DESAIN
MUSIK TARI
Oleh. Suwarmin
Pendahuluan
Predikat
penata tari (koreografer) dan penari terkesan hanya berurusan dengan tari
(gerakan tari) saja. Kalau sudah masuk dalam dunia tari maupun penataan tari profesional
mau tidak mau harus memahami betul tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
tari baik sebagai seni pertunjukan maupun sebagai budaya masyarakat. Tari
sebagai sebuah seni pertunjukkan meliputi berbagai unsur tata dan tehnih pentas
atau pemanggungan antara lain tata cahaya, tata pentas atau panggung dan
dekorasinya, tata busana, tata rias, penataan musik, penata acara dan lain
sebagainya. Tari sebagai budaya masyarakat akan berkaitan dengan sistem nilai,
simbol, lambang, karakter yang berhubungan dengan budaya masyarakat (etnik)
tertentu dan lain sebagainya.
Menjadi
seorang penata tari maupun penari paling
tidak harus memahami persoalan tersebut, karena tidak mungkin sekian banyak hal
akan ditangan sendiri. Pada saat sekarang masing-masing unsur tersebut sudah
ada yang membidangi secara khusus dan profesional. Meskipun ide tetap dari
penata tari, namun secara teknis ditangani ahlinya yang membidangi. Demikian
juga tentang musik atau karawitan iringannya. Di dalam tradisi kita keberadaan
musik atau karawitan merupakan bagian yang tak terpisahkan. Tak jarang seorang
penata tari atau penari juga menguasai musik atau karawitan dengan baik. Tak
jarang pula seorang penari mampu dan trampil memainkan ricikan kendang, karena
erat hubungannya dengan ragam tari. Bahkan ada penciptaan tari yang mengacu ke
pada karakter atau rasa gending tertentu.
Berikut
akan dibahas sekilas tentang penataan musik atau karawitan iringan tari (design
musik tari), dengan harapan dapat digunakan sebagai pengetahuan dan acuan bagi
penata tari, penari, atau siapapun yang ingin mencoba membuat iringan tari
sendiri. Bagi penata tari, dengan membuat musik/karawitan iringan sendiri akan
lebih sesuai dengan karakter tari yang akan disusunnya.
Hubungan Musik dan Tari
Di
India musik disebut sangita yang
terdiri dari tiga unsur yaitu menyanyi (gayan),
bermain (vadan) dan menari (nirtan). Di sini keberadaan tari menjadi
satu kesatuan dengan nyanyi dan bermain. Sangita
diselenggarakan di kuil-kuil di India sebagai bentuk kegiatan ritual yang
bersifat sakral. Sampai saat sekarang masih kita jumpai di pulau Dewata,
upacara-upacara keagamaan di pura-pura tidak lepas dari tari dan bunyi gamelan.
Tari dan gamelan tersebut merupakan kesenian ritual yang sangat sakral berbeda
dengan kesenian di luar pura yang bersifat sekuler.
Di dalam tulisan-tulisan Jawa
kuno terdapat cerita yang menunjukkan bahwa hubungan tari dan karawitan/musik
menjadi satu kesatuan. Sebagai contoh seperti yang tertulis pada Serat
Noot Gending lan Tembang karya Paku Buwana X berikut:
“...Sri Paduka Raja Maha Dewa Budha
ayasa mandalasana, yaiku enggon lenggot-bawan. Mungguh lenggot-bawa iku tegese
lenggot iku joget, bawa iku tegese swara. Dadi panggonane para dewa yen karsa
nadrawina babeksan, kang unining gamelan binarung ing swara, iya iku mula
bukane ing tanah jawa ana beksan ....” (lihat Becker, 1993:150)
(“ . . . Sri Paduka Raja Dewa Budha membangun mandalasana, yaitu tempat lenggot-bawa,
adapun lenggot berarti tari dan bawa berarti suara. Jadi tempat para
dewa pada saat menye- lenggarakan gelar tari-tarian yang diiringi gamelan dan
tetembangan. Itulah asal-usul adanya tari di tanah Jawa . . .”)
Istilah “lenggot-bawa”
merupakan sebuah edium sehingga memiliki
satu pengertian. Sering diterjemahkan dengan istilah “gerak dan lagu”. Dari istilah tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan tari dan karawitan tidak hanya dekat tetapi menjadi satu kesatuan (unity).
Seorang
tokoh tari Yogyakarta memberi batasan tari sebagai berikut: “Beksa
inggih punika ebahing saranduning badan, ingkang kajumbuhaken kaliyan suraosing
gending” (“tari adalah gerak dari seluruh tubuh, yang disuaikan dengan
rasa/suasana gending”). Ungkapan
tersebut juga menunjukkan bahwa keberadaan tari perlu kehadiran karawitan
(gending), namun kesesuaian suasana atau rasa. Suasana tari dengan uasana
gending harus sesuai sehingga menjadi satu kesatuan. Jarang dijumpai
pertunjukkan tari tanpa karawitan atau musik. Dalam tulisan ini musik dan
karawitan dipahami dalam satu pengertian yaitu budaya bunyi.
Saat sekarang pada umumnya tari
dan karawitan/musik dipahami sebagi dua domain yang mempunyai makna secara
dikotomik sangat berbeda. Domain tari sendiri dan domain musik (nyanyi dan
bermain) masing-masing merupakan bidang keilmuan maupun profesi yang berdiri
sendiri. Bahkan dalam perkembangan sekarang masing-masing dipecah lagi menjadi
sub-sub bidang. Tari dipecah ada koreografi, estetika tari, analisa tari,
sejarah tari dan sebagainya. Demikian juga karawitan/musik ada etnomisikologi,
karawitanologi/musikologi, estetika karawitan, sejarah karawitan, komposisi dan
sebagainya. Sedangkan karawitan-tari atau musik-tari adalah bidang kajian membahas
hal-ihwal yang berkaitan dengan hubungan antara tari dan karawitan/musik.
Mengapa hubungan karawitan dan
tari begitu erat bahkan menjadi satu kesatuan? Meskipun karawitan dan tari
mempunyai medium yang berbeda, tetapi memiliki unsur yang sama yaitu ritme
(waktu), volume (ruang) dan dinamik. Selain itu peran atau fungsi karawitan di
dalam tari begitu besar. Beberapa fungsi
dan peranan kehadiran karawitan dalam dunia tari, sebagai berikut:
1. Identitas Budaya
Kehadiran
karawitan dalam tari memberi makna atau kesan identitas budaya tertentu. Apakah
alat dan perangkat gamelan atau lagu vokal yang digunakan dalam pergelaran tari,
dapat memberi ciri dari daerah mana asal tarian yang disajikan. Dalam pertunjukan tari, penonton bisa
mengenali tari itu dari daerah mana dari karawitan/musiknya. Bahkan sebelum
tari keluar orang telah bisa mengenali tarian daerah mana atau gaya mana yang
akan keluar setelah mendengar karawitan/ musiknya. Suatu misal tari belum
keluar sudah terdengar suara gamelan kebyar, tari yang akan keluar pasti tari
Bali. Demikian juga budaya etnik lain; Banyuwangi, Suroboyo, Malangan, Madura,
Surakarta, Sunda, Yogyakarta (Mataraman), Minang, Irian dan sebagainya. Tidak
hanya dalam konteks tari tradisi etnik saja, tetapi juga berlaku untuk tari
ciptaan baru non tradisi. Ada yang mengkaitkan alat karawitan dengan identitas budaya
agama tertentu seperti rebana dan sejenisnya dengan budaya Islami.
2. Identitas Repertoar
Yang dimaksud dengan
“repertoar” tari di sini yaitu jawaban pertanyaan tari apakah itu? Jawabannya tentu menyebut nama tari tertentu.
Seperti tari Bali ada Pendet, Panji Semirang, Margapati, Oleg Tamulilingan dan
sebagainya. Di Jawa ada Ngremo, Gambyong, Klana, Golek, Padang Ulan, Jaran
Goyang dan sebagainya. Selain mengenal budaya etnik yang sering disebut gaya,
juga repertoar dari masing-masing gaya. Karawitan sebagai iringan selain memberi identitas budaya juga identitas
masing-masing repertoar tersebut.
3. Pendukung Suasana
Kehadiran karawitan dalam
pergelaran tari untuk mendukung suasana atau karakter tari. Sebuah tarian atau
seseorang menari secara visual adalah mengungkapkan suasana atau alur suasana
tertentu. Untuk memperkuat suasana tersebut perlu didukung kehadiran suasana
karawitan (rasa gending) yang bersifat auditif yang sesuai. Karawitan dalam hal
tersebut disebut sebagai medium bantu.
Karawitan dalam mendukung suasana tari ada beberapa cara sebagai
berikut:
a). Mungkus; iringan mungkus yaitu
karawitan mendukung suasana atau karakter tari dengan cara ritme karawitan
mengikuti secara tepat ritme gerak tari yang diringi. Pada lazimnya bentuk
iringan mungkus diperlukan untuk tarian yang bersifat dinamis (pernes, sigrak,
gecul, gagah). Ritme yang mengikuti
gerak bisa dari satu instrumen (kendang) dan atau beberapa instrumen (saron/balungan).
Sehingga nama atau istilah sekaran kendangan menggunakan nama sekaran tari yang
diiringi seperti; batangan, pilesan, laku telu, kengser, magak, kawilan,
ngaplak (dalam tari Gambyong), demikian juga untuk tari yang lain. Kasus ladrang Mandraguna untuk iringan tari
Pemburu Kijan, lagu Kosir-Kosir dalam tari Padang Wulan merupakan contoh ritme
gending (balungan) mengikuti ritme gerak tari.
b). Ilustrasi; yang
dimaksud iringan ilustratif yaitu gending tidak perlu mengikuti ritme gerak
tari secara ketat. Tari yang menggunakan
iringan ilustratif umumnya tari yang mempunyai suasana atau karakter tenang,
agung dan sejenisnya. Iringan ilustratif ada dua macam yaitu “sejajar” dan “kontras”. Ilustrasi sejajar yaitu tempo serta dinamik (loudness) gending sama (sejajar) dengan
tempo tariannya. Sebagai contoh gending-gending bedayan untuk mengiringi tari
Bedaya dan sejenisnya. Ilustrasi kontras
yaitu suasana gending berlawanan dengan suasana tari. Sebagai
contoh tari perang antara dua tokoh yang mempunyai karakter agung dengan
gerakan yang kuat, keras, kadang cepat, tetapi giiring gending yang yang lembat
dan agung. Atau sebaliknya gending yang keras dan cepat untuk mengiringi gerak
tari yang lambat (slow motion). Dengan ilustrasi gending yang kontras justru memberi
kesan lebih kuat dan menonjol ke pada suasana atau karakter tari yang diiringi.
Namun hal ini jarang dilakukan oleh penata iringan tari. Pengertian kontras
bisa mempunyai makna negatif bila kurang sesuai dan tidak mendukung suasana
tari karena telalu kuat atau sebaliknya terlalu lemah. Yang mana untuk
mendukung suasa yang baik sejajar atau kontras yang menentukan adalah penata
tari sendiri. Beberapa kasus penciptaan tari bertolak dari rasa gending tertentu.
4. Identitas Bentuk
Karawitan iringan tari memberi
atau menunjukkan identitas bentuk tari yang diiringi. Bentuk memiliki
sedikitnya tiga unsur struktur, pola, dan durasi. Bila seorang diminta untuk
menari Gambyong biasanya bertanya Gambyong yang mana? Gambyong Pangkur apa Gambyong Pareanom?
Gambyong Pangkur dan Gambyong Pareanom merupakan dua repertoar yang berbeda dan
masing-masing memiliki bentuk yang berbeda pula. Yang satu menggunakan
struktur, pola dan durasi bentuk ladrang Pangkur sedangkan yang kedua
menggunakan struktur, pola dan durasi gending Gambirsawit Pareanom (bagian
inggah).
Sebuah tarian biasanya mempunyai struktur ; maju beksan – beksa – mundur beksan. Karawitan
iringannya juga akan mengikuti struktur tersebut. Berbeda dengan drama tari
yang berdasarkan cerita tertentu. Dalam drama tari memiliki alur suasana yang
libih beragam, dan bentuk serta
strukturnya sesusai dengan alur ceritanya.
Desain Musik Tari
Dalam membuat desain karawitan/musik tari, uraian
tersebut di atas sangat perlu sebagai referensi. Bila yang membuat desain musik
tari itu penata tarinya sendiri akan lebih baik karena tahu betul apa ide serta
suasana yang akan diekspresikan. Bila yang membuat desain musik tari itu orang
lain (penata musik iringan), harus betul-betul memahami ide suasana atau alur
suasana tari yang akan diiringi secara detail. Jangan berharap membuat iringan
tari atau musik tari sekali jadi.
Beberapa cara dalam membuat karawitan iringan atau
musik tari sesuai dengan kebutuhan. Sebuah tarian dipentaskan dengan iringan
rekaman sangat berbeda dengan iringan hidup. Untuk iringan rekaman selain bentuk
hasil penataan rekaman yang sudah ada, bisa membuat baru dengan cara meng-edit
rekaman lagu-lagu yang sudah ada sesuai dengan alur suasana yang diperlukan.
Bila pementasan dengan iringan hidup, banyak hasil penataan yang sudah ada
terutama untuk “tarian lepas” tinggal latihan kekompakan antara penari dan
pengrawitnya. Namun untuk drama tari memerlukan iringan lebih kompleks,
memerlukan penggarapan yang serius.
Untuk itu supaya penggarapan
penataan karawitan/musik tari apakah tarian lepas atau drama tari bisa berjalan
dengan baik perlu memperhatikan beberapa hal serta langkah sebagai berikut:
Tahap Persiapan:
- Ide penciptaan, alur suasana serta budaya tertentu harus dideskripsi dengan baik dan dilengkapi diagram. Deskripsi ini digunakan sebagai pegangan dan dasar penataan karawitan iringannya.
- Membuat draf atau konsep dasar berupa susunan notasi gending, lagu vokal, cakepan/syair sesuai dengan deskripsi yang ada. Draf ini setiap saat bisa berubah dalam proses studio.
- Menentukan perangkat dan atau instrumen karawitan, tempat latihan, pengrawit dan vokalis sesuai dengan kebutuhan.
- Pengrawitan dan vokalis harus sudah menerima notasi untuk dihafalkan sebelum proses latihan dimulai.
Tahap Kerja Studio:
- Kerja studio sebagai proses latihan atau penggarapan perlu dilakukan tahap demi tahap. Misalnya bagian pertama atau adegan pertama tanpa tari, adegan pertama selesai dibarengi dengan tarinya.
- Proses bagian ke dua tanpa tari, selesai dibarengi selanjutnya dengan tari.
- Bagian pertama dilanjutkan bagian kedua dibarengi dengan tari. Demikian seterusnya hingga bagian terakhir selesai. Peralihan bagian satu dengan bagian yang lain berarti terjadi perubahan suasana perlu penggarapan tersendiri apakah ada musik penghubung (bridge) atau kiu-kiu tertentu.
- Setelah seluruh bagian selesai dicoba dengan tari dan sudah sesuai, perlu diulang beberapa kali hingga gladi bersih untuk mengakrabkan penari dengan iringan serta kiu-kiunya.
- Setiap latihan sendiri tanpa tari sebaiknya ditunggu oleh penata tari agar sesuai dengan suasana yang diharapkan.
Tahap
Pagelaran:
Dalam
pagelaran atau pementasan sudah tidak lagi berpikir masalah komposisi
karawitan. Pemikiran lebih ditujukan ke tata ruang berkenaan dengan efek suara
(akustik) yaitu seting alat musik/gamelan, jarak antara gamelan dan penari. Hal
yang kadang-kadang luput dari perhatian yaitu tabuh gamelan atau peralatan lain
yang dianggap sepele tetapi penting. Kalau gamelan sewa peralatan seperti tabuh
sering kurang sempurna, maka perlu dipersiapkan sendiri. Penggunaan pengeras
suara (sound system) harus diatur
agar efektif, maka perlu adanya cek sound.
Sound system. Penggunaan sound system dalam pertunjukkan yang tidak mendukung justru akan mengganggu tata
suara dan mengurang keberhasilan pementasan tarinya.
Penguasaan Materi
Seorang
penata desain musik tari sebelum bekerja menginterpretasikan deskripsi tari
yang ada harus menguasai musik/karawitan dengan baik sebagai materi penataan. Dapat
dianalogikan membuat baju, deskripsi tari itu sebagai ukurannya dan
karawitan/musik itu bahannya. Pada dasarnya desain musik tari untuk tari
tradisi dan non tradisi sama, perbedaanya kalau tradisi bahan atau materi sudah
tersedia secara konvensional, kalau non tradisi perlu eksplorasi mencari
kemungkinan baru.
Materi
berupa gending-gending dan berbagai
jenis vokal sudah menjadi vocabuler dalam karawitan tradisi, tinggal memilah
dan memilih sesuai dengan suasana yang diperlukan. Baik gending maupun jenis
vokal mempunyai pola bentuk dan suasana (rasa)
sendiri-sendiri. Bentuk gending ada Lancaran,
Ketawang, Ladrang, Merong, Inggah, Ayak-ayakan,
Srepegan, Sampak dan sebagainya. Masing-masing bentuk memiliki beberapa
repertoar dengan nama dan suasana yang berbeda. Jenis vokal ada sekar/tembang dolanan, Sekar Macapat, Sekar
Tengahan, Sekar Ageng, Sulukan, Sindenan,
yang masing-masing mempunyai repertoar serta sauasana/rasa sendiri-sendiri. Suasana atau rasa gending maupun vokal meliputi: gagah, agung, gecul, sigrak, pernes, susah, trenyuh,
kroda/marah, nantang, greget,
manembah, tintrim, asmara.
Satu istilah misalnya “gagah” mempunyai makna tafsir yang tak
terbatas. Antara gagahnya tokoh Bima, patih Gajahmada, Pangeran Diponegoro,
Klono Sewandono sangat mungkin berbeda-beda meskipun sama-sama dalam nuansa
gagah. Ada gagah semu gecul, gagah medeni, gagah wibawa, masing-masing
berbeda. Bagi seorang penata sesain karawitan tari dituntut memiliki kepekaan
itu. Bagi orang yang kurang peka tidak bisa
membedakan rasa pernes dan rasa sigrak. Berbeda dengan orang yang
peka dan kreatif bisa membuat sepuluh lagu/gending rasa gagah yang masing-masing berbeda. Seorang penata iringan lebih
baik memiliki ketrampilan (skill) yang
memadai meliputi tehnik garap berbagai ricikan dan garap gending.
Desain musik/karawitan untuk
tari non tradisi dituntut lebih kreatif, karena bekerja tidak berdasarkan
konvensi tradisi yang ada. Pengertian musik/karawitan, bentuk, tidak lagi
mengacu pada pola tradisi, tetapi karawitan sebagai “budaya bunyi”. Sumber
bunyi tidak terbatas pada alat konvensional. Benda apapun sangat mungkin
sebagai sumber bunyi. Kalau toh menggunakan instrumen tradisi diperlakukan
tidak seperti lazimnya. Hal tersebut untuk mencari nilai musikal baru.
Diperlukan proses eksplorasi lebih serius untuk mengakrabi sumber bunyi serta
menemukan berbagai kemungkinan bunyi yang bisa diproduksi.
Untuk menata (to commpos) berbagai
bunyi menjadi sebuah komposisi yang mempu- nyai karakter atau rasa tertentu, perlu memahami
seluk-beluk bunyi seperti; anatomi bunyi, karakter bunyi, kualitas dan kuantitas
bunyi, sugesti bunyi dan sebagainya. Bunyi mempunyai unsur panjang-pendek (pitch), panjang-pendek (duration), keras-lirih (loudness), dan warna (color) tertentu. Kuantitas bunyi,
seperti bunyi tunggal (solo), bunyi bersama hingga menimbulkan kesaan tipis dan
tebal tebal. Kualitas bunyi merupakan kesan dari kesatuan semua unsur bunyi. Dari
unsur-unsur bunyi itulah seorang penata menyusun sebuah bentuk musik/karawitan
menjadi bentuk melodi, ritme, dinamik dan akhirnya menjadi tataan (unity) yang disebut komposisi.
Bagai
mana suatu bunyi atau komposisi memiliki suasana atau rasa tertentu? Hal
tersebut berkaitan dengan sugesti bunyi. Kualitas bunyi atau komposisi tertentu
akan berpengaruh secara psikologis efek atau image/citra tertentu pula terhadap
pendengarnya. Bunyi tinggi-nyaring memberi kesan cerah, riang, optimis, agresip
dan sebagainya. Bunyi rendah cenderung memberi citra berat, mantab. Sugesti
bunyi sangat terkait dengan budaya tertentu.
Bunyi Gong Gede yang menggelegar
yang dipukul pada akhir lagu atau gending memberi kesan berat, mantab, lega, pada/selesai (Hardjana,
1983:45-55).
Meskipun penyusunan desain
musik tari non tradisi bebas menentukan sumber bunyi, tetapi harus berpegang
sebagai eksplorasi itu untuk menemukan citra bunyi tertentu. Sumber bunyi yang
disediakan alam tidak menyediakan bunyi siap pakai, maka diperlukan sikap
kreatif yaitu dengan cara melakukan deformasi-modifikasi sumber yang ada serta
mengembangkan tehnik-tehnik meproduksi bunyi tertentu.
Penataan desain musik tari non
tradisi pada dasar menghubungkan alur
citra bunyi dan atau komposisi musik dengan alur suasana tari yang diiringi.
Sebagai contoh berikut sembilan aspek perasaan beserta hubungannya dengan
ekspresi bunyi tewrtentu :
- Perasaan keceriaan diekspresikan dalam nada yang hidup
- Perasaan duka diekspresikan dengan nada sendu
- Perasaan ketakutan diekspresikan dengan suara patah-patah
- Perasaan belas kasihan diekspresikan dalam suara lembut
- Perasaan heran diekspresikan dengan dalam nada seru
- Perasaan keberanian diekspresikan dalam nada empatik
- Perasaan ceroboh diekspresikan dalam nada ringan
- Perasaan cinta diekspresikan dengan nada yang dalam
- Perasaan acuh diekspresikan dalam nada diam (lihat Inayat Khan, 2002:173)
Sembilan ekspresi perasaan tersebut tidak semua
orang setuju karena masing-masing individu memiliki interprasi sindiri.
Demikian juga meskipun setuju belum tentu sama karena masing-masing individu
mempunyai cita rasa yang berbeda-beda. Diperlukan keberanian serta sikap
kreatif untuk menemukan jalannya sendiri.
Penutup
Banyak panari dan panata tari bisa bermain
gamelan/musik dan banyak juga pengrawit yang sering mengiri tari, tetapi kalau
disuruh membuat desain musik tari belum tentu mau dan bisa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa seorang penata desain musik tari merupakan keahlian
tersendiri dengan persyaratan tertentu. Dalam perkembangan tari sekarang menuntut
penata desain musik tari yang profesional.
Seorang
panata desain musik tari yang profesional dituntut memahami berbagai
permasalahan yang terkait hubungan musik dan tari dengan baik. Demikian juga
apakah tarian itu berpijak dari tradisi budaya tertentu, apah non tradisi,
apakah tari lepas, sebuah fragmen, ataukan drama tari yang bersumber dari
cerita tertentu. Deskripsi tari yang lengkap dan jelas akan mempermudah kerja
penata desain musik tari.
Penguasaan
materi beragam repertoar dengan berbagai suasana/rasa, trampil berbagai teknik
garap ricikan merupakan modal bagi seorang penata desain musik tari. Untuk
desain musik tari non trdisi dituntut sikap kreatif untuk menemukan nilai-nilai
baru. Persyaratan yang paling utama adalah kemauan dan keberanian untuk mencoba
dan berkarya. Keberadaan seorang penata desain musik tari yang profesional
sangat dibutuhkan.
Kepustakaan
Becker, Judith
1993 Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java,
Arizona State University Program for Souteast
Asian Studies. ISBN #
1-881044-06-8
Bouvier, Helene
2002 Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Yayasan
Obor Jakarta. ISBN 979-461-420-3
Hardjana, Suka
1983 Estetika Musik, Depdikbud. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Inayat Khan, Hazrat
2002
Dimensi
Mistik Musik dan Bunyi, Penerbit Pustaka Sufi Yogyakarta,
ISBN 979-95978-54-4
Murgianto, Sal, MA
1983 Koreografi, Depdikbud. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Palgunadi, Bram
2002 Serat Kanda KARAWITAN JAWI, Penerbit
ITB, ISBN 979-9299-71-3
Suwarmin,
1993 Dasar-Dasar Penyusunan Karawitan Iringan, Kertas Kerja Temu
Seniman se Jawa Timur
--------------
2009
Panjak
Hore (dalam: 2 Kutub), Penerbit Dewan Kesenian Jawa
Timur.
ISBN 978-979-18793-3-0
------------ S E L A M A T BERKARYA
-------------
Buduran, 14 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar