MUSIK,
KARAWITAN DAN PENDIDIKAN *)
Oleh:
Suwarmin
…”Merebut
kemerdekaan kultural jauh lebih sulit
dan memakan waktu
lama
dari pada merebut
kemerdekaan politik”…
(Alwasilah, 1996)
Telah 67 tahun Indonesia lepas dari
cengkeraman penjajah, berarti sudah merdeka secara politis. Namun bagaimana
tentang budaya? Dalam kutipan pernyataan Alwasilah di atas mengisaratkan bahwa
bangsa Indonesia belum lepas dari penjajahan budaya. Bahkan budaya sebagai
identitas kepribadian bangsa semakin suram. Dari sini bisa direnungkan
keterkaitan dengan judul tulisan di atas. Terdapat kecenderungan generasi muda
semakin tidak akrab dengan budaya tradisinya sendiri.
Pendahuluan
Dalam masyarakat kita masih ada (banyak) pemahaman
secara dikotomi antara musik dan karawitan, sehingga musik itu bukan karawitan
dan sebaliknya karawitan itu juga bukan musik. Pernyataan tersebut tidak
sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Ada juga pemahaman bahwa musik adalah yang
menggunakan sistem Diatonik dengan berbagai instrumennya dan karawitan adalan
musik tradisi yang menggunakan sistem pentatonik Slendro dan Pelog dengan
peralatan gamelan. Demikian juga pernyataan kedua ini tidak sepenuhnya benar dan
juga tidak sepenuhnya salah. Kalau kata musik di Indonesiakan menjadi seni
suara dan karawitan itu juga seni suara, berarti musik dan karawitan sama yaitu
seni suara.
Pada saat sekarang milenium ke-tiga, jaman
post modern, syber space, teknologi transportasi,
informasi begitu canggih, berbagai belahan dunia hampir tiada jarak. Interaksi
*) Disajikan pada Lokakarya
Peningkatan Kemampuan Guru Bidang Studi Seni Budaya Jenjang Menengah Tahun 2012
(Seni Musik Etnik, Kontemporer, Sederhana) Bagi Guru SMA & SMK tgl. 3-5
Juli di Hotel Victory Kota Batu. UPT Dikbangkes. Diknas Prov Jatim.
antar budaya masyarakat dunia begitu cepat saling
mengadopsi, mengadaptasi, pengaruh-
mempengaruhi dan terjadinya silang budaya sulit
dihindari. Karawitan atau musik etnik Indonesia diadopsi menjadi musiknya
orang-orang Eropa (Belanda, Amerika, Perancis, Jerman dll), menjadi mata kuliah
dibeberapa universitas disana. Musik diatonik dan peralatan musik barat diadaptasi
menjadi musik tradisi Indonesia dan sebagainya. Di Indonesia keberadaan musik-musik
etnik sudah berkembang dengan berbagai gaya seiring dengan perkembangan dunia.
Kondisi tersebut memunculkan keragaman jenis, bentuk
dan gaya musik disertai berbagai istilah yang melingkupi seperti musik tradisi,
musik daerah, musik rakyat, musik (lagu) nasional, musik religi, musik kitch,
musik kontemporer, musik etnik, musik minimalis dan masih banyak lagi. Keragaman
itu secara sosio-kultural di Indonesia bukan menjadi masalah bahkan menjadi
kekayaan budaya, namun bila ditinjau dari konteks pendidikan bisa
membingungkan. Membingungkan dalam arti musik mana yang perlu diajarkan di
sekolah.
Budaya Musik Bangsa-Bangsa
Budaya musik telah dimiliki sejak
awal peradaban manusia diseluruh belahan dunia. Musik disebut sebagai awal dan akhir
kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri berjalan mengikuti hukum musik. Dalam mitos tentang bagai mana Tuhan
menciptakan manusia dengan tanah citra-Nya sendiri, dan meminta ruh untuk masuk
kedalamnya. Ruh menolak masuk ke dalam tubuh sebagai sangkar belenggu, dan
ingin bebas tanpa sangkar. Tuhan memerintahkan para malaikat untuk memainkan
musik, dan pada saat mendengar musik itulah Ruh mengalami ekstase. Melalui
akstase itulah – dalam rangka memperjelas musik baginya sendiri – Ruh memasuki
tubuhNya. Konon akhir kehidupan atau hari kiamat ditmanusiai dengan ditiupnya
terompet sangkakala oleh malaekat. Hal
ini menunjukkan bahwa musik dikaitkan dengan awal penciptaan, dengan
kesinambungannya dan dengan akhir kehidupan (Inayat-Khan, 1996).
Berbagai bangsa mengagungkan musik,
bangsa Kaledonia dan Mesir musik dijadikan sesembahan, mereka bersujud layaknya
di hadapan dewa. Bangsa Yunani Romawi mengagungkan musik bagaikan Dewa Agung.
Mereka membangun altar yang indah, berbagai pengorbanan dan aroma wewangian sebagai
persembahan Dewa Musik Apollo. Kepala dewa tegak terangkat gagah, kedua mata memandang
jauh kedepan bagaikan menembus batas rahasia alam. Mereka menyatakan bahwa
suara senar dawai Dewa Apollo adalah gema suara alam dan melambangkan duka cita
yang terpantul dari kicau burung, gemercik air, desah angin dan desiran lembut
dahan pepohonan.
Kata ”musik” berasal dari bahasa
Yunani ”musike” berasal kata ”muse-muse”
yaitu nama dewi atau bidadari Yunani dibawah dewa Apollo yang melindungi Seni
dan Ilmu Pengetahuan (Hardjana, 1983:6-7).
Dalam khasanah warisan bangsa
Assyria disebutkan bahwa musik yang ditampilkan dalam berbagai upacara adalah
lambang kebahagiaan dan kemuliaan. Semua pujian disucikan dengan lagu-lagu
alunan nada-nada indah yang didasari kehalusan perasaan jiwa. Musik adalah
nafas kebebasan yang dijadikan perantara kata-kata lisan, ucapan merupakan
pelengkap dari alunan nada musik (Gibran, 2002).
Dalam budaya India musik disebut Sangita,
dibagi tiga bagian: gayan – menyanyi, vadan – bermain, dan nirtan
– menari, yaitu ekspresi yang mengandung tiga unsur; suara ketika menyanyi,
bunyi ketika memainkan alat musik dan gerak ketika menari, namun menyanyi
dianggap bagian utama dalam Sangita. Tiga bagian dalam Sangita
ini menjadi bagian ibadah Hindu, dan surga Hindu terdiri dari beberapa
penyanyi, pemain, dan penari. Sistem musik dibagi menjadi mode-mode yang
disebut raga untuk dinyanyikan atau dimainkan untuk keperluan tertentu, pada
waktu tertentu, siang, malam atau musim tertentu. Ada anggapan bila sebuah Raga dinyanyikan pada saat yang tidak tepat,
bagaikan makan makanan yang tidak sesuai dengan keperluan dan waktunya akan
terasa hambar.
Sebuah riwayat tentang
seorang Tansen diminta oleh sang Raja Agung untuk menyanyikan Dipak-Raga yang memiliki pengaruh api. Tansen
menolak dan sang raja mendesak, Tansen terpaksa menyanyikan dan terbakarlah ia.
Ketika seluruh tubuhnya berkobar, berlarilah ke sebuah desa. Seorang wanita
yang mengetahui merasa iba Tansen terbakar karena Dipak-Raga, maka wanita tersebut segera menyanyikan Malhar yaitu Raga air terjun. Seketika
datang awan bergumpal-gumpal dan turun hujan meskipun pada saat musim panas.
Api yang membakar Tansen terpadamkan dan ia sehat kembali. Banyak cerita yang
menunjukkan tetang adanya kekuatan kebatinan musik.
Diriwayatkan dalam buku Wedapradangga oleh R. Ng.
Prajapangrawit (1990) pertama kali diciptakan alat musik Gamelan di Jawa oleh
dewa Sang Hyang Guru pada saat menjelma menjadi raja pulau Jawa. Gamelan itu
diberi nama Gamelan Lokananta yang mengandung arti musik dari Kayangan tempat
para dewa. Gamelan berikutnya diciptakan oleh Dewa Endra atau Sura Endra, yang dimungkinkan
sekarang menjadi istilah gamelan Slendro. Gamelan ciptaan para Dewa itu
dilestarikan dan dijadikan sarana berbagai ritual raja-raja dan masyarakat di
Jawa. Dalam riwayat tersebut menunjukkan anggapan masyarakat Jawa bahwa musik
(Gamelan) adalah suara Tuhan pencipta alam. Berbagai pikiran filosofis para
empu, pujangga dan raja diungkapkan atau ditulis dalam bentuk puisi tembang,
dibaca dengan alunan nada. Dalam kehidupan berbagai bangsa pada budaya tradisi
musik selalu dikaitkan dengan yang sakral dan Adi Kodrati.
Musik Dalam Masyarakat
Dapat dikatakan kehidupan dimanapun
tidak terlepas dari musik, baik secara individu maupun secara kolektif, baik
untuk keperluan sekuler sehari-hari (profan) maupun yang bersifat religius
transendental (sakral). Masyarakat pedesaan dengan lingkungan pertanian
agraris, masyarakat dilingkungan hutan, pantai, perkotaan mempunyai musiknya
dengan cirinya serta karakternya sendiri-sendiri. Hal tersebut tampak dalam
penggolongan musik berdasar daerah atau etnik; musik Batak, musik Sunda, musik
Madura, musik Banyuwangi, musik Betawi dan seterusnya.
Ashley Turner (1993), meneliti budaya
musik masyarakat Melayu Petalangan Riau yang memiliki lingkungan alam hutan
tanah secara adat. Terdapat hubungan timbal balik antara budaya musik dengan
alam, sosial serta alam lingkungannya. Alam lingkungan sebagai suatu sistem
sebagai sumber daya kehidupan fisik, tercermin dalam budaya musik mereka.
Alat-alat musik merupakan lambang persebatian
manusia dengan alam. Masyarakat Melayu Petalangan di Riau beranggapan bahwa
alam adalah machluk hidup yang suci, alam adalah diri sendiri dan sebaliknya,
maka tidak boleh disakiti dan dirusak.
Hal tersebut tercermin dalam
musik mereka. Demikian juga dalam
masyarakat perkotaan yang penduduknya beragam tingkat sosial serta mempunyai
kehidupan yang lebih kompleks akan tercermin dalam budaya musiknya.
Musik digunakan sebagai media
penyembuhan penyakit (sound healer).
Menurut Radon ( 2001), dunia ini ada malaikat suara (Angles of Sound) dan manusia selalu bekerja sama dengan mereka
namun pilihan tetap pada mereka. Setiap orang memiliki malaikat penyembuhan
sendiri-sendiri yang sudah ada bersama mereka saat lahir dan membimbing mereka
dalam menjalani kehidupannya. Dengan berlatih dan belajar menyelaraskan diri dengan
mereka secara intuitif, dan merasakan bimbingan lembut mereka yang memberi
manusia nada-nada yang tepat, memberi tahu manusia kapan bergerak kemana serta
menuntun tangan manusia dari satu bagian tubuh ke bagian satu tubuh yang lain
(Radon, 2001:46).
Apa bila
manusia benar-benar mengabdikan diri menjadi seorang sound healer, manusia akan mendengar suara malaikat saat bergabung
dengan suara manusia, saat manusia membuka mulut untuk menyanyi, seolah-olah
suara manusia lenyap, sedangkan suara murni mengalir bagaikan sebuah energi
berwarna yang berputar. Begitulah ketika manusia merasakan dan mengetahui para
malaikat suara bernyanyi dalam diri manusia. Manusia dapat bekerja dengan para
malaikat suara solah-olah mereka adalah
pembantu-pembantu manusia dalam penyembuhan, dengan memberi energi yang telah
manusia pindahkan melalui suara dan menerima pemberian mereka seperti benih
cinta yang ditanam di berbagai cakra,
bagaikan berkat yang siap tumbuh menjadi bunga-bunga mekar. Suara manusia
adalah sesuatu yang berharga, ia menangkap getaran energi jantung manusia dan
bergema beresonansi dengan apapun disekitar manusia berada. Suara manusia
selalu siap setiap saat bila ingin dipergunakan, manusia dapat mengirim
getaran-getaran suara manusia secara diam-diam dari dalam diri manusia ke pada orang lain dan
memiliki pengaruh
yang kuat.
Dalam
kegiatan upacara ritual dalam berbagai tempat peribadatan masyarakat, musik
sebagai ungkapan untuk mengagungkan, berkomunikasi, hingga menyatukan diri
dengan Sang Pencipta. Hampir semua kalangan ahli kebatinan, di bagian dunia
manapun berada, musik menjadi pusat kultus atau upacara. Mereka dapat mencapai
kedamaian sempurna yang disebut nirvana,
dalam bahasa Hindu samadhi lebih
mudah melalui musik. Para Sufi zaman kuno menganggap musik sebagai sumber
meditasi.
Perkembangan Musik di Indonesia
Yang dimaksud “musik” di sini adalah musik Barat.
Keberadaan musik Barat di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua musik adoptif
dan musik adaptif yang keduanya hidup dan berkembang dan memiliki peminatnya
sendiri-sendiri. Yang digolongkan musik adoptif merupakan musik Barat yang
diterima dengan cara diadopsi tanpa adanya perubahan misalnya: musik orkestra
dengan lagu-lagu klasik Barat, musik pop Barat, musik Jaz dan lain-lain. Berbeda
dengan musik adaptif yaitu musik (instrumen) Barat, yang mengalami proses
adaptasi sesuai dengan nuansa kultur tradisi suatu misal: musik Kroncong dan
juga lagu-lagu atau musik (bernuansa) Indonesia tetapi menggunakan tangga nada
Diatonik dan instrumen Barat suatu misal lagu-lagu Nasional, lagu perjuangan,
lagu pop Indonesia dan lagu anak-anak.
Musik
Keroncong dan berkembang dengan munculnya Langgam Koroncong yang berbahasa
daerah mempunyai nuansa tradisi, dilakukan oleh orang yang memiliki latar
belakang musik tradisi kuat. Tentu
berbeda dengan yang disebut musik nasional, lagu perjuangan dan lagu anak, pengadaptasian
seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai latar belakang pendidikan dan paling tidak pengetahuan
dasar tentang musik Barat. Namun demikian apapun jenisnya, musik yang hidup dan
berkembang di Indonesia sudah dimiliki dan menjadi bagian dari budaya bangsa
Indonesia.
Pendidikan Musik di Sekolah
Secara macro tujuan pendidikan nasional diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 yaitu membentuk “manusia Indonesia
seutuhnya”. Kata “manusia Indonesia
seutuhnya” di sini jelas bahwa manusia yang memiliki kepribadian yang sesuai
dengan karakter bangsa, dengan demikian semua materi dalam pendidikan harus
memberi konstribusi tujuan tersebut. Pendidikan musik eksplisit sudah mengarah
ke sana yang diatur dalam bentuk peraturan pemerintan disemua jenjang
pendidikan.
Sebagai contoh berikut tujuan kurikuler GBPP tahun
1984 untuk “Pendidikan Musik SMA yang berbunyi:
“Siswa memiliki kemampuan berapresiasi
terhadap alam lingkungan dan karya seni, serta dapat memanfaatkan pengalamannya
untuk berkomunikasi secara kreatif melalui kegiatan berkarya seni dalam usaha
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa”
Di dalam praktek di lapangan
mengacu pada pokok bahasan yang meliputi: irama, birama, pola irama, nada, notasi para
nada, tangga nada diatonik, bentuk ulan, dinamik, tehnik dasar instrumen,
tehnik dasar vokal, warna nada dan seterusnya. Kasus ini oleh Prof.
Dieter Mack seorang peneliti pendidikan musik di Indonesia merupakan sesuatu
yang tidak pas, karena mengarah pada teori musik barat, sedangkan siswa mempunyai
latar balakang budaya yang mempunyai ciri khas buadaya Indonesia dan tidak ada
hubungan sama sekali dengan budaya barat. Masalah musik di Indonesia kaya dan
beragam akan musik-musik tradisi etnik yang mengakar dan banyak dikagumi bangsa
lain.
Dalam kata Pengantar buku Dieter Mack yang berjudul Pendidikan
Musik Antara Harapan dan Realitas, Alwasilah menghargai sikap kritis Dieter
Mack terhadap pendidikan musik sekolah di Indonesia yang menilai adanya arah
kebijakan pendidikan musik di sekolah kurang tepat, bahkan dapat dikatakan “tersesat”.
Kemurtadan ini berakibat alienasi kebudayaan sendiri dan pengkeblatan terhadap
kebudayaan barat (lihat, Dieter Mack, 1996). Di sisi lain Alwasilah menyatakan
bahwa secara politis usia kemerdekaan sudah 60 tahun, tetapi kemerdekaan
kultural masih perlu diperjuangkan.
Ketajaman pemikir dan perencana kebijakan pendidikan
tidak setajam bambu runcing para pahlawan dalam merebut kemerdekaan politik. Bahwasanya
merebut kemerdekaan kultural jauh lebih sulit dan memakan waktu lama dari pada
merebut kemerdekaan politik. Budaya Indonesia sendiri hampir tidak diperhatikan
dalam pendidikan formal dengan berbagai alasan.
Kecenderungan perkembangan budaya musik Indonesia ke arah budaya hiburan
yang hanya berorientasi pada pasar yaitu musik komersial yang berbau barat. Hal
tersebut yang oleh Prof. Dieter Mack dianggap sebagai kontradiktif antara
tujuan dan realitis dalam pendidikan musik di Indonesia pada umunya.
Seni
Karawitan Sebagai Budaya Bunyi
Istilah
seni karawitan atau karawitan sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia bahkan
bahasa Inggris dan dipahami dengan
berbagai pengertian baik secara etimologis, tekstual, kontekstual maupun
keduanya. Pengertian secara etimologis pengertian yang mengacu pada asal kata
atau istilah yaitu karawitan dari kata
ka – rawit – an yang mengandung makna
suatu karya cipta manusia yang mengandung nilai rawit (seni). Istilah
Karawitan pada awalnya digunakan dilingkungan kraton Surakarta untuk menyebut
kesenian kraton yang dianggap memiliki nilai tinggi (adi luhung)) meliputi
tari, gamelan dan pedalangan (Sumarsam, 2003).
Selanjutnya istilah Karawitan
dipahami dan dimaknai sebagai seni suara (gamelan
dan tembang) yang menggunakan sistem tangga nada pentatonik Slendro
dan atau Pelog. Karawitan adalah seni suara tradisi yang menggunakan peralatan
gamelan dan sebagainya. Dalam
perkembangannya istilah karawitan digunakan untuk menyebut musik tradisi di
Indonesia. Sekarang istilah karawitan sudah menjadi kosakata internasional
untuk menyebut musik gamelan. Masing-masing
batasan tersebut tentu ada kelemahannya, karena genre seni suara (musik)
tradisi di Indonesia begitu beragam sesuai dengan karakteristik budaya
masyarakatnya (etnisitas). Pengertian yang lebih bisa mencakup karawitan adalah
budaya bunyi.
Karawitan
merupakan budaya bunyi yaitu bunyi apa
saja baik konvensional, non konvensional atau keduanya. Mengesamping dikotomi
musik tradisi dan non tradisi, diatonik dan pentatonik, gamelan dan bukan
gamelan, lebih mementingkan bunyi sebagai media ungkap atau penciptaan. Pemahaman
ini dapat memotivasi kita untuk lebih berani berkreasi dan tidak
terbelenggu dengan istilah-istilah yang pengertian yang sempit. Demikian juga
tidak lagi merasa takut kalau salah, keliru, jelek dan sebagainya.
Tentunya juga tidak harus meninggalkan
kaidah-kaidah yang sudah ada. Di dalam
tradisi dan adat istiadat lama tersimpan nilai-nilai, simbol, lambang sebagai
kearifan lokal.
Banyak
ungkapan-ungkapan musikal yang terdapat di lingkungan kita baik yang
konvensional maupun non kovensional. Suara orang menjanjakan dagangan di jalan,
orang menghitung ikan di pasar, teriakan bersama semangat orang kerja bakti,
gandangan orang membajak di sawah, teriakan anak gembala di atas tebing yang
dipantulkan dengan menggema dan masih banyak lagi merupakan ungkapan musikal namun
tidak disadari sebagai musik atau karawitan..
Berbagai
bunyi yang ditimbulkan dari benda atau alat seperti bunyi ritmis kentongan
ditengah keheningan malam, bunyi gemerincing silih berganti dari genta kereta
kuda yang pacu kusirnya, bunyi kentong kolosal yang bergerak dari desa satu ke
desa yang lain pada gerhana bulan, permainan bunyi air pada saat mandi di
sungai, pedagang makan dengan memukul alat tertentu untuk menarik perehatian
pembelinya, juga bermacam-macam bunyi-bunyian mainan anak juga merupakan
ungkapan musikal yang juga sering tidak disadari sebagai musik atau karawitan.
Berbicara tentang karawitan secara
konvensional di dalam tradisi masyarakat kita sangatlah kayadan beragam. Dalam
berbagai kehidupan masyarakat kita hampir tidak lepas dari seni karawitan.
Berbagai bentuk karawitan baik yang berdiri sendiri maupun sebagai iringan
bentu kesenian tertentu. Seperti
sama-sama kita tahu adanya perangkat angklung, perangkat kendang kempul,
perangkat kuntulan, perangkat gamelan gandrung, perangkat gamelan seblang,
perangkat gamelan untuk wayang, perangkat gamelan tayub, saronen, terbang
gending, glipang, dhuk-dhuk dan masih banyak lagi, masing-masing dengan jumlah
serta jenis instrumentnya.
Bentuk-bentuk vokal seperti lagu
anak-anak atau lagu dolanan, lagu mocoan atau macapat, lagu-lagu untuk seblang,
kejungan masing-masing mempunyai bentuk dan karakternya sendiri-sendiri. Dalam
konteks tradisi semua sudah mapan dan dianggap sudah pakem, tetap, tidak berubah, sehingga kalau tidak sesuai
dengan apa yang ada seperti lazimnya dianggap salah.
Dalam
keperluan tertentu misalnya sajian penataan gending atau untuk iringan tari,
bentuk-bentuk tradisi yang dianggap baku itupun dapat dikembangkan, bahkan
perlu dikembangkan. Untuk mendapatkan sesuatu yang baru dapat dielaborasi
bentuk yang satu dengan yang lain dan sebagainya sehingga menjadi tradisi berkembang. Kehidupan
karawitan tradisi biasanya melekat pada adat istiadat masyarakat seperti ritual
inisiasi, yang berkaitan dengan pertanian, nelayan dan sebagainya. Berbeda
dengan konteks seni pertunjukan, di dalam seni pertunjukan bentuk-bentuk
tradisi dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam berkesenian.
Dari uraian
di atas ada tiga kategori seni karawitan yaitu seni karawitan tradisi, tradisi
berkembang dan non tradisi. Seni karawitan tradisi yang melekat pada adat
istiadat dan bersifat atau dianggap baku. Seni karawitan tradisi berkembang
yaitu bentuk tradisi yang sudah mengalami pengembangan (innovasi) untuk
keperluan tertentu (seni pertunjukan). Seni karawitan non tradisi
(kontemporer), seni karawitan yang tidak bertolak atau mengabaikan
kaidah-kaidah tradisi.
Fenomena ini disebabkan adanya berkembangnya dari fungsi sosio-kultural
tradisi ke arah pertunjukan apresiatif
dan kitch mengikuti selera pasar yang
bersifat hiburan untuk mendapatkan uang (Lindsay, 1991).
Pekan
Komponis yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1979 yang
didukung masyarakat akademisi dapat menjadi ajang penciptaan musik kontemporer
yang bertolak dari musik etnik di Indonesia (Hardjana, 1986).
Pendidikan Karawitan di
Sekolah
Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 2/1989 yang mengatur tentang otonomi sekolah untuk
menyelenggarakan muatan lokal (mulok).
Sistem tersebut memberi keleluasaan
masing-masing sekolah untuk memikirkan, mengangkat serta menghidupkan kembali
musik etnik yang ada dilingkungannya.
Pelajaran muatan lokal memberi konstribusi terbentuknya kepribadian,
peradaban dan identitas nasional. Di
dalam karawitan atau musik etnik terkandung nilai-nilai budaya yang luhur telah
diwariskan dari generasi ke generasi sejak berabad-abad yang silam.
Untuk menjadikan karawitan atau
musik tradisi menjadi materi pelajaran pada Sekolah formal disemua tingkat pendidikan masih jauh dari
harapan. Secara infrastruktur belum terbangun dan masih banyak kendala yang
dihadapi, mulai dari guru yang memiliki kompetensi karawitan atau musik tradisi
masih langka. Kelangkaan terasebut karena belum adanya pendidikan khusus guru
musik tradisi, kalaupun ada masih sangat terbatas. Belum tersedianya materi
pembelajaran dan belum siapnya prasarana meskipun semua daerah kaya akan keragaman
musik tradisi.
Tampak dalam
figur tiga unsur yang terdapat dalam proses pembelajaran seni karawitan yaitu
pengembangan kompetensi kemampuan pengetahuan, ketrampilan serta sikap kreativ
pendidik atau guru, bahan ajar seni karawitan sebagai bahan acuan dan menumbuh
kembangkan poten seni anak didik. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan (intergrated) yang tidak bisa
dipisah-pisahkan
(Suwarmin, 2009)
Penutup
Undang-undang
Otonomi Daerah perlu disambut dan dimaknai sebagai genderang dimualinya sekolah
menjadikan muatan lokal (mulok) sebagai sarana pengembangan budaya daerah yang
selama ini tersisihkan. Perlu segara dibangun infrastruktur meliputi: guru
karawitan atau musik tradisi, sarana dan prasana, materi pembelajaran serta
hal-hal yang terkait.
Dieter Mack
1996 PENDIDIKAN MUSIK Anatara Harapan dan
Realitas. Penerbit: University Press IKIP Bnadung.
Lindsay, Jennifer
1991 KLASIK KITCH KONTEMPORER Sebuah Studi
Tentang Seni Petunjukan Jawa (Penerjemah: Nin Bakdi Sumanto). Penerbit:
Gadjah Mada University Press.
Palgunadi, Bram
Sumarsam
2003 GAMELAN
Interaksi dan Perkembangan Musikal di Jawa. Penerbit: Pustaka Pelajar
Yogyakarta.
Suka Hardjana (Editor)
1976 ENAM TAHUN PEKAN KOMPONIS MUDA Sebuah
Alternatif. Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
----- ,,---------
1983 ESTETIKA MUSIK. Penerbit: Departerman
Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Dadar dan Menengah Direktorat
Pendidian Menegah Kejuruan Jakarta
Suwarmin
2009 “Kreatifitas
dan Pembelajara Karawitan” (Majalah:BENDE Wahana Pendidikan dan Pengembangan Kesenian TBJT, Edisi No. 73 Nop. Th. 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar