Rabu, 01 Februari 2017



MUSIK, KARAWITAN DAN PENDIDIKAN *)
Oleh: Suwarmin


 


…”Merebut kemerdekaan kultural jauh lebih sulit
dan memakan waktu lama
dari pada merebut kemerdekaan politik”…
(Alwasilah, 1996)

Telah 67 tahun Indonesia lepas dari cengkeraman penjajah, berarti sudah merdeka secara politis. Namun bagaimana tentang budaya? Dalam kutipan pernyataan Alwasilah di atas mengisaratkan bahwa bangsa Indonesia belum lepas dari penjajahan budaya. Bahkan budaya sebagai identitas kepribadian bangsa semakin suram. Dari sini bisa direnungkan keterkaitan dengan judul tulisan di atas. Terdapat kecenderungan generasi muda semakin tidak akrab dengan budaya tradisinya sendiri.

Pendahuluan
Dalam masyarakat kita masih ada (banyak) pemahaman secara dikotomi antara musik dan karawitan, sehingga musik itu bukan karawitan dan sebaliknya karawitan itu juga bukan musik. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Ada  juga pemahaman bahwa musik adalah yang menggunakan sistem Diatonik dengan berbagai instrumennya dan karawitan adalan musik tradisi yang menggunakan sistem pentatonik Slendro dan Pelog dengan peralatan gamelan. Demikian juga pernyataan kedua ini tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Kalau kata musik di Indonesiakan menjadi seni suara dan karawitan itu juga seni suara, berarti musik dan karawitan sama yaitu seni suara.
 Pada saat sekarang milenium ke-tiga, jaman post modern, syber space, teknologi transportasi, informasi begitu canggih, berbagai belahan dunia hampir tiada jarak. Interaksi
*) Disajikan pada Lokakarya Peningkatan Kemampuan Guru Bidang Studi Seni Budaya Jenjang Menengah Tahun 2012 (Seni Musik Etnik, Kontemporer, Sederhana) Bagi Guru SMA & SMK tgl. 3-5 Juli di Hotel Victory Kota Batu. UPT Dikbangkes. Diknas Prov Jatim.

antar budaya masyarakat dunia begitu cepat saling mengadopsi, mengadaptasi, pengaruh-
mempengaruhi dan terjadinya silang budaya sulit dihindari. Karawitan atau musik etnik Indonesia diadopsi menjadi musiknya orang-orang Eropa (Belanda, Amerika, Perancis, Jerman dll), menjadi mata kuliah dibeberapa universitas disana. Musik diatonik dan peralatan musik barat diadaptasi menjadi musik tradisi Indonesia dan sebagainya. Di Indonesia keberadaan musik-musik etnik sudah berkembang dengan berbagai gaya seiring dengan perkembangan dunia.
Kondisi tersebut memunculkan keragaman jenis, bentuk dan gaya musik disertai berbagai istilah yang melingkupi seperti musik tradisi, musik daerah, musik rakyat, musik (lagu) nasional, musik religi, musik kitch, musik kontemporer, musik etnik, musik minimalis dan masih banyak lagi. Keragaman itu secara sosio-kultural di Indonesia bukan menjadi masalah bahkan menjadi kekayaan budaya, namun bila ditinjau dari konteks pendidikan bisa membingungkan. Membingungkan dalam arti musik mana yang perlu diajarkan di sekolah.
Budaya Musik Bangsa-Bangsa
Budaya musik telah dimiliki sejak awal peradaban manusia diseluruh belahan dunia. Musik disebut sebagai awal dan akhir kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri berjalan mengikuti hukum musik.  Dalam mitos tentang bagai mana Tuhan menciptakan manusia dengan tanah citra-Nya sendiri, dan meminta ruh untuk masuk kedalamnya. Ruh menolak masuk ke dalam tubuh sebagai sangkar belenggu, dan ingin bebas tanpa sangkar. Tuhan memerintahkan para malaikat untuk memainkan musik, dan pada saat mendengar musik itulah Ruh mengalami ekstase. Melalui akstase itulah – dalam rangka memperjelas musik baginya sendiri – Ruh memasuki tubuhNya. Konon akhir kehidupan atau hari kiamat ditmanusiai dengan ditiupnya terompet sangkakala oleh malaekat.  Hal ini menunjukkan bahwa musik dikaitkan dengan awal penciptaan, dengan kesinambungannya dan dengan akhir kehidupan (Inayat-Khan, 1996).
Berbagai bangsa mengagungkan musik, bangsa Kaledonia dan Mesir musik dijadikan sesembahan, mereka bersujud layaknya di hadapan dewa. Bangsa Yunani Romawi mengagungkan musik bagaikan Dewa Agung. Mereka membangun altar yang indah, berbagai pengorbanan dan aroma wewangian sebagai persembahan Dewa Musik Apollo. Kepala dewa tegak terangkat gagah, kedua mata memandang jauh kedepan bagaikan menembus batas rahasia alam. Mereka menyatakan bahwa suara senar dawai Dewa Apollo adalah gema suara alam dan melambangkan duka cita yang terpantul dari kicau burung, gemercik air, desah angin dan desiran lembut dahan pepohonan.
Kata ”musik” berasal dari bahasa Yunani  musike” berasal kata ”muse-muse” yaitu nama dewi atau bidadari Yunani dibawah dewa Apollo yang melindungi Seni dan Ilmu Pengetahuan (Hardjana, 1983:6-7).   Dalam khasanah warisan bangsa Assyria disebutkan bahwa musik yang ditampilkan dalam berbagai upacara adalah lambang kebahagiaan dan kemuliaan. Semua pujian disucikan dengan lagu-lagu alunan nada-nada indah yang didasari kehalusan perasaan jiwa. Musik adalah nafas kebebasan yang dijadikan perantara kata-kata lisan, ucapan merupakan pelengkap dari alunan nada musik (Gibran, 2002).
Dalam budaya India musik disebut Sangita, dibagi tiga bagian: gayan – menyanyi, vadan – bermain, dan nirtan – menari, yaitu ekspresi yang mengandung tiga unsur; suara ketika menyanyi, bunyi ketika memainkan alat musik dan gerak ketika menari, namun menyanyi dianggap bagian utama dalam Sangita. Tiga bagian dalam Sangita ini menjadi bagian ibadah Hindu, dan surga Hindu terdiri dari beberapa penyanyi, pemain, dan penari. Sistem musik dibagi menjadi mode-mode yang disebut raga untuk dinyanyikan atau dimainkan untuk keperluan tertentu, pada waktu tertentu, siang, malam atau musim tertentu. Ada anggapan bila sebuah Raga dinyanyikan pada saat yang tidak tepat, bagaikan makan makanan yang tidak sesuai dengan keperluan dan waktunya akan terasa hambar.
Sebuah riwayat tentang seorang Tansen diminta oleh sang Raja Agung untuk menyanyikan Dipak-Raga yang memiliki pengaruh api. Tansen menolak dan sang raja mendesak, Tansen terpaksa menyanyikan dan terbakarlah ia. Ketika seluruh tubuhnya berkobar, berlarilah ke sebuah desa. Seorang wanita yang mengetahui merasa iba Tansen terbakar karena Dipak-Raga,  maka wanita tersebut segera menyanyikan Malhar yaitu Raga air terjun. Seketika datang awan bergumpal-gumpal dan turun hujan meskipun pada saat musim panas. Api yang membakar Tansen terpadamkan dan ia sehat kembali. Banyak cerita yang menunjukkan tetang adanya kekuatan kebatinan musik.
Diriwayatkan  dalam buku Wedapradangga oleh R. Ng. Prajapangrawit (1990) pertama kali diciptakan alat musik Gamelan di Jawa oleh dewa Sang Hyang Guru pada saat menjelma menjadi raja pulau Jawa. Gamelan itu diberi nama Gamelan Lokananta yang mengandung arti musik dari Kayangan tempat para dewa. Gamelan berikutnya diciptakan oleh Dewa Endra atau Sura Endra, yang dimungkinkan sekarang menjadi istilah gamelan Slendro. Gamelan ciptaan para Dewa itu dilestarikan dan dijadikan sarana berbagai ritual raja-raja dan masyarakat di Jawa. Dalam riwayat tersebut menunjukkan anggapan masyarakat Jawa bahwa musik (Gamelan) adalah suara Tuhan pencipta alam. Berbagai pikiran filosofis para empu, pujangga dan raja diungkapkan atau ditulis dalam bentuk puisi tembang, dibaca dengan alunan nada. Dalam kehidupan berbagai bangsa pada budaya tradisi musik selalu dikaitkan dengan yang sakral dan Adi Kodrati.

Musik Dalam Masyarakat
Dapat dikatakan kehidupan dimanapun tidak terlepas dari musik, baik secara individu maupun secara kolektif, baik untuk keperluan sekuler sehari-hari (profan) maupun yang bersifat religius transendental (sakral). Masyarakat pedesaan dengan lingkungan pertanian agraris, masyarakat dilingkungan hutan, pantai, perkotaan mempunyai musiknya dengan cirinya serta karakternya sendiri-sendiri. Hal tersebut tampak dalam penggolongan musik berdasar daerah atau etnik; musik Batak, musik Sunda, musik Madura, musik Banyuwangi, musik Betawi dan seterusnya.
Ashley Turner (1993), meneliti budaya musik masyarakat Melayu Petalangan Riau yang memiliki lingkungan alam hutan tanah secara adat. Terdapat hubungan timbal balik antara budaya musik dengan alam, sosial serta alam lingkungannya. Alam lingkungan sebagai suatu sistem sebagai sumber daya kehidupan fisik, tercermin dalam budaya musik mereka. Alat-alat musik merupakan lambang persebatian manusia dengan alam. Masyarakat Melayu Petalangan di Riau beranggapan bahwa alam adalah machluk hidup yang suci, alam adalah diri sendiri dan sebaliknya, maka tidak boleh disakiti dan dirusak.  Hal  tersebut tercermin dalam musik mereka.  Demikian juga dalam masyarakat perkotaan yang penduduknya beragam tingkat sosial serta mempunyai kehidupan yang lebih kompleks akan tercermin dalam budaya musiknya.
Musik digunakan sebagai media penyembuhan penyakit (sound healer). Menurut Radon ( 2001), dunia ini ada malaikat suara (Angles of Sound) dan manusia selalu bekerja sama dengan mereka namun pilihan tetap pada mereka. Setiap orang memiliki malaikat penyembuhan sendiri-sendiri yang sudah ada bersama mereka saat lahir dan membimbing mereka dalam menjalani kehidupannya. Dengan berlatih dan belajar menyelaraskan diri dengan mereka secara intuitif, dan merasakan bimbingan lembut mereka yang memberi manusia nada-nada yang tepat, memberi tahu manusia kapan bergerak kemana serta menuntun tangan manusia dari satu bagian tubuh ke bagian satu tubuh yang lain (Radon, 2001:46).
Apa bila manusia benar-benar mengabdikan diri menjadi seorang sound healer, manusia akan mendengar suara malaikat saat bergabung dengan suara manusia, saat manusia membuka mulut untuk menyanyi, seolah-olah suara manusia lenyap, sedangkan suara murni mengalir bagaikan sebuah energi berwarna yang berputar. Begitulah ketika manusia merasakan dan mengetahui para malaikat suara bernyanyi dalam diri manusia. Manusia dapat bekerja dengan para malaikat  suara solah-olah mereka adalah pembantu-pembantu manusia dalam penyembuhan, dengan memberi energi yang telah manusia pindahkan melalui suara dan menerima pemberian mereka seperti benih cinta yang ditanam di berbagai cakra, bagaikan berkat yang siap tumbuh menjadi bunga-bunga mekar. Suara manusia adalah sesuatu yang berharga, ia menangkap getaran energi jantung manusia dan bergema beresonansi dengan apapun disekitar manusia berada. Suara manusia selalu siap setiap saat bila ingin dipergunakan, manusia dapat mengirim getaran-getaran suara manusia secara diam-diam dari  dalam diri manusia ke pada orang lain dan memiliki pengaruh yang kuat.
Dalam kegiatan upacara ritual dalam berbagai tempat peribadatan masyarakat, musik sebagai ungkapan untuk mengagungkan, berkomunikasi, hingga menyatukan diri dengan Sang Pencipta. Hampir semua kalangan ahli kebatinan, di bagian dunia manapun berada, musik menjadi pusat kultus atau upacara. Mereka dapat mencapai kedamaian sempurna yang disebut nirvana, dalam bahasa Hindu samadhi lebih mudah melalui musik. Para Sufi zaman kuno menganggap musik sebagai sumber meditasi.

Perkembangan Musik di Indonesia
Yang dimaksud “musik” di sini adalah musik Barat. Keberadaan musik Barat di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua musik adoptif dan musik adaptif yang keduanya hidup dan berkembang dan memiliki peminatnya sendiri-sendiri. Yang digolongkan musik adoptif merupakan musik Barat yang diterima dengan cara diadopsi tanpa adanya perubahan misalnya: musik orkestra dengan lagu-lagu klasik Barat, musik pop Barat, musik Jaz dan lain-lain. Berbeda dengan musik adaptif yaitu musik (instrumen) Barat, yang mengalami proses adaptasi sesuai dengan nuansa kultur tradisi suatu misal: musik Kroncong dan juga lagu-lagu atau musik (bernuansa) Indonesia tetapi menggunakan tangga nada Diatonik dan instrumen Barat suatu misal lagu-lagu Nasional, lagu perjuangan, lagu pop Indonesia dan lagu anak-anak.
Musik Keroncong dan berkembang dengan munculnya Langgam Koroncong yang berbahasa daerah mempunyai nuansa tradisi, dilakukan oleh orang yang memiliki latar belakang musik tradisi kuat.  Tentu berbeda dengan yang disebut musik nasional, lagu perjuangan dan lagu anak, pengadaptasian seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang  yang mempunyai latar belakang pendidikan dan paling tidak pengetahuan dasar tentang musik Barat. Namun demikian apapun jenisnya, musik yang hidup dan berkembang di Indonesia sudah dimiliki dan menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.
Pendidikan Musik di Sekolah
Secara macro tujuan pendidikan nasional diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 yaitu membentuk “manusia Indonesia seutuhnya”.  Kata “manusia Indonesia seutuhnya” di sini jelas bahwa manusia yang memiliki kepribadian yang sesuai dengan karakter bangsa, dengan demikian semua materi dalam pendidikan harus memberi konstribusi tujuan tersebut. Pendidikan musik eksplisit sudah mengarah ke sana yang diatur dalam bentuk peraturan pemerintan disemua jenjang pendidikan.
Sebagai contoh berikut tujuan kurikuler GBPP tahun 1984 untuk “Pendidikan Musik SMA yang berbunyi:
            “Siswa memiliki kemampuan berapresiasi terhadap alam lingkungan dan karya seni, serta dapat memanfaatkan pengalamannya untuk berkomunikasi secara kreatif melalui kegiatan berkarya seni dalam usaha menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa”

Di dalam praktek di lapangan mengacu pada pokok bahasan yang meliputi: irama, birama, pola irama, nada, notasi para nada, tangga nada diatonik, bentuk ulan, dinamik, tehnik dasar instrumen, tehnik dasar vokal, warna nada dan seterusnya. Kasus ini oleh Prof. Dieter Mack seorang peneliti pendidikan musik di Indonesia merupakan sesuatu yang tidak pas, karena mengarah pada teori musik barat, sedangkan siswa mempunyai latar balakang budaya yang mempunyai ciri khas buadaya Indonesia dan tidak ada hubungan sama sekali dengan budaya barat. Masalah musik di Indonesia kaya dan beragam akan musik-musik tradisi etnik yang mengakar dan banyak dikagumi bangsa lain.
Dalam kata Pengantar buku Dieter Mack yang berjudul Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realitas, Alwasilah menghargai sikap kritis Dieter Mack terhadap pendidikan musik sekolah di Indonesia yang menilai adanya arah kebijakan pendidikan musik di sekolah kurang tepat, bahkan dapat dikatakan “tersesat”. Kemurtadan ini berakibat alienasi kebudayaan sendiri dan pengkeblatan terhadap kebudayaan barat (lihat, Dieter Mack, 1996). Di sisi lain Alwasilah menyatakan bahwa secara politis usia kemerdekaan sudah 60 tahun, tetapi kemerdekaan kultural masih perlu diperjuangkan.
Ketajaman pemikir dan perencana kebijakan pendidikan tidak setajam bambu runcing para pahlawan dalam merebut kemerdekaan politik. Bahwasanya merebut kemerdekaan kultural jauh lebih sulit dan memakan waktu lama dari pada merebut kemerdekaan politik. Budaya Indonesia sendiri hampir tidak diperhatikan dalam pendidikan formal dengan berbagai alasan.  Kecenderungan perkembangan budaya musik Indonesia ke arah budaya hiburan yang hanya berorientasi pada pasar yaitu musik komersial yang berbau barat. Hal tersebut yang oleh Prof. Dieter Mack dianggap sebagai kontradiktif antara tujuan dan realitis dalam pendidikan musik di Indonesia pada umunya.

Seni Karawitan Sebagai Budaya Bunyi
            Istilah seni karawitan atau karawitan sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris dan dipahami dengan  berbagai pengertian baik secara etimologis, tekstual, kontekstual maupun keduanya. Pengertian secara etimologis pengertian yang mengacu pada asal kata atau istilah yaitu karawitan dari kata  ka – rawit – an  yang mengandung makna suatu karya cipta manusia yang mengandung nilai rawit (seni).  Istilah Karawitan pada awalnya digunakan dilingkungan kraton Surakarta untuk menyebut kesenian kraton yang dianggap memiliki nilai tinggi (adi luhung)) meliputi tari, gamelan dan pedalangan (Sumarsam, 2003).
Selanjutnya istilah Karawitan dipahami dan dimaknai sebagai seni suara (gamelan dan tembang) yang menggunakan sistem tangga nada pentatonik Slendro dan atau Pelog. Karawitan adalah seni suara tradisi yang menggunakan peralatan gamelan dan sebagainya. Dalam perkembangannya istilah karawitan digunakan untuk menyebut musik tradisi di Indonesia. Sekarang istilah karawitan sudah menjadi kosakata internasional untuk menyebut musik gamelan.  Masing-masing batasan tersebut tentu ada kelemahannya, karena genre seni suara (musik) tradisi di Indonesia begitu beragam sesuai dengan karakteristik budaya masyarakatnya (etnisitas). Pengertian yang lebih bisa mencakup karawitan adalah budaya bunyi.
            Karawitan merupakan  budaya bunyi yaitu bunyi apa saja baik konvensional, non konvensional atau keduanya. Mengesamping dikotomi musik tradisi dan non tradisi, diatonik dan pentatonik, gamelan dan bukan gamelan, lebih mementingkan bunyi sebagai media ungkap atau penciptaan.  Pemahaman  ini dapat memotivasi kita untuk lebih berani berkreasi dan tidak terbelenggu dengan istilah-istilah yang pengertian yang sempit. Demikian juga tidak lagi merasa takut kalau salah, keliru, jelek dan sebagainya. Tentunya  juga tidak harus meninggalkan kaidah-kaidah yang sudah ada.  Di dalam tradisi dan adat istiadat lama tersimpan nilai-nilai, simbol, lambang sebagai kearifan lokal.
Banyak ungkapan-ungkapan musikal yang terdapat di lingkungan kita baik yang konvensional maupun non kovensional. Suara orang menjanjakan dagangan di jalan, orang menghitung ikan di pasar, teriakan bersama semangat orang kerja bakti, gandangan orang membajak di sawah, teriakan anak gembala di atas tebing yang dipantulkan dengan menggema dan masih banyak lagi merupakan ungkapan musikal namun tidak disadari sebagai musik atau karawitan..
Berbagai bunyi yang ditimbulkan dari benda atau alat seperti bunyi ritmis kentongan ditengah keheningan malam, bunyi gemerincing silih berganti dari genta kereta kuda yang pacu kusirnya, bunyi kentong kolosal yang bergerak dari desa satu ke desa yang lain pada gerhana bulan, permainan bunyi air pada saat mandi di sungai, pedagang makan dengan memukul alat tertentu untuk menarik perehatian pembelinya, juga bermacam-macam bunyi-bunyian mainan anak juga merupakan ungkapan musikal yang juga sering tidak disadari sebagai musik atau karawitan.
Berbicara  tentang karawitan secara konvensional di dalam tradisi masyarakat kita sangatlah kayadan beragam. Dalam berbagai kehidupan masyarakat kita hampir tidak lepas dari seni karawitan. Berbagai bentuk karawitan baik yang berdiri sendiri maupun sebagai iringan bentu kesenian tertentu. Seperti  sama-sama kita tahu adanya perangkat angklung, perangkat kendang kempul, perangkat kuntulan, perangkat gamelan gandrung, perangkat gamelan seblang, perangkat gamelan untuk wayang, perangkat gamelan tayub, saronen, terbang gending, glipang, dhuk-dhuk dan masih banyak lagi, masing-masing dengan jumlah serta jenis instrumentnya.   Bentuk-bentuk  vokal seperti lagu anak-anak atau lagu dolanan, lagu mocoan atau macapat, lagu-lagu untuk seblang, kejungan masing-masing mempunyai bentuk dan karakternya sendiri-sendiri. Dalam konteks tradisi semua sudah mapan dan dianggap sudah pakem, tetap,  tidak berubah, sehingga kalau tidak sesuai dengan apa yang ada seperti lazimnya dianggap salah.
Dalam keperluan tertentu misalnya sajian penataan gending atau untuk iringan tari, bentuk-bentuk tradisi yang dianggap baku itupun dapat dikembangkan, bahkan perlu dikembangkan. Untuk mendapatkan sesuatu yang baru dapat dielaborasi bentuk yang satu dengan yang lain dan sebagainya sehingga  menjadi tradisi berkembang. Kehidupan karawitan tradisi biasanya melekat pada adat istiadat masyarakat seperti ritual inisiasi, yang berkaitan dengan pertanian, nelayan dan sebagainya. Berbeda dengan konteks seni pertunjukan, di dalam seni pertunjukan bentuk-bentuk tradisi dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dalam berkesenian.
Dari uraian di atas ada tiga kategori seni karawitan yaitu seni karawitan tradisi, tradisi berkembang dan non tradisi. Seni karawitan tradisi yang melekat pada adat istiadat dan bersifat atau dianggap baku. Seni karawitan tradisi berkembang yaitu bentuk tradisi yang sudah mengalami pengembangan (innovasi) untuk keperluan tertentu (seni pertunjukan). Seni karawitan non tradisi (kontemporer), seni karawitan yang tidak bertolak atau mengabaikan kaidah-kaidah tradisi. Fenomena ini disebabkan adanya berkembangnya dari fungsi sosio-kultural tradisi  ke arah pertunjukan apresiatif dan kitch mengikuti selera pasar yang bersifat hiburan untuk mendapatkan uang (Lindsay, 1991).
Pekan Komponis yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1979 yang didukung masyarakat akademisi dapat menjadi ajang penciptaan musik kontemporer yang bertolak dari musik etnik di Indonesia (Hardjana, 1986).


Pendidikan  Karawitan di Sekolah
            Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2/1989 yang mengatur tentang otonomi sekolah untuk menyelenggarakan  muatan lokal (mulok). Sistem tersebut  memberi keleluasaan masing-masing sekolah untuk memikirkan, mengangkat serta menghidupkan kembali musik etnik yang ada dilingkungannya.  Pelajaran muatan lokal memberi konstribusi terbentuknya kepribadian, peradaban dan identitas  nasional. Di dalam karawitan atau musik etnik terkandung nilai-nilai budaya yang luhur telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak berabad-abad yang silam.
            Untuk menjadikan karawitan atau musik tradisi menjadi materi pelajaran pada Sekolah formal  disemua tingkat pendidikan masih jauh dari harapan. Secara infrastruktur belum terbangun dan masih banyak kendala yang dihadapi, mulai dari guru yang memiliki kompetensi karawitan atau musik tradisi masih langka. Kelangkaan terasebut karena belum adanya pendidikan khusus guru musik tradisi, kalaupun ada masih sangat terbatas. Belum tersedianya materi pembelajaran dan belum siapnya prasarana meskipun semua daerah kaya akan keragaman musik tradisi.
            Secara edial guru seni Karawitan adalah seorang guru yang tidak saja mempunyai kompetensi tentang seni karawitan dan mentransfer kepada anak didik, tetapi juga mampu membebaskan anak didik dari ketidak tahuan dan ketidak sadaran menjadi tahu dan sadar akan seni karawitan.  Dari tahu dan sadar tentang karawitan sehingga anak didik sadar akan potensi seni yang ada pada dirinya serta memiliki kemampuan untuk menumbuh  mengembangkan serta mampu mengapresiasi seni.   Anak didik tidak tentu akan menjadi seniman, tetapi mempunyai kepekaan seni (sence of aesthetic).
            Menjadi seorang guru seni karawitan perlu membekali diri dengan pengetahuan, ketrampilan, metode dan teknik pembelajaran serta sikap kretiv. Mencari guru seni karawitan dengan persyaratan tersebut seolah sulit dan langka, tetapi kalau sudah memahami hal tersebut semua orang bisa, tinggal keberanian yang kadang-kadang lebih sulit.  Pada dasarnya semua orang tahu dan bisa, tinggal keberanian dan sikap krativ akan mampu mengembangkan materi sesuai dengan bebutuhan.
Keseluruhan dari kesadaran diri seorang guru secara mental, penguasaan materi sesuai dengan kompetensi dengan baik serta anak didik sebagai subyek dalam proses pendidikan merupakan integritas yang perlu dimiliki seorang guru seni karawitan. Pada akhirnya ditangan guru yang kreatif yang mampu memecahkan permasalah pendidikan musik di Sekolah yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada.
Figur: Integritas Guru Seni karawitan




                Tampak dalam figur tiga unsur yang terdapat dalam proses pembelajaran seni karawitan yaitu pengembangan kompetensi kemampuan pengetahuan, ketrampilan serta sikap kreativ pendidik atau guru, bahan ajar seni karawitan sebagai bahan acuan dan menumbuh kembangkan poten seni anak didik. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan (intergrated) yang tidak bisa dipisah-pisahkan (Suwarmin, 2009)
Penutup
Istilah musik dan karawitan tidak harus dipahami secara dikotomi, karena keduanya mempempunyai pengertian yang sama yaitu seni suara.  Semua musik apapun bentuknya yang hidup dan berkembang di Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa masing-masing memiliki masyarakat penyangganya dan penggemar sendiri-sendiri. Perkembangan musik di Indonesia hendaknya memperkaya serta membangun khasanah budaya sebagai isdentitas, kepribadian bangsa mempertinggi peradaban di tengah kehidupan masyarakat dunia.
Pendidikan musik hendaknya merujuk kepada tujuan pendidikan Undang-undang 1945 yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya serta dapat berperan dalam pengembangan budaya bangsa.
Perkembangan budaya hendaknya mampu mentransformasikan nilai-nilai yang bersumber dari akar budaya bangsa dan mampu memberi inspirasi bangsa lain. Karawitan atau musik tradisi hendaknya menjadi materi pokok pelajaran musik di Indonesia. Musik dari budaya luar (musik Barat) diajarkan sebagai apresiasi pengembangan pengetahuan serta memperkaya cita rasa seni.
Undang-undang Otonomi Daerah perlu disambut dan dimaknai sebagai genderang dimualinya sekolah menjadikan muatan lokal (mulok) sebagai sarana pengembangan budaya daerah yang selama ini tersisihkan. Perlu segara dibangun infrastruktur meliputi: guru karawitan atau musik tradisi, sarana dan prasana, materi pembelajaran serta hal-hal yang terkait.
………untuk menggapai kemerdekaan budaya masih perlu waktu dan ………

Kepustakaan
Dieter Mack
1996    PENDIDIKAN MUSIK Anatara Harapan dan Realitas. Penerbit: University Press IKIP Bnadung.
Lindsay, Jennifer
1991    KLASIK KITCH KONTEMPORER Sebuah Studi Tentang Seni Petunjukan Jawa (Penerjemah: Nin Bakdi Sumanto). Penerbit: Gadjah Mada University Press.
Palgunadi, Bram
            2002    Serat Kandha KARAWITAN JAWI. Penerbit: ITB Bandung
Sumarsam
2003    GAMELAN Interaksi dan Perkembangan Musikal di Jawa. Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Suka Hardjana (Editor)
1976    ENAM TAHUN PEKAN KOMPONIS MUDA Sebuah Alternatif. Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
----- ,,---------   
1983    ESTETIKA MUSIK. Penerbit: Departerman Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Dadar dan Menengah Direktorat Pendidian Menegah Kejuruan Jakarta
Suwarmin
2009    “Kreatifitas dan Pembelajara Karawitan” (Majalah:BENDE Wahana Pendidikan dan Pengembangan Kesenian TBJT, Edisi No. 73 Nop. Th.  2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar