar kurang lebih 24  rekaman ludrukan (kidungan dan lawakan) yang dipakai khusus untuk keperluan siaran radio. Di radio Suzana ini ia jalani selama 14 tahun.  Selain hari-harinya diisi penuh dengan kegiatan rekaman untuk siaran, pada tahun-tahun itu juga Cak Sidik  telah  melakukan rekaman  kaset  komersial yang sampai sekarang telah menghaslkan sekitar 40 kaset rekaman  dalam bentuk Kidungan Jula-Juli Guyonan Gaya Surabayan yang semuanya diproduksi oleh Nirwana Record. Beberapa judul kaset yang terkenal seperti Mandor Kawat diproduksi tahun 1979, Mantu Ula Sawa (1980), Katak Cepong,  Dhukun Ula (1986),  Radio Mata Sapi (1989), Kucing Belang (1990), Kacang Seret  (1992), dan lain sebagainya. Kegiatan rekaman ini berhenti di awal terjadinya badai krisis ekonomi yang melanda Indonesia.  Dari keseluruhan judul-judul kaset tersebut terlihat  kemampuan Sidik Cs. dalam meramu lawakannya dengan  lirik dan lagu yang kental dengan suasana humor. Menurut Luwar, bahwa Sidik Wibisono termasuk pengidung yang kreatif dan pintar dalam membuat lirik-lirik lawakan / humor, mulai urusan dapur  sampai pada hal-hal yang agak berbau porno sekalipun.12  
 Menurut Cak Sidik, bahwa  parikan dan kidungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan  ludruk. Salah satu kesenangan masyarakat (penonton) dalam menyaksikan pertunjukan ludruk salah satunya terletak pada kidungan dengan syair–syairnya (pantun berkait / parikan) terutama kidungan-kidungan yang  dibawakan secara humoris. Apalagi kidungan tersebut isinya memuat atau untuk menyampaikan kritik, baik kritik terhadap pemerintah yang berkuasa, masyarakat, golongan dan individu.  Menurutnya sebelum tahun 1965 (ORLA) sangat banyak kidungan dan lawakan dalam Ludruk yang pada umumnya mencerminkan keberanian dari para pemain untuk menyampaikan kritik-kritik yang tajam terhadap pemerintahan pada waktu itu. Hal ini sangat berbeda sekali ketika pada masa sesudah 1965 (ORBA) keberadaan ludruk seperti dikebiri, dimana pemerintah begitu ketat dalam mengawasi dan mengintervensinya, dengan alasan masih banyak pemain-pemain ludruk yang terlibat dan terkait dengan LEKRA atau hanya sekedar menjadi simpatisan PKI. Jarang sekali ada kidungan atau parikan yang berani menyindir dan mengkritik pemerintahan, bahkan sebaliknya cenderung banyak yang bertemakan pujian dan sanjungan akan keberhasilan program pembangunan pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang berhubungan dengan kekacauan politik dan ideologis yang terjadi dalam masa-masa peralihan pemerintahan  (masa terjadinya GESTAPO). Namun pada era reformasi seperti sekarang ini sudah mulai tampak adanya kebebasan dan keberanian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelum tahun 1965. Hal ini telah dilakukan sendiri oleh Cak Sidik ketika beberapa tahun kebelakang diundang oleh SCTV, dalam kidungannya dia membawakan beberapa syair untuk mengkritik pemerintah dan para politisi, salah satu syair  yang masih teringat misalnya:  Mobil Fiat buatan Itali, Wakil Rakyat kok  seneng korupsi. 
Dalam perkembangan selanjutnya, kidungan jula-juli ini sering juga dibawakan dalam acara-acara kesenian yang tidak terkait dengan pertunjukan ludruk, seperti dalam acara klenengan (uyon-uyon), Pertunjukan wayang kulit Jawa Timuran, pentas lawak, Kentrungan, ketoprak, lomba kidungan,  dan acara-acara yang lainnya, yang kesemuanya dalam bentuk jula-juli guyonan (lawakan).  Hal seperti ini terjadi setidak-tidaknya dikarenakan  oleh peranan para seniman  ludruk yang terus bergerak secara progresif dalam menyuguhkan alternatif-alternatif baru dalam pertunjukan ludruk.
Ketika badai krisis ekonomi melanda Indonesia yang mempengaruhi pada semua aspek tatanan kehidupan masyarakat, aktivitas kesenian di masyarakat cenderung mengalami penurunan. Situasi seperti itu juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas Cak Sidik yang sempat mengalami kevakuman, apakah itu berupa  pertunjukan langsung maupun membuat rekaman. Pada awal-awal terjadinya krisis, kevakuman itu disebabkan oleh sangat jarangnya permintaan untuk tampil/pentas di hadapan publik, sulitnya pendanaan (karena tidak ada sponsor)  untuk membuat pertunjukan, dan berhentinya aktivitas rekaman komersial karena tidak adanya studio rekaman yang bersedia untuk memproduksi kidungan dan lawakannya. Di Surabaya sendiri Cak Sidik sempat mengamati bahwa di awal tahun 1995 sampai tahun 2000,  ia jarang sekali melihat pertunjukan ludruk, baik di gedung-gedung pertunjukan, di masyarakat umum, maupun dalam acara-acara di media elektronik. Melihat kondisi sepert ini  Cak Sidik merasa gelisah dan sempat menyalahkan berbagai pihak yang lebih mementingkan urusan politik dari pada memperhatikan budaya (maksudnya kesenian ludruk), dan mengenai kegelisahannya itu pernah ia lontarkan dalam sebuah acara Seminar Tentang Kehidupan Ludruk di Surabaya yang akhirnya menjadi bagian pembahasan yang amat pentng. Namun bagi Cak Sidik kekhawatiran akan kondisi dan situasi yang terus tidak menentu tersebut, tidak membuatnya surut dalam mencari terobosan baru sehingga mampu dalam menjawab tantangan dan rasa kekawatiannya akan  tenggelamnya kesenian tradisional 
Di pertengahan tahun 2002, atas kerja sama dengan sebuah stasiun Televisi Lokal Swasta  di Surabaya yaitu JTV,  Cak Sidik yang pernah membawakan acara Ding Thak-Thong di Stasiun TVRI Surabaya in mencoba membuat sebuah program acara televisi bertajuk hiburan yang mengusung seni tradisional yang dikemas dalam sebuah nama acara Kidungan Rek, yang mengandung maksud untuk mengajak para pemirsa yang ada di rumah untuk ikut serta membuat syair (parikan) serta dikidungkan. Para penonton yang ada di rumah bisa menelepon secara langsung (semacam interaktif) untuk membawakan kidungan dengan diiringi gendhing jula-juli yang langsung dimainkan dari studio/lokasi acara Kidungan Rek. Selain itu dalam acara tersebut di sediakan waktu bagi siapa saja yang berminat untuk membawakan kidungan langsung  dari studio dengan terlebih dahulu mendaptarkan diri, dalam acara Kidungan Rek ini Cak Sidik bertugas sebagai pemandu acara.
 Namun berdasarkan kebijakan pengelola program acara tersebut serta pertimbangan untuk menghindari terjadinya kejenuhan di masyarakat, maka yang tadinya ditayangkan hampir tiap hari itu berubah menjadi tiga kali dalam seminggu  dan akhirnya  sekarang hanya ditayangkan seminggu sekali setiap malam selasa. Satu hal yang perlu di catat bahwa acara tersebut ternyata mendapatkan respon yang sangat baik di masyarakat. Menurut penuturan Cak Sidik pada awal-awal penyiarannya tercatat rata-rata setiap hari ada sekitar dua ratusan penelepon yang masuk untuk ikut serta membawakan kidungan melalui saluran telepon, tetapi karena keterbatasan masalah waktu hanya mampu memberikan kesempatan kepada  lima sampai sepuluh penelepon saja.  Dan yang paling menggembirakan bagi Cak Sidik,   meskipun sekarang penayangannya hanya tinggal satu kali dalam seminggu namun masyarakat yang menggemari acara tersebut telah membentuk wadah sendiri  dalam sebuah paguyuban yang dinamakan Paguyuban Penggemar Kidungan Rek (PPKR) yang sudah menampung anggota kurang lebih sebanyak 500 orang, terdiri dari masyarakat yang tersebar di wilayah Surabaya, Gersik, Mojokerto, Bangkalan,  Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan, serta wilayah-wilayah yang mampu menangkap siaran televisi JTV.     
Sebagai seorang seniman yang telah banyak mendapatkan berbagai macam penghargaan dan piala kejuaraan ini,· diantaranya penghargaan RRI Surabaya, TVRI, Pemerintah  Orde Baru melalui Departemen Penerangan Pusat  karena jasanya dalam memberikan informasi program pembangunan pemerintah lewat kidungan-kidungannya, Departemen Transmigrasi, BKKBN, Dirjen Kebudayaan melalui Taman Budaya Surabaya,  TMII, Pemerintah Daerah Jawa Timur, dan sebagainya, dalam perjalanan kesenimanannya Cak Sidik selalu memegang teguh prinsip tidak pantang menyerah dan merasa puas atas apa yang dilakukannya. Baginya beragam macam penghargaan tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan mereka-mereka yang telah dengan susahpayah membangun eksistensi kesenian tradisional semisal ludruk sehingga sampai saat ini masih tetap terlihat meskipun berada dalam situasi perkembangan jaman yang cepat berubah, maka sudah menjadi kewajiban apabila setiap generasi termasuk dirinya untuk terus berusaha dalam mempertahankan eksistensi kesenian tradisional tersebut dari kepunahan.
Para seniman muda sebagai tonggak penyangga seni tradisonal harus tetap dibina dan diarahkan sekuat tenaga agar tidak kehilangan arah dan semangatnya dalam mempertahankan kelangsungan hidup seni tradisional.  Ada sedikit kegundahan dalam diri Cak Sidik ketika melihat anak-anak muda sekarang  ini sudah kehilangan jati diri budayanya akibat tidak mampu membendung pengaruh-pengaruh dari budaya barat yang tidak sesuai dengan  moral dan kepribadian kita, contoh yang saat ini sering mengemuka misalnya  tentang kebebasan sek, narkoba, dan kekerasan  yang sedang melanda anak-anak muda kita.  Maka dengan grup karawitan ABA (Agawe Bungahing Ati) yang baru dua tahun didirikan serta sebagaian besar merekrut seniman-seniman muda, Cak Sidik akhir-akhir ini sering tampil membawakan kidungan jula-juli Gaya Surabaya dengan tema atau pesan-pesan syairnya yang banyak menyoroti masalah tersebut. Untuk menyesuaikan dengan keadaan pasar grup ABA sering tampil membawakan kidungan jula-juli gaya Surabaya-an yang di kemas dengan unsur lawakan dan lagu-lagu campursari.    
Menjalani hidup sebagai seniman ludruk merupakan pilihan yang bukan berdasarkan pencarian kepuasan material semata. Dalam ludruk ia mampu melihat, merasakan, dan mendengarkan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia ingin kidungannya sebagai media untuk berbagi rasa, ia ingin membuat orang  tertawa, ia ingin orang menghampirinya menjadi sedulur, ia ingin banyak teman,  ia khawatir  anak-anaknya melupakan jati dirinya masing-masing bahwa keberhasilan yang sekarang mereka peroleh adalah berkat dukungan dari masyarakat yang pernah mengundang dan menanggap ayahnya untuk pentas ludruk membawakan kidungan Surabaya-an,  dan ia tak ingin  seperti Charli Caplin yang mati dalam kesendiriannya.
Menginjak akhir perbincangan ditanyakan mengapa  memilih seni sebagai salah satu  bagian dari totalitas perjalanan kehidupan Cak Sidik, dengan singkat ia menjawab: “kidungan dan melawak bagi saya adalah sarana ibadah untuk menuntun orang mencari kesuka citaan,  dan saya bersyukur banyak orang yang menjadi bahagia karena kidungan dan lawakan saya, kalau orang senang sama saya pasti senang juga kidungannya”.       
           
 KEPUSTAKAAN
Depdikbud,  1986.  Ensiklopedi Seni  Musik dan Seni Tari Daerah. Dinas P & K. Daerah Tk. I Jawa Timur.
Gerungan, FX. 1982.   Kamus Bahasa Indonesia Populer.  Jakarta:  PSPBI.
Haryadi. 1976. Sastra Lisan Jawa Timur. Jakarta:  Pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa , Depdikbud.
Hardjoprawiro, Kunardi.  1985. Kajian Bentuk dan Lagu Kidungan Jawa Timur. Surabaya:   Depdikbud
Munardi, AM.  1983.  Karawitan  Jawa Timur.  Surabaya:  Depdikbud.
Supriyanto, Henri.   1992.   Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta:  Gramedia. 
Sutarto, Ayu.  2003.  “Seni Pertunjukan Ludruk Mau ke Mana”, 
                    dalam BENDE Media  Informasi  dan Budaya  seri  3.  Taman Budaya Surabaya.

Catatan Kaki:

1       Henri Supriyanto, Lakon Ludruk Jawa Timur, (Jakarta:  Gramedia, 1992), 13.
2     L. James Peacock dalam Supriyanto, 14.
3     Wawancara dengan  Sidik Wibisono, tanggal  19 Januari  2004.
4     Penuturan dari Cak Suradji  yang pernah mendirkan Grup Ludruk Joyoboyo tahun
      1980, namun karena sesuatu sebab grup tersebut bubar dua tahun kemudian.
      Informasi  dan Budaya Th. 2003 seri 3, Taman Budaya Surabaya. 
6    Hasil  wawancara.
6        FX. Gerungan,  Kamus Bahasa Indonesia Populer,
      (Jakarta:  Pusat Studi dan Pengembangan Bahasa Indonesia ), 1982, 340.
7    Supriyanto,  109
8    Depdikbud,  Ensiklopedi Seni  Musik dan Seni Tari Daerah, (Surabaya: Dinas P &
      K. Daerah Tk. I Jawa Timur, 1986), 168.
9    Kunardi Hardjoprawiro, Kajian Bentuk dan Lagu Kidungan Jawa Timur,
      (Surabaya:  Depdikbud, 1985),  3.
10  Wawancara.
11  Wawancara, tanggal 21 Februari 2004. 
13  Wawancara,  tanggal  20 Januari 2004 
·  Dalam memenuhi kebutuhan pendirian grup ludruknya, Cak Sidik menjual semua barang-barang  miliknya yang bisa laku dijual, mulai dari perabotan rumah tangga dan sebuah kendaraan sepeda motor  tua, sehingga bisa membeli segala keperluan pentas (perlengkapan dan dekorasi).  
§   Pengalaman yang paling berkesan selama keliling ini,  pada suatu ketika dia harus pontang-panting menjual satu kotak piring  yang dibawanya untuk biaya makan 60 orang anggota rombongan.
14    Supriyanto,  26, 27.
12    Wawancara.
·   Ketika diminta untuk menunjukan  penghargaan-penghargaan tersebut,  hanya diperlihatkan yang tepasang di dinding ruang tamu yang dianggap paling berkesan dalam perjalanan kesenimanannya,  sebagian besar penghargaan tersebut  kini disimpan dan dirawat oleh seorang putrannya   Menurut pengakuan Cak Sidik sebetulnya ia bukan tipe orang yang pintar dalam merawat dokumen-dokumen pribadinya. Juga ketika menunjukan koleksi kaset rekaman kidungan   hanya tinggal beberapa buah saja  dengan tahun produksi 80-90-an, karena banyak diberikan kepada tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Kalaupun dia ingin bernostalgia kadang-kadang ia pergi ke studio Nirwana untuk dibuatkan copy rekamannya, kalau mencari di toko-toko kaset sudah sulit menemukannya.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar