By: Nandi Saefurrohman
Pendahuluan
Di Jawa Timur khususnya di Wilayah
Surabaya benyak seniman-seniman ludruk yang terkenal baik sebelum kemerdekaan
maupun setelah kemerdekaan (1945-sekarang). Sebelum kemerdekaan dikenal seorang
tokoh ludruk yang sampai hari ini namanya tetap diabadikan karena keberaniannya
dalam membawakan syair-syair (parikan) dan kidungan dalam
pertunjukan ludruk yang mengkritik pemerintahan Jepang yang sedang menjajah dan
berkuasa di Indonesia pada saat itu. Taman Budaya Cak Durasim di
Surabaya adalah nama yang diambil dari tokoh ludruk tersebut. Sezaman dengan
masa perjuangan Dokter Soetomo di bidang politik yang mendirikan Parindra
(Partai Indonesia Raya) pada tahun 1933, seniman ludruk, Durasim, telah mendirikan perkumpulan Ludruk Organisatie (LO).
Ludruk itu amat terkenal pada zaman Jepang karena dengan kidungannya berani
menyindir pemerintah Jepang. Kidungan jula-juli,yang
dimaksud berbunyi sebagai berikut : Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah
sengsara (Pegupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara). Akibat kidungan di atas, Durasim dan kawan-kawan sewaktu
mengadakan pertunjukan di Desa Mojorejo (Kabupaten Jombang) di tangkap oleh
pihak penguasa Jepang yang selanjutnya mereka di masukan ke dalampenjara.
Sesudah dikeluarkan dari penjara, Durasim meninggal dunia pada bulan Agustus tahun 1944.1
Pada masa sesudah proklamasi
kemerdekaan RI tahun 1945, seni ludruk tumbuh pesat di kota Surabaya. Dari
sekian banyak grup ludruk yang berdiri pada waktu itu salah satunya yang
terkenal adalah grup Ludruk Marhaen dengan tokoh-tokohnya seperti Rukun Astari, Cak Wibowo, dan Cak
Samsudin. Menurut data statistik di Kanwil kebudayaan Departemen PPDK
Tingkat I Surabaya, pada tahun 1963 di Jawa Timur terdaftar ada 549 organisasi
atau perkumpulan ludruk.2
Seiring dengan perkembangan jaman dan
situasi politik di Indonesia, ludruk di
Jawa Timur khususnya di wilayah Surabaya mengalami pasang surut dalam
pertumbuhannya. Seni ludruk di Surabaya sempat mengalami kepakuman pada tahun 1965-1968 (masa peralihan pemerintahan
dari ORLA ke ORBA), dan baru kelihatan bangkit kembali setelah situasi politik
dan ekonomi dapat dikendalikan secara penuh oleh pemerintahan ORBA walaupun grup-grup yang muncul selalu melalui
proses seleksi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah, dengan alasan
pembinaan dan menghindari dari timbulnya kembali bahaya laten Komunis yang
masuk kedalam grup-grup ludruk tersebut. Pada masa ORBA inilah tercatat beberapa
grup Ludruk terkenal di Kota Surabaya di antaranya Ludruk Trisakti
dengan pentolannya Cak Meler, Ludruk RRI dengan pentolanya Cak
Markuat, Cak Markaban, Cak Sidik,
dan Cak Kartolo, Ludruk Gema Tribrata dengan pentolannya Cak S. Tawa.3
Keberadaan Sidik Wibisono yang
tergabung dalam Ludruk RRI ternyata membawa angin segar bagi pertumbuhan ludruk
di Surabaya. Pada awal tahun 70-an kidungan lawakan Sidik Wibisono mulai
digemari oleh masyarakat Jawa Timur khususnya di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Parikannya yang tegas dan lugas penuh kata-kata humor (guyonan)
yang segar. Kidungannya kaya akan cengkok-cengkok. Pembawaannya di
panggung pertunjukan mampu membuat penonton tertawa dan betah untuk mentonton
sampai pertunjukannya selesai. 4
Namun mulai tahun 90-an keberadaan
seni ludruk khususnya di Surabaya
cenderung menampakan penurunan, baik dalam prosentasi
pertunjukannya maupun dari segi
peminatnya (masyarakat penonton), apresiasi masyarakat terhadap ludruk terutama
generasi muda terus merosot. Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk
merupakan salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang menjadi “korban”
perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan
hiburan. Berbeda dari era tahun 1950-an dan 1960-an ketika kesenian tradisional
masih berjaya, saat ini ludruk tidak lagi mendapatkan tempat di hati publik.
Hati dan kantong masyarakat telah dirampas hampir licin tandas oleh
produk-produk kesenian modern atau pop.5 Menurut Sidik
Wibisono, meskipun grup-grup kesenian ludruk sampai sekarang tercatat masih
banyak yang tetap berdiri, tetapi mereka hampir tidak pernah pentas karena
tidak ada yang menanggap.6
Dalam judul tulisan ini,
“Sidik Wibisono Pelestari Kidungan Jawa Timur Gaya Surabaya”, intinya akan mengemukakan bagaimana sosok dan
perjalanan Sidik Wibisono dalam kesenian
ludruk, serta peranan dan konsistensinya dalam usaha melestarikan kidungan
jula-juli gaya Surabaya sehingga mampu
bertahan dalam situasi perkembangan jaman yang serba maju dan modern ini. Sebenarnya selain Sidik Wibisono, masih ada
tokoh-tokoh ludruk di Surabaya yang seangkatan dengannya seperti Cak Kartolo
(periode tahun 70-an sampai sekarang), yang peranan dan
kehadirannya sangat banyak memberikan
kontribusi positif dalam menjaga serta memelihara kesenian ludruk di Jawa
Timur, terutama dalam melestarikan kidungan jula-juli gaya Surabayaan. Kata lestari menurut Kamus Bahasa
Indonesia Populer mengandung pengertian: kekal, menunjukan suatu perjalanan waktu dari
masa ke masa yang tidak mempengaruhi keadaan dan kelangsungan hidup suatu wujud
atau bentuk yang bersifat kebendaan atau bukan. Suatu benda yang lestari
artinya benda tersebut tetap ada dan nampak dalam keadaannya yang tetap seperti
sedia kala, cenderung tidak ada perubahan,
bertahan dari waktu ke waktu. Sedangkan Pelestari adalah orang yang dengan sungguh-sungguh telah mencurahkan
pikiran serta segala daya upayanya
dalam menjaga, memelihara, serta mempertahankan kelangsungan hidup sesuatu yang bersifat
kebendaan atau bukan dari terjadinya kepunahan. 6
Sebelum menjelaskan inti dari
judul tulisan ini terlebih dahulu akan dikemukakan sedikit tentang kidungan dalam
keterkaitannya dengan pertunjukan ludruk.
Kidungan dalam Pertunjukan
Ludruk
Pengertian kidungan
secara umum adalah seni membaca puisi atau kisah dalam sastra lisan Jawa yang
dilagukan serta bisa diiringi tetabuhan.7 Pengertian lain, kidungan
adalah istilah dalam membawakan seni
suara vokal gaya khas Jawa Timuran yang sudah umum dikenal di masyarakat Jawa Timur, termasuk Surabaya dan
daerah sekitarnya. Bentuknya adalah lagu
yang menggunakan laras slendro, liriknya merupakan syair-syair pantun
atau yang lebih dikenal dengan sebutan parikan, bersifat spontan dan
improvisatoris.8
Dalam pertunjukan ludruk, kidungan dibawakan oleh seorang penari Ngremo
(kidungan tari Ngrema) dan sejumlah tandak
(sejumlah travesti yang menari dan menyanyi di atas panggung) pada bagian
pembukaan atau pendahuluan dalam pertunjukan Ludruk, atau pada saat akan
dimulainya adegan lawakan (kidungan
lawak) yang dibawakan oleh seorang pelawak
sebagai selingan sebelum masuk pada cerita inti. Ada empat tahapan yang
biasa dilalui dalam setiap pertunjukan ludruk yaitu atraksi pembukaan (tari
Ngrema), Bedayan/thandakan, Adegan dagelan/lawak, dan penyajian cerita
inti atau lakon. Tema dari syair kidungan umumnya berkisar pada masalah
kemasyarakatan menurut situasi jamannya. Sifatnya merupakan koreksi, sindiran,
ajakan, anjuran, pendidikan moril, dan sebagainya. Kesemuanya ini dibawakan dalam
gaya bahasa daerah Jawa Timuran. Dalam kidungan tari ngrema,
berisikan ucapan selamat datang, perkenalan dengan nama perkumpulan sandiwara
ludruk, serta ucapan permintaan maaf bila terjadi kekeliruan dalam pementasan
tersebut. Sedangkan dalam kidungan lawakan merupakan kidungan yang
bersifat humor dengan membawakan syair-syair pantun berkait yang isinya berupa sindiran atau kritik
sosial. Kidungan dalam pertunjukan ludruk biasanya diiringi oleh gamelan dalam gendhing Jula-juli, yaitu suatu
corak gendhing khas Jawa Timur yang berlaraskan slendro. Karena diiringi
oleh gendhing Jula-juli ini maka kidungan dalam ludruk disebut juga Kidungan Jula-Juli. Secara garis besar dapat
ditarik pengertian bahwa Kidungan dalam pertunjukan ludruk adalah
lagu-lagu yang berbentuk pantun khas Jawa Timur yang didendangkan oleh tandhak
(penari) atau badut (pelawak), diirngi oleh gendhing jula-juli, serta isi
syairnya mengandung pesan-pesan dan
kritik.9
Sedangkan menurut penuturan Sidik Wibisono
sendiri bahwa kidungan merupakan salah satu unsur pokok dalam sandiwara
ludruk berupa penuturan syair-syair bercorak pantun atau parikan yang
dilagukan, dinyanyikan oleh penari (ngremo) atau tandhak,
dibawakan dengan ciri khas daerahnya masing-masing dimana ludruk itu berada,
jika diiringi oleh gamelan cocoknya dengan gamelan slendro dalam gending
jula-juli. Jadi kidungan yang ada di Surabaya identik dengan kidungan
jula-juli gaya Surabaya, identik juga dengan bahasa Surabaya-an. Ciri
dari kidungan jula-juli Surabaya yaitu lagunya bebas dan banyak mengandalkan
improvisasi, iramanya tidak selalu ajeg dan sangat tergantung dari pengidung untuk
mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata dalam lagu, banyak sedikitnya suku
kata tidak berpengaruh pada kidungannya,
yang penting adanya kesesuaian yang terasa enak antara jatuhnya lagu
dengan seleh atau gong.10 Seperti diketahui
bahwa di Jawa Timur terdapat beberapa gaya kidungan
seperti kidungan jula-juli gaya Jombangan, gaya Surabayan, gaya Malangan,
dan gaya Maduraan.
Menurut penuturan Luwar,
S.Sn., M.Sn. (salah seorang yang sering meneliti dan ahli dalam seni macapat Jawa Timur
khususnya Surabaya dan Kedjungan / kidungan Madura), mengatakan
bahwa gendhing jula-juli pada kidungan gaya Surabaya yang dibawakan
oleh para seniman karawitan di Jawa Timur cenderung dominan menggunakan pathet
wolu (jatuh pada gong 5 dan 1) dan pathet sanga (jatuh
pada gong 6 dan 2) yang akhirnya merupakan ciri khas khusus dalam
kidungan jula-juli Surabayaan, dan kidungan Sidik Wibisono yang diiringi oleh gamelan biasanya dengan gendhing
jula-juli pada pathet sanga. Ciri khas lain dari kidungan jula-juli
gaya Surabaya, terletak pada laku atau langkah awal kidungan dalam
gendhing yang tidak diikat dengan batasan ritmis yang ketat, artinya setiap
penyanyi bebas dalam menentukan dari arah mana (angkatan dan seleh/gong)
dia memulai kidungannya dengan
tafsirnya sendiri. Tafsir yang dimaksud sangat berhubungan dengan kesan
kemantapan yang dirasakan oleh penyanyi dalam menyelaraskan dengan laku gendhing. 11
Gambaran notasi gendhing Jula-Juli pada repertoar karawitan
Jawa Timur berdasarkan dari berbagai
sumber, seperti yang tertulis di bawah ini :
Jula-Juli
Slendro, patet wolu
Buka : . 2 . 1
. 2 . 1 . 6 . (5)G
Buka : . 2 . 1
. 2 . 1 . 6 . (5)G
. 6
. 5 .
6 . 2
. 6
. 5 .
2 . (1)G
. 2
. 1 .
2 . 6
. 2
. 1 .
6 . (5)G
Slendro,
pathet sanga
Buka : . 1 . 3
. 1 . 6 . 1 . (2)G
Buka : . 1 . 3
. 1 . 6 . 1 . (2)G
. 5
. 2 .
5 . 1
. 5 .
2 . 5
. (6)G
. 5
. 6 .
5 . 3
. 5 .
6 . 5
. (2)G
Kiprah Sidik Wibisono
Sebagai Pelestarai Kidungan Gaya Surabaya
Sidik
Wibisono atau lebih akrab dipanggil Cak Sidik lahir di daerah
Jagiran-Tambaksari Surabaya pada tanggal 6 November 1942 dari pasangan
Termosari dan Kartimah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
akrab dengan kesenian, ayahnya adalah
seorang pemain kethoprak dan ludruk sedangkan beberapa orang
saudaranya menjadi penyanyi
keroncong. Masa kecilnya ia lalui dengan
penuh perhatian dari kedua orang tuanya yang selalu mengarahkan dan mengajarkan
akan hidup yang bersahaja, rukun dan tentram. Sebagai keluarga yang mencinta
kesenian dan kebersahajaan, hari-hari di masa kecilnya sudah sering
diperkenalkan dengan beragam macam kesenian tradisonal di Surabaya pada masa
itu. Pada usia tujuh tahun ia dan
saudara-saudaranya sering diajak oleh sang ayah untuk menonton berbagai ragam kesenian tradisional yang ada pada masa
itu di antaranya ludruk,
kehtoprak, gamelan (uyon-uyon),
wayang kulit, dan sebagainya. Saking
seringnya di ajak melihat ragam macam kesenian terutama kethoprak dan ludruk,
maka Sidik kecilpun tertarik untuk menirukan nyanyian (kidungan) yang
sering dilihatnya tersebut dan sang ayahpun selalu mengajarinya.
Kesenangannya menonton ludruk
terutama pada adegan atau bagian yang ada lawakan mengharuskan ia pergi
menonton sendirian tanpa pamit ketika sang ayah tidak bisa mengantarkannya
karena ada pentas kethoprak yang kebetulan bersamaan dengan pertunjukan
ludruk di tempat lain. Meskpun berada dalam lingkungan dan situasi pergolakan
untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kedua orang tuanya
tetap mendidiknya dengan memasukannya pada sebuah Sekolah Dasar di bilangan
Tambaksari Surabaya dan sempat terhenti karena situasi perjuangan kala itu yang
memaksa untuk keluar dari wilayah tempat tinggalnya. Pada usia sepuluh tahun,
ia telah pandai bermain ludruk dan masuk dalam perkumpulan ludruk anak-anak
yang ada di kampungnya sendiri maupun di sekolahannya, serta
sering diikut sertakan dalam lomba ludruk anak-anak.
Hidup dalam keluarga yang
selalu segar dengan canda-tawa dan
pembawaan sang Ayah yang pandai melucu
namun selalu menanamkan sikap disiplin dan keterbukaan terhadap
anak-anaknya, membentuk karakter Sidik kecil sebagai seorang anak yang pandai
bergaul, ramah, terbuka, serta senang membuat guyonan. Hal ini seperti yang
diutarakan oleh Nur Alim (salah seorang yang pernah menjadi teman sepermainan
Sidik dan pernah bersama-sama dalam
bermain ludrukan anak-anak di kampungnya) mengatakan bahwa, “seingat
saya waktu itu umur dua belasan atau lebih di antara teman-teman sepermainannya
di kampung, Sidik merupakan anak yang selalu gembira dan pandai membuat lawakan,
omongan dan tingkah lakunya selalu membuat orang tertawa, dan saya bersama
Sidik sama-sama senang nonton ludrukan, kalau pergi nonton ludruk atau
wayang di daerah Kapasan Surabaya, kadang-kadang pergi bersama-sama atau Sidik ngontel
(naik sepeda pancal) sama ayahnya”.13
Kesenangannya terhadap kesenian tradisonal
tidak menyurutkannya untuk belajar jenis kesenian lainnya. Ketika menginjak
usia remaja dan telah duduk di bangku SMA, ia mengembangkan potensi suaranya
dengan belajar dan berlatih dalam bernyanyi lagu-lagu pop dan keroncong. Atas dorongan sang kakak yang telah lebih
dahulu menjadi penyanyi, Sidik remaja sering ikut serta pada setiap
perlombaan nyanyian pop dan keroncong.
Sampai setelah lulus SMA pun hobi menyanyi tetap dia pertahankan apalagi pada saat itu suaranya sudah payu
(laku) dengan seringnya dia tampil memenuhi undangan masyarakat. Tekadnya untuk
tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bukan semata-mata tidak
adanya faktor dorongan dari keluarga terutama kedua orang tuanya, sebagai
ayahnya, Pak Mertosari selalu mendorong
dan mengusulkan kepada Sidik agar
menjadi seniman yang menyandang gelar kesarjanaan, namun Sidik lebih memilih jalur kesenimanannya
sebagai pilihan hidup yang harus dijalani. Baginya kesenian merupakan sesuatu
yang mampu membuat dia hidup lebih bersahabat, bersahaja, dan penuh dinamika.
Dengan kesenian ia dapat melihat, merasakan, dan mendengarkan apa-apa yang menjadi
persoalan masyarakat, apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Kecintaannya terhadap
kesenian tradisional (terutama ludruk dan kidungan) tidak pernah
surut sampai ia mengarungi bahtera rumah
tangga, bahkan kecintaan dan kemampuanya dalam bidang seni tersebut Cak
Sidik terapkan dan ajarkan kepada lima orang putranya, namun tidak ada seorangpun yang meneruskan jejak
langkahnya dalam menekuni kesenian.
Cak Sidik sangat
bersukur dan berbangga hati, keinginan ayahnya
yang tidak terwujud agar dirinya
menjadi seorang sarjana, telah ia buktikan dengan memenuhi permintaan kelima putranya
untuk melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, dan sekarang putra-putrinya
itu telah menyandang gelar kesarjanaan
serta semua sudah bekerja dan berumah tangga. Di rumahnya yang asri di kawasan
Semampir Selatan-Sukolilo Surabaya, di sela-sela kegiatan dan kesibukannya yang
masih padat, kakek dari tujuh orang cucu yang masih kelihatan awet enom ini menikmati usia senjanya bersama sang isti
tercnta Ning Surya Dewi yang juga seorang seniwati ludruk.
Mulai pada tahun
1960-an, Sidik Wibisono aktif dalam
kegiatan kesenian dengan menjadi seorang pemain Band pada Grup band Damri dan BAT sebagai vokalis dan pemain
gitar. Pada waktu itu kebetulan di
Surabaya ada seorang pemain ludruk (pelawak) yang terkenal dengan kidungannya
yaitu yang bernama Cak Meler yang
tergabung dalam grup Ludruk Trisakti miliknya THR Surabaya, dan ia sangat
menyukai bahkan mengidolakan Cak Meler karena kidungannya jelas, periodik, dan
cengkokannya sangat bagus. Sampai-sampai
kalau dalam sebuah pertunjukan ludruk Trisakti jika Cak Meler tidak tampil
untuk ngidung, Sidik lebih baik pulang.
Ketertarikannya terhadap kidungan Cak Meler itu dia buktikan dengan
selalu menghapalkan parikan atau syair-syair kidungan yang
dibawakan oleh Cak Meler sampai syairnya
benar-benar hapal dan mampu menyanyikannya
seperti kidungan yang dibawakan Cak Meler.
Merasa punya kemampuan dalam
bermain gitar dan menyanyi, suatu ketika
Sidik mencoba untuk melamar nyanyi di Gedung Srimulat yang letaknya di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, namun
ternyata lamarannya ditolak dengan alasan bahwa para penyanyi Band yang ada di
THR terutama laki-laki sudah terlalu banyak. Kebetulan pada saat yang bersamaan
Ludruk Trisakti sedang mengadakan pertunjukan, dan Sidik mencoba untuk
melamar menjadi anggota ludruk tersebut. Setelah dicoba dan dites ternyata Cak
Meler sangat tertarik dengan kemampuan
Sidik dalam membawakan kidungan, dan akhirnya diterima menjadi
anggota grup Ludruk Trisakti, meskipun kala itu sebagai anggota yang paling
muda usianya serta dianggap belum
mempunyai pengalaman dibandingkan anggota-anggota lainnya. Atas dorongan dan
bimbingan senior-seniornya di grup tersebut (Cak Meler, Cak Parmo, Cak Ari,
Cak Kluntang, dan Cak Rukun), Sidik terus berlatih mengembangkan
kemampuannya terutama dalam membawakan kidungan dan lawakan. Pada Suatu
kesempatan ia diajak untuk mengikuti pementasan pertama di luar Surabaya
tepatnya di daerah Blora serta ditunjuk untuk tampil membawakan kidungan dan
lawakan, dan oleh Cak Meler pementasannnya tersebut dianggap berhasil serta
membawa sebuah kesegaran tersendiri bagi Ludruk Trisakti. Ternyata
pertunjukannya tersebut menjadi awal bagi Sidik untuk dipercaya sebagai pemain
tetap (selain senior-seniornya) dalam membawakan kidungan dan lawakan di setiap
pertunjukan Ludruk Trisakti baik di gedung THR
sendiri maupun di luar wilayah Surabaya. Hari demi hari kidungan dan
lawakan Cak Sidik semakin terkenal di masyarakat Surabaya dan sekitarnya
terutama bagi mereka yang menyenangi kesenian ludruk.
Setelah selama dua tahun
(1966-1968) bergabung dengan Ludruk Trisakti, dan atas ijin dari sang guru
yaitu Cak Meler akhirnya Sidik direkrut oleh RRI Surabaya untuk memperkuat
Ludruk RRI bersama-sama dengan Cak Markuat, Cak Said, Cak Munali, dan Cak
Markaban yang sudah terlebih dahulu berada di Ludruk RRI. Sedangkan yang
bersama-sama masuk berbarengan dengan
Sidik yaitu Cak Kancil Sutikno
dan Cak Kartolo. Maka melalui tempat
inilah Kidungan dan lawakan Sidik dan
kawan-kawan begitu meluas di masyarakat
Jawa Timur khususnya di Surabaya, seiring dengan seringnya RRI Surabaya yang
tiap malam hari selalu menyiarkan
Kidungan dan lawakannya.
Setelah lima tahun bergabung
dengan RRI Surabaya, pada tahun 1973 akhirnya
Sidik keluar dengan alasan ingin mendirikan grup Ludruk (kidungan
Lawakan) sendiri, maka setahun kemudian (1974) berdirlah Grup ludruk yang diberi nama Ludruk Sidik
Cs. dengan merekrut anggota sebanyak 40 orang. Khusus untuk adegan kidungan
dan lawakan selain Cak Sidik sendiri dipilih beberapa anggotannya seperti Cak Klowor, Cak Basman, Cak Khajat, Cak
Sukron, Cak Solikin, dan Ning Surya Dewi yang sampai sekarang setia menjadi pendamping
hidupnya.
Pada tahun-tahun pertama
pendiriannya, selain giat berlatih dan mengadakan proses pembenahan di
sana-sini, ludruk Sidik Cs. memulai pertunjukannya di wilayah Surabaya tepatnya
di gedung Dinoyo selama satu bulan penuh. Kemudian setahun berkiutnya ludruk
Sidik Cs. melebarkan sayapnya dengan mengadakan serangkaian pertunjukan
keliling baik di wilayah Surabaya dan sekitarnya maupun di luar Surabaya
seperti Pasuruan, dan Malang. Dari satu tempat pindah ke tempat yang lain, dari
satu gedung pertunjukan pindah ke gedung pertunjukan lainnya yang berada di wilayah Jawa Timur, sehingga dalam perjalanan
pertunjukan keliling tersebut sampai memakan waktu kurang lebih selama dua
tahun. Banyak hal-hal yang dilalui serta dirasakan selama perjalanan keliling
ini, sedikit suka dan banyak duka ia hayati dan pahami sebagai bagian dari perjuangannya dalam melestarikan
kesenian tradisional ludruk, bagi Cak Sidik
pahit getirnya perjalanan kelilingnya itu sungguh tidak berarti apa-apa
dibandingkan dengan perjuangan senior-seniornya (tokoh-tokoh ludruk sebelumnya)
dalam masa-masa penjajahan dulu. Kebebasan ekspresi berkesenian melalui ludrukan
untuk menyampaikan kritik yang intinya dalam melawan kaum penjajah, harus
dibayar mahal dengan penyiksaan di terali besi seperti yang dialami seniman
legendaris Cak Durasim. Menurutnya, cara ia menghargai perjuangan Cak
Durasim adalah dengan terus berusaha
agar seni ludruk dan kidungannya tetap eksis di masyarakat, tidak hilang
digerus jaman karena kalah bersaing.
Para
seniman ludruk seperti Cak Sidik, Cak Kartolo, Kancil Sutikno, dan Agus Kuprit,
serta yang lainnya, menyadari betul
bahwa seni ludruk dan kidungan jula-juli suatu saat mungkin tidak akan di
perhatikan dan diminati lagi oleh masyarakat luas, maka dengan dugaan seperti ini Cak Sidik
mulai bergerak untuk mencari terobosan dan cara-cara baru dalam menyikapinya
sehingga diharapkan kidungan jula-juli dapat tetap hadir di tengah-tengah
masyarakat yang semakin maju dan modern ini. Dalam usahanya tersebut Cak Sidik
lebih banyak melihat bahwa dalam adegan lawakan ludruk sebetulnya sangat
efektif dan leluasa untuk sebanyak-banyaknya membawakan kidungan, atau
sebaliknya bahwa dalam kidungan sebetulnya sangat efektif untuk
memasukan unsur lawakan dengan syair-syair yang lucu (parikan lawak) dan
menggelitik orang untuk tertawa. Kualitas sandiwara ludruk sering diukur dari kualitas pelawak
dan humor yang diciptakannya. Sehubungan dengan hal itu, maka parikan lawak
bagaikan ujung tombak sebuah perkumpulan ludruk yang sedang berpentas. Kidungan
lawak yang bermutu adalah lawak yang berkemampuan menyajikan daya tarik kritik
sosial yang tajam, tetapi masih berada dalam norma-norma budaya Jawa. Parikan
lawak juga berisi pesan-pesan tertentu misalnya untuk keberhasilan pembangunan
desa atau juga menyangkut tentang propaganda dan menyampaikan informasi
program-program pembangunan dari pemerintahan.
Peranan lawak pada sandiwara ludruk tidak hanya sekedar menyajikan
adegan humor/lucu, tetapi mempunyai peranan menentukan jalannya cerita. Latar
belakang peranan pelawak dalam ludruk
bagaikan peranan punakawan pada wayang purwa.14
Merasa
sebagai murid dari Cak Meler yang sangat berjasa dalam mengarahkan
kemampuannya, serta peranan sang ayah
yang sejak kecil selalu memberi dorongan untuk tidak ragu atas apa yang
dilakukanya asalkan itu bermanfaat, maka dalam perjalanan kesenimanannya sosok
Cak Sidik selalu tidak terpisahkan dari kidungan dan lawakannya yang dirasakan bahwa inilah suatu jalur yang
harus ditekuni dan disikapi secara profesional.
Pegerakan Cak
Sidik tidak berhenti di situ saja,
sekitar tahun 1978 ia mengajukan tawaran
untuk mengadakan rekaman dan siaran harian dalam acara kidungan dan lawakan
pada salah satu stasiun radio di Surabaya yang cukup terkenal saat itu yaitu
Radio Suzana, dan kebetulan fihak radio
menyanggupinya. Munculnya ide seperti itu dilatar belakangi oleh
pemikiran dan pengamatannya tehadap minat masyarakat kota (khususnya di wilayah
Surabaya dan sekitarnya) yang tahun ketahun menampakan ketidak peduliannya
terhadap seni ludruk dan Kidungan Jula-Juli gaya Surabayaan. Dalam tahun-tahun
setelah kembalinya dari perjalanan pertunjukan keliling di Jawa Timur
(1976-1978), memperlihatkan adanya penurunan pertunjukan padahal masih banyak
grup-grup ludruk yang ada pada waktu itu. Selain itu, berdasarkan pengalaman selama lima tahun
ketika ia masih bergabung dengan ludruk
RRI, bahwa menurutnya dengan melalui siaran radio ternyata sebagian besar masyarakat lebih merespon dan menyukainya, sehingga Grup Ludruk RRI dikenal sangat luas
dan sangat sering pentas atas undangan masyarakat. Namun dengan begitu harus
ada suatu cara atau terobosan baru dalam kemasan acaranya dengan didukung oleh
sebuah model penyiaran yang membuat pemirsa (pendengar) tidak mengalami
kejenuhan.
Dari pemikiran tersebut, Cak
Sidik Cs. mulai melirik pada selera masyarakat pada saat itu yang cenderung menyenangi ludruk dari sisi
kretifitas lawakannya saja. Maka selanjutnya setiap siaran di radio atau
membuat rekaman untuk disiarkan, Sidik dan kawan-kawan lebih mengutamakan pada
pembuatan dan pengolahan syair-syair dan lagu (pantun/parikan dan
kidungan jula-juli gaya Surabayan) yang bercorak guyonan (humor)
selain bagian lawakan itu sendiri, dalam gaya bahasa Surabayaan. Rata-rata dalam satu bulan Cak Sidik Cs.
menghasilkan sekitar kurang lebih 24 rekaman ludrukan (kidungan dan
lawakan) yang dipakai khusus untuk keperluan siaran radio. Di radio Suzana
ini ia jalani selama 14 tahun. Selain
hari-harinya diisi penuh dengan kegiatan rekaman untuk siaran, pada tahun-tahun
itu juga Cak Sidik telah melakukan rekaman kaset
komersial yang sampai sekarang telah menghaslkan sekitar 40 kaset
rekaman dalam bentuk Kidungan
Jula-Juli Guyonan Gaya Surabayan yang semuanya diproduksi oleh Nirwana
Record. Beberapa judul kaset yang terkenal seperti Mandor Kawat diproduksi
tahun 1979, Mantu Ula Sawa (1980), Katak Cepong, Dhukun Ula (1986), Radio Mata Sapi (1989), Kucing Belang
(1990), Kacang Seret (1992), dan
lain sebagainya. Kegiatan rekaman ini berhenti di awal terjadinya badai krisis
ekonomi yang melanda Indonesia. Dari
keseluruhan judul-judul kaset tersebut terlihat
kemampuan Sidik Cs. dalam meramu lawakannya dengan lirik dan lagu yang kental dengan suasana
humor. Menurut Luwar, bahwa Sidik Wibisono termasuk pengidung yang
kreatif dan pintar dalam membuat lirik-lirik lawakan / humor, mulai urusan
dapur sampai pada hal-hal yang agak
berbau porno sekalipun.12
Menurut Cak Sidik, bahwa parikan dan kidungan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan
ludruk. Salah satu kesenangan masyarakat (penonton) dalam menyaksikan
pertunjukan ludruk salah satunya terletak pada kidungan dengan syair–syairnya
(pantun berkait / parikan) terutama kidungan-kidungan yang dibawakan secara humoris. Apalagi kidungan
tersebut isinya memuat atau untuk menyampaikan kritik, baik kritik terhadap
pemerintah yang berkuasa, masyarakat, golongan dan individu. Menurutnya sebelum tahun 1965 (ORLA) sangat
banyak kidungan dan lawakan dalam Ludruk yang pada umumnya mencerminkan
keberanian dari para pemain untuk menyampaikan kritik-kritik yang tajam
terhadap pemerintahan pada waktu itu. Hal ini sangat berbeda sekali ketika pada
masa sesudah 1965 (ORBA) keberadaan ludruk seperti dikebiri, dimana pemerintah
begitu ketat dalam mengawasi dan mengintervensinya, dengan alasan masih banyak
pemain-pemain ludruk yang terlibat dan terkait dengan LEKRA atau hanya sekedar
menjadi simpatisan PKI. Jarang sekali ada kidungan atau parikan yang berani
menyindir dan mengkritik pemerintahan, bahkan sebaliknya cenderung banyak yang
bertemakan pujian dan sanjungan akan keberhasilan program pembangunan
pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari tuduhan-tuduhan
yang berhubungan dengan kekacauan politik dan ideologis yang terjadi dalam
masa-masa peralihan pemerintahan (masa
terjadinya GESTAPO). Namun pada era reformasi seperti sekarang ini sudah mulai
tampak adanya kebebasan dan keberanian seperti yang terjadi pada masa-masa
sebelum tahun 1965. Hal ini telah dilakukan sendiri oleh Cak Sidik ketika
beberapa tahun kebelakang diundang oleh SCTV, dalam kidungannya dia membawakan
beberapa syair untuk mengkritik pemerintah dan para politisi, salah satu
syair yang masih teringat misalnya: Mobil Fiat buatan Itali, Wakil Rakyat
kok seneng korupsi.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kidungan jula-juli ini sering juga dibawakan dalam
acara-acara kesenian yang tidak terkait dengan pertunjukan ludruk, seperti
dalam acara klenengan (uyon-uyon), Pertunjukan wayang kulit Jawa
Timuran, pentas lawak, Kentrungan, ketoprak, lomba kidungan, dan acara-acara yang lainnya, yang kesemuanya
dalam bentuk jula-juli guyonan (lawakan). Hal seperti ini terjadi setidak-tidaknya
dikarenakan oleh peranan para
seniman ludruk yang terus bergerak
secara progresif dalam menyuguhkan alternatif-alternatif baru dalam pertunjukan
ludruk.
Ketika badai krisis ekonomi
melanda Indonesia yang mempengaruhi pada semua aspek tatanan kehidupan
masyarakat, aktivitas kesenian di masyarakat cenderung mengalami penurunan.
Situasi seperti itu juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas Cak Sidik yang
sempat mengalami kevakuman, apakah itu berupa
pertunjukan langsung maupun membuat rekaman. Pada awal-awal terjadinya
krisis, kevakuman itu disebabkan oleh sangat jarangnya permintaan untuk
tampil/pentas di hadapan publik, sulitnya pendanaan (karena tidak ada
sponsor) untuk membuat pertunjukan, dan
berhentinya aktivitas rekaman komersial karena tidak adanya studio rekaman yang
bersedia untuk memproduksi kidungan dan lawakannya. Di Surabaya sendiri Cak Sidik
sempat mengamati bahwa di awal tahun 1995 sampai tahun 2000, ia jarang sekali melihat pertunjukan ludruk,
baik di gedung-gedung pertunjukan, di masyarakat umum, maupun dalam acara-acara
di media elektronik. Melihat kondisi sepert ini
Cak Sidik merasa gelisah dan sempat menyalahkan berbagai pihak yang
lebih mementingkan urusan politik dari pada memperhatikan budaya (maksudnya
kesenian ludruk), dan mengenai kegelisahannya itu pernah ia lontarkan dalam
sebuah acara Seminar Tentang Kehidupan Ludruk di Surabaya yang akhirnya menjadi
bagian pembahasan yang amat pentng. Namun bagi Cak Sidik kekhawatiran akan
kondisi dan situasi yang terus tidak menentu tersebut, tidak membuatnya surut
dalam mencari terobosan baru sehingga mampu dalam menjawab tantangan dan rasa
kekawatiannya akan tenggelamnya kesenian
tradisional
Di pertengahan tahun 2002,
atas kerja sama dengan sebuah stasiun Televisi Lokal Swasta di Surabaya yaitu JTV, Cak Sidik yang pernah membawakan acara Ding
Thak-Thong di Stasiun TVRI Surabaya in mencoba membuat sebuah program acara
televisi bertajuk hiburan yang mengusung seni tradisional yang dikemas dalam
sebuah nama acara Kidungan Rek, yang mengandung maksud untuk mengajak
para pemirsa yang ada di rumah untuk ikut serta membuat syair (parikan)
serta dikidungkan. Para penonton yang ada di rumah bisa menelepon secara
langsung (semacam interaktif) untuk membawakan kidungan dengan diiringi
gendhing jula-juli yang langsung dimainkan dari studio/lokasi acara Kidungan
Rek. Selain itu dalam acara tersebut di sediakan waktu bagi siapa saja yang
berminat untuk membawakan kidungan langsung
dari studio dengan terlebih dahulu mendaptarkan diri, dalam acara Kidungan
Rek ini Cak Sidik bertugas sebagai pemandu acara.
Namun berdasarkan kebijakan pengelola program
acara tersebut serta pertimbangan untuk menghindari terjadinya kejenuhan di
masyarakat, maka yang tadinya ditayangkan hampir tiap hari itu berubah menjadi
tiga kali dalam seminggu dan
akhirnya sekarang hanya ditayangkan
seminggu sekali setiap malam selasa. Satu hal yang perlu di catat bahwa acara
tersebut ternyata mendapatkan respon yang sangat baik di masyarakat. Menurut
penuturan Cak Sidik pada awal-awal penyiarannya tercatat rata-rata setiap hari
ada sekitar dua ratusan penelepon yang masuk untuk ikut serta membawakan
kidungan melalui saluran telepon, tetapi karena keterbatasan masalah waktu
hanya mampu memberikan kesempatan kepada
lima sampai sepuluh penelepon saja.
Dan yang paling menggembirakan bagi Cak Sidik, meskipun sekarang penayangannya hanya
tinggal satu kali dalam seminggu namun masyarakat yang menggemari acara
tersebut telah membentuk wadah sendiri
dalam sebuah paguyuban yang dinamakan Paguyuban Penggemar Kidungan
Rek (PPKR) yang sudah menampung anggota kurang lebih sebanyak 500 orang,
terdiri dari masyarakat yang tersebar di wilayah Surabaya, Gersik, Mojokerto,
Bangkalan, Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan,
serta wilayah-wilayah yang mampu menangkap siaran televisi JTV.
Sebagai seorang seniman yang
telah banyak mendapatkan berbagai macam penghargaan dan piala kejuaraan ini,· diantaranya penghargaan RRI Surabaya, TVRI,
Pemerintah Orde Baru melalui
Departemen Penerangan Pusat karena
jasanya dalam memberikan informasi program pembangunan pemerintah lewat
kidungan-kidungannya, Departemen Transmigrasi, BKKBN, Dirjen Kebudayaan melalui
Taman Budaya Surabaya, TMII, Pemerintah
Daerah Jawa Timur, dan sebagainya, dalam perjalanan kesenimanannya Cak
Sidik selalu memegang teguh prinsip tidak pantang menyerah dan merasa puas atas
apa yang dilakukannya. Baginya beragam macam penghargaan tersebut tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan mereka-mereka yang telah dengan
susahpayah membangun eksistensi kesenian tradisional semisal ludruk sehingga
sampai saat ini masih tetap terlihat meskipun berada dalam situasi perkembangan
jaman yang cepat berubah, maka sudah menjadi kewajiban apabila setiap generasi
termasuk dirinya untuk terus berusaha dalam mempertahankan eksistensi kesenian
tradisional tersebut dari kepunahan.
Para seniman muda sebagai
tonggak penyangga seni tradisonal harus tetap dibina dan diarahkan sekuat
tenaga agar tidak kehilangan arah dan semangatnya dalam mempertahankan
kelangsungan hidup seni tradisional. Ada
sedikit kegundahan dalam diri Cak Sidik ketika melihat anak-anak muda sekarang ini sudah kehilangan jati diri budayanya
akibat tidak mampu membendung pengaruh-pengaruh dari budaya barat yang tidak
sesuai dengan moral dan kepribadian
kita, contoh yang saat ini sering mengemuka misalnya tentang kebebasan sek, narkoba, dan
kekerasan yang sedang melanda anak-anak muda
kita. Maka dengan grup karawitan ABA (Agawe
Bungahing Ati) yang baru dua tahun didirikan serta sebagaian besar merekrut
seniman-seniman muda, Cak Sidik akhir-akhir ini sering tampil membawakan
kidungan jula-juli Gaya Surabaya dengan tema atau pesan-pesan syairnya yang
banyak menyoroti masalah tersebut. Untuk menyesuaikan dengan keadaan pasar grup
ABA sering tampil membawakan kidungan jula-juli gaya Surabaya-an yang di
kemas dengan unsur lawakan dan lagu-lagu campursari.
Menjalani hidup sebagai seniman
ludruk merupakan pilihan yang bukan berdasarkan pencarian kepuasan material
semata. Dalam ludruk ia mampu melihat, merasakan, dan mendengarkan apa yang
terjadi di sekitarnya. Ia ingin kidungannya sebagai media untuk berbagi rasa,
ia ingin membuat orang tertawa, ia ingin
orang menghampirinya menjadi sedulur, ia ingin banyak teman, ia khawatir
anak-anaknya melupakan jati dirinya masing-masing bahwa keberhasilan
yang sekarang mereka peroleh adalah berkat dukungan dari masyarakat yang pernah
mengundang dan menanggap ayahnya untuk pentas ludruk membawakan kidungan
Surabaya-an, dan ia tak ingin seperti Charli Caplin yang mati dalam
kesendiriannya.
Menginjak akhir perbincangan
ditanyakan mengapa memilih seni sebagai
salah satu bagian dari totalitas perjalanan
kehidupan Cak Sidik, dengan singkat ia menjawab: “kidungan dan melawak bagi
saya adalah sarana ibadah untuk menuntun orang mencari kesuka citaan, dan saya bersyukur banyak orang yang menjadi
bahagia karena kidungan dan lawakan saya, kalau orang senang sama saya pasti
senang juga kidungannya”.
KEPUSTAKAAN
Depdikbud,
1986. Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah. Dinas P & K. Daerah Tk. I Jawa
Timur.
Gerungan, FX. 1982. Kamus Bahasa Indonesia Populer. Jakarta:
PSPBI.
Haryadi. 1976. Sastra
Lisan Jawa Timur. Jakarta: Pusat
pembinaan dan pengembangan Bahasa ,
Depdikbud.
Hardjoprawiro, Kunardi. 1985. Kajian Bentuk dan Lagu Kidungan Jawa
Timur. Surabaya:
Depdikbud
Munardi, AM. 1983. Karawitan Jawa Timur. Surabaya:
Depdikbud.
Supriyanto, Henri. 1992. Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: Gramedia.
Sutarto, Ayu. 2003.
“Seni Pertunjukan Ludruk Mau ke Mana”,
dalam BENDE Media Informasi dan Budaya seri 3. Taman Budaya Surabaya.
dalam BENDE Media Informasi dan Budaya seri 3. Taman Budaya Surabaya.
Catatan Kaki:
1 Henri Supriyanto, Lakon Ludruk Jawa Timur, (Jakarta: Gramedia, 1992), 13.
2 L. James Peacock dalam Supriyanto, 14.
4 Penuturan dari Cak Suradji yang pernah mendirkan Grup Ludruk Joyoboyo
tahun
1980, namun karena sesuatu sebab grup tersebut bubar dua tahun kemudian.
Informasi dan Budaya Th. 2003
seri 3, Taman Budaya Surabaya.
6 Hasil
wawancara.
(Jakarta:
Pusat Studi dan Pengembangan Bahasa Indonesia ), 1982, 340.
7 Supriyanto, 109
8 Depdikbud,
Ensiklopedi Seni Musik dan
Seni Tari Daerah, (Surabaya: Dinas P &
K. Daerah Tk. I Jawa Timur, 1986), 168.
9 Kunardi Hardjoprawiro, Kajian Bentuk
dan Lagu Kidungan Jawa Timur,
(Surabaya: Depdikbud, 1985), 3.
10 Wawancara.
11 Wawancara, tanggal 21
Februari 2004.
13 Wawancara, tanggal
20 Januari 2004
· Dalam memenuhi kebutuhan pendirian grup
ludruknya, Cak Sidik menjual semua barang-barang miliknya yang bisa laku dijual, mulai dari
perabotan rumah tangga dan sebuah kendaraan sepeda motor tua, sehingga bisa membeli segala keperluan
pentas (perlengkapan dan dekorasi).
§
Pengalaman yang paling berkesan selama keliling ini, pada suatu ketika dia harus pontang-panting
menjual satu kotak piring yang dibawanya
untuk biaya makan 60 orang anggota rombongan.
14 Supriyanto, 26, 27.
12 Wawancara.
· Ketika diminta untuk menunjukan penghargaan-penghargaan tersebut, hanya diperlihatkan yang tepasang di dinding
ruang tamu yang dianggap paling berkesan dalam perjalanan kesenimanannya, sebagian besar penghargaan tersebut kini disimpan dan dirawat oleh seorang
putrannya Menurut pengakuan Cak Sidik
sebetulnya ia bukan tipe orang yang pintar dalam merawat dokumen-dokumen
pribadinya. Juga ketika menunjukan koleksi kaset rekaman kidungan hanya tinggal beberapa buah saja dengan tahun produksi 80-90-an, karena banyak
diberikan kepada tamu-tamu yang datang ke rumahnya. Kalaupun dia ingin
bernostalgia kadang-kadang ia pergi ke studio Nirwana untuk dibuatkan copy
rekamannya, kalau mencari di toko-toko kaset sudah sulit menemukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar